Agama (al-dien) adalah
ide murni, atau sistem ide dan kepercayaan yang bersifat Ilahiyah,
berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam
Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda
dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk
manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa
dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu,
Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks
kemanusiaan. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul Fiqh.
Pada mulanya, para ulama
terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad
para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang
masuk kedalam daulah
Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan
pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka
para ulama ahli ushul fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab
dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh ulama penyusun ilmu fiqh.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam
Syafi'i
dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan Hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam
Syafi'i ini
merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqh yang kemudian dilanjutkan oleh para
ahli ushul fiqh sesudahnya. Para ulama ushul fiqh dalam pembahasannya mengenai
ushul fiqh tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan
pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu golongan
Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.sumber
I.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ushul Fiqh
Kalimat ushul fiqh
terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kata Ushul
jamak dari ashlun, yang berarti pangkal, pokok, dasar dan lain
sebagainya. Sedangkan fiqh, secara bahasa berarti pemahaman.[2]
Secara istilah, fiqh adalah “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang
terperinci”.
Jumhur ulama Ushul Fiqh
mendefinisikannya sebagai berikut:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
Sedangkan menurut Abul Wahab
Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
Ilmu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah
dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari
dalil-dalil yang terperinci.[3]
Yang dimaksud “dari
dalil-dalilnya secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah
dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi
dasar penetapan hukum Islam. Inti ushul fiqh adalah seperangkat kaidah (metode
berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan
hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Pengetahuan fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang
berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam
pengetahuan ushul fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya
masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara
dan dasar-dasarnya sudah mereka (para ulama Mujtahid) gunakan
sebelumnya dalam mengistinbathkan
dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang
disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istilah yang digunakan
oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang
membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali
dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini
digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum, kadang-kadang untuk menetapkan hukum
dengan mempergunakan dalil ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqh"
(ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang
terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau
statusnya dengan mempergunakan dalil.
Jadi, ilmu Ushul Fiqh pada
hakekatnya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan
teknik bagaimana hukum syari’at
dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana jalan pikiran pembentukan
hukum Islam tersebut).
2. Obyek Ushul Fiqh
Pada intinya obyek kajian
ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan sistem
mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang
perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lebih jelasnya ruang
lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a. Pengenalan
terhadap istilah-istilah teknis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan
syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dan lain sebagainya.
b. Dalil-dalil
hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah
mursalah- berikut penetapan rangking kehujjahan masing-masing dalil.
c. Penjelasan
tentang cara/metode “bagaimana menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang
dimaksud terdiri atas qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari
nash (al-Quran dan Hadits) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping
menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d. Mujtahid, ijtihad, fatwa,
taklid dll.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul
Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber
hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya
dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan
dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Bertolak dari pengertian ushul fiqih, maka
bahasan pokok ushul fiqih itu tentang:
a. Dalil-dalil
atau sumber hukum syara’
b. Hukum-hukum syara’ yang
terkandung dalam dalil itu
c. Kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dan dalil atau sumber yang
mengandungnya.[4]
Dalam membicarakan sumber hukum
dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara
menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang
menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini
memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian dibahas mengenai
tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan
hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan
dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi
(wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab,
syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal
hukum (mahkum
fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau
tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau
Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai
hukum (mahkum
'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa
sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau
bukan, dan sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi
berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia,
keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah
lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan
muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan
taqlid;
meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan
ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah syar'iyah, yang
meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah,
istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah,
sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul
illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran,
as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat
tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
|
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam
mempelajari Ushul Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan
proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul
Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu
tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu
tafsir, ilmu
hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh
ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath
dan istidlal akan
menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat
berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari
Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari
sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat
dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang
atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga
dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya
sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. Dengan
Ushul Fiqh :
-
|
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang
mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
|
-
|
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama
dapat dihindarkan.
|
-
|
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan
agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan
berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
|
-
|
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami
mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita
lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam
merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda
yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan
untuk menetapkannya, prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan
hukumnya.
|
Dengan
demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid,
mereka dapat menjadi Muttabi' yang
baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui
asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh
merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan
ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan
kemajuan dalam segala bidang. Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi
Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya
secara keseluruhan.sumber
3. Fungsi Ushul Fiqh
Secara singkat fungsi
mendasar ilmu ushul fiqh adalah menetapkan suatu hukum baru harus mempunyai
dasar dan harus ada sistem metodenya. Adapun fungsi Ushul Fiqh secara umum
antara lain:
a.
Perkembangan
zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban
kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau
oleh rumusan fiqh yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya
dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan
perangkat metodologisnya.
b.
Untuk
melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur
metodologis teknik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
c.
Untuk
menganalisa dan menyeleksi hukum-hukum fiqh yang sudah ada, memetakan formula
hukum fiqh manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah
hukum fiqh yang tidak boleh berubah.
d.
Diharapkan
dengan adanya ilmu ushul fiqh dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam
akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka
kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.
Tujuan yang hendak dicapai
dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap
dalil-dalil syara’ yang bersifat terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’
yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
terkandung didalamnya.[6]
4. Hubungan
Ushul Fiqh dengan Fiqh
Ushul Fiqh sebagai ilmu,
fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqh, yang
dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan
antara Ushul Fiqh dengan fiqh, antara lain:
a.
Ushul
Fiqh ibarat rantai penghubung antara fiqh dengan sumbernya.
b.
Ushul
Fiqh merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqh, agar para
pakar fiqh terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqh. Ushul Fiqh merupakan sarana untuk pengembangan
ilmu fiqh yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu. sumber
Ushul Fiqh merupakan
timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil
hukum, sementara objek fikihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada
titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya
berbeda, yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukkan atas suatu
ketentuan hukum, sedangkan memandang dalil hanya sebagai rujukan.[8]
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai
buah yang lahir dari pohon tersebut.
5.
Kompleksitas
Fiqh dan Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Fiqh sebagai sebuah disiplin
ilmu, pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari pemahaman yang beragam dan
hasil ijtihad para ulama yang memiliki kompetensi yang berbeda. Sehingga
munculnya berbagai paham dan aliran dalam hal-hal furu’iyyah menjadi niscaya
adanya. Berbeda dengan zaman Nabi yang segala macam permasalahn langsung
kembali kepada beliau, zaman sekarang dengan berbagai permasalahan baru yang
muncul dan semakin kompleks, menjadikan ilmu fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu
yang luas dan beragam. Keragaman ini sebenarnya tidaklah bermasalah selama
bemuara kepada Nash Sharih. Namun pada kenyataannya terutama di kalangan awam
banyak terjadi perbedaan masalah furu’iyyah yang berujung pada pertentangan
bahkan permusuhan. Ini mrupakan sebuah fenomena yang perlu dicermati lebih
mendalam, mengingat permasalahan perbedaan madzhab menjadi masalah utama yang
memiliki potensi besar untuk memecah belah umat.
Kasus-kasus yang kerap kali
terjadi antar ormas-ormas Islam biasanya terjadi pada hal-hal ibadah
furu’iyyah, seperti perbedaan jumlah raka’at tarawih, qunut, pelaksanaan shalat
jum’at dan lain sebagainya yang hampir semuanya terletak pada tataran praktis
dalam beribadah. Bila dirunut akar permasalahannya maka akan ditemukan bahwa
penyebab utamanya adalah budaya taqlid a’maa yaitu budaya mencontoh guru yang
dalam hal ini Kyai atau ustadz yang memiliki karisma dan wibawa di tengah
masyarakat yang setiap ucapannya menjadi dalil hukum bagi masyarakat awam.
Fiqh pada periode ini bisa
dikatakan telah memasuki periode taqlid, dimana ajaran-ajaran fiqh telah
tersusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir
madzhab masing-masing. Dari satu segi hal ini berdampak positif pada kemudahan
umat dalam beribadah karena semua permasalahan fiqh telah mereka temukan dalam
kitab-kitab fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Namun dari segi lain,
terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang merasa
tidak perlu lagi berpikir tentang hukum, sebab semuanya sudah tersedia
jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa
ini terbatas pada usaha pengembangan pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari
imam mujtahid yang terdahulu dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran
baru. Seiring dengan perkembangan zaman, tuntutan ijtihad sebenarnya tidak
pernah berhenti, sehingga kitab-kitab fiqh yang pada zamannya memiliki
aktualitas yang tinggi, menjadi berkurang aktualitasnya seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin kompleks.[9]
Ushul fiqh sebagai sebuah metode menjadi
jawaban atas berbagai perbedaan yang mengakibatkan pertentangan di masyarakat.
Pada tingkatan atau level tertentu, pembelajaran ushul fiqh menjadi hal yang
penting adanya. Pengetahuan dan pemahaman ushul fiqh menjadi jalan untuk
terbukanya kembali pintu ijtihad. Namun sebagaimana fiqh, ushul fiqh pun
memiliki aliran-aliran karena para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan
istilah-istilah untuk suatu pengertian dan dalam menetapkan jalan-jalan yang
ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua aliran,
yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan
menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah
ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan
nash) maupun ‘aqliy(dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum
furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai
kaidah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini
diikuti oleh para ulama dari golonganMu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat
dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni
dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ‘ yang
diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan
hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para
ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum
furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.[10]
Terlepas dari berbagai aliran dalam ushul fiqh
di atas, sebagaimana fungsi dari ushul fiqh yang telah dipaparkan, dengan ushul
fiqh orang akan memahami fiqh dengan lebih baik sehingga membuka pintu ijtihad
atau minimal seorang muslim akan menjadi muttabi’ bukannya muqallid, yang pada
akhirnya pertentangan dan permusuhan antar umat islam yang berselisih faham
dalam hal furu’iyyah dapat diminimalisir.
6.
Pembelajaran
Fiqh dan Ushul Fiqh
Belajar merupakan kegiatan
aktif siswa dalam mmbangun makna dan pemahaman. Dengan demikian guru perlu
memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun
gagasan. Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa, tetapi guru
bertanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi
dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam
mengembangkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa
prinsip kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran pada hakikatnya
merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi
secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai
media pembelajaran. Didasari oleh adanya perbedaan interaksi tersebut, maka
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pola
pembelajaran.[11]
Diantara prinsip dan pola
kegiatan pembelajaran yang dianggap lebih relevan pada sebagian materi
pembelajaran fiqh adalah belajar dengan melakukan (learning by doing).
Melakukan aktifitas adalah bentuk pernyataan diri anak. Pada hakikatnya anak
belajar sambil melakukan aktifitas. Karena itu, siswa perlu diberi
kesempatan untuk melakukan kegiatan nyata yang melibatkan dirinya. Dengan
demikian, apa yang diperoleh siswa tidak akan mudah dilupakan. Pengetahuan
tersebut akan tertanam dalam hati sanubari dan pikiran siswa karena ia belajar
secara aktif. Siswa akan memperoleh harga diri dan kegembiraan kalau diberi
kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil kerjanya.
Dalam pembelajaran fiqh,
mengajarkan materi shalat dengan praktek lebih efektif dan berkesan bagi siswa
ketimbang dengan mengharuskan siswa untuk menghafal kaifiyah shalat. Tetapi,
ada hal-hal lain juga yang perlu dihafal misalnya bacaan shalat. Demikian pula
dalam pembelajaran manasik haji, tata cara pembagian harta warisan, pengurusan
jenazah, kompetensi dasarnya akan tercapai secara efektif apabila ditempuh dengan
siswa melakukannya (mempraktekkannya).
II.
SIMPULAN
Ushul fiqh merupakan khazanah
kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model
keagamaan. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab
ushul fiqh dianggap sebagai penuntun fiqih yang merupakan jawaban bagi
kehidupan. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, agar dapat
memanfaatkan ilmu ini, harus mengetahui jawaban apa yang disampaikan oleh ilmu
ini, yang akan timbul setelah mengajukan pertanyaan.
Dalam pembelajaran fiqh di
sekolah, guru harus dapat memberikan pola dan metode pembelajaran yang kreatif
dan inovatif agar pelajaran fiqh lebih mudah dipahami oleh peserta didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul
Fiqh. Jilid 1. Cetakan Kelima. Bandung: Kencana PrenadaMedia Group.
Hanafi, A. 1962. Usul
Fiqh, Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Widjaya.
Rifa’i, Moh. 1973. Ushul
Fiqih, Cetakan kesepuluh. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Rusman. 2010. Model-Model
Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu
Ushul Fiqih. Cetakan Keempat. Bandung: Pustaka Setia.
http//:abatasa.com
http//:eling_buchoriahmad12.blogspot.com
http//: Wikipedia_ushul fiqih
[3] Abul
Wahab Khalaf dalam Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan
Keempat. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 22
[4]
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jilid 1. Cetakan Kelima. Bandung:
Kencana PrenadaMedia Group. Hlm. 49.
[6]
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jilid 1. Cetakan Kelima. Bandung:
Kencana PrenadaMedia Group. Hlm. 48
[11]
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment