Monday, June 6, 2016

Jabariyah



BAB II
PEMBAHASAN




A.   Pengertian Jabariyah
Secara etimologi, kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau aliran (isme). Menurut Asy-Syahratsan, paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkan kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah.
Dapat disimpulkan, bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha dan  qadar Tuhan. Jabariyah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab. Dapat diibaratkan manusia sebagai benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengn apa yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Aliran ini disebut juga dengan Jahmiyah.

B.   Sejarah Kemunculan  Aliran Jabariyah
Kaum Jabariyah  diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah. Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor, yakni :
  1. Faktor Politik
Pendapat Jabariyah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750), yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini dia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala Negara dan pemimpin umat Islam adalah berdasarkan “Qadha dan Qadar atau ketentuan dan keputusan Allah semata” dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
  1. Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Sehingga, mereka tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai denngan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya mereka bergantung kepada sikap Fatalisme.













C.   Tokoh-Tokoh Serta Doktrin Ajaran Jabariyah
1.     Ja’ad Bin Dirham
Ja’ad adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri pada tahun 124 H .
Pendapat-pendapatnya adalah :
a.  Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 164 :
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Artinya :
164. Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
b.Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan-Nya, menurut Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 125 :
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsƒªB$#ur ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz ÇÊËÎÈ
Artinya :
125. Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.

2.  Jahm Bin Shafwan
Jahm adalah seorang budak yang telah dimerdekakan dari Khurasan (Persia) dan bermukim di Kufah (Iraq). Ia dikenal sebagai orang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima orang lain. Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara).
Jahm juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan.
Perlawanan al harits dapat dipatahkan, sehingga ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/745 M. Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang dibunuh pada tahun  747 M. Pembunuhan Jahm bukan karena motif mengembangkan faham jabariyah, tetapi keterlibatannya dalam pemberontakan tersebut.
 Pendapat-pendapatnya adalah :
a.       Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba’ts atau dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
b.      Iman itu adalah pengetahuan mengenai keparcayaan belaka. Oleh sebab itu, iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.










c.       Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidup atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi Allah boleh disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.

D.   Pokok-Pokok Paham Aliran Jabariyah
Paham Jabariyah bertolak belakang dengan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih dan mewujudkan perbuatannya. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yng dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan, tanpa menafikan adanya pahala dan siksa.
 Menurut paham ini manusia tidk hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatannya. Pndangan tersebut disandarkan pada beberapa ayat dalam Al-qur’an, seperti QS Al-Anfal yang artinya :
“Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Jika seseorang menganut paham ini, ia akan menjadi pasrah, tidak ada semangat dan kreatifitas untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, dan ada pula yang moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim. Sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Meski pun kaum Jabariyah dan Qadariyah sudah musnah, namun ajarannya masih tetap dilestarikan oleh kaum Muktaziah yang menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajarannya. Imam Syafi’i menyebut Wasil, Umar, dan Ghilan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide. Itulah sebabnya kaum muktazilah dinamakan juga kaum Jabariyah dan Qadariyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada dirinnya sendiri tanpa ada intervensi Allah. Disebut Jabariyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-Qur’an itu makhluk, dan pengingkaran mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
      Berkaitan dengan hal itu, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian pengikut  Muktazilah adalah Jabariyah, tetapi tidak semua Jabariyah adalah Muktazilah. Karena mereka berbeda pendapat mengenai masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Muktazilah menafikannya sedangkan kaum Jabariyah meyakininya.

E.   Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah
Di antara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
  1. Manusia  tidak mampu kebebasan dan ikhtiar apa pun. Setiap perbuatannya, baik yang jahat, buruk dan baik semata-mata Allah yang menentukannya.
  2. Allah tidak mengetahui sesuatu apa pun sebelum terjadi.
  3. Ilmu Allah bersifat Hudust atau baru.
  4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.









  1. Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaan-Nya.
  2. Surga dan neraka tidak kekal, serta akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
  3. Allah tidak dapat di lihat di surga oleh penduduk surga.
Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan Kalamullah

F.    Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok Jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atas-Nya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunnya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan Allah kepada mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal iu tidak mengubah takdir.
 Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha hanya sia-sia. Lalu mereka meninggalkan amar ma’ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang zalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak.
 Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.

















DAFTAR PUSTAKA




http://analisi-pemahaman-jabariyah.html.        
Risnawati. 2008. Modul Aqidah Akhlak Kelas XI semester 1. Kuala Kapuas.

No comments:

Post a Comment