Nama lengkapnya
adalah Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha’Al-Adami. Ia murid
Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 298 H/910M), Sultahanul Auliya’, Penghulu para Wali
yang cukup menonjol. Ibnu Atha’ adalah seorang penggubah syair-syair mistik dan
seorang tokoh terkemuka di kota Baghdad. Ia dihukum mati pada tahun 309 H/922 M
oleh penguasa zhalim waku itu.
Pada suatu hari,
beberapa orang pergi ke tempat Al-Junaid Al-Bagdadi berkhutbah dan mendapatkan
seluruh lantai basah.
“Apakah yang
terjadi ?” para murid itu bertanya.
“Aku mendapatkan
sebuah pengalaman mistik,” Ibnu Atha’ menjelaskan. “Dalam keadaan malu dan
dengan air mata bercucuran aku berjalan hilir mudik di dalam ruangan ini.”
“Mengapa
demikian?” mereka bertanya lagi.
“Ketika masih
kecil, aku pernah mencuri seekor burung dara milik tetangga. Hal ini teringat
olehku. Lalu aku berikan seribu dinar perak kepada pemilik burung itu sebagai
penggantinya. Namun batinku tetap gelisah. Aku pun menangis, khawatir, apakah
akibat yang akan kutanggungkan karena perbuatanku tersebut.”
Ibnu Atha’
mempunyai 10 orang putra, semuanya gagah dan tampan. Ketika mereka menyertai
Ibnu Atha’ dalam suatu perjalanan, perampok menghadang mereka. Para perampok
itu hendak memenggal kepala mereka satu per satu. Ibnu Atha’ tidaak berkata
apa-apa. Dan setiap kali salah seorang dari putranya itu dipenggal kepalanya,
ia menengadahkan kepala ke langit dan tertawa. Sembilan orang telah terbunuh.
Para penyamun hendak menghabisi anaknya yang kesepuluh.
“Sungguh seorang
ayah yang baik hati,” putranya yang kesepuluh itu berseru kepadanya. “Sembilan
orang putramu telah dipenggal dan engkau tidak berkata apa-apa, malah
tertawa-tawa.”
“Wahai buah hati
ayah ! DIA-lah yang melakukan hal ini, apakah yang dapat kita katakana
kepada-NYA ? DIA Maha Tahu dan Maha Melihat. Sesungguhnya DIA bisa, jika DIA
memang menghendaki menyelamatkan anak-anakku semuanya.”
Mendengar ucapan
Ibnu Atha’ ini, penyamun yang hendak membunuh putra yang kesepuluh itu tergugah
hatinya dan berseru, “Orang tua, seandainya tadi kata-kata itu engkau ucapkan,
niscaya tak seorang pun diantara anak-anakmu yang akan terbunuh.”
Ibnu Atha’
dituduh bid’ah oleh Ali bin Isa (w.334 H/946 M), yang menjabat wazir khalifah.
Ia memanggil dan mencela Ibnu Atha’, lalu dijawab Ibnu Atha’ dengan kata-kata
kasar. Si wazir murka dan memerintahkan hamba-hambanya melepaskan sepatu yang
sedang dikenakannya, dan dengan sepatu itu mereka harus memukul kepala Ibnu
Atha’ sampai ia mati. Di dalam penyiksaan itu Ibnu Atha’ meneriakkan kutukan
kepadanya, “Semoga Allah swt memutuskan kaki dan tanganmu!”
Di belakang hari
Khalifah marah kepada wazirnya, Ali bin Isa, dan memerintahkan agar tangan dan
kakinya dipotong.
Sehubungan dengan
peristiwa ini beberapa di antara tokoh sufi menyalahkan Ibnu Atha’ dan
berpendapat, “Jika melalui doa-doa engkau dapat memperbaiki manusia, mengapa
engkau mengutuknya? Seharusnya engkau mendoakan keselamatannya.” Namun tokoh
sufi yang lain membela Ibnu Atha’ dan berkata, “Mungkin sekali Ibnu Atha’
mengutuk si wazir untuk membela kaum muslimin, karena ia adalah seorang wazir
yang zhalim.”
Sebuah penjelasan
yang membela Ibnu Atha’ mengatakan, sebagai seorang manusia yang kasyaf, Ibnu
Atha’ mengetahui malapetaka yang akan menimpa diri si wazir. Ia hanya
menyatakan persetujuan terhadap takdir Allah swt. Dengan demikian, Allah swt
menyatakan kehendak-NYA melalui lidah Ibnu Atha’, sedangkan Ibnu Atha’ sama
sekali berlepas tangan atas takdir itu.
Sementara seorang
ahli tasawuf dari Inggris, A.J.Arberry, yang menulis buku Muslim Saint and
Mystics (London,1979), setelah mengkaji buku karya H. Bowen berjudul The Life
Times of Ali bin Isa (Cambridge,1928), berpendapat, Sesungguhnya Ibnu Atha’
tidak mengutuk si wazir. Bahkan sebaliknya, Ibnu Atha’ mendoakan demikian
supaya si wazir menanggung kehinaan di dunia ini dan kehilangan kedudukannya
yang tinggi beserta kekayaannya yang berlimpah itu. Dengan sudut pandang
seperti ini terlihatlah, Ibnu Atha’ semata-mata menghendaki kebaikan bagi Ali
bin Isa. Bukankah hukuman di dunia jauh lebih ringan daripada di akhirat ???
Sumber : Majalah
Kisah Islami “AlKisah” No.09/Tahun V/23 April-6 Mei 2007 hal. 130-131
No comments:
Post a Comment