pemanasan global adalah
peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi yakni atmosfer, laut,
dan daratan Bumi. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan
menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut,
meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan
pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang
lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan
meratifikasi Protokol Kyoto,
yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab pemanasan
global
Efek rumah kaca
Segala sumber energi di Bumi berasal dari
Matahari. Sebagian berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan
Bumi, ia menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap
sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini
berwujud radiasi infra merah gelombang
panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer
bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas
ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi
dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini akan
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas
dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Efek
rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup di bumi, karena tanpanya,
planet ini akan menjadi sangat dingin. Namun, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
EFEK UMPAN BALIK
pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai
proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air.
Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2,
pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer.
Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut
dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan
konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila
dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif
udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).
Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Umpan
balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es
yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat.
Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan
terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih
sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak
radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak
lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik
positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost)
adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es
yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik
positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang
rendah
Dampak pemanasan global:
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi
kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan
sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap
permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e)
peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb).
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan
Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut
secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya
frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya
kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan
atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi
dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim
hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah
pesisir ke darat.
- Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
- Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan.
- Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
- Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan hilangnya pulau-pulau kecil.
- Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Selain itu dampak lain adl :
Iklim Mulai Tidak Stabil
Para
ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari
belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari
daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan
daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara
tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak
akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang
ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam
akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan
menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau
menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer.
Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga
akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan
menurunkan proses pemanasan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit
pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam
seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih
sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa
daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih
kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin
mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi
rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi. Ketika atmosfer menghangat,
lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar
dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es
di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih
memperbanyak volume air di laut. Perubahan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan
100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi
dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan
mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.
Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi
daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan
evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm
(20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida
Everglades.
Suhu global cenderung meningkat
Orang beranggapan bahwa
Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi
hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya
curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis
semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat
tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung
yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin,
yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan
masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Dalam pemanasan global,
hewan cenderung bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan
mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan
tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini.
Spesies-spesies yang
bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan
lautan dapat mengakibatkan
munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke)
dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga
akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan
cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di
kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana
alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya
bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat
pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare,
malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis,
penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit
melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian
Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang
biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor
penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten
terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu
bisa diprediksi kan
bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah
dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak
perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus
penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan
dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada
waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara
hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi
terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma,
alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain..
Pengendalian pemanasan global
Daerah pantai dapat
dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara
lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah
yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat
menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya,
mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies
dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke
habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin
bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke
atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain.
Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah
untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan
dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang
muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak,
memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.
Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan
telah mencapai level
yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit
sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang
lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah
untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga
dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan)
gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke
permukaan (lihat Enhanced
Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas
ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer.
Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan
pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer
sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber
penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti
batubara, minyak bumi, energi gas. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk
kemudian digantikan oleh minyak bumi pada
pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di
dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang
dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui
dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon
dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida
sama sekali.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Pola pemanfaatan ruang
wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan
lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang
dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan
budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman,
dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a)
arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan
sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan,
sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika
pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP
47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan
wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh
karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang
diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun
paradigma baru sebagai berikut :
- globalisasi ekonomi dan implikasinya,
- otonomi daerah dan implikasinya,
- penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
- pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
- pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
- daur ulang hidrologi,
- penanganan land subsidence,
- pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
- pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka
aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu
masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
nasional yang
termuat didalam RTRWN
khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya
konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota
pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c)
pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara
kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang
lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan
fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan
pesisir.
Untuk kawasan budidaya,
maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang
memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan
kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi
kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari
kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api,
Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang,
Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada
Lampiran).
Selain antisipasi yang
bersifat makro-strategis, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air
laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka
pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990)
sebagai berikut :
- Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
- Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
- Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan
lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan
sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat
flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki
kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk
pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang
memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna
langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan
pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka
pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu
pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat
dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir
yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka
Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan
penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula
kebijakan untuk
revitalisasi dan
operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan
penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan
berikut :
- Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
- Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
- Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
- Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
- Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
- Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
- Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
- Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
- Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
Serta pengurangan
penggunaan listrik perlu dilakukan. Karena untuk memproduksi listrik kita masih
memakai bahan bakar yang berasal dari fosil, jadi dengan mengurangi konsumsi listrik
kita berkontribusi juga dalam pengurangan potensi polusi akibat produksi
listrik/energi tadi. Mungkin kita pikir, masak pengurangan konsumsi listrik
kita berpengaruh sih? Tapi kalo kita pikir yang melakukan hal ini banyak orang,
pengurangan konsumsi energinyapun akan menjadi sangat besar. Jadi program dari
PLN 17-22 bisa dipraktekkan
No comments:
Post a Comment