Kalau
kita melihat perkembangan bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang, tidak
terlepas dari perkembangan ejaannya. Kita ketahui bahwa beberapa ratus tahun
yang lalu bahasa Indonesia belum disebut bahasa Indonesia, tetapi bahasa
Melayu. Nama Indonesia itu baru datang kemudian.
Kita
masih ingat pada masa kerajaan Sriwijaya, ada beberapa prasasti yang
bertuliskan bahasa Melayu Kuno dengan memakai huruf Pallawa (India) yang banyak di pengaruhi
bahasa Sanskerta, seperti juga halnya bahasa Jawa Kuno. Jadi bahasa pada waktu
itu belum menggunakan huruf Latin. Bahasa Melayu Kuno ini kemudian berkembang
pada berbagai tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan masa awal
kedatangan Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkekeliling di
Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca , yakni bahasa komunikasi
dalam perdagangan, pengajaran agama, serta hubungan antarnegara dalam bidang
ekonomi dan politik.
Lingua
franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat
lalu lintas perdagangan. Banyak pedagang asing yang berusaha untuk mengetahui
bahasa Melayu untuk kepentingan mereka. Bahasa Melayu ini mengalami pula
penulisannya dengan huruf Arab yang juga berkembang menjadi huruf Arab-Melayu.
Banyak karya sastra dan buku agama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Huruf
ini juga dijadikan sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum mulai digunakannya
huruf Latin atau huruf Romawi untuk penulisan bahasa Melayu, walaupun masih
secara sangat terbatas.
Sebelum
tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu)
membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri. Seperti ejaan latin untuk bahasa Melayu yang mulai di
tulis oleh Pigafetta, selanjutnya oleh de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus
Dancaert, dan Joannes Roman. Sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan.
Setelah
tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat perhatian. Pada tahun 1900, Ch. van
Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan
aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem
ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai
landasan pokok. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut
model yang di mengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Dengan
bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim,
akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang
terkenal
dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan
Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tetap
mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat
bentuk yang tetap.
Ciri-ciri
dari ejaan ini yaitu:
a.
Huruf j
untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b.
Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe,
itoe, oemoer.
c.
Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda
trema untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamai’.
d.
Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai
akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï
dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
Huruf hidup yang di beri titik dua
diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa
huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan
Bahasa Belanda sampai saat ini.
Sedikit mengkilas balik, Van Ophuijsen adalah
seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah
jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera
Barat,
kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, Van Ophuijsen kemudian
menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian
diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan
menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Keinginan untuk
menyempurnakan ejaan Van Ophuijsen terdengar dalam Kongres Bahasa Indonesia I,
tahun 1938 di Solo. Selama Kongres Bahasa Indonesia tersebut, telah
disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang
dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan
bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya
perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19
Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Suwandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (SK No. 264/Bag.A tanggal 19 Maret 1947) tentang
perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan
nama Ejaan Suwandi. Ejaan yang juga sering disebut dengan Ejaan republik
ini adalah upaya penyederhanaan
dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada, yaitu ejaan Van Ophuysen.
Ciri-ciri ejaan
ini yaitu:
Huruf oe diganti dengan u,
seperti pada goeroe → guru, itu, umur.
a.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k,
seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
b.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2,
seperti anak2,
ber-jalan2, ke-barat2-an.
c.
Awalan di- dan kata depan di
kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata
depan di
pada dirumah,
dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada
ditulis,
dikarang.
Perubahan Ejaan
bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada tahun 1947. Waktu perubahan
ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang berjuang menentang kembalinya
penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan 1947 ini yang lebih dikenal sebagai Ejaan
Soewandi atau Ejaan Republik, sebenarnya memancing reaksi yang muncul setelah
pemulihan kedaulatan (1949). Reaksi ini kemudian melahirkan ide untuk
mengadakan perubahan ejaan lagi dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah
kekurangan.
Gagasan
mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam Kongres Bahasa Indonesia
II di Medan (1954). Waktu itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Mr. Muh.
Yamin. Dalam kongres itu dihasilkan keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :
1. Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.
2. Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang kompeten.
3. Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.
1. Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.
2. Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang kompeten.
3. Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.
Sesuai dengan usul Kongres, pemerintah kemudian membentuk sebuah panitia dengan SK No.
44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini
berhasil merumuskan patokan-patokan baru dan
menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan pada tahun 1957. Namun keputusan ini tidak
dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu dan adanya beberapa huruf baru yang tidak praktis,yang dapat
memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia.
Terilhami oleh
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan pula kongres bahasa
Indonesia di Singapura (1956) yang
menghasilkan suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung
Melayu dengan ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan selanjutnya
dihasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan
Melayu-Indonesia). Ejaan
Melindo merupakan
ejaan yang diputuskan oleh sidang perutusan Indonesia dan Malaysia yang
diketuai oleh Slamet
Muljana dari
Indonesia dan Syed Nasir bin Ismail dari Malaysia pada tahun 1959. Namun, rencana untuk meresmikan ejaan ini pada tahun 1962
mengalami kegagalan karena adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dan perkembangan politik pada beberapa tahun kemudian.
Karena laju perkembangan pembangunan, maka
dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Akhirnya, berdasarkan komunikasi
bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mashuri Saleh) dan Menteri Pelajaran Malaysia (Hussein Onn),
rancangan tersebut di setujui untuk dijadikan bahan dalam upaya bersama bagi
pengembagan bahasa nasional kedua negara. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan no. 062/67 tanggal 19 September 1967, disahkan sebuah Panitia Ejaan
bahasa Indonesia. Lembaga Bahasa
dan Kesusastraan (LBK) membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M.
Moeliono yang
bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang
terdahulu. Moeliono mengusulkan konsep baru sebagai ganti
konsep Melindo.
Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, beberapa kali seminar, dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan tanggal 20 Mei
1972 No.03/A.I/72, serta berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun
1972,
akhirnya konsep LBK menjadi konsep bersama Indonesia-Malaysia yang
seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
yang diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972. Sebagai
menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mencopot nama jalan yang
melintas di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi
Jl. Cilacap.
Karena penuntun
itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim,
Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Ejaan tersebut kemudian lebih disempurnakan
lagi (direvisi) pada tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 0543a/u/1987 tanggal 9 September
1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD
edisi 1975.
Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan.
Kalau kita
beranalogi dengan Ejaan Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut
Ejaan Mashuri, karena pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan
memperjuangkan EYD sampai diresmikan oleh presiden.
Beberapa hal
yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan adalah sebagai berikut.
1. Perubahan Huruf
Ejaan Soewandi
|
Ejaan yang Disempurnakan
|
||
dj
|
djalan, djauh
|
j
|
jalan, jauh
|
j
|
pajung, laju
|
y
|
payung, layu
|
nj
|
njonja, bunji
|
ny
|
nyonya, bunyi
|
sj
|
isjarat, masjarakat
|
sy
|
isyarat, masyarakat
|
tj
|
tjukup, tjutji
|
c
|
cukup, cuci
|
ch
|
tarich, achir
|
kh
|
tarikh, akhir
|
2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya
sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing,
diresmikan pemakaiannya.
f
|
maaf, fakir
|
v
|
valuta, universitas
|
z
|
zeni, lezat
|
3.
Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai
a : b = p : q
Sinar-X
Sinar-X
4. Penulisan di- atau ke-
sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan,
yaitu di-
atau ke-
sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di
atau ke
sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.
di- (awalan)
|
di (kata depan)
|
ditulis
|
di kampus
|
dibakar
|
di rumah
|
dilempar
|
di jalan
|
dipikirkan
|
di sini
|
ketua
|
ke kampus
|
kekasih
|
ke luar negeri
|
kehendak
|
ke atas
|
5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak
boleh digunakan angka 2.
anak-anak,
berjalan-jalan, meloncat-loncat
Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan dikeluarkannya peraturan
menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi, ada
empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :
1. Ejaan Van Ophuijsen (1901)
2. Ejaan Soewandi (1947)
3. Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
4. Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)
1. Ejaan Van Ophuijsen (1901)
2. Ejaan Soewandi (1947)
3. Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
4. Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)
5. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
Sistem
ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah adalah :
1. Ejaan Pembaharuan (1957)
2. Ejaan Melindo (1959)
3. Ejaan LBK (1966)
1. Ejaan Pembaharuan (1957)
2. Ejaan Melindo (1959)
3. Ejaan LBK (1966)
No comments:
Post a Comment