Monday, June 6, 2016

Kumpulan Cerpen



Seorang Lelaki & Iblis Yang Menangis

 

Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca. Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat.

Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya?

Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.

Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.

Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya membuat posisinya membentuk seperti siluet The Thinker, karya Auguste Rodin.

Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung? atau iblis yang sebenarnya?

Hah..! Ia mendesah panjang !

Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikitpun.

Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan agak keras,

"Hush.. Pergi Sana !"

Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi berandaku.
Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimanapun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada Tuhan. Pada Allah sang pencipta.

Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku.

Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis!

Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya.

Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis - walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film holywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap.

"Pergi.. Jangan ganggu !", kali ini seruanku lebih perlahan tapi tetap tegas.

Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya terdengar agak parau dan kasar.

"Mengapa ?", tanyanya, "Kau begitu takut padaku ?"

Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada Allah, pada Tuhan yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya,

"Aku tidak takut sedikitpun pada mu!"

Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua.
"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin besar dari segala Iblis ?"

"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri.

"Kau tidak berdusta?", tanyanya.

Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu. Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali.

Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong.

"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya lagi. "Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?"

"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan !"

Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku.

"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu ! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya.

"Boleh aku minta teh?"

Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang atau sesosok iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti kataku yakin dalam hati ia sedang merencanakan sesuatu.

Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya pada Allah bersikap dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah satu dosa?

Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini, mungkin aku bisa bertanya. Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada, dan aku saja yang tidak mengetahuinya?

Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia, otomatis malaikat akan hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin tokoh-tokoh kartun dalam film walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap dan sosok bertanduk yang saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?

Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok putih bersayap. Di sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar. Sekali kusenggol pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek - jangan-jangan ada malaikat di baliknya.
Tapi tidak ada tanda-tandanya.

Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja samping tempat tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku, lalu kutuang teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.

"Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya "Habiskan ini, dan tinggalkan berandaku"

"Baiklah" katanya sambil mengambil cangkir yang kusodorkan. Sebaliknya ia menyodorkan sendal kamarku.

Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu menyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan, dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat berkurang.

Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu. Dengan cara minumnya seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang lahir dari kata-kata manusia sendiri?

"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan hatiku yang sedang sedih", katanya sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, seperti mencari kehangatan di sana.

"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis" sahutku kasar. "Kebaikanku memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan. Jadi sebaiknya kau tetap tutup mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta segera berlalu dari sini. Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan terbuka"

Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku.
"Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?"

"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar" sahutku.

"Begitukah?" tanyanya hampir pada dirinya sendiri. "Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?"

Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang kompeten menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.

Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya kompetensi untuk mencabut nyawa. Tapi bahkan Tuhanpun sepertinya menggunakan sistem perwakilan. Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa manusia, tapi tangan Tuhan sendiri.

Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa jadi wakil Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup untuk hilangnya selembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sosok psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil tuhan dan membunuhi pelacur.

Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku. Aku pasti sudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang pandai. Sangat pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata.

"Tahukah kau mengapa aku sedih ?" tanyanya.

"Kau hendak mencobaiku aku, Iblis?" sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu."

"Aku hanya bertanya," sahutnya "Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan"

"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit tertawa. "Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang Allah! dan tidak ada empati untuk mahluk penentang Allah"

Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis.

"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka. Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku kejahatan. Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!"

"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu adalah korban juga? Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik, korban masyarakat? Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada sedikitpun empati untuk mereka?".

Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak sang Iblis. Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia ! Busuk benar kan?

Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain atas nama hak asasi manusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi manusia lain. Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi mana mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Toh konsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsep demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campur aduk dalam tatanan hidup masyarakat mnodern sekarang ini.

Entah kapan tepatnya, di masa depan sosialisme dan komunisme mungkin malah akan bersandingan dengan theis, dan bukan dengan atheis.

Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja ! Yang bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di hadapanku ini ! Sang iblis ! Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia yang jahat. Tapi sang Iblis !

Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang pemerkosa, bandar narkoba, maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah? Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.

Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi.

"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar !" Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah.

"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang Allah. Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?"

Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.

"Aku hanya menjalankan perintah Allah." katanya perlahan. "Allah memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada Allah. Apakah itu berarti menentang Allah?"

Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya "Kalau Iblis menentang perintah Allah untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-Nya? Mengapa manusia harus membenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing personal" katanya dengan raut tidak berdosa.

Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya.

"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?"

Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis.

Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca -tanpa memahami huruf-huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.

Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B, bacalah ayat B. Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada ulama? Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti sarinya.

Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan sang Iblis.

Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan Allah? Bagaimana teknis-praktisnya? Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama Allah. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah melontarkan satu kalimat bentakan,
"Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu memutarbalikkan fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu."

Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan keimananku. Cukupkah? Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan. Perkara apakah itu akan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain soal. Yang penting harus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat, aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.

Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk menghadapi sang Iblis. Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan ketidakbenaran bukan? Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki adalah mempercayai kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan adalah benar-benar benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang ambigu. Perkara kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. toh yang kita lawan adalah sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.

Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru. Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba-tiba.

"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?"

Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku.

"Kenapa harus membenci? Ia malaikat ! Tentara Allah ! Makhluk suci yang tidak mau berpaling dari Allah. Tidak sepertimu!"

"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"

"Ia menjalankan itu atas perintah Allah! Itu tugasnya, Bodoh !" makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.

"Bukankah akupun demikian? Aku hanya menjalankan tugas." sahutnya perlahan.

"Entah apa kepercayaanmu terhadap Allah, tapi semestinya kau tahu bahwa rencana Allah yang mendudukan manusia-iblis dan malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing."

Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku --bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis tidak surut, tapi aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.

Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimanapun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.

Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi, apalagi biang segala kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong kejahatan Al Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan bertarung secara fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga menjalankan pertarunganmu.

Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor.

Jadi aku berkata perlahan saja.
"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu. Lalu apa maumu?"

Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya menggeleng-geleng perlahan.

"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja."

"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu. Apakah itu cukup bagimu?", sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku.

"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan terus menggoda manusia, atau kau akan pensiun menjadi Iblis?"

Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini. Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara yang dinilai kafir.

Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut Allah yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?"

Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia.

"Aku tidak tahu." jawabku "Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?"

"Manusia memang begitu" katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan "Kadang Iblis lebih jujur dibandingkan manusia"

"Hah...!"sergahku pendek

"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang Khalik-pun manusia masih bisa berdusta"

"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang Khalik" kataku yakin.

"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi "Tuhan, Allah, tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. Dia menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?"

Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat Allah terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are all alone.

"Allah tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir." Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba-tiba dari bibirku. Bagaimanapun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan?

"Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan"

"Atas bujukanmu tentu" sahutku pendek.

"Atas perintah Allah pula tentu", sahutnya tersenyum.

Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini.

"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan kebohongan-kebohongan di berandaku ini. Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat. Dan satu lagi" kataku dengan nada keras "Jangan coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot" kataku mengancam.

Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone, "Kata-kata manis dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil, dibandingkan kata-kata manis."

Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan mengambilnya.

"Apakah kau masih membenci aku?"

Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk Allah, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah Allah. It is just business, nothing personal"

Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas.

Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.

Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya.
"Waktunya minum obat sir", katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku.

Januari 2005 Sentaby, DBaonk
* * * *
Glossary :
the thinker = karya terkenal Auguste Rodin yang terinspirasi karya besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu masuk Museum Decoratie Arts di Paris, kabarnya menggambarkan sosok Dante sendiri sebagai seorang pemikir.
Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George Lucas Star Wars. Tokoh ini pertama kali muncul dalam episode pertama Star Wars (yang justru diciptakan setelah trilogi episode IV, V & VI)
just business - nothing personal = ungkapan dalam bahasa Inggris yang menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi melainkan hanya pekerjaan semata.
enough = cukup
prozac = obat yang biasa digunakan untuk penderita schizofrenia (penderita gangguan jiwa)

Rio Bukan Abi-Ku


“Haloo, selamat malam…”

“Ya, malam. Masak siang sih?”

“Maaf kalau saya mengganggu, bisa bicara dengan Ria?”

“Bisa… Eh, bisa nggak ya? Telepon kok jam setengah sebelas malam kayak begini, Kalau sudah tidur bagaimana? Apa nggak bisa telepon lebih sore? Ada perlu apa sih?”

“Oh, ini Ria. Sory, ‘Ri.. teleponnya agak kresek-kresek nih. Jadi suaranya nggak begitu jelas.”

“Aaah.. alasan aja. Masak sampai nggak ngenalin suaranya. Atau sudah kebanyakan kenal cewek ‘kali?”

“Yah.. jangan ngomong begitu dong ‘Ri. Bener nih.. teleponnya kresek-kresek. Sekarang Rio bukan nelepon di wartel yang biasa sih ‘Ri. Ini wartel kecil yang di pinggir jalan deket rumah Rio. Tahu kan? Yang ini bukan pake jaringan Telkom, tapi pakai Ratelindo. Jadi suaranya suka nggak beres. Kalau enggak, masak sih Rio nggak ngenalin suara pacar sendiri. Kamu kayaknya masih marah ya?”

“Marah? Memang kamu ngapain sampai mesti marah?”

“Yah… yang kemarin itu.. Rio sekali lagi minta maaf deh ‘Ri..”

“Maaf? Cowok memang gampang minta maaf, ya?”

“Bener ‘Ri.. Rio nyesel. Rio nggak bermaksud selingkuh kok? Cuma..”

“Cuma... cuma...! Selingkuh kok cuma…”

“Jangan gitu dong ‘Ri. Dari kemarin kamu nggak mau denger penjelasan Rio sih.”

“Ya coba jelaskan sekarang dong. Untuk itu ’kan kamu menelepon?”

“Rio nggak bermaksud jalan sama Natasyha. Eh.. maksudnya nggak bener-bener pengen jalan. Cuma iseng aja kok. Natasyha pengen lihat–lihat Ekalokasari, katanya belum pernah ke sana”

Tiba-tiba sesosok bayangan terlintas di benakku. Iya ya, Abi juga sudah janji mau mengajak aku ke Mall baru itu, tapi sampai sekarang belum sempat juga. Sudah berapa lama ya? Aduh.. kenapa jadi ingat Abi di saat-saat begini? Hh.. dibandingkan Rio ini, Abi sih jauh berbeda.

 “Ri..? Kok diam?”

Suara sebuah motor terdengar meraung begitu keras. Maklumlah, namanya wartel di pinggir jalan raya, pasti suara kendaraan bisa terdengar jelas. Makanya, memang lebih enak nelepon malam-malam. Lebih sepi, walau kadang-kadang masih terdengar juga suara motor yang ngebut seperti barusan.

“Yah.. pokoknya gitu deh ‘Ri. Rio kebetulan ingin nyari buku. Sebelumnya sudah Rio cari di Gramedia Pajajaran, tapi nggak ada. Lalu Rio ingin nyari di Gramedia Eklok, jadi Rio pergi bareng Natasyha.”

“Buku? buku apa?”

“Emh.. sebenernya Rio pengen jadi kejutan. Tapi, Ria keburu marah sih. Rio cari buku itu untuk kamu ‘Ri. Rio tahu kamu pasti suka. Kamu pengen punya Eragon kan?”

“Hah? Buku baru itu? Yang katanya bakal jadi saingan Harry Potter? Yang katanya ditulis waktu penulisnya baru berusia lima belas tahun? Aduhh… pengen banget nih…”

“Nah… gitu dong ‘Ri. Jangan marah terus. Rio seneeeng banget, kalo denger suara kamu yang manja kayak barusan.”

“Ala.., ngerayu. Paling bisa.”

Tapi tidak tertahan mendengar kata Eragon, bayangan Abi kembali menyergap. Abi suka banget dengan Lord Of The Ring-nya JJR Tolkien. Novel ini jadi tambah ngetop sejak difilmkan oleh Hollywood. Tapi Abi sudah suka jauh sebelum filmnya dibuat. Dia membaca edisi bahasa Inggrisnya, yang dibelikan seorang pamannya yang berada di Singapura. Kalau aku sendiri sih, tadinya lebih suka Harry Potter. Tapi sejak berbarengan dengan film-nya, edisi bahasa Indonesianya LOTR diterbitkan, Abi membelikan khusus untukku. Aku jadi berkenalan dan jatuh cinta juga dengan kisah petualangan Frodo Baggins dan kawan-kawannya. Katanya Eragon ini ceritanya mirip-mirip dengan LOTR, Aduh.. kapan sih Abi pulang?

Suara Rio kembali menyadarkanku. Entah sudah ngomong apa dia tadi. Memikirkan Abi membuatku kehilangan konsentrasi.

“Ri.. jangan marah lagi ya. Pokoknya percaya deh, Rio nggak akan selingkuh dengan Nathasya. Apalagi Nathasya kan temen baik kamu. Masak Rio tega sih, menghancurkan persahabatan kamu sama dia?”

“Rio… Rio. Kamu jarang baca koran ya. Nggak pernah main Internet? Justru lebih banyak perselingkuhan terjadi dengan orang terdekat. Kalau memang nggak ada apa-apanya sama Nathasya, kenapa baru ngasih tahu sekarang? Kenapa enggak ngasih tahu waktu kamu pergi? Nggak sempet nelepon?”

Suara Rio terdengar gugup.

“Eng.. ‘Ri. Rio mohon.. mohooon banget Ria mau percaya. Abis itu Rio memang nonton sama Nathasya. tapi itu bukan kencan Ri.. bukan apa-apa. Rio nggak ngapa-ngapain kok sama dia. Nggak seperti sama kamu Ri. Nggak akan Rio mau kissing cewek lain selain kamu.”

Hmm.. Kubilang juga apa. Abi jauh berbeda sama kamu Rio. Abi tidak pernah berniat menyentuhku sedikitpun. Itu yang membuatku merasa aman. Hubungan kami masih berjalan sesuai dengan akidah-akidah agama. Yah.. memang kalau untuk aturan yang bilang dilarang bepergian sama cowok yang belum menjadi muhrimnya berdua-duaan, Aku dan Abi masih melakukan juga. Tapi Abi sangat ketat menjaga perilakunya. Kalau duduk di angkot-pun, Abi tidak pernah duduk sejajar denganku. Seperti menjaga agar tidak harus bersentuhan terlalu banyak, Abi selalu memilih duduk di depanku. Atau seringpula ia menyuruh aku duduk di bangku depan, di samping supir angkot. Lebih aman katanya.

Ah.. sosok Abi kembali terbayang begitu kuat di benakku. Abi tampan, dengan jenggotnya yang tidak terlalu lebat, ia tampak sangat dewasa. Dan itu bukan cuma hiasan. Abi benar-benar cowok yang jarang ditemukan sekarang ini. Dia sopan, taat beragama. Hubungan kamipun bukan pacaran dalam arti pacaran seperti banyak remaja lainnya. Abi tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta.. atau semacam itu.

Tapi aku tahu kalau ia menyayangiku. Itu ditunjukkan lewat perbuatannya. Ia selalu siap membimbing, kalau aku sedang bete. Tapi juga nggak pernah ngasih nasihat yang muluk-muluk. Kata-katanya selalu terdengar pas. Abi.. Abi.. kalau kubilang kangen, dia pasti tersenyum. Tapi senyumnya penuh dengan nada peringatan, yang membuatku sadar kalau belum boleh dan belum perlu mengatakan hal-hal yang kayak gitu.

“Ria..”

Suara Rio kembali membuatku tersadar. Hihi.. kenapa ingat Abi terus sih?

“Ria sudah mengerti kan? Nggak marah lagi kan?”

Kalau saja aku bisa mengatakan terus terang pada si Rio ini.

“Maaf Rio, kamu cuma mengingatkanku pada Abi saja. Terus terang dari tadi aku jadi tidak menyimak kata-kata kamu.” Padahal aku di sini ingin mendengarkan setiap kata yang keluar. Ingin mencatat semua kata yang terucap dalam percakapan ini.

Enaknya cowok macam Rio ini diapakan ya? Dimaafkan? Banyak banget sekarang cowok-cowok yang gampang selingkuh kanan-kiri. Tapi cewek juga banyak ya.. hihihi.. Jadi pengen ketawa sendiri. Mungkin ini jaman emansipasi. Kalau cowok boleh selingkuh, cewek juga boleh dong. Ah, kayaknya sih yang paling bener.. seperti yang dibilang Abi, “Kalau pertemanan antara cowok dan cewek seperti ini, harus meningkat menjadi ikatan yang lebih kekal, biarlah itu terjadi nanti di saat kita sama-sama siap. Siap menanggung beban yang datang dari diri pasangan yang kita cintai. Karena beban itu sama sekali tidak mudah seperti kelihatannya. Saat ikatan itu tercipta, pada hakekatnya dua orang yang terpisah, tetapi telah menjadi satu kesatuan.” Kalau saja Rio berpikiran seperti Abi.. Hhh.. nggak mungkin selingkuh kan?

Ah.. Abi melulu yang ada di pikiranku. Rio jadi nggak kedengeran lagi suaranya. Ngomong apa ya dia tadi? Lebih baik memusatkan perhatian sama omongan Rio. Kalau tidak, percuma saja aku ada di sini. Lebih baik tidur.

“Ria.. masak kamu nggak percaya sih sama Rio? Terserah deh Ri.. Rio cuma sayang sama kamu. Nggak sama yang lain. Kamu mesti percaya ‘Ri”

Kenapa? kenapa harus percaya sama kamu Rio? Kenapa harus percaya dengan cowok yang selingkuh dengan sahabat pacarnya sendiri?

“Ria !”

Suara Rio yang agak keras terdengar lebih jelas.

“Rio nggak selingkuh. Masak jalan-jalan dan nonton aja kamu anggap selingkuh? Kamu nggak adil dong ‘Ri.”

“Nggak adil? Begitu ya? Adilkah kamu ketika berbuat begitu Rio? Adilkah kamu terhadap perasaan cewek yang jadi pacarmu? Memang kamu tahu isi hati cewek, Rio? Nggak! Kenapa? Karena kamu cowok. Dan bukan itu saja, kamu cowok yang jahat!”

“Ri.. maafkan Rio. Rio minta maaf. Rio janji nggak akan kejadian seperti itu lagi.”

Aku jadi ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi kutahan. Nggak lucu juga kalau Rio sampai mendengar suara tawaku. Konsentrasinya bisa buyar, dan aku kehilangan momen yang penting ini.

Dari balik bayangan kaca, kulihat jam di dinding. Wah.. tak terasa percakapan ini sudah lebih dari lima belas menit. Berarti sudah sangat larut malam. Mesti cepet-cepet tidur nih, kalau nggak aku besok bisa terlambat mengikuti kuliah jam pertama di kampus. Semoga percakapan ini cepat berakhir. Biar cepet sih, mestinya si Rio ini dimaafkan saja.

“Bener Ri? Bener kamu mau maafin Rio?”

“Hh… kalau sudah dimaafkan, lalu besok begitu lagi ya?”

“Ya enggak dong Ri.. Janji Ri. Itu pertama dan terakhir Rio nyoba-nyoba jalan sama cewek lain selain kamu. Nggak akan pernah lagi. Aduh… makasih banyak ya Ri. Rio jadi lega sekarang. Ya udah ya.. ini udah malam nih. Selamat malam ya sayang, cepet bobo biar besok nggak terlambat ke sekolah.”

Terdengar bunyi telepon diletakkan.

Lalu diam sebentar, dan samar-samar terdengar suara tombol telepon dipencet.

“Halooo, Nathasya ada.. ? Eh, say… lama ya nunggu..”

Dasar! Memang cowok brengsek rupanya.

* * *
Aku membereskan kertas-kertas yang kugunakan untuk mencatat kata-kata Rio dan jawaban-jawabanku tadi, lalu bergegas keluar dari bilik wartel yang kecil itu. Jadi ingin tahu seperti apa sih tampang cowok Rio ini? Sambil berjalan ke meja operator wartel, sekilas aku menoleh ke bilik telepon di samping bilik tempatku tadi.

Rio kelihatan masih menelepon Natasyha dengan asyik. Telepon di telinganya dijepit dengan bahu, sementara tangannya terlihat mempermainkan sebuah kunci. Kunci motornya mungkin. Dari balik pintu kaca wartel ini kelihatan sebuah motor Suzuki dengan gaya dimodifikasi abis, diparkir agak di samping pintu.

“Sudah selesai ‘Dut? Dapet bahan bagus?” Bobby, penjaga yang merangkap jadi operator wartel malam itu bertanya sambil masih mengunyah martabak yang tadi kubawakan untuknya. Bobby satu-satunya penjaga wartel itu yang mau mentolerir apa yang kulakukan di wartelnya. Karena rumah kami saling bersebelahan di seberang wartel ini, ia cukup akrab denganku hingga lebih sering menyapaku dengan panggilan ‘Idut’ dibanding Maulida, namaku yang sebenarnya.

“Lumayan, Bob.. bisa jadi bahan cerpen bagus nih. Martabaknya udah abis?”

“Hehehe… tinggal dikit nih. Lagian, ini kan sogokan buat gue.. hehehe..” Ia tertawa lagi, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan lebih perlahan.

“Lu tuh ya, iseng banget nguping pembicaraan orang cuma buat nyari bahan cerpen. Yang ini kayaknya pasti jadi cerita pacaran yah? Kalo udah jadi, kasih liat gue ya..”

Aku mengangguk.

“Ceritanya sih belum tahu Bob, cuma judulnya sih udah kebayang”

“Apaan?”

Tersenyum kecil, aku menjawab mantap.

“Rio bukan Abi-ku”

Sentaby, DBaonk, Agustus 2004

Aku, Sahabat, dan Penjahat


2 Agustus 2009, Rajian S R, Kelas XII SMAN Plus, Provinsi Riau

Kevin Danubrata melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki taman kota. Matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya yang pasti menunjukkan dia sudah mengenal taman ini dengan baik. Tanpa tergesa-gesa dia  menuju salah satu bangku yang terdapat di bawah pohon. Bangku itu menghadap ke air mancur yang banyak terdapat di taman itu. Di bangku itu telah duduk seorang wanita. Wanita itu berkulit putih, berambut hitam panjang, dan cantik.
“Hai, Arya. Sudah nunggu lama?” sapa Kevin tenang.
“Duduklah,” balas si wanita tanpa menatap Kevin sama sekali. Matanya menatap kosong dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Alis Kevin naik. Tidak biasanya Arya bersikap seperti ini. Namun dia pun duduk di bangku itu. Setelah duduk, Kevin tidak berkata apapun. Dia berpikir sejenak. Setelah makan siang tadi, dia menerima pesan singkat dari Arya yang memintanya datang ke sini. Maka dia datang tanpa bertanya-tanya.
Kevin merenungkan sikap Arya. Arya adalah sosok yang terkenal di kampus. Ia dikenal karena pikirannya yang cerdas, wajahnya yang cantik, dan sikapnya yang ramah. Keramahan yang tenang, tulus, dan alami. Namun ada kalanya dia bersikap dingin dan kurang bersahabat, seperti sekarang ini. Sikap yang jarang sekali ditunjukkan Arya.
Beberapa menit berlalu. Arya masih diselimuti kebungkaman yang aneh. Kevin pun tidak berniat mengusiknya. Dia tahu, Arya akan bicara pada saatnya. Dia dan Arya sudah lama bersahabat hingga cukup tahu tabiat masing-masing. Lagi pula Kevin sedang menikmati suasana tempat ini. Taman itu diselimuti cahaya senja yang berpendar, dan suasananya damai. Kevin selalu menyukai keheningan yang damai. Kala semilir angin menerpanya, ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu.
Kala itu Kevin sedang berkeliaran di sebuah toko buku besar di Bandung. Alasannya adalah untuk mencari sebuah novel terkenal. Novel yang telah terbit beberapa waktu lalu, dan dengan cepat digemari. Kevin sangat ingin membeli novel itu. Selain memang hobi membaca, Kevin juga seorang penulis. Sudah sering cerpennya diterbitkan di majalah-majalah dan koran terkenal. Dan bulan lalu novel pertamanya terbit. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Maka sejak itu Kevin makin rajin mengikuti perkembangan dunia tulis-menulis. Karena kesibukannya, Kevin baru  bisa menyempatkan diri membelinya sekarang. Setelah mencari sebentar, matanya menemukan novel itu. Hanya tersisa satu. Saat akan mengambil novel itu, tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Kevin menoleh. Ternyata seorang wanita. Dan cantik pula. Wanita itu diam saja. Namun dari sikapnya tadi sudah jelas apa yang diinginkannya. Maka dengan sikap ksatria Kevin mengisyaratkan pada wanita itu untuk memiliki novel itu. Biarlah, pikirnya. Masih ada tempat lain.
Kala Kevin hendak beranjak, wanita itu menahannya. Tampaknya dia terkesan dengan sikap Kevin. Wanita itu pun memperkenalkan dirinya. Namanya Arya, dipanggil Arya. Kevin lalu memperkenalkan dirinya juga. Dan dilanjutkan dengan obrolan beberapa lama. Ternyata mereka memiliki hobi yang sama, meminati sastra. Dan juga satu hal lagi, ternyata mereka mahasiswa dari fakultas dan kampus yang sama.
Setelah pertemuan itu, mereka tetap berhubungan. Sampai sekarang Kevin masih heran dengan pertemuan itu. Walau berwajah tampan dan berbakat menulis serta bermusik, Kevin tidak mudah mengawali perkenalan. Dia suka berteman, tapi dia juga suka ketenangan. Agar mudah dapat inspirasi, pikirnya. Mungkin ini disebabkan sikap Arya yang ramah dan supel. Kevin pun tidak keberatan. Baginya Arya adalah sahabat. Selain karena mereka memiliki hobi yang sama, ini juga disebabkan karena sikap Arya yang ramah itu. Arya juga cerdas, sehingga dapat memahami cara berpikir Kevin yang menyukai ketenangan. Maka begitulah mereka adanya. Dua sahabat, tidak kurang, tidak lebih. Mereka merasa puas dengan sebutan itu, sahabat. Tempat sebagian diri kita tertambat.
Tiba-tiba, sebuah sengatan kecil di lengannya membuyarkan lamunan Kevin dan menyeretnya kembali ke realita. Ternyata nyamuk. Sial, gerutu Kevin.
“Kevin,” akhirnya Arya memecah keheningan yang dibangunnya sendiri.
“Ah…akhirnya. Ada apa, Arya?” tanya Kevin dengan tenang.
“Kenapa?” Arya bertanya dengan nada yang dingin dan kosong.
“Maksudnya?” Kevin masih tidak mengerti.
 “Kamis malam seminggu yang lalu, ruang kosong di kampus, pukul 11 malam.” hanya itu balasan Arya.
Kevin langsung tercekat. Kata-kata Arya bagai petir di siang bolong. Sesaat ia merasa jantungnya berhenti berdetak dan darah menguap dari tubuhnya. Jiwanya terguncang. Mati-matian ia mengendalikan tubuhnya yang gemetar. Jadi, Arya tahu. Setelah susah-payah menenangkan diri, dia meyusun kata-katanya.
“Bagaimana…kamu bisa tahu?” tanya Kevin.
“Karena saat itu aku ada di sana.” jawab Arya.
Jawaban itu memukul Kevin dengan telak untuk kedua kalinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.  Maka dia terdiam. Arya pun terdiam. Keduanya terdiam. Pikiran Arya pun melayang dituntun kesunyian. Dibimbing oleh ingatan, ke malam itu. Malam yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya.
Kala itu Arya tinggal agak lama di kampus untuk mencari materi untuk tugasnya. Setelah selesai, dia pun bermaksud pulang. Saat sedang menyusuri koridor kampus yang lumayan gelap, dia mendengar suara-suara dari ruang di tikungan di depannya. Siapa yang bicara di kampus pada jam selarut ini, pikirnya. Arya lalu memperlambat langkahnya. Dia berhenti di tikungan sebelum pintu ruangan tempat suara itu berasal. Dia mendengarkan dengan seksama. Ada dua orang. Suara yang satunya tenang, dan yang lainnya kasar dan keras.
Arya mengenali salah satu suara itu. Kevin? pikirnya. Dia heran. Namun dia memilih tetap mendengarkan. Dia tercekat mengetahui isi pembicaraan itu. Makin lama pembicaraan makin panas. Suara yang  keras itu makin lama makin kasar. Namun tiba-tiba hening beberapa lama, dan disusul bunyi yang keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan seseorang melangkah ke luar ke arah berlawanan, berlalu tanpa menyadari kehadiran Arya. Arya tidak dapat berpikir jernih. Kakinya gemetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, ia melesat meninggalkan tempat itu, masuk ke mobilnya, dan segera pulang.
Esoknya, kampus pun gempar. Di ruang kosong itu ditemukan mayat Steve, mahasiswa di kampus itu juga. Bersama sepucuk pistol. Dan yang lebih menghebohkan, di sekitar mayat Steve berserakan berbagai bukti. Bukti tentang pengedaran narkoba. Ternyata Steve adalah pengedar di lingkungan kampus. Selain itu terdapat juga daftar nama anggota Steve, jalur pengedarannya, foto-foto transaksi, dan masih banyak lagi.
Keesokan harinya, berita itu muncul di halaman depan berbagai surat kabar. Jaringan pengedar di kampus dibekuk. Ternyata jaringan itu luas dan melibatkan beberapa aparat kepolisian. Itulah sebabnya komplotan ini bisa melebarkan sayapnya dalam kerahasiaan tanpa tercium sedikitpun. Kecuali bagi Kevin, pikir Arya.
Selama seminggu, Arya gelisah. Dia menjadi saksi dari sebuah pembunuhan. Dan pembunuh itu adalah sahabatnya. Namun korban adalah penjahat. Sampah masyarakat. Terjebak dalam dilema, Arya akhirnya mengambil tindakan. Dia harus mendapat kebenaran itu dari mulut Kevin sendiri.
“Kevin…ceritakan padaku apa yang terjadi malam itu, sekali lagi.” perintah Arya.
“Baiklah, Arya…” desah Kevin. “Malam itu aku memanggil Steve dengan membawa bukti, memaksanya menyerahkan diri ke polisi.”
“Apa kau sudah gila? Kau bisa dibunuhnya.”
“Tidak akan. Aku bilang padanya, jika aku mati, esoknya salinan bukti-bukti itu akan menghiasi media.”
“Dari mana kau dapatkan bukti-bukti itu?”
“Aku punya naluri yang tajam. Karena curiga pada Steve, kuselidiki dia berminggu-minggu.”
“Lalu? Apa yang terjadi?”
“Dia mengancamku dengan pistol untuk menyerahkan bukti. Dia tidak percaya akan ancamanku.”
“Apa? Steve…” Arya tak mampu melanjutkan.
“Aku terdesak. Nyawaku terancam. Sesaat Steve lengah, dan kuhantamkan pipa besi ke lehernya. Aku hanya bermaksud membuatnya pingsan. Ternyata dia mati.”
“Jadi…keheningan itu…”
“Saat Steve menodongku dengan pistolnya.”
“Dan suara keras itu…” Arya akhirnya mengerti.
“Kenapa polisi tidak menangkapmu?” Pertanyaan ini terus menghantui Arya.
Steve menjawab dengan suara bergetar. “Karena aku berhati-hati. Aku sudah menghapus sidik jariku yang ada di bukti-bukti itu sebelum bertemu Steve. Dan pertemuan itu rahasia. Ternyata Steve terbunuh. Aku panik. Sebelum keluar, kuhapus sidik jariku yang ada di pipa besi dan pegangan pintu.”
“Tanpa menyadari bahwa aku ada di balik tikungan…” balas Arya. “Jadi itu sebabnya…” dan Kevin pun tertunduk. Arya pun terdiam.
Walau begitu, dia heran dengan tindakan Kevin. Menyelidiki Steve. Mengancamnya. Mungkin karena dia penulis dan banyak membaca, pikir Arya. Sampai di sini dia masih mengerti. Namun, menghapus bukti setelah membunuh. Dia merasa tak lagi mengenal sahabatnya. Dan masih ada satu pertanyaan, walau dia sudah tahu jawabannya.
“Kenapa kamu tidak meyerahkan diri?”
“Itu kecelakaan. Sepenuhnya pembelaan diri. Dan Steve sampah masyarakat. Dia pantas mati.”Arya tercekat mendengar kalimat terakhir itu.
“Itukah jawabanmu?”
“Itulah kebenaran, Arya.”
“Kebenaran? Apa maksudmu?”
“Kebenaran…adalah apa yang ingin didengar oleh masing-masing orang.” Arya terdiam.
“Lihat faktanya, Arya. Masyarakat tak peduli apakah pembunuh Steve tertangkap atau tidak. Mereka justru bahagia. Seorang perusak generasi muda mati, walau ini bukan keinginanku pada awalnya. Kampus kita pun jadi sedikit lebih baik. Inilah…kenyataannya.”
Jauh di bagian terdalam hati dan logikanya, dia mengakui Kevin benar.
“Lalu, bagaimana denganku? Aku mengetahui kebenarannya.”
Kevin diam saja. Dia dan Arya sudah tahu jawabannya. Kevin tidak akan pernah mengusik Arya. Arya sahabatnya. Dan Arya pun mengerti. Dia tak bisa melaporkan Kevin. Kevin tak berniat membunuh. Dan jaringan pengedar itu sudah terungkap. Melaporkan Kevin hanya akan membahayakan nyawanya. Kevin sahabatnya.
Mereka sudah lama bersahabat. Saat itu mereka bisa mengetahui pikiran masing-masing tanpa bicara. Keheningan yang menggantung telah menjawab segalanya. Dan mereka pun tahu, karena kejadian ini, persahabatan mereka akan berubah. Entah berakhir atau berlanjut, yang pasti tak akan pernah sama lagi.
Malam mulai menyelimuti mereka. Dengan tenang, Arya berdiri dan beranjak, meninggalkan Kevin di sana. Di bangku itu. Bernaungkan malam berteman sunyi sepi dingin tak terperi. Pada malam itu bintang, pohon, air mancur, bangku, dan semua yang ada di taman itu menjadi saksi. Saksi akan kesunyian. Kesunyian  yang menyesakkan seorang Kevin Danubrata.

Angin Mengabarkan


Malam itu Lila gelisah tak menentu. Matanya sulit terpejam,sesaat ia terbangun dari tempat tidurnya dan duduk di dekat jendela kamarnya. Angin malam yang begitu menusuk tidak di hiraukan oleh Lila. Matanya terus memandangi pemandangan malam yang nan jauh d puncak-puncak gunung. Cianjur memang memberi ketenangan pada Lila untuk melupakan semua yang terjadi saat dia di Jakarta. Namun entah mengapa bayangan itu mengusik lagi. Padahal ia telah membuangnya jauh-jauh, bayangan tentang Hendro yang telah menyakiti hatinya. Segurat sesal telah menoreh hatinya. Harusnya Lila tidak usah mengenal dan tahu siapa POLISI yang berpangkat BRIPDA NRP 87090209 Sat. SAMAPTA itu. Namun nasi sudah menjadi bubur, semua tidak bisa di ulang lagi. Dan malam itu Lila benar-benar merindukan Hendro. Merindukan tawanya, suaranya, juga wajahnya yang telah menyakitinya. Benarkah demikian? Dan sebuah suara membuyarkan lamunan Lila yang tengah duduk menghadap utara. Dimana terdapat di sana terdapat puncak-puncak gunung yang hijau. 
"Belum tidur, kak?" Suara Alfa langsung menyeruak telinga Lila dan merambatkannya ke mulut untuk segera menjawab.  "Belum,Fa.Kamu sendiri kenapa belum tidur?"  "Aku nggak sabar pingin cepat balik ke Jakarta.Di sini dingin.Kak Lila betah ya,di sini?"  Lila hanya menyungging senyum.Tidak tahu mau menjawab apa.Yang jelas,Jakarta telah membuatnya trauma dengan kejadian itu.  Vony kekasih Hendro yang baru di kenalnya itu membuatnya malas untuk kembali ke Jakarta.Sekian lama Lila pacaran dengan Hendro,ia tidak pernah tahu kalau Hendro telah di jodohkan oleh kedua orang tuanya dengan Vony.Guru di salah satu SMA di Jakarta.Yang menyakitkan,Hendro pura-pura tidak mengenal Lila saat ia bertemu dengannya.Saat itu Vony beraa di dekatnya.Merangkul tangannya dan berlaku manja.Baru pada esok harinya,saat Lila berangkat menuju ke kampus,Hendro mencoba mengatakan yang sebenarnya terjadi.Bahwa Hendro tidak mencintai gadis yang bernama Vony.Namun Lila menganggap itu hanya sebuah pembelaan dari Hendro."Kamu harus percaya aku ,La...."Kata Hendro mencoba menahan langkah Lila.Namun Lila tetap acuh tak acuh.  "Udahlah Hen,nggak ada yang salah.Aku tahu kamu cuma main-main sama aku.Karena aku anak kuliahan.Sedangkan Vony,dia sudah mapan,sudah punya pekerjaan,cantik pula.Pilihn orng tua kamu.Jadi untuk apa kamu masih memperulikan aku?Bukannya kemarin kamu nggak kenal sama aku?Lupakan aku,Hen.Ingat dengan gelar POLISI yang kamu sandang."  "Aku nggak suka kamu ngomongin gelar dan kedudukan ,La.Sekarang ini aku mau jelasin tentang perasaanku pada Vony."  "Udahlah,Hen.Apa lagi yang kamu permasalahkan?Orang tua kamu setuju dengan keadaan kamu sekarang.No problemkan?"  "Itu nggak sertih yang kamu lihat,La."  "Tolong jangan halangi jalanku,Hen.Aku sedang buru-buru."  Dengan perasaan tak menetu,Hendro melepaskan tangan Lila dan membiarkannya berlalu dari hadapannya.Hendro memang mencintai Vony,namun tak seindah dia mencintai Llila.                                        ******  Lila membantu Alfa mengemasi barang-barang yang akan di bawanya ke Jakarta.Keputusan Alfa memang sudah bulat,besok ia akan meninggalkan kakaknya sendirian di Cianjur.Bukan karna Alfa tidak sayang,tapi kakaknya butuh ketenangan untuk sendiri.Sampai kapa?Alfa sendiri tidak tahu.  "Kakak yakin nggak pa-pa di sini sendirian?"Tanya Alfa menyakinkan.
  "Nggak pa-pa,kok.lagian apa yang kamu khawatirkan?Bukannya udah biasa kakak sendiri?"
  "Kak.......Bukannya mau membuka luka kakak,ya.....tapi...mau sampai kapan kakak di sini?Hendro bukan org yang harus di hindari,kak.Kakak nggak seharusnya sembunyi sepertih ini."
  "Ada saatnya kakak kembali ke Jakarta ,Fa.kamu istirahat ya...


  Malam setelah keberangkatan Alfa ke Jakarta,Lila kembali tidak tenang.Kabut yang  turun menambah temperatur suhu di tempat itu semakin dingin.Lila membuka kotak jam tangan pemberian Hendro dulu.Barang-barang itu belum sempat di kembalikan,termasuk kaca mata minus yang sekarang di musiumkan bersama jam tangan itu.Dan kini jam tangan itu telah di ganti dengan jam tangan pemberian Doni.Anak Fakultas Hukum.Dan entah mengapa malam ini,Lila merindukan kembali sosok itu.lila merasa seolah-olah Hendro akan datng kembali untuknya.
  Lila melangkahkan kakinya menuju balkon.ia berdiri menantang dingin malam.Dan angin berhembus begitu lembut membelai.Selembut belaian tangan Hendro yang kerap kali bertemu selalu membelai kepala dan wajahnya.Dan malam ini Lila ingin smuanya terulang kembali."Hhhhhhhhh!!!"Lila membuang nafas.Seolah-olah ingin membuang sesuatu yang mengganjal di hatinya.
                                      ********
  Siang itu Lila gelisah tak menentu.setelah kejadian malam itu ia merasa di hantui kehadiran Hendro.Dan siang ini Lila sepertih ada yang menggerakkan untuk berbenah-benah rumah.Untuk apa?Lila sendiri tidak tahu.
  Mulai dari kamr atas,sampai ruang tamu di bersihkan semua.Dan di kerjakan oleh Lila seorang diri.Setelah selesai berbena,Lila mandi.agar debu-debu yang berasal dari lantai dan hiasan rumah yang menempel tidak melekat lagi di tubuhnya.
  Selesai mandi Lila duduk smabil membaca tabloid.Tv sengaja di nyalakan agar ruangan tidak sepi.
  "Tingtong........"
  Suara bel rumah mengejutkannya.kepalanya di dongakkan sambil berfikir,"siapa yang datang?nggak mungkin Alfa kembali lagi."Gumamnya dalam hati.Dengan langkah enggan ia melangkahkan kakinya menuju pintu.Dan saat pintu dibuka,Lila terkejut melihat siapa yang datang."Hendro...."Desahnya pelan.Matanya terus memandangi wajah yang tadi malam di rindukannya.Dan entah mengapa kebencian itu muncul lagi.Padahal dari tadi malam ia sangat merindukannya.
  "Ternyata benar kamu di si ,La."Suara Hendro masih sepertih dulu.Lembut,berwibawa.Dan saat Hendro berujar,kebencian itu lenyap seketika.Ingin rasanya Lila lebih dulu memeluk Hendro yang ada di hadapannya.
   "Kamu baik-baik aja,kan?"Henro meraih Lila ke dalam pelukkannya.Di sandarkannya kepala Lila ke dadanya yang bidang.Dulu Hendro sering memperlakukan Lila sepertih itu,sebelum Vony merusaknya.
  "Kamu jahat,Hen.kenapa kamu ninggalin aku?"Protesnya dalam pelukkan Hendro.
  "Maafin aku,La.Tapi harusnya dulu kamu percaya sama aku,kalau aku nggak mencintai Vony.aku hanya sayang sama kamu.Aku hanya pura-pura La,aku nggak bisa jadi nak durhaka,La."
   "Lalu bagai mana dengan Vony?Apa dia tahu kamu ke sini?"Lila melepaskan pelukkan Hendro.
  "Orang tua Vony nggak setuju saat aku cerita aku terpaksa mencintai Vony karna orang tuaku.Dan ayah pun akhirnya menyuruhku untuk menyusul kamu ,La."
Lila kembali memeluk Hendro.Ia tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kembali cinta Hendro.
  "Lalu dari mana kamu tau aku di sini?"
  "Alfa yang memberi tahuku.Dan sopirmu yang mengantarkan ku kemari.Aku sayang kamu,La...."
Hendro mengecup dahi Lila dengan penuh kerinduan.
  "Hen........"Lila berujar dalam pelukan Hendro."Aku prnah mimpi kalau kamu menikah dengan Vony.Dan kalian meminta aku untuk memberi ucapan selamat untuk kalian.....Aku cemburu,Hen....."
  Hendro tersenyum,"Aku hanya akan menikah dengan kamu,La.Karna aku sudah berjanji pada almarhum nenekku,kalau aku hanya akan menikah dengan orang yang wajahnya mirip dengannya."
  "Jadi aku mirip nenekmu?"
  "Hehehehehehe.....dikit kok....."
  "UHg....."Lila mencubit pinggang Hendro."Jahat!!!"
  "Aku serius,La.....Aku sayang sama kamu."

  Siang itu.......Lila merasakan hembusan angin yang lembut.Seolah-olah mengabarkan kebahagian tentang Lila ke seluruh penjuru dunia.Hendro datang dalam waktu yang ia inginkan.Dan ia datang bukan kembali membuka lukanya,tapi menjemputnya sebagai permaisuri hatinya.
  Wahai angin terimakasih,kau berikan aku kabar baik hari ini.Terimakasih Tuhan,Kau kembalikan dia padaku lagi.......
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini : Share/Save/Bookmark

Buang Rahim

10 Mei 2009 2.078 views 2 Comments
Kamu tahu gak siapa aku? Entahlah, aku juga tidak tahu siapa diriku. Aku heran kenapa aku masih bisa berjalan di muka bumi yang penuh cinta ini, binatang saja seperti kucing, anjing, beruang bahkan singa sekalipun sayang pada anaknya, tapi kenapa aku tiada merasakan itu, ke manakah rasa cinta yang ada dalam hatiku. Ahhh…… cinta sepertinya tidak mau singgah kepadaku, tak ada kudapati rasa cinta di dalam ruang sempit itu.
Entahlah sepertinya cinta melarikan diri dariku, malah sekarang aku hanyut dalam kekosongan, cinta membenciku, menaruh dendam padaku, cinta tak dapat kuraih lagi, cinta telah melupakanku, memasukkanku ke ruang hampa tanpa cahaya, entahlah apakah aku membutuhkan cinta esok hari setelah beberapa lama cinta mengabaikanku.
Aku berselimutkan darah hingga ke pinggang. Pekikku tak tertahankan melihat bagian dalam tubuhku terburai hingga memutuskan tali ketakutan yang selama ini kusimpan. Kenapa aku tak merasakan kebahagiaan seperti ibu-ibu lain? Rasa kepedihan yang telah mereka lalui terhapus dengan wajah mungil yang sedang berselimut dalam selembar kain panjang di samping mereka. Kenapa aku tak merasakan itu, malah rasa benci bersemayam dalam hatiku? Aku benci dengan tagisan bayi, apalagi bayi yang tidak kuharapkan.
Aku masih merasakan perih dalam kelumpuhan, perih yang sangat mendalam. Aku masih terpikir apakah aku layak mendapatkan penderitaan ini. Pantaskah aku berkorban sebesar ini hanya demi seorang lelaki yang tak patut dikenang. Perih masih menusuk-nusuk perutku, dokter dan perawat berdatangan, mereka hanya sibuk memberiku obat namun tak  menghentikan sakitku.
Aku ingin secepatnya keluar dari penderitaan ini. Berlari, belanja ke mall, ke salon, naik mobil, dan memanjakan tubuh dalam kelembutan spa. Bukannya takdir seperti ini, menjadi seseorang Ibu yang tak berarti. Ini semua gara-gara Toni lelaki sialan yang telah membawaku ke jurang kehancuran. Karena rayuannya aku terjerumus ke lembah nista, aku terusir dari keluarga yang selama ini memanjakanku, memberikan semua apa yang kumau. Namun kini aku berkubang dalam kemelaratan. Toni meninggalkanku setelah semuanya terjadi. Aku mengandung, namun Toni tidak mau bertanggung jawab.
“Maaf dinda, aku harus pergi, orang tuaku ingin aku melanjutkan kuliahku ke Jerman. Mungkin setelah itu kita akan bersama.”
“Tapi…Ton, kandunganku?”
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana lagi, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan kuliahku. Tunggulah hanya beberapa tahun.”
“Aku tak mungkin menunggumu selama itu, bayi ini akan lahir secepatnya. Bagaimana aku menjelaskan hal ini kepada keluargaku?”
“Itu hanya soal waktu, lama kelamaan mereka juga akan mengerti.”
“Dasar kau, lelaki tak bertanggung jawab!”
“Eh….!! Aku bukan tidak bertanggung jawab. Aku sayang kamu dan juga anak kita. Tapi aku butuh  waktu untuk menerima kenyataan ini.”
“Itu sama saja dengan kau lari dari tanggung jawab!”
“Sudahlah, jika kau mau menungguku, tunggulah. Namun, aku berharap jangan kau ganggu aku, aku ingin fokus pada pendidikanku. Aku harap jangan menghubungiku. Aku ingin hidup tenang.”
Kini aku harus menanggung nasib malang ini sendirian, Toni seenaknya di luar negeri sedang aku menjalani hidup penuh penderitaan. Jika mengingat Toni, kebencian semakin dalam tumbuh di hatiku, kebencian pada Toni dan juga anaknya. Aku tak mau menyayanginya, apalagi memberinya nama.
***
Sore ini aku akan mengantarkan bayiku ke panti asuhan, meninggalkannya di depan pintu, seperti yang sering kulihat di televisi. Hanya ini cara yang ampuh untuk melupakan Toni. Aku tidak akan merasakan sesal sedikitpun, sebab aku memang menginginkan bayi ini hilang dari kehidupanku.
Rencanaku berjalan dengan lancar, sore itu aku sudah berada di depan panti namun orang-orang masih ramai, aku menunggu hingga larut. Kutinggalkan bayiku dalam balutan kain panjang yang sudah seminggu tidak kucuci.
***
Sebulan sudah berlalu, entah kenapa ada rasa rindu yang mendalam terpendam dalam hatiku. Tiap malam, bayangan anakku selalu datang menghantuiku.
“Engkau bukan manusia wahai, Ibu! Sebaiknya kau buang saja rahimmu, biar tidak ada lagi bayi yang menderita seperti diriku ini.”
Suara itu terngiang-ngiang menghantui hari-hariku. Ada perasaan bersalah, kenapa aku sekejam itu kepada anakku. Kenapa aku tega, padahal dia tidak bersalah. Dia hanya korban dari buah cinta kami yang sesat. Mengapa aku berbuat seperti itu, bayi mungil yang tidak berdosa, bayi suciku.
Hari itu, aku tak tahu, dorongan apa yang telah mengantarkanku ke depan pintu panti. Aku memberanikan diri menemui kepala panti dan menanyakan kabar anakku. Namun, Ibu itu tidak bisa melacak keberadaan anak yang ditinggalkan tanpa mengetahui ciri-cirinya sedikit pun.
“Dia itu anakku, Bu! Tolonglah aku! Aku yang meninggalkannya sebulan yang lalu di depan panti ini….”
“Kami tidak percaya dengan apa yang kau katakan.”
“Benar Bu, akulah ibu bayi itu, aku ingin menyayanginya lagi.”
“Kami tidak bisa memberikan bayi sembarangan kepada orang yang mengaku sebagai Ibunya. Mana ada Ibu yang membuang anaknya di dunia ini, kecuali Ibu gila!”
“Benar, Bu, anak itu anakku!”
“Maaf ya, Bu, kami tidak bisa melayani ibu. Sebaiknya ibu pergi dari tempat ini. Sudah banyak ibu-ibu muda melakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan sekarang. Belakangan, kami sudah tahu kalau itu hanya sebagai alasan, karena kami tahu modus mereka, yaitu sindikat perdagangan anak!”.
“Aku tidak seperti itu, Bu….”
“Pergilah, sebelum kami panggil polisi!”
Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini kepada mereka, bahwa memang akulah Ibu yang telah tega membuang anak kandungnya sendiri. Tapi mereka tidak percaya….
***
Aku merasa cinta tak akan datang lagi padaku, walaupun aku ingin cinta itu bersemi di dalam hatiku. Cinta terlanjur membenciku. Membenciku untuk selamanya.
Mereka tertawa ke arahku. Aku tak tahu kenapa. Padahal perkataanku benar, bahwa akulah Ibu yang pernah membuang anaknya. Aku masih menunggu sampai ada orang yang percaya padaku, kalau aku ini pernah menjadi seorang Ibu. Namun mereka menjawab dengan lemparan batu ke arahku.
“Awas wanita gila!”
***
Cahaya Buah Hati
anggota Sekolah Menulis “Paragraf” dan FLP cabang Pekanbaru.

Bukan Pilihan

18 April 2010 17.861 views 15 Comments
“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.
Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.
Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar.
Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas.
“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.
Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.
“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali.
“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku.
Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat keningku.
***
Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap.
Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang  tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.
“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai,  Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”
“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.
“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.
Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”
Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.
***
Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.
“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.
Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”
Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***
Aidillah Suja,
Anggota Komunitas Alinea-1
FLP Pekanbaru

Cowok ”Aquarium”

14 Juni 2009 5.040 views 3 Comments
cerpen-cowok-aquariumRANI sudah dua bulan ini rajin banget pergi ke perpustakaan umum di kotaku. Sekitar jam delapan pagi, di hari minggu, pasti dia sudah bersiap sedia pergi ke sana. Aku sendiri tak tahu mengapa. Rani hanya bilang, dia sedang mengamati seseorang yang di sebutnya cowok “aquarium.” Awalnya sih Rani penasaran dengan bangunan gedung perpustakaan yang megah itu. Waktu itu aku juga diajak sama Rani untuk menghilangkan penasarannya. Tapi Rani jadi ketagihan. Aku sesekali juga mau datang. Tidak saban minggu kayak Rani. Aku lebih senang menyendiri di kamar untuk nyelesain cerpen atau artikel yang kadang kukirim ke sebuah media. Yah, meski belum tenar seantero nusantara tapi cerpenku kadang muncul di media lokal di kotaku. Honornya cukuplah untuk menambah koleksi bukuku.
Hingga kemudian mulailah ia bercerita setiap pulang dari perpustakaan tentang seorang cowok yang dilihatnya di sebuah ruangan yang berbentuk mirip aquarium, karena dinding-dindingnya terbuat dari kaca berbentuk lingkaran.
“Fat, aku tadi tanpa sengaja ngeliatin cowok yang cool banget deh…”, cerita Rani pada suatu siang menjelang sore, tanpa mempedulikanku yang masih belum bangun dari tidur siangku, kecapekan habis menyetrika.
“Apa, Ran? Es cool?” tanyaku sambil membuka mataku.
“Aduh, Fat…Fat. Makanya, bangun dong! Aku mau cerita nih”, katanya sambil menarik tanganku untuk duduk.
“Ada apa sih, Ran?”
“Fat, tadi aku ngelihat cowok yang, aduh…cool banget di perpustakaan.”
“Cool….cool gimana sih?”
“Gini, Fat. Mata dan wajahnya itu lho teduh banget. Belum pernah aku ketemu cowok yang seperti itu.”
“Teduh gimana sih, Ran. Kayak pohon beringin saja, bikin teduh?!”
“Yah, pokoknya kalau kamu bertemu mata sama dia, pasti nggak ku-ku deh… Dia sih sebenarnya nggak cakep-cakep amat, tapi kayaknya pesonanya bisa membuat hati cewek-cewek membeku deh…”
“Ah, kamu Ran. Sok puitis banget. Kayak sudah kenal aja. Memangnya gimana kamu ketemu cowok itu?”
“Aku sih belum bertemu langsung dengannya. Cowok itu duduk di aquarium perpustakaan. Aku yang duduk menghadap aquarium tanpa sengaja melihat dia. Eh, dianya juga pas ngelihat aku. Tapi cuma sebentar, dia langsung menundukkan wajahnya lagi baca buku.”
Aku masih terdiam menatap Rani yang bercerita dengan penuh semangat.
“Tapi tak lama datang dua cewek, terus deh mereka ngobrol. Kayaknya lagi diskusi. Yah, aku sih masih curi-curi pandang sama dia. Engggg…tapi sebentar…..”, kata Rani sambil memegangi perutnya dan berlari keluar kamar.
Aku sih masih bisa dihitung datang ke perpustakaan itu. Aku kadang sibuk dengan tugas kuliah atau kadang ada acara di organisasi kepenulisan yang kuikuti sejak dua tahun lalu.
“Tapi, Fat, aku bertekad suatu hari nanti aku harus berkenalan dengannya”, suara Rani yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar.
“Tapi udahlah ceritanya ya, aku capek, mau istirahat sebentar,” kata Rani sambil berbaring di kasurnya. Dipasangnya headphone ipod-nya, dan tertidur pulas. Kebiasaan Rani yang sering kuprotes, tidur sambil dengerin ipod. Rani cuma menjawab, ”Habis tak bisa tidur, Fat, kalau tak dengerin lagu. Tapi sekalian minta tolong deh matikan ipodku kalau aku ketiduran ya..”
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar jawabannya.
Kutengok jam weker di atas meja belajarku. Jam 3 sore. Sambil menunggu azan Ashar, kuhidupkan komputerku. Ada dua buah puisi yang siap kukirim ke redaksi salah satu koran di kotaku. Minggu kemarin cerpenku juga dimuat di sana. Komputerku ini kubeli juga karena aku juara 2 lomba menulis cerpen tingkat propinsi di kotaku, yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setahun yang lalu. Lama-lama asyik juga menulis, bisa menghasilkan uang.
***
Tiga bulan berlalu Rani masih menjalankan aktivitas mingguannya, yaitu mengunjungi perpustakaan. Ceritanya masih sama tentang cowok itu dan Rani belum juga bisa berkenalan dengannya. Rani…Rani…, semoga engkau jatuh cinta sama buku-buku yang ada di perpustakaan itu, bukan pada cowok yang ada di “aquarium” itu.
***
Namun sudah hampir dua minggu ini Rani tak pernah pergi lagi ke perpustakaan. Ketika kutanyakan sebabnya, Rani menjawab, “Males, Fat, cowok itu sudah hampir sebulan nih tak ada lagi di “aquarium” itu.”
“Habisnya kamu niatnya ke perpustakaan cuma mau melototin cowok itu, jadinya cowok itu merasa risih dan males juga ke perpustakaan. Atau malah ganti tempat, nggak di “aquarium” itu lagi.”
“Eh, siapa bilang cuma melototin cowok itu. Aku pinjem buku juga kok di sana. Tapi boleh kan sambil menyelam minum air gitu…”
“Ya udah, paling-paling kembung perutnya karena kebanyakan minum,” jawabku nggak nyambung.
“Terus gimana, Fat, padahal aku sudah merasa berdesir hatiku sebelum sampai di “aquarium” tempat cowok itu. Kasih ide deh, Fat…”
“Kamu tuh Ran, belum kenal aja sudah jatuh cinta. Tapi begini saja, kamu kelilingi aja perpustakaan itu dari lantai dasar sampai lantai paling atas, siapa tahu ketemu.”
“Ide yang cukup gila, bisa besarlah betisku yang udah nggak ramping ni, Fat!”
“Ya, gimana lagi. Atau untuk mengisi hari minggumu biar lebih bermanfaat, ikut privat menulis saja di organisasiku. Nanti aku bilangin sama yang biasa ngisi privat. Cowok lho, Ran…ganteng lagi.”
”Tapi berapa biayanya? mahal nggak, Fat? Siapa tahu sambil menyelam minum air juga.. hi…hi…hi… ”
“Kamu ini niatnya! Nanti kembung lho!”
“Iya deh, Fat, bercanda. Aku mau kok jadi penulis kayak kamu. Cuma rasanya aku nggak berbakat.”
“Alah, tenang, nggak perlu bakat kok. Yang penting minatnya. Masalah biaya nanti kalau cerpen kamu sudah dimuat di media, barulah dibayar.”
“Wah, sama aja ngutang, Fat. Tapi kalau nggak dimuat-muat berarti nggak bayar dong?”..
“Eit, tunggu dulu…Pak Guru privatnya garansi sampai bisa dimuat kok…”
“Ok deh kalau gitu, aku mau. Pesenin ya, Fat, kalau aku mau privat nulis.”
“Ok, besok aku ada pertemuan. Nanti  kutanyakan bagaimana, di mana dan kapannya. Tunggu aja besok.”
***
Akhirnya privat menulis itu sepakat pertemuannya dilaksanakan di perpustakaan kota setiap hari minggu. Di “aquarium” di lantai satu jam setengah sembilan pagi. Ketika kusampaikan hal itu pada Rani, Rani terkejut.
“Kok di “aquarium” perpustakaan?”.
“Memangnya kenapa, Ran? ‘Kan enak di ruang diskusi tak mengganggu orang lain.”
“Enggak apa-apa sih, cuma di “aquarium” lantai satu itu mengingatkanku pada cowok cool itu. Di sanalah dia sering berdiskusi”.
“Alah, Ran, kamu selalu teringat sama cowok “aquarium” itu. Memangnya yang pakai “aquarium” hanya cowok itu apa? Lagian Bang Dani yang nanti ngajar privat kamu bilang kalau nanti ruang diskusi lantai satu terisi, ya pindah ke tempat lain, begitu pesannya.”
“Ya, udah deh…Tapi jadi ngingetin aku sama cowok itu, Fat…”
“Udahlah, Ran, nanti untuk pertemuan pertamanya aku temenin deh…”
***
Akhirnya waktu yang telah disepakati tiba. Aku dan Rani berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kami sudah duduk manis menunggu di “aquarium” sambil membaca koran yang bisa dipinjam gratis di sana. Tak lama Bang Dani pun datang. Aku berbisik pada Rani yang sedang asyik membaca sambil menunjuk seseorang yang berjalan menuju “aquarium” ini. Segera Rani menoleh menuju orang yang kusebut. Namun sesaat Rani bengong dan wajahnya merah padam bak kepiting rebus. Segera dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil berkata, ”Fat, itu cowok cool yang sering kuceritakan itu…”
“Jadi cowok itu Bang Dani, Ran…?”
Rani hanya menganggukkan kepalanya sambil ditelungkupkan wajahnya ke meja. Sesaat aku pun hanya bisa terdiam tak tahu harus berbuat apa, hingga salam Bang Dani menyapa kami. ***
Sri Nurwidayati,
Jalan Jati Gg Jati 2 No 10, Pekanbaru

Ghost OF Love - Sebuah Cerpen

29 Maret 2009 18.511 views 61 Comments
ilustrasi-cerpen-takut“Vin, besok jangan lupa bawa catatan kimia, fisika, matematika, and biologi ya,’’ kata Adit.
‘’Iya deh,,iya..,’ ‘ sambungku.
‘’Eits,,wait !oh ya,catatan jepang juga ya..,’’ kata Adit lagi.
‘’Iya…,’’ jawabku singkat.
‘’Jangan lupa lho…,’’ katanya lagi.
‘’Iya Dit….iya…,’’ jawabku singkat lalu kututup HP-ku. Habisnya,temanku yang satu ini paling recok deh. Kalau bicara sama dia,aku bisa gondokan nih…tapi,dia itu teman aku yang paling baik lho. Ada satu lagi temanku yang namanya Rian, hubungan kami bertiga sangat akrab.
Esoknya, saat istirahat,aku dan Rian pergi ke kantin untuk makan. Beberapa saat kemudian Adit tidak muncul juga. Kami berdua keheranan, padahal biasanya kami bertiga makan sama-sama. Sampai waktu istirahat  berlalu, Adit tidak muncul juga. Jadi aku dan Rian memutuskan untuk beranjak masuk kelas. Saat pulang sekolah pun kami tidak melihat Adit. ‘’Mana sih ni anak??’’ gerutu Rian, kami berdua makin heran,dan Rian mengusulkan untuk pergi ke rumah Adit.
Kami sampai  di rumah Adit, pengurus rumahnya yang membukakan pintu untuk kami.Mak Tita menyuruh kami langsung naik ke kamar Adit saja.
‘’Dit..napa lu?,’’ sapaku saat melihat Adit terbaring. ‘’Lagi sakit nih…,’’ jawabnya lemas. ‘’Tumben..Lu bisa sakit juga ya…,’’ ejek Rian.
Kami bertiga pun tertawa  secara serentak. Habisnya Adit tuh yang biasanya overacting paling semangat dan paling recok. Aku dan Rian tak menyangka kalau rupanya Adit bisa jatuh sakit juga.
‘’Sakit apaan sih lu?,’’ tanyaku.
‘’Mau tau aja Lo…,’’ jawabnya sombong.
‘’Dasar lu! lagi sakit pun sombongnya minta ampyuun, ntar gak bisa sembuh lho…,’’kata Rian membelaku.
‘’Ada aja…,’’ kata Adit.
‘’Dasar lu…,’’ kata Rian sembari menggelinya.
‘’Eh guys, Gue punya pertanyaan nih..’’ kata Adit.
‘’Iya, apaan?,’’ tanyaku. ‘’Kalo Lo hidupnya tinggal sehari, apa yang mau Lu lakuin?’’ tanyanya.
‘’Kalo gue, mau pergi ke tempat favorit gue and ngehabisin hari gue di sana,’’ jawabku singkat.
‘’Kalo gue, mau tidur aja deh jadi gue gak bakalan menderita waktu gue lagi sekarat,’’ kata Rian.
‘’Oh,,.iya donk,,habisnya hobi lo kan molor aja…,’’ ejekku.
‘’Nah,gimana kalo lo Dit?,’’ tanyaku padanya. ‘’Kalo gue… gue pingin ngehabisin waktu yang ada bersama cewek yang gue suka,’’ jawabnya dengan muka yang sedih.
Dan ia menatapku. aku merasakan kalau tatapan itu ada maksudnya. Habisnya tatapan itu aneh. Sedangkan Rian terus merecokinya dengan cewek yang ia sukai itu, aku sih tidak begitu peduli, habisnya aku sudah tau kalau Adit suka sama seorang cewek. Namun aku penasaran juga, jadi aku juga ikut-ikutan Rian merecokinya. Tapi Adit tak pernah mau mengatakanya,
Kami berdua menghabiskan sore itu di rumah Adit dan berbincang-bincang dengannya. Saat hari sudah mulai gelap aku dan Rian pun berpamitan.
***
Liburan kali ini Rian pergi ke luar kota bersama keluarganya. Jadi tinggal aku dan Adit yang tak punya rencana kemana-mana. Akhirnya Adit mengajakku untuk pergi ke kampung halamannya. Dan aku setuju saja, di sana banyak padang rumput yang hijau yang penuh bunga. Aku sangat menyukai tempat itu. Kami berdua bermain di sana setiap hari dan kurasakan kalau aku mulai menyukai Adit. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaan Adit terhadapku. Jadi kupendam saja perasaanku ini.
Lagipula aku sudah berjanji akan berpacaran dengan Rian setelah ia kembali dari liburannya. Jadi hubunganku dengan Adit adalah tidak mungkin. Tak mungkin aku mengingkari janji ku dengan Rian dan mengatakan pada Rian kalau aku menyukai Adit. ‘’Tidak mungkin,’’ pikriku.
Dan aku tetap melewati hari-hariku bersama Adit dan berharap bahwa hari-hari ini tidak akan pernah berakhir. Namun waktu tetap berjalan dan waktu liburan tinggal satu hari lagi.
Esoknya, Adit mengajakku ke padang rumput dan kami menghabiskan waktu bersama di sana. Kami berbincang-bincang dan tiba-tiba Adit memelukku dari belakang dan kudiami saja. Ia memelukku erat-erat tanpa berkata apa-apa. Sesaat kemudian aku memanggilnya dan ia tak menjawab. Jadi kupanggil lagi ia tetap tidak menjawab. Aku pun menjadi heran.
Tiba-tiba Adit jatuh dan tak sadarkan diri. Aku  menjadi takut dan  kubawa ia ke rumah sakit terdekat.Dokter mengatakan kalau ia kena serangan jantung. Dari dulu ia punya penyakit jantung bawaan dan penyakitnya bisa kambuh kapan saja. Aku masih tak percaya atas penjelasan dokter dan aku berusaha masuk ke kamarnyadan memanggilnya.Namun ia tak menjawabku,  air mataku menetes tanpa kusadari.
‘’Apakah ini saat-saat yang tidak ingin  aku alami ini harus terjadi sekarang?,’’ tangisku dalam hati. Hatiku menjerit ketika aku kehilanagan orang yang kusuka. Aku bukan saja kehilangan tubuhnya,namun juga jiwanya. Aku berpikir bahwa aku masih bisa melihatnya, menyentuhnya dan akrab dengannya meskipun hanya sebagai teman.
Namun sekarang aku tidak memilikinya lagi, baik sebagai teman ataupun pacar aku merasa sangat terpukul. Namun aku masih mempunyai satu hal yang tak bisa direbut siapapun dan apapun yaitu kenangan bersamanya, selamanya aku akan mengingat hari-hari dimana aku bersama Adit.
Saat Rian pulang dari luar kota ia juga merasa sedih akan kepergian  Adit. Namun,itu semua berlalu dengan cepat. Aku dan Rian saling melengkapi dan memahami. Aku sudah tak begitu sedih lagi akan kepergian Adit karena ada Rian yang senantiasa di sampingku dan menghiburku. Ia mengisi hari-hariku dan sekarang aku sudah bisa menerima kehilangan Adit dan keberadaan Rian.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa sifat Rian mulai berubah. Aku bisa melihat sifat Rian menjadi sama seperti sifat Adit. Mungkin Rian berusaha meniru gaya Adit,pikirku pada awalnya. Tapi lama kelamaan hal itu semakin mejadi-jadi. Aku tak mungkin salah membedakan yg mana Adit dan Rian. Akhir-akhir ini aku merasakan keberadaan Adit pada diri Rian atau itu hanya perasaanku saja?.
Tapi tak mungkin sikap Rian dan Adit sangat berbeda, meskipun kalau Rian meniru gaya Adit, kadang-kadang pasti ada juga kesalahan sikap Rian menjadi perhatian tapi tak selembut Adit. Rian biasanya bisa mengubah suasana menjadi seru dengan pamer-pameran, Namun Adit bisa mengubah suasana menjadi romantis dan akhir-akhir ini Rian menjadi lembut dan  hangat, aku bisa merasakannya. Ini bukan sikap Rian yang biasanya sikap ini sama seperti sikap Adit.
Setahun setelah kematian Adit, aku dan Rian pergi ke padang rumput yang berbunga di desa Adit, aku teringat setahun yang lalu ketika aku dan Adit bermain di sini di padang rumput ini. Ia memetikkan aku setangkai bunga lili yang putih bersih.  Sekarang datang kemari bersama Rian, anehnya kali ini Rian yang memetikkan bunga untukku dan bunga itu sama dengan yang Adit berikan padaku setahun lalu.
Rian juga melakukan hal sama seperti Adit  setahun lalu. Ia memelukku, Aku tak tahu siapa yang memelukku Rian ataukah Adit. Wajah yang kulihat adalah Rian, tubuh yang memelukku adalah Rian tapi mengapa kurasakan kehadiran Adit? yang kurasakan adalah kehangatan Adit. Aku heran aku berpikir ini adalah Adit,  pasti Adit, Aku yakin.
‘’Dit, apakah ini lo?,’’  tanya ku pada Rian. Aku menatapnya lekat-lekat dan ia tersenyum padaku. ‘’Iya Vin. Ini gue Adit,’’ jawabnya. Aku tak bisa lagi menahan air mata ku. Aku tak pernah tahu bagai mana Adit bisa ada di tubuh Rian, tapi yang pasti kulakukan adalah memeluknya erat-erat. Kalau bisa aku tak mau melepasnya sudah lama aku kehilangan dia.
‘’Vinada yang mau gue katakan sama lo, gue dari dulu suka sama lo. Maaf ya kalo gue baru bilang sekarang. Mungkin udah telat tapi Vin gue datang untuk mengatakannya.Gue mau lo tahu kalo gue suka sama lo Vin,” terangnya sambil diakhiri dengan jeritan sembari memelukku erat-erat.
‘’Iya Dit,gue udah tau kok. Gue juga suka ma lo’’ ujarku sambil menatap matanya. Dulu gue suka sama lo Dit. Sampai sekarang juga.gue gak terima kenapa lo ninggalin gue tanpa berkata apa-apa.Dan kenapa lo sakit lo gak mau kasih tau gue? kenapa Dit?,’’ tanyaku sambil menangis
‘’Maaf Vin, gue gak mau lo sedih,’’ ujarnya dengan rasa bersalah. ‘’Tapi  sekarang gue juga merasa sedih kan Dit?,’’ desakku.
‘’Maaf Vin, tapi kalao lo mau,gue bisa tinggal di sini,di tubuh Rian  dan kita bisa hidup bersama.’’ terang Adit..’’ Tapi bagaimana dengan Rian?,’’ tanyaku. ‘’Rian…Rian mesti mengorbankan dirinya demi kita Vin. Dia pasti mau Vin. Dia pasti mau ngelihat lo bahagia,’’ balas Adit. ia mengatakan seolah-olah Rian menyetujuinya, sejenak aku berfikir bahwa Adit hanya mau menang sendiri.
‘’Enggak Dit. Ini tubuh Rian. Ini milik Rian. Gue gak mau Rian mengorbankan dirinya demi kita. gue gak mau Dit,’’  tolak ku. ‘’Jadi lu memilih berpisah Vin?,’’ tanya Adit. ‘’Maaf Dit, ini tubuh Rian,  jangan egois Dit, hubungan kita sudah terlambat. Gak mungkin bisa kembali lagi,’’ ujarku dengan tegar menahan air mataku.
‘’Gue ngerti Vin, tapi maaf udah bikin lo sedih. Tapi gue yakin bisa menghibur lo. Rian bisa menggantikan posisi gue, gue suka lo Vin. gue akan tetap suka lo selamanya.gue janji..,’’ ungkapnya. ‘’Gue juga suka sama lo Dit…,’’ balasku.
Kemudian ia menciumku dan esoknya aku terbangun di kamar dengan Rian yang sudah menungguku dengan wajah cemas.  ‘’Vin, lo kok tiba-tiba pingsan sih?,’’  tanya Rian cemas. Aku hanya tersenyum mendengar perkatannya.  Kusadari, ini baru benar-benar sikap Rian, aku masih membayangkan apa yang terjadi itu benar- benar  atau hanya mimpi? tapi aku tahu ini adalah nyata,  karena aku mengenal tatapan yang mampu menembus hatiku sama seperti Adit lakukan dulu padaku.
‘’Udah Vin… jangan dipikirin. ntar gue jealous lho…,’’ kata Rian. ‘’Sekarang lo mesti kosentrasi buat suka sama gue dan thanks ya udah milih gue jadi pendamping lo…’’ terang Rian sambil tersenyum.
‘’Udah kalau gitu, sekarang lo istirahat ya…,’’ kata Rian. Aku tak tahu kalau Rian mengetahui semua kejadian saat aku bersana Adit. Saat ini aku merasa lebih bahagia, aku bersyukur  masih ada seseorang yang bisa menyukaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hati.***
M.Rizky Daelamy.L
Siswa  SMAN 6 Pekanbaru

Kisah Kecewa Mesin Ketik Tua

15 Nopember 2009 6.040 views 10 Comments
cerpen-mesin-tik-tuaKenalkan aku adalah mesin ketik. Suatu alat yang digunakan untuk mengetik. Di tubuhku banyak terdapat komponen-komponen yang sangat penting, di antaranya pita karbon, tuts dan banyak lagi onderdil lain yang namanya tidak kukenali.
Apabila salah satu tuts ditekan maka aku akan memukul kertas yang telah dilapisi pita karbon dan tercetaklah angka, huruf atau simbol yang diinginkan.
Aku pertama kali dipresentasikan oleh Cristopher Sholes, lelaki jenius berkebangsaan Amerika. Aku sendiri tidak mengetahui bagaimana Sholes menemukan aku. Apakah benar-benar dia yang menciptakan aku, atau dia menemukan hasil ciptaan orang lain yang tercecer di jalanan? Atau dia menemukan aku di gudang penyimpanan barang rongsokan milik orang tuanya, atau dia bekerja sama dengan orang lain menciptakan aku dari barang-barang bekas, atau… pokoknya aku tak tau dan tak penting untuk tahu! Titik.
Aku bernama Kofa, ini kuketahui dari merk yang tercantum di tubuhku. Aku juga tak mengetahui generasi ke berapakah aku? Aku dibeli oleh majikanku di pasar jongkok dengan status barang second alias barang bekas atau apalah gitu, yang merupakan fasilitas kantor yang telah expired bin tidak layak pakai bagi orang luar negeri sono…
Agar kalian bisa sedikit mengenalku. Majikanku adalah orang penting di negeri ini, seorang pejabat negara yang selalu dikejar-kejar paparazzi bila berada di depan umum atau saat jalan-jalan bersama keluarga, baik di dalam atau di luar negeri.
Aku jadi ingat kejadian pagi Idul Fitri tahun lalu. Gema takbir kumandang dari setiap rongga mulut manusia yang meyakini kebenaran Islam. Pagi menjelang salat Ied, puluhan anak kecil dan lansia alias manusia lanjut usia telah menunggu majikanku sejak ba’da Subuh (salat Subuh). Mereka datang ke rumah majikanku untuk meminta belas kasihan majikanku.
Saat majikanku melangkahkan kaki keluar dari rumah, senyum penuh kemenangan tampak jelas dari wajah polos yang penuh keluguan dan wajah-wajah keriput yang termakan usia tak henti-hentinya berkomat-kamit mengucap syukur ke hadirat Allah SWT atas nikmat yang akan diberikannya.
Aku turut bahagia melihat mereka bahagia di hari yang penuh kemenangan setelah sebulan penuh menahan diri dari hawa nafsu. Namun, Tuhan tidak menginginkan hambanya untuk ikut menikmati harta yang didapat secara tidak halal itu. Majikanku memanggil satpam yang hidupnya terbelenggu seperti seokor anjing untuk mengusir fakir miskin itu dari rumahnya.
Sepertinya kita sudah jauh menyimpang, lebih baik kita kembali ke topik semula. Majikanku membeliku untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas penting sebagai pejabat negara. Tapi seringkali aku digunakan untuk mengetik surat-surat berlabel dinas yang gunakan untuk memberikan izin proyek pembesaran perut yang menipu rakyat dan merugikan negara. Pernah juga aku digunakan anak sang majikan mengetik surat cinta untuk pacarnya.
Dua bulan lalu aku pensiun. Jabatanku digantikan oleh satu ekor komputer Pentium 4, di dalam tubuhnya telah mengalir sel-sel hardware dan software dengan hak cipta dan paten menjadi akta kelahirannya setelah ditelorkan oleh Bill Gates. Aku tidak sirik padanya, sangat kusadari kekuranganku dibandingkan dengan komputer. Dengan hardware dan software-nya dia mampu bekerja lebih efektif dan efisien. Tulisan yang dihasilkan pun lebih indah dan bervariasi. Selain itu bukan hanya bisa digunakan untuk mengetik tapi juga bisa digunakan untuk mengolah foto, untuk melengkapi data agar lebih akurat. Dengan program winamp dia bisa menghibur sang operator dengan lagu-lagu yang diinginkan, selain itu dia juga menyediakan menu game-game menarik untuk sedikit rileks di sela-sela mengerjakan tugas, dan banyak lagi program-program lain yang yang tidak kukenali nama dan fungsinya.
Aku senang karena pengganti posisiku sebagai alat ketik adalah komputer yang lebih pintar dari aku. Tapi satu hal yang membuat aku kecewa. Aku kecewa dengan sikap sang majikan terhadapku, saat aku pensiun sang majikan melemparkan aku ke sudut gudang yang gelap, penuh debu dan barang-barang bekas yang berserakan yang menjadi rumah bagi para tikus, kecoa dan binatang-binatang kecil lainnya. Mereka tertawa menyeringai penuh kebiadaban. Tentu kamu setuju, majikankulah yang pantas berteman dengan tikus-tikus ini, bukan aku. Karena sifat dan kelakuannya tak jauh beda dengan tikus bahkan lebih parah dari raja tikus paling jahat sekalipun.
Seiring waktu, debu-debu mulai membelai kulitku yang tak lagi halus dan karat-karat mulai menggerogoti tubuhku. Aku tak lagi dihiraukan, tak lagi dipedulikan dan tak lagi disapa seperti dulu. Padahal, waktu aku masih bekerja  ribuan, jutaan bahkan miliaran kata berhasil aku ketik dengan baik tanpa meminta gaji, upah atau pesangon saat aku pensiun. Begitulah baiknya aku si mesin ketik tua.
“…benar sungguh bagai dikata, habis manis sepah dibuang…,” lirik lagu band anak muda asal negeri jiran mengungkapkan perasaan hatiku. Yah, begitulah manusia banyak tak punya pera-saan, tak bisa menghargai orang lain, egois, tak tau terima kasih.
Aku akan lebih senang jika aku dilemparkan ke tong sampah di pinggir jalan. Dalam waktu singkat tangan-tangan kekar para petugas Dinas Kebersihan yang berseragam kuning-kuning akan memasukkan aku ke dalam truk dan membawaku tempat penampungan akhir. Di sana aku akan bertemu rekan-rekan senasib, seperti sepatu pejuang yang tidak terawat lagi setelah ditinggal mati tuannya yang semestinya dia menjadi penghuni museum agar bisa dikenali oleh generasi bangsa. Tapi, salah seorang pegawai Dinas Pariwisata merasa tidak akan dapat keuntungan dari sepatu kulit buaya yang telah butut itu. Sehingga dia memutuskan untuk membuang sepatu yang telah turut andil melindungi kaki tuannya dalam berjuang merebut kemerdekaan negeri ini.
Tapi hingga sekarang aku masih tersekap di dalam gudang yang redup dengan tubuh yang semakin tua dan reot tanpa ada yang peduli. Karena aku hanya mesin ketik tua yang tak punya jiwa, namun aku punya perasaan. Aku kece-wa…***
—————————————
Nasruddin Asn,
Jalan Gerilya, Parit 03,
Tembilahan Hulu
Indragiri Hilir, Riau

Lelaki dan Rindu - Sebuah Cerpen

19 April 2009 12.921 views 20 Comments
cewe-simpanan-sedih-kesepianTempat ini kian gelap. Apakah sudah malam? Ah, tidak. Hari belum malam. Tapi, mengapa hitam demikian padu di depan mataku? Aku terus berjalan. Berlari. Anehnya aku masih merasa tetap di tempat.
“Doni, lupakanlah aku.” Tiba-tiba suara itu terdengar. Sayup, pelan sekali. Namun kupastikan aku bisa menerka siapa pemilik suara merdu itu.
Ela, kau Ela kan? Wahai kekasihku, di mana dirimu? Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat kukirim karena kau hilang begitu saja. Ela, kembalilah. Aku begitu ingin mendekapmu.”
“Sadarlah, Don. itu tak akan mungkin terjadi. Kita tak mungkin bisa bersama lagi.”
“Tapi mengapa, Ela? Mengapa? Apakah kau tak ingin kita kembali seperti dulu? Masih ingatkah, ketika matahari hampir terbenam, kita duduk di atas bebatuan. Menunggu kiriman gelombang dari laut, lalu kita membalasnya dengan sajak-sajak cinta. Menulisnya dengan kasih, dengan sayang. Tapi mengapa? Mengapa sekarang kau pergi? Kau pergi tanpa sepengetahuanku, Ela. Kau tinggalkan aku sendirian di sini. “
“Don, sudahlah.  Jangan kau ungkit masa lalu. Lupakan saja. “
“Apa? Lupakan? Setelah hidup seluruhnya kuabadikan untuk menjagamu, nafasku hembuskan untuk tetap bisa menyebut namamu, pun kisah-kisah hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Ela, aku tak bisa.”
“Don, apa kau tidak tahu, aku tak akan bisa lagi di sampingmu, menyambung kembali benang kenangan kita, menyulamnya jadi harapan, jadi impian yang kau katakan. Tidak, itu tak mungkin. “
“Ela, lama sudah kita tak bersua. Namun rasa rindu masih saja bergelora. Dan seperti dulu, masih seperti dulu, aku menulis penantian dalam kekecewaan yang telah jadi kanvas, tempatku menulis gundah, melukis resah, tempat mendiskusikan segala keluh-kesah, memperdebatkan tentang sebuah pertanyaan, mengapa kita berpisah?”
“Don, cukup! Jangan kau lanjutkan.”
“Ela, di mana kau? Tunjukkanlah wujudmu agar aku bisa melihatnya. Aku begitu ingin mendekapmu, Ela. Aku begitu merinduimu. Kembalilah, Ela, kembalilah!”
Aku terbangun. Rupanya hanya mimpi. Bajuku basah karena keringat. Mengapa Ela tiba-tiba hadir di mimpiku? Ah, malam ini terasa begitu panjang.
Aku keluar dari kamar. Mencari whisky. Perlahan tapi pasti, kureguk minuman haram jadah itu. Aku menikmatinya. Senikmat seorang lelaki yang sedang bersenggama, melepaskan nafsu, mengadu birahi dalam dinginnya malam bersama seorang perempuan yang amat dikasihi atau seorang perempuan simpanan kalau tak ingin katakan pelacur.
Sudah dua botol whisky kuhabiskan. Dalam keadaan setengah mabuk, aku berjalan tanpa tujuan. Badanku terhuyung-huyung. Aku tersungkur. Jatuh. Terlentang di atas lantai. Aku ingin bangun. Tapi tak bisa. Mataku berkunang-kunang. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Ia berpakaian warna putih. Wajahnya cantik, memiliki sepasang sayap yang indah. Bak bidadari, senyumannya sangat menawan. Kugosok-gosokkan mataku, “Ela?”
“Ya, Don. Aku Ela.”
“Ela, benarkah kau itu?” Ela, mendekatlah, Aku ingin memegang wajahmu.”
Ku coba berdiri. Tak bisa. Kepalaku terasa berat. Aku terus menggapai-gapai selendang putih yang dikenakan Ela di lehernya, pun tak bisa. “Sudahlah, Don. Saatnya kau menyadari bahwa aku sudah pergi.”
“Tidak, Ela. Aku mohon. Apakah tak ada lagi cinta untukku? “
“Don, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih mencintaimu. Tapi itu tak bisa aku jadikan alasan untuk bisa kembali padamu.”
“Ela, aku rindu. Sentuhan sajakmu yang selalu membelai mimpi malamku. Senandung lagumu yang membuat sunyi cemburu pada penantian di hari-hariku, juga suaramu yang telah mengisi imaji hingga kehampaan tak pernah bisa bertandang di benakku. Tapi, Ela, setelah kepergianmu, dan pencarianku pun tak berujung pertemuan, penantian tak menampakkan harapan, membuatku kehilangan Ela. Aku kehilangan. Di laut kenangan kita, aku mati. Terkubur dalam cerita-cerita yang berujung pada perpisahan. Pahamilah Ela, aku pun semakin rapuh bersama rumah rindu yang terus dihujani air mata.”
“Don, simpanlah semua cerita kita. Jadikan ia larik-larik puisi dan janganlah kau mati di dalamnya. Tetaplah jiwamu bergelora segelora puisi yang kau tulis tentang kita. Juga di laut, tempat kita berkirim doa dan harap pada Tuhan. Jangan kau lupakan itu. Tuhan telah memberikan kita kata, kata itu yang telah melahirkan huruf-huruf cinta, di dalamnya telah berhikayat perjalanan kembara kita yang berhasil merangkum rintang, luka, kecewa, air mata dan sengsara jadi kehidupan, jadi sejarah, jadi kita.”
“Tapi Ela, aku ingin menjalaninya bersamamu.” Suaraku makin sayu. Mungkin akibat minuman alkohol tadi. Lalu antara sadar dan tidak, kulihat Ela mendekat. Ingin kugapai, tak sampai. Aku kewalahan.
“Don, percayalah. Aku selalu di sampingmu. Aku tak akan menikam kepiluan, keperihan, juga menusuk jantungmu dengan kelu hingga biru. Aku tak mau kegetiran menyuling cinta kita jadi riwayat kesedihan diceruk impianmu yang berdarah. “
Dengan lamat-lamat, suara Ela menjauh. Semakin hilang. Meninggalkanku dalam sunyi. Sendiri.**
Susi
Siswa kelas XII IPA I SMAN 3 Bengkalis.

Novel : 4 Hati 2 Jiwa 1

19 July 2010  
Kategori: Novel
573 bacaan Jom bagi ulasan
Oleh : Xiao Dalila
‘Huarghhhh….ngantuknye…ada kain tebal…mesti anis nak gosok baju ni…’ kenit berjalan dengan gaya perlahan. Gaya macam nak curi ikan atas dapur aja. Dengan selamba dia pun buat kuak lentang atas kain tu.
“Kenittt…!” bergegar rumah teres dua tingkat ni dengan jeritan Anis.
“Aku dah lambat ni kau lagi nak melambatkan kerja aku. Dah tak ada tempat lain ke kau nak landing? Bangun lah. Tepi. Tepi.” Anis mengangkat si kenit dan dialihkan ketepi kain penggosok. Kenit yang baru sahaja melelapkan mata bangun dan memandang anis dengan matanya yang bulat.
“Apa pandang-pandang? Kau ni asal boleh je. Pantang nampak kain ke kertas ke tudung aku pon jadi kau buat alas tidur ye?” Anis membebel-bebel tak berhenti-henti. Tapi tangan anis masih laju menggosok baju sekolahnya. Setelah semuanya siap dia bergegas bersiap dan menuju ke pintu.
“Ayya cepat ! kau lambat aku tinggal.” enjin kancil dipanaskan. Kasut sekolah disarung. Beg dan botol air dicampak sahaja ke tempat duduk belakang. Pagar dibuka.
“Sabarlah. kau ni kelam kelibut lah.”
“Banyak kau punya sabar. kalau kancil ni ada siren macam kereta polis ke ambulan ke tak pe jugak. dah cepat. jangan lupa kunci pagar.” kancil diundurkan. Lima minit kemudian keretanya dipecut menuju ke sekolah adiknya.
—————————————–
“Mak salam. Orang pergi dulu tau.” Tangan Pn. Hamidah diciumnya. Beralih pula pada pipi emaknya itu.
“Kau balik pukul berapa nanti?”
“Pukul 3. Ada kelas. Nanti apa-apa orang message. Orang bawak phone.” Usai mengikat tali kasut, dia bergegas menutup pagar lalu masuk ke dalam kereta yang sejak tadi menunggu di luar rumah.
“Baik-baik melintas.” Terdengar laungan emaknya dari dalam. Dalila melambai tangan kearah emaknya.
“Turun kat hospital ke kat Saleng?” En. said bertanya.
“Hospital je. Traffic light tu dah betul. Ada orang dah buat report kot.” Ketiadaan jambatan menyebabkan pejalan kaki yang nak menyeberang ke hospital perlu menggunakan lampu isyarat pejalan kaki. Tapi bila lampu tu rosak mau dalam setengah jam baru dapat melintas. Lagi la waktu orang pergi kerja pagi-pagi macam ni.
15 minit kemudian Dalila dah tercatuk di bahu jalan, menunggu lampu isyarat bertukar merah. ‘lama betul. hidup ke tak lampu ni?’ Ditekan lagi butang di tiang lampu isyarat tersebut. ‘ha ! merah pon.’ Dengan slow motion dia pun berjalan melintasi laluan zebra itu. Tiba di tengah jalan tiba-tiba hon panjang berbunyi menyebabkan dia terkejut lalu terjatuh di tengah jalan itu juga. “Allahhuakbar !”
Hanya seinci yang memisahkan dirinya dengan mini cooper yang berwarna pink itu. Sempat lagi tu meng’usha’ kereta tu. Kereta idaman kalbu tu. Dalila masih lagi tak bergerak dari kedudukannya tadi walaupun dalam hati tah ape je yang dibebelkan. Orang ramai sudah mula mengelilinginya yang masih kaku dikedudukannya. Pemandu mini cooper tadi sudah keluar dari keretanya dan mengahampiri gadis kecil yang terduduk di tengah jalan itu.
—————————————–
Daniel membuka pintu keretanya dan bergegas keluar dari mini coopernya. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya sudah menggigil kesejukan. Sejuk aircond juga sejuk kerana cemas. ‘Apa aku dah buat ni.’
“Adik..adik tak apa-apa ke?” dia melambai-lambai tangan di hadapan mata Dalila. Melihat tiada respon dari gadis itu dia menampar perlahan bahu gadis tersebut.
“Oh mak kau. Astaghfirullah hal azim…..” dia mengucap panjang. Bagai tersedar dari mimpi yang panjang. Nafasnya tercungap-cungap.
“Dia terperanjat lagi tu. Elok kamu bawak dia ke hospital.” Seorang pak cik menasihati si pemandu mini cooper tersebut. Daniel bergegas memapah gadis itu masuk ke dalam keretanya. Lalu lintas yang tadi sesak sudah beransur pulih. ‘Nasib baik hospital kat sebelah aja.’ Daniel memandu dengan perasaan yang masih lagi berbaur cemas. ‘Kalau dia nak report polis macam mana ni? Habis lah aku.’
Tiba di wad kecemasan gadis itu dibawa masuk ke bilik kecemasan. Dia hanya menunggu di tempat menunggu yang disediakan pihak hospital. Telefon bimbitnya dikeluarkan dari bekas yang diselitkan di tali pinggang. Punat-punat telefonnya ditekan laju.
“Assalamualaikum papa.”
“Waalaikummussalam adik. Kenapa pagi-pagi dah call ni?”
“Papa tadi….adik langgar budak sekolah pa. Kat traffic light susur keluar Bandar Putra. ”
“Astaghfirullah hal azim. Macam mana adik bawa kereta ni? Adik mengantuk ke?”
“Adik tak tau pa. adik tak perasan tengah merah. Pa boleh tolong adik tak? Adik kat wad kecemasan hospital Kulai ni.”
“Okey adik tunggu kejap. 15 minit lagi papa sampai.”

Panggil Aku “Miss Late”

12 Juli 2009 7.625 views 11 Comments
Kakiku menyusuri trotoar jalan yang sempit. Pagi itu semua aktivitas dimulai, di pagi Senin yang melelahkan. Hari di mana aku harus mengumpulkan tugas kimia dan fisika, yang di dalamnya terdapat banyak rumus yang tak kumengerti. Serta tak luput hafalan Bahasa Prancis, yang jelas tujuan pembelajarannya (mungkin berguna bagi mereka yang bisa ke Prancis dan bertemu Zinedine Zidane). Tapi pelajaran itu sungguh sangat membosankan bagi orang sepertiku. Karena untuk bermimpi pergi ke negara se-Asia saja aku tak sanggup, apalagi sampai ke benua Eropa yang di dalamnya terdapat banyak ilmuwan terkenal itu.
Berbeda sekali dengan Stela yang sudah berkeliling dunia (ceritanya pada saat pelajaran bahasa Indonesia). Aku benci mendengarnya. Oh Tuhan, rasanya aku ingin kembali ke rumah dan bilang kepada ibu bahwa kepalaku sakit sekali memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Tapi aku harus optimis, walaupun aku sudah tahu nanti sesampainya di sekolah, aku akan belajar di luar hingga pelajaran pertama usai. Karena belum bisa mengumpulkan tugas kimia tepat waktu. Sungguh, hari-hariku tak lepas dari penderitaan.
Dugaanku benar, Ibu Zenith tak sedikitpun kasihan padaku, yang tiap harinya menderita karena PR yang menumpuk di rumah. Dia memarahiku habis-habisan dan membuang 15 menit waktu mengajarnya hanya untuk menceramahiku tentang kebiasaan jelekku. “Kamu ini, kapan sih mau berubah! Nggak pernah rapi, sering terlambat ke sekolah. Bahkan kebiasaan terlambat kamu itu juga menular dalam mengantar tugas. Mau jadi apa kamu, Joan?” ceramahnya padaku.
“Tapi hari ini saya nggak terlambat kok, Bu…” belaku.
Ibu Zenith semakin berapi-api mendengar pembelaanku, hingga akhirnya aku pun kalah di meja hijau. Dan kartu merah yang dilayangkan wasit Zenith membuatku terpaksa keluar dari lapangan dan meninggalkan kompetisi ini. Sungguh melelahkan menunggu di luar hingga pelajaran pertama usai.
Pagi ini, kimia sudah membuatku apes. Belum lagi menjadi pusat perhatian anak-anak di kelas sebelah. Ya Tuhan, apakah hamba-Mu yang manis ini pantas diperlakukan seperti ini hanya karena belum menyelesaikan tugas ibu guru yang sering menatapku seperti sedang melihat kutu di rambut gondrong Pak Tedye? Benar-benar tidak adil.
Akhirnya hukumanku pun berakhir. Aku masuk ke kelas dengan rasa bangga seolah baru saja pulang dari perang dan membawa kemenangan, layaknya Sarwo Edhi Wibowo yang menjadi pemimpin dan berhasil menguasai pemberontakan di Jakarta dalam penumpasan G-30-S. “Hari yang melelahkan,” ucapku sambil meletakkan tas di atas meja. Stela tertawa kecil, menatapku dari ujung kaki hinggga ujung rambut dan mulai berbisik. Aduh, apalagi yang dibicarakan nenek sihir itu.
Pelajaran kedua dimulai. Pak Dede masuk dengan membawa tumpukan kertas. Hatiku mulai gelisah, takut, dan… “Hari ini kita ulangan”
Deeeer…kalimat itu akhirnya keluar juga dari mulut ahli fisika di sekolahku yang terkenal sering membuat kejutan untuk muridnya itu, termasuk yang satu ini. “Ulangan dadakan.” Kalimat yang tadinya membuat hatiku gelisah dan takut itu kini berubah menjadi malapetaka. Yah, musibah kedua di hari Senin. Anak-anak di kelas komplain, protes, de el el. Termasuk yang benar-benar diragukan kemampuannya dalam hal berhitung dan menghafal rumus. “Tidak ada yang bicara, hanya ada kertas selembar dan pena!” ucapnya sambil menghitung lembaran kertas ulangan yang akan dibagikan.
Tidak ada yang kami lakukan selain menerima takdir. Sungguh menyedihkan. Kertas ulangan mulai dibagikan dan kini giliran untukku.
“Apa kamu sudah siap untuk ulangan, miss late?” Tanya Pak Dede sambil tersenyum sinis. Kumisnya yang bergaya ala Adolf Hitler tak lagi tampak lucu seperti hari-hari biasanya. Aku hanya terdiam dan sedikit tersenyum gelisah. Aku yakin dia sudah bisa membaca jawaban di jidatku yang sudah tertulis rapi “Saya Belum Siap.” Hari ini ku mohon ada mukjizat dan Joseph Black, John Dalton serta Prescott Joule berada di sampigku saat ulangan nanti.
Perangpun berakhir. Adolf Hitler sudah keluar lima menit yang lalu. Stela terlihat gelisah. Aku tahu kemampuannya dalam hal ini tak berbeda jauh denganku. Kegelisahanku berakhir. Dan masih ada waktu seminggu untuk merefleksikan telingaku, sebelum minggu depan diceramahi habis-habisan oleh ibu. Karena aku yakin nilai ulanganku kali ini pasti di bawah limapuluh. Sebab orang-orang pilihanku tadi tak menghampiriku dan memberikan jawaban. Siapa lagi kalau bukan Dalton, Joule, dan si Black. Kita lihat saja nanti.
“Kayaknya hari ini miss late nyantai-nyantai aja nih ulangannya…,” ucap Stela.
“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, pembual!” balasku sinis
“Kenapa? Nggak suka yah? Miss late..,” tambahnya lagi.
Kali ini sebutan itu terdengar lebih kuat. Hari ini aku terlalu lelah untuk meladeni nenek yang satu ini. Dan aku pilih cara yang satu ini.
“Eh, pembual….lo nggak nyadar yah?” balasku jengkel.
”Apa?” tanya Stela penasaran
“Ada deh. Tapi gue saranin jangan keluar kelas deh, ntar lo bisa malu seumur hidup,” jawabku sambil tertawa, keluar kelas.
Wajahnya pucat pasi. Darahnya menggebu-gebu, penasaran dan sibuk memperhatikan penampilannya. Dan aku pastikan dia bertanya pada teman-teman. “Ada yang salah dengan penampilanku hari ini? Make-up ku? Bajuku? Aksesorisku? Rambut baruku? Atau apa…?” Hahaha, aku suka itu.
***
Pulang sekolah, masih melewati jalan yang sama. Trotoar. Banyak kaki lima.Orangmondar mandir. Uhh… benar-benar sibuk. Kakiku melangkah pasti menuju jalan pulang, perempatan jalan terdekat menuju rumah. Dan di sinilah kutemukan sisi positif dari miss late yang benar-benar sudah membuatku terkenal. Huhh..tak kusangka.
“Terima kasih atas bantuannya kemaren,” ucap seorang pria berpostur tinggi tegap dengan rambut bergaya ala Lee Mong Long dalam serial drama Korea Sassy Girl kesukaanku. Mimpi apa aku semalam, cowok berparas manis ini tiba-tiba memotong jalanku.
“Untuk apa? Kita pernah kenal ya?” Tiba-tiba aku menyesal melontarkan kalimat itu. Bukan. Seharusnya aku bilang, “ya sama-sama…itu belum seberapa.” Tapi tidak mungkin, aku tidak mengenalnya. Dan kebaikan apa yang sudah aku lakukan untuknya, otakku berusaha membuka memori lama, tapi sosoknya benar-benar tak ada di sana.
“Kita memang nggak pernah kenal. Aku Satya,” balasnya sambil mengulurkan tangan.
“Lantas….” “Kamu miss late ‘kan?” Sialan. Harusnya dia bilang, “Kamu Joana anak kelas X.C yang manis itu ‘kan..” Mengapa nama itu yang mengawali pertemuanku dengan pangeran ini… huhhh “Yah… begitulah. Ada apa yah…,” balasku yang mulai gusar.
“Pak De-ku meminta aku mengucapkan rasa terima kasihnya ke kamu. Soalnya kemaren kamu sudah bantuin dia…” ucapnya. Waduh, aku benar-beanr ditipu oleh wajah manisnya yang kukira benar-benar Lee Mong Long. Ternyata logat Jawa itu keluar juga.
“Pak De kamu? Perasaan saya, saya enggak pernah bantuin Pak De kamu deh…salah orang kale…,” jawabku.
“Ndak. Aku ndak mungkin salah. Dia sendiri yang nunjukin orangnya ke aku. Dan orang itu kamu,” tambahnya lagi. Huhh, lama-lama aku dibuat kesal olehnya. “Ok. Langsung aja. Nama Pak De-mu?” tanyaku tanpa basa basi lebih jauh.
“Pak De Suryo. Satpam SMA mu…,” jawabnya.
Ya, Tuhan. Pak Suryo yang sering bukain pintu kalau aku terlambat itu ternyata punya keponakan semanis ini? Ke mana aja gue? Sial..tapi…
“Bantuan apa ya?” tanyaku lagi.
“Minjemin dia uang. Ingatkan?”
Aku mengangguk. Dia menatapku polos dan…
“Namanya bagus ya mbak…,” tambahnya.
Deeeer…nama kutukan itu? Baru kali ini mendapat pujian, dari orang semanis dia. Ya tuhan, aku benar-benar terharu. Hikz..hikz…
Huuuhhhh…pertemuan singkat ini benar-benar membuatku bahagia. Satyo dengan logat Jawa yang menipuku dengan tampang Lee Mong Long ini benar-benar membuatku gelisah siang dan malam. Jangan-jangan aku terkena penyakit berbahaya, Yah…apa lagi kalau bukan jatuh cinta. Bukankah penyakit itu berbahaya untuk anak seusia aku? Dan kumohon jangan pernah berhenti panggil aku miss late…”***

Sebait Puisi Kala Desember

21 Desember 2009 6.571 views 7 Comments
Pagi ini tak seperti pagi-pagi kemarin. Matahari sudah tak enggan lagi bersinar dengan kecerahan yang sempurna. Sudah tak ada lagi awan hitam yang menyembunyikannya. Yang ada justru awan-awan putih seperti kapas yang bergerak lamban ditiup angin sepoi. Dengan background langit biru.
Burung-burung pun seolah ikut berperan. Suara-suara cicit yang terdengar bukannya membuat berisik melainkan seperti melodi yang akan menjadi pembuka kisah hari ini. Ia terbang kesana-kemari, bertengger dari satu pohon besar ke pohon besar lainnya. Saling menyenandungkan lagu yang hanya mereka  yang mengerti artinya. Merekalah satu-satunya yang membuat tempat ini tak benar-benar sepi.
Semangatku pun lahir dengan hadirnya pagi yang penuh warna ini. Setelah kemarin aku merasa sendiri, kesepian. Gara-gara hujan tak  berhenti turun selama satu minggu, tak ada satu orang pun yang datang ke tempatku. Aku memang sudah hampir satu bulan tinggal di sini. Jadi setiap hari aku selalu berharap ada orang yang mau datang ke rumah baruku, tak diajak mengobrol pun tak apa, mereka sudah datang melihatku saja aku sudah senang.
Awalnya aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di sebuah rumah kos bersama beberapa teman yang kuliah di universitas yang sama denganku. Kami semuanya berjumlah dua puluh orang. Bayangkan betapa ributnya rumah yang ditinggali dua puluh wanita yang dikenal sebagai makhluk  yang rumit. Setiap hari setiap orang membawa masalah yang berbeda-beda. Mulai dari soal cinta, tumpukan tugas-tugas dari kampus, sampai masalah kewanitaan. Tak ada lagi yang dirahasiakan.
Aku rindu dengan semua itu. Saling berbagi dan  kadang-kadang saling marah seperti anak kecil berkelahi. Apalagi aku dikenal sebagai orang yang tak bisa diam, hiperaktif, kata mereka.
Maka ketika harus berpisah dari mereka dan tinggal sendiri, tanpa siapa-siapa, membuat aku menangis setiap malam. Semoga saja tak ada yang mendengar suara tangisanku. Sebenarnya aku juga tak mau hidup seperti ini, sebatang kara seperti tak punya siapa-siapa. Tapi apa mau dikata, jalan hidup masing-masing orang sudah ada yang mengatur. Aku  tak bisa apa-apa.
Ah, kenapa aku seperti menyalahkan takdir. Seharusnya aku yakin bahwa Tuhan memiliki maksud di setiap rencana-NYA. Dia juga pastilah memiliki suatu rencana dengan menempatkan aku di sini. Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku melebihi diriku sendiri.
Seperti pagi ini, aku  yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau  tidak mengapa  dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.
Sebuah mobil berhenti di depan. Aku berusaha menajamkan penglihatanku demi apa yang sekarang aku saksikan. Dua sosok, seorang pria dan seorangnya lagi wanita, turun dari kendaraan yang baru saja membawa mereka ke sini. Aku biarkan mereka berjalan mendekatiku.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.
Dan laki-laki yang bersamanya adalah Kokoh. Tapi dia tak seperti namanya, tak sekuat namanya. Apalagi setelah berpisah denganku. Tepatnya aku yang meminta kami untuk berpisah. Ia tak bisa menerimanya dan meminta alasan mengapa aku lakukan itu. Aku bilang tak tahu, ia tak percaya. Padahal aku memang benar-benar tak tahu. Aku sendiri tak bisa mengenali perasaan apa waktu itu yang membuat aku yakin untuk memutuskan hubungan kami. Hubungan yang bahkan sudah hampir menuju ke arah pernikahan.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.
Aku yakin, pasti Mela yang membawanya ke sini. Pasti Kokoh yang memaksa sahabatku itu untuk menunjukkan tempat baruku. Aku sengaja meminta Mela untuk jangan menginformasikan apapun perihal hidupku kepada Kokoh. Biarlah cerita perpisahan kami menjadi akhir atas segalanya. Jangan ada lagi lanjutannya, Kokoh sudah cukup tersakiti. Aku tak mau menambah sakitnya jika ia tahu yang sebenarnya. Tapi sahabatku itu tak akan sanggup membiarkan seorang pria menangis di hadapannya. Kokoh, bahkan aku lebih kuat darinya.
Dan drama pagi ini benar-benar dimulainya dengan isakan dengan kepala yang tertunduk dalam. Mela ikut me-nangis. Aku memohon supaya mereka jangan menangis. Sia-sia, tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaraku. Aku pun ikut menangis. Aku juga terluka dengan perpisahan ini. Bahkan lebih terluka dari luka yang  mereka punya.
Aku  tidak saja harus berpisah dengannya dan teman-teman yang lain, tapi juga orang tuaku. Parahnya aku juga harus berpisah dengan dunia-tempat di mana selama ini aku ada.
Isakan itu mulai berhenti namun tak menghentikan isakanku kare-na kalimat yang diucapkannya membuat aku ingin hidup kembali. Mustahil akan terjadi.
“Aku masih mencintaimu, Bidadariku. Bagaimana denganmu?” Dadaku bertambah sesak, seharusnya dia tak menanyakan itu. Dia pasti tahu jawabanku sekarang. Aku masih sangat mencintainya.
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”
Seolah-olah tak menghiraukan apa yang dikatakan Mela, Kokoh melanjutkan kalimatnya, “Maaf, Bidadariku, aku membiarkanmu menanggung rasa sakit sendirian. Aku telah menyalahkanmu padahal aku  tak tahu apa-apa tentangmu.”
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.
Lama-kelamaan penyakit itu seperti mengambil semua ketahanan tubuhku. Aku jadi ikut membenarkan diagnosa para dokter bahwa aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sangat sedih tapi aku tak mau membuat orang lain menjadi sedih dengan keadaanku. Pikiran itu yang membuat aku memutuskan untuk merahasiakannya sendirian.
Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Kokoh secara sepihak. Sekarang aku baru tahu mengapa aku melakukannya. Aku ingin membuat Kokoh siap atas kepergianku nanti. Membiarkan ia manjalani hari-harinya tanpa aku lagi. Biar jika ketiadaanku yang sebenarnya datang, dia sudah terbiasa. Firasatku akan datangnya kematian memang sangat kuat saat itu.
Dan itu sama sekali tak salah. Satu bulan setelah kami berpisah aku dijemput malaikat bersayap dari langit. Kokoh sama sekali tak tahu berita kematianku. Ia sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan proyek kantornya. Tak ada satu pun yang memberita-hunya karena orang-orang menganggap apa yang terjadi padaku sudah tak penting lagi untuk diketahui oleh Kokoh.
Kematianku begitu mudah, begitu indah. Mungkin karena aku telah bersiap-siap akan itu.
Tengah  hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009
Secarik kertas bertuliskan puisi diletakkannya di atas gundukan tanah-rumah baruku- dengan serakan bunga-bunga yang baru mereka taburkan. Kokoh tahu aku sangat menyukai puisi.
Kemudian mereka berbalik meninggalkan pemakaman ini. Aku memandangi keduanya, maafkan aku meninggalkan kalian lebih dulu, bisik hatiku.
Setelah benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku membaca puisinya.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.
——————————————————
Erma, mahasiswi
FKIP Bahasa Inggris-UIR

Senja Digayut Sakit - Sebuah Cerpen

16 Agustus 2009 3.864 views No Comment
Tatapku tergantung di awang, menerobos ke sela-sela angan yang panjang. Bayangan mimpi sebuah masa depan. Masa depan yang tak pernah dimengerti oleh siapapun. Sebab terlalu abstrak. Sampai aku membangun sebuah tirani kokoh dalam hidupku. Mengharamkan siapa saja masuk menjelajahinya, bahkan sebuah kata membosankan “menikah” sekalipun. Sampai taman hidupku menjadi dunia indah, seperti yang kuidam-idamkan sejak awal aku menggeluti dunia pujangga. Aku tak peduli dunia menatapku bingung. Bahkan tak jarang menuding aku sok hebat, mengejar karir berlebihan. Menunda-nunda menyempurnakan agama.
Aku tak ingin frustasi pada waktu. Kupikir waktu sudah cukup tepat mengantarkan aku ke sini, belajar pada setiap suasana, perasaan dan logika, lalu menyatukannya dalam untaian goresan penuh estetika. Bukan juga popularitas yang membuat aku seperti dibius menelurkan syair-syair hidup. Sebab jika hanya bersandar pada popularitas, usianya paling sebatas keberuntungan.  Ya… keberuntungan. Seperti awal dulu aku mulai tergoda menulis, juga faktor keberuntungan. Keberuntungan yang telah didahului dengan kerja keras dan perjuangan mengumpulkan kata demi kata saban harinya. Sampai-sampai aku harus rela bergaul dengan si Mona, yang begitu kental logat melayunya, hanya untuk belajar kata-kata kampung yang sering dia ucapkan.
“Nduk…”
Suara wanita di depanku memaksaku mengangkat wajah, dialah satu-satunya gantungan hidupku sekarang. Wajahnya telah cukup menua, masa paruh bayanya ia habiskan untuk mengurusi aku, Venti dan Mbak Win. Semenjak ayah meninggal lima tahun lepas, Ibu praktis mengambil alih semua peran ayah. Bahkan sampai menjenguk kebun sawit setiap pekannya. Hari-harinya ia habiskan menunggui rumah warisan peninggalan ayah. Jangan sampai dijual Na! begitu selalu pesannya padaku.
“Ya, Bu” kusahut lirih suara ibu.
“Berapa usiamu sekarang, Nduk?”
Mulutku hanya bungkam. Bukan berniat tak menjawab, tapi kupikir ibu juga lebih tau jawabannya. Tepat sebulan lalu ia menghadiahi aku satu stel baju tidur, katanya sebagai kado ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Aku tak mengerti kenapa ibu masih begitu sempat memperhatikan hari lahirku. Bahkan aku saja hampir tak peduli, kalau tidak calling Erin yang memberi ucapan, aku pasti pura-pura lupa dengan hari jadiku.
“Rumah ini sudah cukup lama sepi, Nduk”
Aku masih terdiam, kemana arah pembicaraan sudah dapat kutebak. Ibu pasti ingin aku segera menikah. Ya… menikah, satu hal yang sama sekali belum terlintas dibenakku.
“Ibu sering-sering aja ikut Na ke kota, biar nggak sepi sendirian di sini, Bu”
Sedikit kubelokkan alur pembicaraan, sebab aku tak tega kalau jawabanku nanti menyakiti hati dan harapannya.
“Bukan itu maksud Ibu, Win juga seperti kamu, kalau Ibu bilang begini selalu jawabannya begitu”
Aku menarik nafas dalam, kulirik wajahnya sedikit, takut kalau ekspresinya berubah. Duh…apa yang salah dengan keluarga ini, Rabb? Hati kami begitu terkunci untuk melakukan hal yang bagi ibu sangat membuatnya bahagia.
“Ibu ingin Na segera menikah?” Tanpa ragu lagi kulontarkan pertanyaan itu. Aku ingin melihat sedikit sinar kembali di wajahnya. Hanya itu. Duh…ya Rabb, ampuni hamba. Dan benar saja, wajah itu kembali bercahaya. Seperti ada harapan baru yang terselip disenyum tuanya.
“Tapi Mbak Win belum menikah, Bu. Mana mungkin Na mendahului. Bukannya ibu dari dulu yang bilang begitu” Kalimat telak, ibu tak menyahut lagi mendengar ucapanku. Aku tau apa yang ia pikirkan. Mungkin ia sedih.
Kami anak-anaknya tak bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Bahkan Mbak Win yang usianya terpaut empat tahun denganku masih terus-terusan melajang tanpa penjelasan yang dapat dimengerti ibu. Dan aku? Aku tau ibu juga tak tega pada Mbak Win kalau aku menikah dulu. Ibu cukup ketat dengan aturan keluarga. Meski Mbak Win sudah membuka izin lebar-lebar, menyuruh aku menikah lebih dulu. Tapi mungkin di luar dugaan ibu, hati dan pikiranku tak pernah tertarik untuk membicarakan sebuah pernikahan.
Setamat kuliah, aku mengazamkan diriku untuk serius menulis dan berkarya. Seperti pesan ayah dulu, “Na…suatu hari nanti kamu harus jadi orang besar.” Untuk lanjut S2, tentu saja aku tak tega membebani ibu lagi untuk membiayainya. Maka kuputuskan untuk menjadi besar dan kaya dengan caraku. Cara yang dianggap orang lain mustahil dan aneh.
“Kau mau cepat kaya dan terkenal, Na? mimpi kalau hanya memilih profesi sebagai penulis, lebih baik kau cari suami anggota dewan, supaya cepat kaya”. Itu pernyataan Bang Wan beberapa waktu lalu padaku.
Bang Wan juga penulis, mungkin dia merasakan sulitnya mengisi periuk nasi hanya dengan profesi menulis. Tapi aku tak mau bercermin hanya dari kalimat Bang Wan. Kupikir orientasi menulis yang kubangun tak hanya berpijak pada materialisme semata, meskipun terkadang sedikit banyak hal itu tak bisa dihindari. Tapi hakikat utamanya tentu bukan itu. Ya, seperti keyakinan yang cukup mengakar di kepalaku. Kebaikan tak hanya dapat ditularkan dari lisan ke lisan, tapi tulisan juga tak kalah hebatnya mampu merubah pola pikir seseorang.
***
“Aduh si Eneng, tulisannya dimuat lagi atuh, Neng”
“Puisi Na, Kang?”
“Ada esai juga mah, nih…” Kang Dadang menyodoriku harian pagi yang sedang dibacanya. Pria penjual lontong di sebelah kostku ini memang paling rajin baca koran. Kupikir di kota ini jarang-jarang ada pedagang kecil yang seperti ini, tak seperti di Jogja kota pelajar, supir bus pun memanfaatkan lampu merah untuk membaca koran.
“Oh, ya. Makasih atuh, Kang”
Lelaki itu tersenyum sambil mengambilkan lontong pesananku. Lontong yang kurasa terenak di sekitar tempat tinggalku. Bukan saja rasanya yang sedap, tapi aura wajah si penjual juga selalu bersahabat dan nyambung diajak bicara.
“Kang Dadang kepingin atuh ngirim-ngirim tulisan begituan. ‘Kan lumayan atuh Neng ada honornya.” Kang Dadang kembali nyeletuk.
“Ya udah, Kang Dadang tinggal buat aja.” sahutku.
Lelaki itu hanya senyum-senyum. Dia seperti agak malu. Kupikir kenapa harus malu. Kalau kita punya bakat menulis kenapa harus selalu tidak percaya diri dengan tulisan kita. Toh, kita belum tau bagaimana apresiasi orang. Kalau tidak pernah mau mencoba, kapan bisanya.
“Lima ribu ya, Kang” kusodorkan selembar uang lima ribuan, itu sisa uang honor puisiku minggu lepas.
Ah, beginilah hari-hariku, hanya mengharapkan honor menulis tiap minggunya. Pantas jika ibu merisaukan keadaanku. Tapi aneh, kenapa aku sendiri tak risau. Aku begitu yakin bahwa alur hidupku akan mengalir begitu indah. Meski orang lain menganggapku pengangguran terselubung segala. Tapi toh aku tidak pernah merasa kekurangan, kalaupun kekurangan beberapa hari biasanya akan segera terdengar kabar baik, “tulisan Anda kami muat Mbak, silahkan kirim nomor rekening.” Kalimat itu yang kerap kunanti-nanti.
***
Siang tadi Mas Aries dari majalah Girlie Zone menelponku, katanya puisiku dimuat lagi. Aku tersenyum bahagia. Tapi aneh, kebahagiaan itu cuma sesaat. Perasaanku tiba-tiba saja hambar. Malam ini aku sama sekali tak tertarik dengan tumpukan puisi-puisiku. Kubiarkan kata-kataku tergantung di tiap baitnya. Puluhan antologi puisi berserakan di lantai. Aku tiba-tiba saja merasa muak dengan untaian-untaian kalimatku. Kepalaku mendadak sakit, pandanganku berkunang-kunang. Kutarik bantal coklat dari tempat tidurku. Kurebahkan kepalaku. Tapi tetap saja rasa sakit menggerayangi pikiranku.
“Ah, tidaaak!” Aku berteriak kecil. Perutku ikut mual. Kupaksakan tubuhku bangkit berdiri menuju kamar mandi. Tapi percuma, tubuhku kembali ambruk ke lantai. Badanku  sama sekali tak berdaya. Kaki-kakiku pun mulai terasa pegal-pegal. “Ya Allah…” aku mengerang-ngerang kecil. Aku akhirnya pasrah, tanganku dengan lemah meraih selimut biru yang yang terbentang di tempat tidurku. Mataku kupaksa terpejam dengan sejuta rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhku.
****
Hidupmu seperti lilin
Lantak ditelan nyala
Tapi cahayanya menyinar terang
Untuk nafas-nafas di sekelilingmu
Lantunan itu begitu sayu, tapi cukup menghujam sudut mataku yang memerah. Inilah aku yang terus berkelana dengan hujung mata pena. Seperti tak pernah lelah diombang-ambing tajamnya waktu. Aku masih bisa tersenyum untuk orang lain, untuk mereka yang bisa bangkit menatap hidup lewat syair-syairku. Usia bukan tabir penghalang untuk aku menjenguk Tuhan. Seperti janjiku pada ayah dulu, menjadi besar dengan mengabdi kepada Tuhan, meski hanya sebait goresan penghambaan.
Senja mengalun begitu syahdu, menemaniku di pembaringan tua peninggalan ayah. Kekecewaan ibu telah terbayar dengan gurau canda putri pertama Mbak Win, dan aku tak pernah letih menjanjikan kebahagiaan lain pada ibu. Kebahagiaan yang kutawar pada siapa saja lewat mata pena pencerahan, meski usiaku semakin senja digayut sakit. ****
Sugiarti, mahasiswi jurusan kimia FMIPA
Universitas Riau

Senyuman di Senja Terakhir

3 Mei 2009 5.350 views 11 Comments
Senja itu indah. Kalimat itulah yang terus terpatri dalam benakku. Aku sangat menyukai senja. Karena senja itu indah…
Di sinilah aku sekarang. Menatap dalam diam ke arah jendela yang seolah dihiasi oleh pemandangan senja. Tak mengerti apakah harus senang atau sedih menatap senja. Senang karena aku masih bisa melihat senja, yang berarti Tuhan masih mengizinkan aku untuk bernafas. Sedih bila akhirnya ini adalah senja terakhir yang harus kupandangi.
Aku terus berharap masih ada senja-senja yang terus menantiku di hari esok. Rutinitas inilah yang kerap kulakukan bila senja datang menggantikan sore. Ada rasa tak sabar saat aku menunggu saat datangnya senja. Tak sabar untuk segera bercerita.
Menceritakan semua yang ingin kuceritakan. Bukan berarti aku tak memiliki siapa-siapa. Aku masih mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku, meski rasa sayang mereka tertutupi oleh kesibukan mereka masing-masing. Aku tahu pekerjaan yang mereka lakoni merupakan salah satu pelarian dari kesedihan yang mereka rasakan selama ini.
Aku bisa merasakan aura duka itu. Mereka hanya menggunakan kesibukan mereka sebagai topeng, sebagai tempat bersembunyi dari semua yang harus mereka jalani. Padahal di balik semua itu hati mereka sangat rapuh. Bagaimana tidak rapuh bila suatu saat nanti mareka harus siap menerima kehilangan seorang anak. Dan statusku sebagai anak tunggal seolah ikut menggenapkan duka mereka. Karena apabila ‘saat itu’ telah datang, tak ada lagi yang menggantikanku sebagai anak mereka.
Aku masih termangu dalam diam. Ingatanku seolah menjemput memori masa laluku, saat di mana aku menganggap bahwa senja adalah hal biasa. Hanya sebuah fenomena alam. Saat di mana aku menghabiskan hariku bersama ayah dan bunda. Saat di mana senyuman dan tawa bukan sesuatu yang langka di antara kami. Saat di mana aku bisa melakukan semuanya sendiri. Ya, sendiri. Sampai ‘hari itu’ datang seolah meminta untuk kulalui..
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.
Mendung di senja itu sudah menjelma menjadi hujan yang membasahi jalan yang kulalui bersama teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku baru saja menghadiri reunian. Rasa rindu tak bisa terbendung saat bertemu teman lama. Tapi peristiwa naas itu seolah menjadi bagian dari kisah bahagiaku.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.
Tentu saja dengan badan yang hampir remuk. Kepalaku tak sedikit mengeluarkan darah, yang mengalir bersama tetesan air hujan. Hanya itu yang kuingat. Yang kutahu semenjak saat itu, hidupku berubah. Kepala sering terasa pusing. Hidungku selalu mengeluarkan darah secara tiba-tiba. Dan aku semakin sering pingsan. Aku tak tau penyakit apa yang telah menyerangku.Yang jelas penyakit ini perlahan menghilangkan fungsi dari masing-masing organ tubuhku.
Matahari sudah benar-banar tenggelam di ufuk barat, menandakan senja sudah berakhir. Lamunanku terhenti saat mendengar suara bunda di balik pintu kamarku. Tanpa sadar tanganku menyapu pipiku yang basah. Ternyata aku menangis. Aku memang tak pernah kuasa membendung air mataku bila mengingat peristiwa itu.
“Masuk, Bun…” ucapku lirih. Suaraku bergetar.
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”
Aku hanya mengangguk. Bunda berjalan menujuku. Kemudian ia mulai mendorong kursi rodaku. Ya, inilah aku, Syafa Syaqila. Dengan usia 16 tahun 3 bulan lalu kakiku mendadak lumpuh. Aku mengira ini bagian dari penyakit aneh yang menyerangku. Beginilah aku sekarang. Hidupku bertumpu pada kursi roda yang sekarang kutumpangi. Aku takut penyakit ini terus menggerogotiku. Hingga akhirnya merenggut nyawaku.
Ternyata ayah memang sudah menungguku di meja makan. Lengkap dengan makan malam yang sudah terhidang di atasnya. Ayah menyambutku dengan senyuman yang sama lembutnya dengan bunda.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.
Ayah hanya tersenyum getir mendengar jawabanku. Selanjutnya kami makan malam ditemani diam. Sampai akhirnya Ayah membuka topik pembicaraan yang mengingatkan aku bahwa lusa adalah hari ulang tahunku. Ayah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-17 tersebut.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untukmenunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.
Tapi dengan lirih aku tetap berkata, “Bunda? Syafa pasti sembuh kan, Bunda?”
Bunda yang mendengarkannya hanya mengangguk. Tapi anggukan menyiratkan ketidakpastian dengan apa yang ia rasakan. “Iya, saying. Kamu pasti sembuh kok. Makanya kamu harus kuat  ya…” Ayah angkat bicara. Ada kelegaan yang luar biasa yang kurasakan, yang bisa dapat mengurangi rasa sakit di dadaku ini. Walau hanya sedikit.
“Ayah, nanti kalau Syafa udah sembuh, Syafa mau lihat senja ya, Yah?” Kini giliran ayah yang hanya bisa mengangguk mendengar pertanyaanku. “Ayah., Bunda, Syafa mau tidur dulu ya, Syafa ngantuk..” kataku dengan nada yang kubuat seceria mungkin. Bunda segera menyelimutiku dan mencium keningku.
Rasa sakit di dadaku memaksaku untuk bangun dari tidurku. Keringat dingin mulai mengalir dari seluruh tubuhku. Ya Tuhan, apa lagi yang kurasakan ini? Kenapa dadaku terasa begitu sakit? Apa kau akan membunuhku dengan menghentikan detak jantungku? Ayah dan bunda yang melihatku terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal, mendekati tempat tidurku, “kamu kenapa sayang?” tanya ayah khawatir.
Bunda mengusap-ngusap kepalaku, sambil menenangkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya menggeleng. Badanku yang lemas menjadikan suaraku menjadi sangat pelan. “Peluk Syafa, Bunda! Syafa kedinginan.” Bunda segera memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan adanya rasa takut kehilangan di sana. “Bunda, Syafa boleh minta sesuatu, Bunda?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”
Aku mengangguk. Bunda mengalihkan pandangannya ke ayah. Ayah menatap jam di pergelangan tangannya, kemudian mengangguk. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pantai dekat rumah sakit. Aku tersenyum saat sampai di sana..
Senja yang begitu indah. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senja. Ayah menurukanku dari gendongannya, ke kursi roda yang bunda dorong. Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berkata,
“Ayah…bunda…maafin Syafa ya. Karena selama ini Syafa ga’ bisa jadi anak yang ayah dan bunda banggain. Cuma bisa nyusahin kalian.. Tapi karena itu juga Syafa harus bilang makasih. Karena kalian udah jadi orang tua yang nggak tergantikan. Bunda yang nggak pernah ngeluh ngerawat Syafa.  Ayah yang selalu bisa buat Syafa tersenyum. Syafa senang waktu dengar kalian mau ngerayain ulang tahun Syafa. Seharusnya hari ini kita ada di rumah nyanyiin lagu ulang tahun buat Syafa. Tapi Syafa nggak bisa buat apa-apa kalau semuanya jadi kayak gini. Maafin Syafa..”
Bunda memelukku seperti di rumah sakit. Ayah yang sekarang ikut memelukku berkata, ”Nggak sayang…kamu nggak ngerepotin kok. Kamu udah buat kami bangga dengan jadi anak kami.”
“Makasih, Yah..” Andai saja tanganku ini bisa kugerakkan, pasti aku akan memeluk mereka lebih erat lagi. Tapi sayang, rasa sakit di dadaku tak juga berkurang, namun aku tak ingin menangis. Tak ingin membuat mereka menangis. “Bunda jangan nangis…”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”
Aku ikut tersenyum, “Bunda….Ayah…Syafa capek. Syafa tidur dulu ya…”
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja….”***
Khirzun Nufus,
kelas X SMAN 8 Pekanbaru

Senyuman Terindah dan Terakhir

6 Desember 2009 25.739 views 43 Comments
cerpen-tentang-kenanganSyla amila, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah.
Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya sendiri menyusuri jalanan sepi.
Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga mau ke rumah sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.
Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju ke sebuah toko bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om Anton memilih serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipilih, kami langsung menuju ke rumah sakit.
“Syla…” kataku sembari mendekapnya penuh kerinduan. Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai ulanganku yang di bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“Syl… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan selama ini, Syl…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu  menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan Syla seakan tak dapat diselamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut kehilangan gadis kecilnya yang akan genap berusia empat belas tahun.
***
Seperti biasanya, hari ini pun aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syla seperti makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om Anton yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Syla sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya menangis yang dapat Syla lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak jantung Syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om Anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Sabtu, empat belas Februari. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang berada berada di makam Syla. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan beranjak dari makam Syla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla. Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang padaku bahwa Syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton hanya  bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada Syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu, seketika ia menghilang.
Mungkinkah itu Syla….?***
—————————————
Cerpen Kenangan oleh:
Amalia Juwendah
Kelas 7-C SMP Cendana Duri

Tanpa Kata - Sebuah Cerpen

28 Juni 2009 4.810 views No Comment
cerpen-tanpa-kataSketsa rembulan di angkasa raya menampakkan senyum bulanannya kembali. Aku, Gio, kembali memainkan ujung bolpoin untuk menenangkan jiwaku yang baru saja di hantam gelombang terbesar yang pernah ada. Sudut mataku mengatakan pada dunia bahwa aku perlu untuk menata hati yang pernah kacau tak karuan. Namun, akal sehatku menentang itu.
Kini aku tengah duduk sendiri di dalam kesepian menunggu putusan antara perdebatan hati dan pikiran. Mungkin untuk kali ini aku harus mengikuti pikiranku yang memang sedang kacau. Menurutku, buat apa kita terus-terusan menata hati kalau nyatanya akan kacau kembali seperti sediakala. Biarkan saja semua berjalan apa adanya. Toh, tak ada yang tahu siapa aku dan mengapa aku ada disini.
Itulah pikiran yang sempat ada di benakku selama tiga tahun ini. Tanpa adanya satu titik terang, aku menganggap bahwa semua yang ada dalam hidup ini hanyalah takdir. Semuanya harus dijalani tanpa adanya sedikit perubahan dari skenario yang dibuat Tuhan. Ada kalanya aku merasa terasing dengan diriku. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa begini. Aku sama sekali tak memperhatikan segala yang ada di sekitarku. Aku hanya mengambil teori diam adalah emas. Seringkali aku tak ambil pusing dengan apa yang dikerjakan oleh orang lain. Aku santai dengan hidupku. Namun aku hening saat rasa takut mencekamku.
Lalu, apa yang dapat dilakukan teman-temanku? Mereka menganggap aku seperti biasanya. Dan kini itu yang terjadi padaku. Saat aku sempat kehilangan semangat hidup, mereka hanya bisa tertawa dengan lelucon konyol yang mereka buat beberapa waktu yang lalu. Aku tak habis pikir, mengapa hanya dengan satu lelucon mereka dapat tertawa selama kurang lebih 30 menit ini. Aku sendiri merasa heran. Namun setiap kali aku ingin menanyakan itu, lagi-lagi rasa itu kembali muncul. Aku merasa acuh tak acuh dengan semuanya. Masa bodoh dengan tawa. Kalau nyatanya hatiku kembali kacau seperti sediakala.
Kutatap langit malam ini. Tak ada bintang yang bersinar. Hanya ada senyuman dari dewi malam. Aku beranjak pergi meninggalkan kamar kost. Menapaki jalanan di sepanjang kota metropolitan ini. Di kiri kanan jalan terdapat banyak lampu yang berjejeran. Layaknya pengganti bintang-bintang di malam ini. Dan juga terdapat berbagai macam manusia di sini. Mereka keluar untuk mencari kesenangan dan menghilangkan rasa bosan yang menggelayuti jiwanya.
Begitu pun dengan aku. Berjuang di kota kecil ini untuk menamatkan studi untuk menyenangkan hati untuk sesaat. Aku ingin semuanya mengalir bagaikan air. Tanpa dihalang-halangi oleh batu-batu di tengah sungai. Tapi, itu tak mungkin. Ada seseorang yang pernah mengatakan padaku bahwa, “Hidup tak akan terasa berkesan apabila seperti jalan tol”. Aku mengerti maksud dari perkataannya, walaupun sedikit samar. Karena aku hanya mengambil kesimpulan dari satu pandangan.
Ya. Pandangan diriku sendiri. Tak lama lagi ujian pra semester akan dimulai. Aku merasa bosan dengan semua rutinitasku di tempat ini. Belajar, tidur, dan makan. Menurutku hanya itu-itu saja. Pikiran aneh mulai berkelebat di otakku. Aku harus mencari suasana baru untuk menanggapi hidup ini. Aku ingin mencari batu hambatan itu.
Ya. Aku benar. Hidupku akan terasa lebih berarti jika aku menemui hambatan. Tak seperti ini, baik-baik saja dengan segala kemungkinannya. Atau, apakah aku terlalu cuek untuk semua masalah yang menimpaku? Ah, lagi-lagi pikiran masa bodohku mulai berkembang.
Teman-temanku sepertinya telah mengetahui bahwa aku adalah tipe orang yang cuek dengan keadaan sekitar. Namun, aku sendiri tak mengetahui mengapa aku bisa demikian. Mungkin karena aku tak sempat memikirkan hal-hal seperti itu. Selama ini, yang ada di dalam pikiranku hanyalah sebuah langkah untuk menggapai cita-citaku. Dan, sepatutnya aku bersyukur karena semua yang aku inginkan terjadi.
Malah kini aku merasa bosan dengan hidupku sendiri. Aku ingin mencari suasana baru di kota baru. Dan aku memutuskan untuk pergi ke salah satu pelosok dunia yang kurang terjamah daerahnya. Dan aku akan menetap di sana. Sendiri. Aku akan mencoba untuk memulai sosialisasiku yang kurang sempurna dengan alam. Aku akan berusaha memahami alam ciptaan Tuhan ini.
Dan tempat itu adalah kota terpencil di tepi pulau yang aku diami ini. Aku akan mencoba untuk menjadi rakyat biasa yang tak begitu memperdulikan style. Aku mencoba untuk tergantung pada alam hingga akhirnya aku akan menemukan kebahagiaan di tempatku yang baru. Lagi-lagi pikiran aneh menggelayut di dalam benakku. Pergi? Hmm…mungkin ini bukan yang terbaik untukku saat ini. Namun, apa salahnya aku mencoba.
Sesaat kuhirup Dji Sam Soe yang tengah menyala. Kulangkahkan kaki menuju bis yang tak jauh dari pandangan mataku. Aku haru menjemput tas cangklongku jika aku tetap mau pergi dari kota ini. Di dalam bis, telah banyak kerumunan orang yang sedang menanti keberangkatan bis ini. Aku memilih untuk duduk di jok paling belakang, bersebelahan dengan seorang pemuda sebayaku yang sepertinya penampilannya tak terawat sama sekali. Baju kaos yang kumal membaluti tubuhnya, dan sepertinya ia sangat kelelahan. Aku mencoba menilik gayanya dalam keremangan bis kota ini.
Tak lama, supir mulai masuk dan menjalankan kendaraan ini. Aku terlelap sesaat di dalam bis ini hingga cahaya yang begitu terang meresap ke dalam pelupuk mataku. Kubuka mata dan, di hadapanku telah ada tiga orang lelaki yang bertubuh kekar dengan tampang yang bengis. Dan, salah satu dari mereka adalah pemuda yang duduk di sebelahku tadi. Ketika itu jua, aku merasa tali tambang mengikat tangan dan kakiku. Hh…
Seketika aku merasa takut dengan suasana seperti ini. Tak seperti biasanya, aku begitu ketakutan saat ketiga orang ini mengulitiku dengan pandangannya. Nyaliku seketika menciut dan akhirnya aku mendengar salah satu dari mereka mengatakan,
“Kamu Gio Siregar?” Sesaat aku hanya diam, dan kembali ia menanyakan hal itu kepadaku seraya menyodorkan pisau belatinya yang saat itu berkilat terkena cahaya neon dalam ruangan tanpa jendela ini.
“Hh…i…iya…Apa salahku?”
“Kamu anak Pak Irawan?” Tanya satu dari mereka yang tampangnya paling bengis kepadaku. Aku hanya diam. Tak ingin kembali mengorek luka lamaku dan mengakui lelaki bejat yang telah menyakiti ibu adalah ayahku untuk saat ini. Mungkin saja dia yang telah membuat aku ditahan oleh orang-orang ini, pikirku.
“Jawab!” bentak salah satu di antara mereka kepadaku. Seketika aku mencoba untuk berontak. Namun, apalah dayaku dengan tangan dan kaki yang terikat seperti ini. Hingga mereka naik pitam dan menghajarku habis-habisan.
Sebenarnya mereka sangat tidak adil jika mengadili aku dengan cara seperti ini. Dan setelah mereka puas memukuliku, mereka pergi ke salah satu ruang yang bersebelahan dengan tempatku. Di dalam sana entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan aku, di sini diam tanpa kata sembari menekuri lantai semen sambil menahan rasa sakit yang hampir menggerogoti sebagian besar wajahku.
Di sinilah aku merasa sangat kecewa dengan hidup. Ingin rasanya aku mengulang kejadian yang lalu. Ada baiknya aku mengindahkan saran Tito yang melarangku untuk pergi ke luar malam ini. Apa salahnya aku menyelesaikan makalah yang akan membawa kesuksesan kepadaku di hari nanti.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Apa gunanya aku menyesali segala hidupku yang urak-urakan seperti saat ini? Toh, dari dulu aku tak pernah menghargai hidup ini. Aku tak pernah perduli dengan apa yang terjadi. Namun, saat ini aku benar-benar menyesal. Bagaimana caranya aku keluar dari masalah ini? Dan kembali hidup normal dengan teman-temanku. Dan, pastinya dengan menyelesaikan semua tugas yang telah dosen-dosen berikan kepadaku.
Sesaat kemudian, pintu tua yang tepat berada di hadapanku didobrak oleh sekelompok orang. Setelah aku amati betul dengan mata yang nanar, sepertinya keberuntungan ada di pihakku saat ini. Sekumpulan polisi bersenjatakan lengkap berdiri dan mengarahkan pistolnya ke segala arah. Mewaspadai ada ancaman dari berbagai pihak. Dan, salah satu dari polisi itu berjalan ke arahku dan melepaskan tali tambang itu dari tangan dan kakiku.
Aku sedikit lega saat mereka berpencar ke segala arah dan akhirnya ketiga orang yang menyiksaku tadi ditangkap oleh polisi ini. Kami berempat dibawa ke kantor polisi untuk diusut perkaranya. Di tengah perjalanan aku mulai membuka pembicaraan kepada salah seorang anggota polisi itu. Dan, setelah berbincang agak lama, kami sampai kepada topik tentang pembunuhan yang telah dilakukan komplotan orang tersebut.
“Dia telah membunuh Insinyur Irawan dua minggu lalu.” Tutur polisi muda itu. Seketika langit serasa akan runtuh di atas ubun-ubunku. Mataku yang nanar karena dipukul oleh mereka serasa bertambah sakit. Batinku menjerit…“Apa? Irawan?”
Aku terdiam sesaat dan tak terasa butiran bening mengalir jua di pipiku. Orang yang telah lama aku benci, ternyata sudah tak ada lagi di dunia yang fana ini. Menyesal rasanya aku membenci ayahku sendiri. Bagaimanapun IRAWAN ayahku. Di dalam darahku ada nafasnya. Orang yang pernah menemaniku bermain mobil-mobilan ketika aku masih kanak-kanak. Orang yang mengajariku bagaimana menjadi seorang anak lelaki yang tangguh. Dan masih banyak yang ia ajarkan kepadaku.
Tapi sekarang, ia pergi setelah meninggalkan luka yang mendalam kepada ibu dan aku, anaknya. Ia pergi dan tak akan kembali. Hingga aku dan ibu harus menjalani hari-hari seperti biasa, tanpa ayah. Semenjak kejadian itu, barulah aku menyadari arti pentingnya memaknai hidup dan memperjuangkannya. Aku tak mau sekali lagi jatuh di jurang yang sama. Menyesal. Apalagi kalau bukan menyesali perbuatan. Karena, manusia yang paling beruntung adalah manusia yang menjalani hidupnya dengan usaha yang maksimal, sehingga tak ada penyesalan di akhir waktunya.***
Cerpen Tanpa Kata Oleh:
YelnaYuristiary,
Kelas: XI.IA.3SMAN PLUS Provinsi Riau

CERPEN : what the heck do you care about? "End"

| Print Cerpen
Posting cerpen by: Kartika Cute
Total cerpen di baca: 5
Total kata dlm cerpen: 1132
Tanggal cerpen diinput: 21 Dec 2010 Jam cerpen diinput: 9:48 AM
1 Komentar cerpen


“Jenifer?” Yefta memeluk ku erat. “kamu tau nggak, aku KUANGEN buanget sama kamu.” Ujarnya lebay.
“nggak segitunya kali!” Bima muncul dari dalam mobil.
“heh Jen, bagus ya... meninggalkan kami begitu aja!” Gracia menjitak kepala ku.
“aduh! Sakit!” ucap ku sambil memegangi kepala ku yang sakit.
Aku baru saja pulang dari Inggris. Sudah satu taun aku nggak merasakan jitakan Gracia ini.
Yogya! I’m BACK!  Batin ku.
Bima membawakan koper ku ke mobil nya, dan kami segera berangkat menuju ke rumah ku.
“gimana disana?” Yefta tampak tak sabar mendengar cerita ku tentang indahnya Inggris.
“luar biasa! Kau tau disana …” aku menjelaskan banyak hal tentang Inggris. Sekolah di Inggris adalah impian ku sejak kecil. Dan sekarang sekalipun hanya satu tahun, aku sudah cukup senang!
“Jen, kau tau… Keni banyak perubahan semenjak kamu nggak ada disini.” Ucap Yefta begitu aku selesai bercerita. Aku melihat tatapan tajam Gracia dan Bima mengarah padanya.
“udah, jangan melihat Yefta seperti itu! Kalian ini kayak singa yang mau nerkam mangsa aja!” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku dan Keni sudah tidak pernah berhubungan semenjak dia sibuk dengan kegiatan OSIS nya. Entah bagaimana nasib nya, aku pun sudah tidak peduli.
            “Kak Jenifer!” Melinda berlari dan memeluk ku.
            “Hei Mel!” aku memeluk nya erat.
Melinda adalah kembaran ku. Kami kembar identik, nyaris nggak bisa di bedakan. Satu hal yang membedakan kami adalah: aku lahir sedetik lebih awal… he he he.
            “oh.. jadi init oh yang namanya Melinda?” Gracia menjabat tangan Melinda, diikuti Bima dan Yefta.
            “makasih ya kalian mau menjemput ku…”
            “sip! Kita kan sahabat.” Bima membawa koper ku masuk.
            “papa sama mama mana?” Tanya ku mendapati tidak ada satupun dari mereka yang menyambut ku.
            “di dalem nyiapin makanan. Papa lagi di kamar, masih tidur!” Melinda menggandeng ku masuk.
BRUK…        
Aku menabrak tubuh Bima yang bisa dibilang atletik banget. Sampai sampai kepalaku terasa berdenyut denyut. “Jangan berhenti di tengah jalan napa Bim?” omel ku.
            “Melinda?” sebuah suara yang ku kenal memenuhi ruangan. Sekilas aku melihat wajah Bima yang penuh emosi.
            Aku berharap tak pernah melihatnya lagi. Aku buru-buru menutup mata ku.
            “Mel… m… Jenifer?” suara itu makin jelas mendekat. Aku semakin ketakutan.
Aku bisa merasakan tangan Bima memeluk ku. “Jenifer, kamu pasti lelah.” Bima menarik tangan ku yang masih bergetar karena ketakutan.
BRAK…
Suara pintu yang dibanting membuat ku terlonjak kaget. Perlahan mata ku terbuka, dan airmata ku tak terbendung.
Bima memeluk ku erat.
“HUA…” aku menangis kencang. Ini pertama kalinya aku menangis keras di hadapan orang lain. Biasanya aku menangis sendirian di kamar, di toilet, atau kadang di dalam almari.
“Dia JAHAT… aku benci dia!” aku masih sibuk mengomel panjang lebar sambil menangis di pelukan Bima.
Bima sangat baik pada ku. Bagi ku dia udah lebih dari seorang sahabat. Dia selalu menemani ku disaat duka dan selalu ada untuk melindungi ku.
Seandainya aja Keni bisa sebaik bima… aku pasti nggak akan meninggalkannya dan nggak akan ketakutan saat melihat nya.
* * *
            “Jen, harusnya kamu nggak boleh kayak gitu di depan Keni.” Yefta mulai membahas lagi masalah yang ingin ku kibur dalam-dalam.
            “Yef! Berheti ngebicarain masalah itu!” Gracia terlihat emosi.
            “nggak, nggak papa kok.” Aku bersuaha tersenyum. “yef, aku.. nggak mau ngebahas masalah itu. Bisa kamu berhenti?” aku berdiri dan berjalan menjauh dari Yefta.
            “Jenifer.” Keni muncul tepat di depan ku. Aku berbalik hendak pergi, tapi dia memeluk ku dari belakang membuat beberapa murid yang lewat memperhatikan kami. “aku mau minta maaf karena..”
            “Ken… kalau mau mesra-mesraan jangan disini, malu kan diliatin?” ucap ku sok ganjen demi melepaskan pelukan nya. Aku buru-buru kabur menjauh dari keramaian.
            “Jen, please dengerin aku dulu.”
            Aku menghantikan langkah ku. Aku berbalik dan menatap matanya dalam-dalam.
“apa yang harus aku denger dari kamu?” aku berusaha menahan semua airmata yang sebentar lagi nggak bisa terbendung.
            “aku mau minta maaf karena aku nggak nepatin janji, aku minta maaf karena aku udah nyia-nyiain kamu, aku minta maaf karena…” Aku memeluk Keni erat.
            “aku orang yang konsisten dengan apa yang ku katakan. Aku memaafkan mu sejak awal. Tapi saat aku menulisan kata ‘Farewell’ dalam surat ku, itu berarti akhir dari hubungan kita dan aku nggak mau lagi melihat wajah mu. Kamu nggak tau seberapa lama aku menunggu mu. Kamu nggak tau seberapa banyak aku menangis setiap kali aku menunggu mu datang. KAMU NGGAK TAU APA-APA!” aku mendorongnya dan segera pergi untuk menutupi satu persatu airmata ku yang keluar.
            Yang kuminta darimu hanya satu hari, tapi sedetik pun tak pernah kau beri!
Aku berlari kearah Bima. “Jenifer?” aku memeluk Bima erat.
“bisa aku minta satu permintaan?”
“apa?”
“bisa, kamu buat aku melupakannya?”
Bima melepaskan pelukannya dan mengecup dahi ku. “dengan senang hati.”
 Sajak Bisu untuk Cinta - Sebuah Cerpen

21 Februari 2009 11.055 views 12 Comments
Aku menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Kudengar hingga kunanti kereta senja yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku berada di sini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang-ruang dimensi atau wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu Adam diciptakan.

Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu, lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornamen melirih kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu.
Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard.
Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta di balik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam hati bunga Edelwiss, lalu kulukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sajak pelangi. Tepercik kata-kata mimpi, bersungging senyum dewi-dewi cinta. ‘’Akankah kau pergi tinggalkan diriku sendiri sehingga kau nanti kembali dalam ruang dan dimensi yang lain?’’ tanyaku.
‘’Mungkin biarkan cinta bersemi dalam keabadian seiring ilusi waktu,’’ sahut Rose seraya menatap pilu. Sontak aku terpana dan bergemuruh dalam ingar-bingar cintamu.
‘’Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalam ilusi waktu,’’ pintaku. ‘’Mengapa?’’ sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.
‘’Karena waktu kian sirna terempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,’’ ujarku.
‘’Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,’’ pinta Rose penuh kebimbangan.
‘’Biarlah cinta turun bagai setetes embun dari beribu pelangi yang hiasi kehidupan cinta,’’ ujarku singkat.
Kuempaskan kata bertakhta retorika itu dalam ruangan dimensi lain hingga waktu kian sirna dan musnah tersungkur luka. Tercabik prahara dusta, lalu tercekam badai durjana yang tak kunjung reda. Angin-angin sunyi mendendangkan ornamen cinta buatku nian pilu.
“Apa kau tahu, mengapa ombak datang menggema mengikis jiwa-jiwa yang hampa dan badai menyeruak luluh lantak, lalu memorak-porandakan raga-raga tak berdosa dalam siluet senjamu,” ungkapku masih bimbanng.
Kupilin waktu tuk beranjak diam dalam heningnya malam dan galaunya hati, mengapa Tuhan kini tak kunjung bantu diriku.
Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Kuhapus cinta setahap demi setahap, namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tersingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun, kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, bergulir seiring terempasnya pujaan ke dalam retorika ilusi fatamorgana yang kini hanya tinggal kenangan. Sebuah cinta, hanya sebuah nama di hati.. Bulan pelita gundah gelisah di jiwa sehingga kutermanyun mimpi-mimpi dalam ingar-bingar ilusi. Kisah cintaku penuh penantian kata, dalam sorot sinarnya mulai sayup terangi bekunya hati ini. Pesonanya pahit tuk diterjang seakan tercabik sebilah parang yang tajam dan kejam.
‘’Mungkinkah sedihku kian meratapi dan menggaru biru kelabu?” ungkapku dalam ringkihan kebisuan.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, kumeratap malu lalu embuskan ayatýÿ-ayat cinta dalam napas terakhirku. Biarlah cinta sejati bersemi di hati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.
“Kuhapus air mata dalam duka, Kupejamkan mata dalam duka, Kuempaskan raga dalam elegi cintamu, dan Kurentangkan jiwa dalam sukma keabadian.. “
Harusnya kutahu, cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta menari-nari berdendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang, cinta tak mengenal perjanjian.
Kuharap kedamaian yang terpancar dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dengan kebisuan. Beribu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu…(*)
*Penulis adalah mahasiswa Politeknik Negeri Malang
———————————–
Para sobat-sobat X-presi, terutama yang suka nulis cerpen remaja dan puisi, kirimkan cerpen dan puisimu ke redaksi Harian Redaksi Riau Pos di Jalan Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru. (Atau lebih baik dikirim ke email. Yahoo@perawang123. Khusus Cerpen panjangnya maksimal 4 halaman polio diketik spasi rangkap. Cerpen dan puisi yang dimuat, Xpresi akan memberikan imbalan. (red)

CERPEN : ngapain kamu muncul lagi...???????

| Print Cerpen
Posting cerpen by: adea
Total cerpen di baca: 1
Total kata dlm cerpen: 670
Tanggal cerpen diinput: 24 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 5:06 PM
2 Komentar cerpen
Lama sudah kulewati hariku sendiri tanpa seorang pangeran yang menjelma sebagai pahlawan dihidupku,hari-hariku selalu indah dan ringan ketika aku terlepas dari monster yang aku anggap saat itu pangeran dalam hidupku...
ya,meski wajahnya pas-pas'an gak ganteng-ganteng amat kaya pangeran dari negri dongeng.tapi aneh gitu aku bisa suka sama orang itu... OH...NO...itu pengalaman yang menyebalkan yang tak ingin aku ingat.pengalaman yang aneh yang....paling aneh dalam hidupku,huah.....aku males mengingatnya.!!namun ini patut dan harus ku ceritakan karena kemunculannya kembali membuatku risih...
hmmmmpt...
kring...kring alrm ku berbunyi tepat pada jam.04.30 aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan bergegas kekamar mandi untuk mengambil wudhu!!yua,sebagai seorang muslim yang taat aku harus menjalani shalat subuh walau terkadang aku lalai dari kewajibanku itu. hehe... ma'lum anak muda banyak godaannya...
huah...percuma bangun jam setengah lima juga tetep aja telat hemmmm...memang aku punya masalah sama waktu aku yang ngaret gak bisa berubah jadi seorang yang gesit!!lah...karena terburu-buru aku gak sempet makan,aku berlari-lari mengejar waktu menuju sekolah kulihat pintu gerbang sekolahku makin tertutup...tertutup...tinggal sedikit lagi...ayolah...jangan dulu ditutup princes saja belum lewat...!! aku berlari sekencang mungkin dan pada langkah terakhir aku berhasil mendobrak gerbang dan memaksa masuk dan akhirnya aku diizinkan masuk,heh...uuntung saja.. napasku masih tersedak-sedak hingga kumenjatuhkan diri kelantai didepan kelasku.sungguh...hari yang menegangkan....
Setelah ku mulai tenang aku masuk dan memulai belajar 10jam,ya kurang lebih 10jam aku berada disekolah hari-hariku sekarang lebih habis disekolah.ketat memang tapi ya,sudahlah aku sudah terbiasa sekarang walau aga sedikit tertekan sich...tapi ikhlas2.. hehe...
mungkin untuk disekolah tak ada yang menarik karena sebagian besar penghuni kelasku itu 80% laki-laki.huah...berisik banget kalau udah muncul ketidak warasan mreka.hehe... terkadang aku sumpek dan selalu tak konsen dalam belajar tapi kalo gak gitu kelas aku gak rame... hikhik...
tibalah...saat istirahat...OH...NO aku bertemu monster itu aku mulai merubah keadaan dengan muka suram dan jutek kupasang ketika dia perlahan melewatiku aku selalu menundukkan kepalaku huah...dasar monster udah muka pas2n tapi aneh kenapa dulu aku ama dia yah ih...dasar penyebar virus cinta yang aneh.pacarnya juga yang sekarang nempel bangat ma dia iyuh capcus dah aku liatnya..
Eh...pas dia lewat dret...dret..hp aku bunyi dah aja ku buka eh...sialan simonster sms "Ea.." maksudnya dia manggil namaku mungkin yuah...akh dasar pecundang kelas kakap beraninya sms doang... eits...aku berpikir???????????? dia dapet no aku darimana yah perasaan aku gak nyebar no aku ama monster itu deh.. udah gitu aku bales aja sms dia aku pura-pura gak tau aja "y,ini sapa yah??" terus dia bales lagi "masa gak tau,??yang tadi lewat tuh??" aku bales lagi "oh..yang tadi lewat..??kalo gak salah yang tadi lewat itu siomen kucing garong yang bulunya itu??kamu omen yah??omen..ih kamu hebat bisa sms aku,,??hehe.. candaku yang sengaja memancing emosinya.. "ah..kamu ea tega banget ama aku??" "hah...tega??aku kan baik hati dan tidak sombong gak tegaan lagi aku kan cuma membanggakan kamu suatu keajaiban dunia kucing bisa ngsms..???haha.. aku tak henti-hentinya tertawa sungguh puas hati ini melihatnya marah ya walaupun gak secara langsung juga.eh..dia bales lagi dia nanya gini katanya "ea,kok kalo ketemu aku jutek ama sih sekali2 senyum napa ea ama aku??Ok.." idih masih ganjen juga nih orang gak nyadar apa orang dia udah punya cewe juga.yaudah aku bercandain aja dia "hmmmft...ea mau senyum kalo ea seneng kalo gak seneng buat apa seneng Gak Penting Banget deh.udah tuh urusin tuh cewe kamu bikin orang gak enak aja kalo berantem pasti aku kebawa2 kapan sih kamu itu rela gitu ngelepasin aku??aku itu udah ilpeel banget ama kamu!!hahaha... ngapain sih kamu muncul lagi,Munculnya kamu membuat hidup aku itu berbelit2.maaf aja kata mutiara Cinta Pertama itu gak berpegang sama kamu lagi karena aku sadar telah diperdaya oleh kamu.dasar monster penebar virus aku benci kamu selamanya...

Mungkinkah Ini Saat Terakhir? - Cerpen Cinta

6 Maret 2009 18.822 views 37 Comments
Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
 “Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
 “Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius Ra?” tanya Rona karena masih ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Rona terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan sang pacar Dude, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Dude tak masuk sekolah. Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona mendatangi rumah Dude, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah ditanyai Rona, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan Dude yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Rona nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa bahwa Dude yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,”  menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
 ”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada Rona mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat bingung dengan perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir Na,” jelas Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
 ”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu Na.” Dude menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Rona hancur. Rona meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Rona sambil menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.
Dude terharu dengan perkataan Rona. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Rona tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka menghadapi masa tua bersama.

Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru
Pelamin Anganku Telah Musnah
PDF
Cetak
E-mail

Ditulis oleh Wak   
Rabu, 15 September 2010 06:37
Hujan turun dengan lebatnya justeru itu juga menandakan berakhirnya pesta majlis perkawinan antara Alia dan Jefry.  Kebanyakkan tetamu semuanya sudah pulang.

Ramai saudara mara Jefry yang menyertai langkah mereka kekamar pengantin pada malam itu, sambil tersenyum dan berbisik sesama sendiri seolah olah mengusik kedua pengantin baru tersebut. Tetapi tidak demikian dengan expresi wajah Alia. Alia nampak tegang, gugup bahkan kelihatan sedikit ketakutan berbanding dengan Jefry yang kelihatan tenang sahaja.
Perkahwinan ini bukanlah kehendak hati Alia dan Jefry.  Bahkan sebelum ini sebenarnya mereka tidak pernah bersua muka apalagi berkenalan antara satu sama lain.  Ia adalah keinginan kedua orang tua mereka masing masing. Bagi mereka berdua, sebagai anak kepada seorang ahli korporat yang terkenal dikalangan masyarakat Singapura seperti keluarga mereka itu, mereka berdua tidak mampu menolak keinginan kedua orang tua masing masing demi maruah keluarga.
Tetapi bukan sebab perkahwinan itu sebenarnya yang menggelisahkan hati Alia, bukan juga karena keperibadian Jefry, yang dilihatnya sangat kacak, tenang, ramah, lembut, bahkan teramat lembut, tetapi  sebaliknya Alia amat takut dan bimbang dengan keadaan dirinya sendiri.  Ada rahsia yang tersembunyi disebalik raut wajahnya yang ayu itu.  " Maklumlah, baru pertama kali..." Ibu Alia berusaha menenangkannya sepanjang siang tadi, namun tidak berhasil, Alia tetap juga berwajah sugul.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam.  Suasana diluar yang tadinya kedengaran begitu riuh rendah sekali dengan suara saudara mara Jefry, tiba tiba bertukar menjadi senyap dan sunyi.  Barangkali mereka semua sudah tidur, fikir Jefry. Di kamar, pengantin nampaknya kekok, kaku dan begitu sepi sekali.  Tiada komunikasi antara keduanya. 

Jefry kelihatan  sangat tenang sekali, tetapi sebaliknya Alia  terus menerus kelihatan gelisah,  masih terbayang lagi dibenak fikirannya akan pengalaman buruknya yang telah merenggut kegadisannya! hal itulah yg terus membelenggu fikirannya, dia tidak berkesempatan menceritakan hal yang sebenarnya  kepada Jefry, lagi pun Alia merasa takut.

Memang tragedi itu bukan kehendaknya, dia menghadiri satu pesta ulangtahun kawan baiknya, Sally.  Kamal, kawan sekerjanya, lelaki yang di anggapnya  paling baik ternyata adalah lelaki yang paling buas.  Kamal telah memberinya ubat tidur ketika dia mengadu sakit kepala hingga secara tidak sedar Alia telah  menyerahkan kegadisannya kepada lelaki keparat itu yang sehingga kini hilang entah kemana.  Sejak peristiwa itu Alia jadi takut, bingung, sedih dan macam macam lagi perasaan yang menghantui dirinya.

Tiba tiba lamunan Alia terhenti.  "Abang lihat sejak dari  tadi Lia termenung, kelihatan gelisah saja.  Macam ada sesuatu yang Lia fikirkan dan sembunyikan dari Abang," tenang Jefry bertanya  memulakan bicara pada malam yang indah itu.  Apa... Lia tak suka Abang?" soal Jefry lagi.  "Bukan, bukan itu,  sama sekali bukan." Alia masih cuba menyembunyikan lagi perasaannya.  "Cuma Lia belum biasa dengan Abang," balas Alia lagi.

Mereka memang belum pernah kenal antara satu sama lain, kerana sudah bertahun tahun lamanya Jefry menetap di Amerika.  Cerita tentang Jefry hanya sedikit sahaja yang Alia tahu, itu pun Ibunya yang memberitahunya.  Kata Ibu Alia, Jefry baik orangnya, kaya raya dan berpangkat.  Hal itulah yang  membuat Alia  bertambah takut, was was dan cemas sekali.

"Alia! Lia tahu tak yang abang sudah  biasa hidup di negeri yg sangat bebas pergaulannya antara lelaki dan perempuan, bersikap terbuka, tak perlulah Lia malu malu lagi dengan Abang.  Abang tahu  pernikahan kita ini adalah pilihan orang tua kita, itu sudah pasti, tapi budaya kita, menghendaki Abang untuk menghormatinya dan sanggup mengambil  risiko dari sebarang keputusan  yang Abang buat" Jelas Jefry dengan panjang lebar. 

"Lia tahu, tapi tidak mudah bagi Lia untuk memahami Abang dalam waktu yang sesingkat ini.  Bagilah Lia sedikit masa lagi" jawab Alia dengan lembut.  "Apakah Abang kurang menarik untukmu?"  "Bukan itu masalahnya, Lia sudahpun menerima Abang, sejak kita diijabkabul siang tadi, cuma...."  "Cuma apa? masalah kegadisan?"  Tersentak Alia mendengar pertanyaan yang terpacul keluar dari mulut suaminya itu. 

Ini membuatnya bertambah tambah gelisah, malu, takut dan macam macam lagi perasaan yang datang ketika itu.  Dadanya juga semakin berdebar.  "Jangan bimbang, Abang sudah biasa hidup di Amerika, hal itu bukanlah menjadi hal utama dan terpenting bagi seoarng gadis.." 

Nyaris saja Alia tersedak karena terkejut mendengar kata kata Jefry itu.  Bagaimana Jefry boleh meneka dengan cepat dan tepat sekali.  Hairan Alia memikirkannya. Alia terdiam seketika.

Jefry meneruskan kata katanya, "Tentu Lia terperanjat bukan! macamana Abang boleh tahu tentang kejadian itu.  Kamal, lelaki yang telah memperkosamu itu adalah kawan baik Abang semasa kami sama sama belajar  di Amerika dulu." secara tidak sengaja Jefry menceritakan tentang perkara itu, tetapi tiba tiba dia menyesal sekali.  "Ah....... kenapa begitu lancang sekali mulut aku pada malam bersejarah ini."  Jefry berkata dalam hati. 

Hancur hati Alia disaat itu, rahsia yang bertahun tahun disembunyikannya telah terbongkar oleh suaminya sendiri.  Alangkah sedihnya Alia.  Tiba tiba air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang gebu itu. 

"Lia, setiap orang mempunyai rahsia masing masing, setiap orang ingin dipandang suci, bersih, baik tapi itu semua tidak mungkin dapat mengubah kenyataan hidupnya, demikian juga dengan Abang..." terputus disitu sahaja cerita Jefry. 

Dengan penuh keraguan Alia menatap wajah Jefry.  "Kenapa dengan Abang? sudah ada isteri? sudah ada anak? atau..... ada gadis lain yang Abang cintai?" tanya Alia bersungguh sungguh. 

Jefry menghela nafas panjang, " Lebih parah dari itu..., Abang  sama saja seperti Alia, badan dan tubuh Abang saja nampak lelaki, tapi sebenarnya jiwa Abang, jiwa Abang ....."  "Kenapa dengan jiwa Abang, kenapa bang, kenapa...?  soal Alia lagi bertalu talu.  "Abang "GAY", Abang "GAY" Alia."  Masyallah! tiba tiba sahaja dunia terasa gelap.  Badan Alia bertukar menjadi begitu lesu sekali, Betulkah apa yang aku dengar ini, bisik Alia sendirian.  Betul ke apa yang dikatakan oleh suamiku itu? 

Alia tergamam....  Jefry yang tampan itu seorang Gay? Gay!Gay!.... berulangkali Alia menyebut kata-kata itu. Suasana hening seketika, masing masing  berbicara dengan fikiran masing masing.  Alia merasa amat kecewa sekali, lelaki yang diharapkan dapat membahagiakannya rupa rupanya seorang Gay. 

Malam pertama yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin yang 'normal' ternyata hanya bertukar menjadi kepedihan, kesedihan, kepiluan bagi Alia, bukan sahaja suaminya tahu tentang rahsianya, tapi lebih buruk lagi, dia menikahi seorang Gay?!  Patutlah Jefry nampak tenang sahaja, sejak siang tadi  tanpa sebarang reaksi, tidak resah juga tidak bahagia, rupa rupanya ternyata dia seorang Gay.

Alia menyalahkan dirinya sendiri, itulah, bila niat untuk berkahwin tidak berasal dari hati nurani sendiri, calon suami atau isteri belum kita ketahui betul betul, hal hal buruk seperti ini  memang mudah terjadi. Yang tinggal adalah satu penyesalan dan tangisan yang tiada hentinya.

"Abang, kalau Abang sudah tahu yang Abang ini seorang Gay, kenapa Abang  bersedia untuk mengahwini Lia?" dalam tangisan Alia bertanya.  Kenapa Abang tergamak melakukan ini semua.  Kenapa???"  tangisan Alia semakin kuat. 

Dengan rasa bersalah Jefry menjawab,"Abang hanya menurut kehendak mak ayah Abang! Abang sangat sayang pada keduanya...." 

"Sekarang bagaimana? tak kan kita hendak terus hidup berpura pura begini semata mata hendak menjaga hati orang tua kita?"  "Entahlah, Abang pun tak tahu.  Tapi Abang rasa elok kalau Lia ikut Abang balik ke Amerika, disana kita boleh fikirkan tentang  masalah kita  ini, lagipun bukankah menurut hukum islam, Lia sudah sah menjadi isteri Abang?  Mungkin kita tidak menikah secara fizik, secara badani atau pun emosi, tapi ada hukum yang telah mengikat kita berdua.  Abang tidak ingin melihat kedua dua orang tua kita kecewa disebabkan keputusan yang kita ambil... Kita harus bijak Lia." 

Keadaan kembali sunyi.  Kamar pengantin yang dihiasi indah sudah tidak bermakna lagi buat Alia. Alia sudah kecewa dan dia tidak pasti lagi apakah esok masih ada!!!  Pelamin anganku telah musnah sama sekali........

Cerpen Cinta Remaja: “Teduh” yang Telah Pergi

9 Februari 2009 39.180 views 75 Comments
“Pagi hari, di kediaman keluarga darmawan…..
“Ya….. masa Dinda ke skul harus naik angkot sich, Bun?”
”Hari ini Pak Kosim nggak bisa ngantar. Karena anak nya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah,  sekali-kali kamu berangkat naik angkot, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!!!”
”Ya udah dech….Dinda pergi dulu ya, Bun!”
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Karena supirnya harus nemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke skul naik angkot.
”Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sich buat nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot. Mana panas lagi.”
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebelah Dinda. Dan jantung Dinda hampir aja copot saat tu cowok senyum dengannya.
Dinda ngerasaain perasaan yang lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang udah lama tertahankan olehnya.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
”Duh….tu cowok manis banget ya…… saat gue liat mukanya, gue ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu cowok? Rasanya gue pengen banget kenalan ama tu cowok. Py gue malu. Hm…. gue kasih  nama “Teduh” aja dech… Coz matanya tu teduh banget. And mulai besok gue bakalan naik bus dech… coz gue pengen ngeliat muka tu cowo lagi” pikir Dinda yang masih nggak berhenti memikirkan cowok tadi, dan akhirnya dia tidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.
Paginya….
“Bun, Dinda pergi skul dulu ya…!!!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho Din, kamu nggak nunggu Pak Kosim dulu?”
”Nggaklah Bun, hari ini Dinda pengen naik bus aja….da Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..
”Duh si teduh mana ya? Kok belom datang sich?” batin Dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.
”Hei….. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
”Lho koq diam?”
”Eh….sorry…. tadi kamu bicara apa?”
”Aku tanya, kamu baru naik bus ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu semalam”.
”Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bus yang menuju ke sekolah Dinda datang.
”Eh… tu bus kamu udah datang”.
”Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***
Sudah sebulan Dinda bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Dan Dinda nggak sadar kalo itu adalah pertemuan terakhir dengan ”teduh” nya itu.
***
Seminggu sudah Dinda menanti sang pujaan hati, tapi ”teduh” tak kunjung datang. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan ”teduh”.
Suatu pagi, saat ia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa di duduki ”teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat dirindukan Dinda. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali kalo beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah:
” Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah
”Iya Bu….”
”Kalo anak saya masih hidup, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bus juga kayak kamu!”
”Lho….memangnya anak ibu kemana?”
”Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
”Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
”Oh…maaf ya Bu….”
”Nggak apa-apa koq dek….. dia tu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”
”Sayang ya Bu, sayang saya tak bisa melihat mukanya. Tapi dari cerita ibu, saya ngerasa dia mirip banget ama seseorang.”
”Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya.” jawab ibu itu sambil menyerahkan foto anaknya.
”Oh ya…. sebelumnya ibu ingin minta tolong sama kamu, bisa nggak kamu membantu ibu?”
”Apa yang bisa saya bantu Bu?”
”Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda.” pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan Dinda dengan perasaan binggung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu ternyata……….
”Halo Dinda….mungkin kamu bertanya-tanya mengapa aku tahu namamu…. itu  karena aku sengaja melihat namamu….. Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini. Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya.
Karena kita belum saling kenal, tapi sekarang aku lega, karena sebelum aku meninggal, aku bisa mengungkapkan perasaan ku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat. Dan sekarang aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambahkan semangatku untuk hidup lebih lama.
Dariku Reza”.
Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata Dinda tak dapat di tahan lagi. Ia merasa lemas saat melihat sosok pria yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela panas-panasan menunggu angkot, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari. Lalu dinda membaca surat terakhir dari teduh
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
Tiara Adinda
SMA Negri 1 Pekanbaru

No comments:

Post a Comment