BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jabariyah
Secara
etimologi, kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab mengandung
arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain ada
unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan
menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau aliran
(isme). Menurut Asy-Syahratsan, paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkan kepada Allah. Dengan kata lain,
manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam Bahasa Inggris,
Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination, yaitu paham yang menyebutkan
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar
Allah.
Dapat disimpulkan,
bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa
segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas
kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha dan qadar Tuhan. Jabariyah adalah pendapat yang
tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab.
Dapat diibaratkan manusia sebagai benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan
oleh Allah Pencipta, sesuai dengn apa yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu
sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Aliran
ini disebut juga dengan Jahmiyah.
B.
Sejarah Kemunculan
Aliran Jabariyah
Kaum
Jabariyah diduga lebih dahulu muncul
dibandingkan dengan kaum Qadariyah. Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran
Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor, yakni :
- Faktor Politik
Pendapat
Jabariyah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750), yakni di masa keadaan
keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan
bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah.
Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini dia bermain
politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa
pengangkatannya sebagai kepala Negara dan pemimpin umat Islam adalah
berdasarkan “Qadha dan Qadar atau ketentuan dan keputusan Allah semata” dan
tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
- Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan
geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir
sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan
mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri
terhadap alam. Sehingga, mereka tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan
sekeliling mereka sesuai denngan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa lemah
dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya mereka bergantung kepada
sikap Fatalisme.
C.
Tokoh-Tokoh Serta Doktrin Ajaran Jabariyah
1.
Ja’ad Bin Dirham
Ja’ad adalah
seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh
Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri pada tahun 124 H .
Pendapat-pendapatnya
adalah :
a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 164 :
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% øn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR øn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Artinya :
164. Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah
kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan
langsung.
b.Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan-Nya,
menurut Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 125 :
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYÏ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsªB$#ur ª!$# zOÏdºtö/Î) WxÎ=yz ÇÊËÎÈ
Artinya :
125. Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya.
2. Jahm Bin Shafwan
Jahm adalah
seorang budak yang telah dimerdekakan dari Khurasan (Persia)
dan bermukim di Kufah (Iraq).
Ia dikenal sebagai orang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah
diterima orang lain. Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara).
Jahm juga
mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sekretaris yang
menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan.
Perlawanan al
harits dapat dipatahkan, sehingga ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/745
M. Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang dibunuh pada tahun 747 M. Pembunuhan Jahm bukan karena motif
mengembangkan faham jabariyah, tetapi keterlibatannya dalam pemberontakan
tersebut.
Pendapat-pendapatnya adalah :
a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai
dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat
hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba’ts atau dihidupkan kembali
di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut
bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
b. Iman itu adalah pengetahuan mengenai keparcayaan belaka. Oleh
sebab itu, iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan
karya. Maka tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam
bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu
tidak berbeda tingkatnya.
c. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin
diberikan pula kepada manusia, sebab itu menyerupai Allah dalam sifat-sifat
itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidup atau
alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat
yang demikian itu. Tetapi Allah boleh disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta,
Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk
Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
D.
Pokok-Pokok Paham Aliran Jabariyah
Paham
Jabariyah bertolak belakang dengan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia
tidak mempunyai kemampuan untuk memilih dan mewujudkan perbuatannya. Segala
gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya dari Allah semata.
Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan
baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yng dilakukan manusia
adalah sebenarnya perbuatan Tuhan, tanpa menafikan adanya pahala dan siksa.
Menurut paham ini manusia tidk hanya bagaikan
wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama
sekali dalam mewujudkan perbuatannya. Pndangan tersebut disandarkan pada
beberapa ayat dalam Al-qur’an, seperti QS Al-Anfal yang artinya :
“Tidak ada bencana yang
menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu
wujud”
Jika seseorang
menganut paham ini, ia akan menjadi pasrah, tidak ada semangat dan kreatifitas
untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap
terbelakang.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, dan ada pula
yang moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim. Sedangkan yang
moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al
Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Meski pun kaum
Jabariyah dan Qadariyah sudah musnah, namun ajarannya masih tetap dilestarikan
oleh kaum Muktaziah yang menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi
pokok-pokok ajarannya. Imam Syafi’i menyebut Wasil, Umar, dan Ghilan al-Dimasyq
sebagai tiga serangkai yang seide. Itulah sebabnya kaum muktazilah dinamakan
juga kaum Jabariyah dan Qadariyah.
Disebut
Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap
takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada dirinnya sendiri tanpa
ada intervensi Allah. Disebut Jabariyah karena mereka mewarisi dari paham
penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-Qur’an itu makhluk, dan pengingkaran
mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal itu, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa sebagian pengikut
Muktazilah adalah Jabariyah, tetapi tidak semua Jabariyah adalah
Muktazilah. Karena mereka berbeda pendapat mengenai masalah Jabr (hamba berbuat
karena terpaksa). Kalau kaum Muktazilah menafikannya sedangkan kaum Jabariyah
meyakininya.
E.
Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah
Di antara ciri-ciri
ajaran Jabariyah adalah :
- Manusia tidak mampu kebebasan dan ikhtiar apa pun. Setiap perbuatannya, baik yang jahat, buruk dan baik semata-mata Allah yang menentukannya.
- Allah tidak mengetahui sesuatu apa pun sebelum terjadi.
- Ilmu Allah bersifat Hudust atau baru.
- Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
- Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaan-Nya.
- Surga dan neraka tidak kekal, serta akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
- Allah tidak dapat di lihat di surga oleh penduduk surga.
Al-Qur’an adalah makhluk dan
bukan Kalamullah
F.
Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok
Jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia
bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan
kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa
melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang
berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka
dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika
mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa
tidak bertanggung jawab atas-Nya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah
terjadi.
Akidah yang
rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunnya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap
bahwa semua itu telah ditakdirkan Allah kepada mereka. Maka mereka
menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah
ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk
melakukan usaha karena hal iu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka
meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari
azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan
mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi
sehingga doa dan usaha hanya sia-sia. Lalu mereka meninggalkan amar ma’ruf dan
tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang
pasti terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang
zalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak.
Para ulama
Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan
pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan
kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai
keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun
akal.
DAFTAR PUSTAKA
http://analisi-pemahaman-jabariyah.html.
Risnawati.
2008. Modul Aqidah Akhlak Kelas XI
semester 1. Kuala Kapuas.
No comments:
Post a Comment