Thursday, June 9, 2016

Sejarah Islam Di Kalimantan



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Perjalanan hidup manusia penuh dengan ketidaksempurnaan, ia membutuhkan contoh dan tauladan dari orang-orang sebelumnya, karena itu manusia menganggap penting untuk bercermin kepada kejadian yang telah lalu yang disebut sejarah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Quran surat Al-Hasyru ayat 18 yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia bisa terus berkembang dalam berbagai bidang, dengan pendidikan manusia hidup lebih bermartabat, dengan pendidikan berbagai persoalan kehidupan diselesaikan, mengingat pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia maka akan dijelaskan bagaimana sejarah perkembangan pendidikan di Kalimantan sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah pendidikan Islam di republik tercinta ini.
Pada masa dahulu, para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua jalur. 
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. 
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang kami angkat yaitu antara lain :
1.    Bagaimana islam masuk di kalimantan barat?
2.    Bagaimana islam masuk di kalimantan selatan ?
3.    Bagaimana islam masuk di kalimantan timur ?
4.    Bagaimana islam masuk di kalimantan tengah ?
5.    Bagaimana pendidikan islam di kalimantan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      ISLAM MASUK DI KALIMANTAN BARAT
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, “Islam Masuk di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat lainnya.
Ada beberapa hal yang membuat Islam dapat dengan mudah untuk diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai ke daerah pedalaman. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
1.      Melalui perkawinan campuran yang dilakukan oleh orang muslim dengan orang non-muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga dapat dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
2.      Melalui perdagangan. Mayoritas penduduk Kalbar tinggal di daerah pesisir sungai atau pantai. Islam disebar luaskan dan berkembang melalui kegiatan perdagangan mulanya di kawasan pantai seperti Kota Pontianak, Ketapang, atau Sambas, kemudian menyebar kearah perhuluan sungai.
3.      Melalui dakwah. Adapun nama-nama mubaligh dan guru agama yang terlibat dalam menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut pada awal abad ke-20 menurut Mohd Malik (1985:48) diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh Abdurrahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh (1940-?), dan Haji Ahmad asal Jongkong (sekarang). Para guru agama ini mengajarkan membaca Al-Quran, fiqh dan lain-lain, dirumah dan juga di mesjid.
4.      Melalui Kekuasaan (otoriter). Islamisasi ini terjadi pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang. Pada massa ini beliau melakukan perperangan kepada siapa saja yang tidak mau masuk Islam. Tercatat raja-raja kerajaan Silat, Suhaid, Jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk Islam. Setelah raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk Islam, mereka diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan dihukum mati.
5.      Melalui Kesenian Tradisional. Sastra tradisional di Cupang Gading memperlihatkan adanya nilai keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai Islam dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan Islam itu sendiri. Berpadunya  nilai lokal dengan  Islam dapat dilihat melalui prosa rakyat yang dikenal dengan istilah bekesah dan melalui puisi tradisional, seperti pantun, mantra, dan syair. Selain itu Islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin Lembut yang ada didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah yang kemudian  dijadikan media dakwah dalam menyebarkan Islam di Kalbar.
Di Kalimantan Barat daerah yang pertama kali mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah yang diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab. Ini sejalan dengan teori sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859), Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878), bahwa penyiar Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori ini didukung pula oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M, Sayyid Habib Husein al-Kadri diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalbar pada abad ke 15 di pelabuhan Ketapang (Sukadana) melalui perdagangan. Penyebaran agama Islam di Kalbar membujur dari Selatan ke Utara, meliputi daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak. Menurut Safarudin Usman bahwa Islam mulai menyebar di Kalbar diperkirakan sekitar abad XVI Miladiah, penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau dikenal kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana agama Islam mulai diterima masyarakat, akan tetapi Barukh tidak menganut agama Islam sampai wafat 1590 M.
Selain itu ada pendapat yang mengemukakan pada tahun 1470 Miladiah sudah ada kerajaan yang memeluk agama Islam yaitu Landak dengan rajanya Raden Abdul Kahar (Usman,1996:4) Dimasa pemerintahan Raden Abdul Kahar (Iswaramahaya atau Raja Dipati Karang Tanjung Tua) beliau telah memeluk agama Islam sehingga dapat dikatakan berawal dari kerajaan Landak.
Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Kalimantan barat antara lain sebagai berikut :
1.      Kerajaan Pontianak
Diceritakan bahwa Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam, putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Sebelum memperkuat karir politiknya, Syarif Abdurrahman Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai mana disebutkan terdahulu ia memiliki armada dagang yang dilengkapi persenjataan di laut. Pernyataan ini seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu bahwa para pedagang Arab tidak tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah. Sebenarnya tidak ada yang bertentangan dalam hal ini. Senjata yang digunakan oleh Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab saat itu sudah terjadi persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang asing dan juga untuk mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut). Kemungkinan besar angkatan bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak semata miliknya tetapi juga dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah yang sudah Islam ketika itu. Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal dagang.
Setelah Syarif Abdurrahman Al-Kadri mengurangi aktifitas dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk mendirikan suatu kerajaan atau kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M) ia meninggalkan Mempawah menuju Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai Kapuas, rombongannya mendarat di Istana Kadriah yang sekarang dinamai Pontianak. Di sini ia membangun perumahan dan balai serta masjid. Di tahun yang sama ia balik ke Mempawah untuk membawa serta keluarga dan mengambil armada Tiang Sambung ke Pontianak.
Tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau, ia berlayar ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya dibawah kekuasaan Pontianak Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para sultan dan penambahan dari Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja haji mengangkat dan menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan menguasai Mempawah, Sambas.
Di Daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termasyhur, sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak (Usmandkk:1997). Ustazd Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar  dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah dan salah seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh Muhammadiyah yang ada di Pontianak.
Setelah Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu:
a.      Sultan Syarif Kasim Al-Kadri (1808-1819)
b.      Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
c.       Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
d.      Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
e.       Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
f.        Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
g.      Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (Sultan Hamid), (1945-1950)

2.      Kerajaan Jongkong (Embau)
Pada awalnya pendidikan dikerajaan ini didapatkan dari adanya pendakwah yang datang dari luar. Namun, kemudian untuk perkembangan Islam selanjutnya H. Ahmad dan teman-temannya membuka madrasah yang diberi nama Hidayatul Mustaqim pada tanggal 9 November 1946, selain itu ada juga pengajian keliling. Sebelum H. Ahmad masyarakat pendapatkan pengajaran dari mubaligh dan guru agama yang mengajarkan Al-Qur,an, fiqh, di rumah dan di mesjid. Para pengajar agama juga berupaya memadukan ajaran Islam dengan kepercayaan lama masyarakat.

3.      Kerajaan Sambas
Pendidikan Islam di kerajaan Sambas dapat dilihat dari dua tahap sebagai berikut: Tahap pertama, yaitu pendidikan dilingkungan keluarga. Pendidikan dilingkungan keluarga diberikan dalam bentuk pelajaran membaca Al-Qur’an. Pendidikan seperti ini diberikan kepada anak dari sejak dini bagi anak-anak berumur 5-10 tahun. Kegiatan yang biasa disebut “mengaji” ini dilakukan  secara berkelompok dirumah guru ngaji. Mula-mula anak di ajari membaca huruf Hijaiyyah dengan cara mengeja satu demi satu huruf kemudian merangkainya dengan kata sehingga terbentuk satu kesatuan kalimat. Apabila huruf-huruf ini telah dikenal barulah pindah membaca Jus Amma, yaitu jus ke-30 yang dibukukan tersendiri dan disebut juga Al-Qur’an kecil. Bagi anak yang sudah lancar membaca dan telah tamat Juz Amma, guru ngaji biasanya menyelenggarakan upacara penamatan yang disebut Khataman Al-Qur’an. Pada saat acara Khataman Al-Qur,an orang tua murid ngaji masing-masing mengantarkan hadiah sesuai kemampuannya berupa beras, kelapa, dan kain kepada guru ngaji.
Jika anak telah tamat Al-Qur’an Kecil, selanjutnya anak pindah untuk membaca Al-Qur’an Besar. Prosesi pengajaran Al-Qur’an besar, pertama-tama guru membimbing sekali atau dua kali, lalu anak mengulangnya beberapa kali sampai lancar. Pengetahuan membaca seperti ini ditingkatkan dengan memberikan pengetahuan seni membaca. Akhirnya, anak mampu membaca sendiri tanpa pembimbing. Disamping membaca anak-anak juga diberikan ilmu tajwid. Waktu yang diperlukan untuk menamatkan seluruh bacaan tidak ditentukan tergantung kemampuan membaca setiap anak. Namun, rata-rata mereka menamatkan bacaan Al-Qur’an antara 6-12 bulan.
Tahap kedua, adanya pengakuan anggota masyarakat atau lingkungan masyarakat terhadap kealiman dan keshalehan seorang ustad atau syekh, sehingga anggota masyarakat mengirimkan anaknya untuk memperdalam ilmu. Pada tahap ini anak-anak yang telah meningkat remaja diajari dasar-dasar ilmu nahwu dan saraf. Selain itu juga di ajarkan semacam ilmu usul yang berisi materi rukun iman dan rukun Islam. Kitab rujukan utamanya adalah kitab Perukunan Melayu  karya Arsyad al-Banjari. Selain itu, terdapat juga pelajaran fikih yang termuat dalam kitab “1001 Masalah” yang amat praktis susunannya. Umumnya kitab-kitab rujukan ini menggunakan bahasa Arab Jawi (berbahasa Melayu beraksara Arab) dan sering kali tidak mencantumkan nama pengarangnya. Selain ilmu fikih, terdapat kecenderungan berkembangnya ilmu tasawuf.
Namun, ketika penguasa ke-8 kesultanan Sambas, Muruhum Anom yang bergelar Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (berkuasa 1813-1826), mulai membangun institusi keagamaan Islam di Istana dengan melantik H. Nuruddin Mustafa sebagai imam kesultanan. Tugas imam adalah setiap hari datang ke istana untuk memberikan pengajaran agama terutama pengajian al-Qur’an dan sembahyang kepada kerabat Sultan (Machrus Effendy 1995:20). Dengan demikian, perkembangan berikutnya istana dijadikan lembaga pendidikan dikalangan elit penguasa, selain masjid. Lembaga pendidikan istana (palace school) inilah yang kemudian berkembang menjadi madrasah al-Sutaniyah. Kemudian Muhammad Tsaifudin II mendirikan madrasah al-Sultaniyah pada tahun 1868. Pada awalnya kurikulum madrasah ini masih terbatas pada pelajaran  Agama Islam. Peserta didiknya pun hanya dari kalangan kesultanan, aktivitas pembelajaran masih didalam istana. Namun setelah adanya pembauran dan adanya keinginan untuk membuat madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola namun setelah adanya pembauran dan adanya keinginan untuk membuat madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola dengan memasukan kurikulum pendidikan barat disamping pendidikan Islam, agar dapat menyaingi sekolah-sekolah milik kolonial Belanda. Lalu sekolah ini diganti namanya menjadi Tarbiatoel Islam.

4.      Kerajaan Sintang
Pada saat itu kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa disebut Sultan Aman, beliau memerintah tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat fanatik terhadap Islam. Pada masa Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi dua orang ulama dari Aceh bernama Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi panglima perang karena keahliannya dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena semangatnya mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di hulu Sungai Kapuas. Sultan Aman juga memerangi orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam.

B.       ISLAM MASUK DI KALIMANTAN SELATAN
Sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah KalSel yang diketahui ialah daerah sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah KalSel menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat (Hikayat Banjar). Sumber tersebut memberitahukan bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalsel kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar Sungsang kemudian diambil menjadi menantu Sunan Giri dan bergelar Sunan Serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi masalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama, adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan yaitu bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha. Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan. Hubungan itu adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1.    Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2.    Maharaja Sukarama
3.    Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4.    Pangeran Tumenggung
5.    Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Islam Banjarmasin.

C.      ISLAM MASUK DI KALIMANTAN TIMUR
Kerajaan Islam di Kalimantan timur adalah Kesultanan Kutai yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu Kutai Kartanegara yang sudah berdiri sejak tahun 1300. Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600) kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang Parangan. Seperti yang di kisahkan dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah untuk menyebarkan agama islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota Untuk memeluk agama Islam, pada awalnya ajakan ulama ini di tolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama di kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.
Langkah dakwah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota di tolak oleh sang Raja. Karena langkah dakwah ini buntu, Tuan ri Bandang memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang Parangan menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota yang akan menang maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai Kartanegara. Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja Mahkota. Adu kesaktian akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota Akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan kerajaan  majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam dan sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama hindu kemudia tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.
Islam yang datang diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai dan kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18. Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Idris 1732-1739. Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, beliau pergi ke Sulawesi Selatan untuk menolong rakyat Sulawesi yang sedang berperang melawan penjajahan Belanda. Sehingga tahta kesultanan Kutai direbut oleh Aji Kado yang resmi menjadi Sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyuddin (1739-1780). Tahta kesultanan kutai sebenarnya akan diberikan kepada Aji Imbut putra mahkota Sultan Aji Muhammad Idris , namun karena usianya yang masih belia, Aji Kado mengambil alih kesultanannya. Setelah Aji Imbut dewasa dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai denga gelar Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816). Sejak itu dimulai perlawanan terhadap Aji Imbut. Karena Aji Imbut mendapat bannyak bantuan dari rakyat sehingga ia dapat memenangi perlawanan Aji Muhammad Aliyuddin dihukum mati.
Dalam kesultanan Kutai Islam dijadikan sebagai agama resmi Negara. Para ulama mendapat kedudukan terhormat sebagai penasehat sultan dan pejabat-pejabat kesultanan, disamping sebagai hakim. Hukum Islam diberlakukan dalam menyelesaikan perkara perdata dan keluarga. Sehingga ajaran Islam sangat berpengaruh di daerah tersebut.
Masa kejayaan Kesultanan Kutai ialah pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muslihuddin dan Sultan Muhammad Salihuddin. Pada masa itu Kesultanan Kutai tampil sebagai daerah maritime yang memiliki armada pelayaran yang meramikan perdagangan. Hasil rempah yang dihasilkan Kesultanan Kutai diantaranya adalah lada, kopi, kopra, dan rempah-rempah. Sedangkan barang yang masuk ke daerah Kutai yaitu, sutra, porselin, dll. Para pedagang dari Kesultanan Kutai sangat aktif berlayar di Kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Filipina, dan Cina.

D.      ISLAM MASUK DI KALIMANTAN TENGAH
1.      Islam Masuk di Wilayah Kotawaringin
Seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh Sultan Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini.
Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun, hadiah yang paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah dibangunnya sebuah masjid yang kelak bukan sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40 orang, Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan belantara menjadi sebuah kawasan permukiman yang cukup maju. Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini menjadi salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar Kiai Gede dan para pengikutnya. Kiai Gede membangun Sebuah Masjid yang bernama Masjid Kiai Gede, Mesjid ini menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin. Masjid Kiai Gede dibangun pada tahun 1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat dari Kesultanan Banjarmasin.

2.      Islam Masuk Di Wilayah Mandomai
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah umum lainnya, Islam masuk ke daerah Mandomai melewati jalur perniagaan, pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam ini mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan Islam masuk ke daerah Mandomai ini abad ke-18, para penghuni “huma hai” pun tertarik dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan kehidupan manusia, penyebaran Islam begitu pesat di Mandomai, hal ini terbukti dari adanya pembauran budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan makam yang berbentuk tinggi seperti sapundu (titian menuju surga menurut ajaran agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di sebuah makam seorang penghuni “huma hai” yaitu Oedjan.
Perkembangan Islam di Mandomai berkaitan erat dengan seorang tokoh di “huma hai” yaitu Oedjan ini, ayah Oedjan berasal dari daerah Palingkau, tepatnya Doesoen Timoer Patai, Oedjan adalah anak dari Damboeng Doijoe yang juga disebut seorang Temenggung Madoedoe sepupu dari Soetawana ayah Soetarnoe di Tamiang Layang, Temenggung Madoedoe ini anak dari Djampi yang merupakan kakek dari Oedjan yang sudah memeluk Ajaran Islam. Oedjan ini menikah dengan seorang gadis keturunan Portugis yang bernama Makau (Saleh), dari perkawinannya ini di anugerahi 9 anak yaitu Sahaboe, Oemar, Aloeh, Galoeh, Soci, Ali, Esah, Tarih, dan Njai.
a.    Hubungan kekerabatan ‘huma hai” dan orang Kuin, Bandarmasih
Abdullah bin Abu Samal memiliki dua orang Isteri, yang pertama beliau beristeri dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim yang masih keturunan Habib Pajar, kemudian isteri beliau yang kedua adalah Datuk Mantjung, dari istrinya yang pertama beliau dianugerahi 7 orang anak dan dari isterinya yang kedua beliau dianugerahi 6 orang anak. Yang berkaitan erat hubungannya dalam perkembangan Islam adalah berbesannya Abdullah bin Abu Samal dengan Oedjan bin Damboeng bin Djampi, yakni anak dari Abdullah bin Abu Samal dengan isterinya yang pertama yaitu KH. Abdul Gapoer dengan anaknya Oedjan bin Damboeng dari isterinya yang bernama Makau (Saleh) yaitu anaknya yang ke-7 bernama Esah, dari pernikahan ini lahir 2 orang putra yang berpengaruh dalam perkembangan Islam maupun perjuangan mencapai kemerdekaan yakni Igak dan H.M. Sanoesi yang sekarang makamnya ada di makam pahlawan di Kabupaten Pulang Pisau. Menurut sumber sejarah dikatakan bahwa Abu Samal yang merupakan ayah dari Abdullah adalah masih kerabat dekat dengan Raja Banjar yaitu Sultan Suriansyah yang kubahnya sekarang ada di Kuin, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
b.    Pesatnya perkembangan Islam ditandai dengan dibangunnya sarana tempat ibadah.
Pada tahun 1903, tepatnya pada tanggal 04-08-1903 didirikanlah sebuah Mesjid Jami Al-Ikhlas, yang di prakarsai oleh 4 tokoh masyarakat yaitu Rahman Abdi bin H. Muhammad Arsyad (Kuin), Abdullah bin H. Muhammad (penghulu Mandomai), Sabri bin H.Muchtar, Sahaboe bin H. Muhammad Aspar. Nama-nama para pemprakarsa pembangunan mesjid ini terpahat di 4 tiang mesjid Jami Al- Ikhlas ini yang disebut “4 tiang guru”.
H. Muhammad Aspar ini sepupunya H. Muhammad Sanoesi dan Igak yang juga keponakan dari KH. Abdul Gapoer (Tokoh syiar Islam di Mandomai). Mesjid ini dilihat dari arsitekturnya mengadopsi dari arsitek mesjid-mesjid yang ada di Kalsel, bangunannya hampir serupa dengan Mesjid Jami yang ada di kelurahan Mambulau ketika belum di renovasi, yang selama ini di klaim sebagai Mesjid tertua yang ada di Kabupaten Kapuas, namun dari bukti sejarah yang telah kami telusuri dan terdapat bukti-bukti kebenaran sejarahnya, ternyata mesjid tertua yang ada di kabupaten Kapuas adalah Mesjid Jami Al-Ikhlas yang menurut perhitungan penanggalan tahun masehi sudah berusia kurang lebih 107 tahun, ini dihitung dari peletakan batu pertama pembangunannya sampai dengan sekarang, mesjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dengan tidak merubah bentuk aslinya secara keseluruhan, namun bentuk kubah, dinding, atap, bentuk jendela dan pintunya sudah mengalami perubahan. Selama ini mesjid bersejarah ini kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah, artikel singkat ini sengaja kami susun dengan penilitian yang seksama agar kiranya nilai sejarah perkembangan Islam di Kecamatan Kapuas Barat, Kelurahan Mandomai ini tidak terlupakan oleh kaum muslimin dan muslimat di Kabupaten Kapuas yang mencintai akar sejarah penyebaran ajaran agamanya dan menjadi semangat baru dalam syiar agama Islam dimasa yang akan datang.

E.       PENDIDIKAN ISLAM DI KALIMANTAN
1.    Pendidikan Islam di Kalimantan
Pendidikan Islam di Kalimantan dipelopori oleh Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918 M, hal ini menjadi inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
a.    Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922 M. Proses pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus vak agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah pengetahuan umum.
b.    Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak, didirikan pada tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun. Materi yang diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu umum.
c.    Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya selama 5 tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP Negeri.
d.   Madrasah Normal Islam Amuntai, didirikan pada tahun 1928 oleh H. Abdur Rasyid, seorang lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama Arabische School. Pada akhir 1941 tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M. Arif Lubis, (guru di Pondok Modern Gontor Ponorogo) dan berubah namanya menjadi Ma’had Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama madarasah berubah menjadi sekolah guru dengan nama Normal Islam IMI Amuntai, dengan lama pelajaran selama 6 tahun dan rencana pelajarannya disesuaikan dengan hajat masyarakat.
Selain madrasah-madrasah tersebut banyak madrasah lainnya, seperti Madrasah Imad Darussalam di Martapura, Sekolah Menengah Islam di Kandangan, Madrasah Al-Ashriah di Banjarmasin dan lain-lain.
2.    Organisasi Perkumpulan Madrasah
Di kalimantan ada beberapa organisasi perkumpulan madrasah, diantaranya :
a.    Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PERMI), didirikan di Pontianak pada tahun 1954 dengan tujuan untuk menyatukan nama madrasah dengan nama yang sederhana yaitu Madrasatul Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah. Tujuan lainnya adalah menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan kitab-kitab keluaran Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada madrasah-madrasah itu terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum dengan porsi pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30%. Permi juga mempunyai tujuan untuk menyatukan madrasah-madrasah dalam organisasi ini.
b.    Ikatan Madrasah Islam (IMI) Amuntai, didirikan pada tanggal 15 Maret 1945 dengan tujuan menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan tinggi Islam dan memperbaiki organisasi dan leerplan perguruan-perguruan Islam yang telah ada agar sesuai dengan hajat hidup orang banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan rapat-rapat dengan guru-guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan perguruan-perguruan Islam jika memungkinkan, menggabungkan perguruan-perguruan Islam menjadi satu serta memberikan arahan-arahan kepada perguruan-perguruan Islam tentang pendidikan, pengajaran dan organisasi.


BAB  III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di daerah utara tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah raja Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat penyiaran agama Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di Kalimantan Barat di dekat Muara Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan pada abad XVI di bawa oleh orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah Sambas ditaklukkan oleh kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan terjadi sekitar 1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di Kalimantan Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak.
Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis yang mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah ini melalui jalan perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri raja di daerah ini.
Setelah Islam datang ke Indonesia terutama di Pulau Kalimantan banyak perubahan-perubahan yang terjadi terutama bagi rakyat yang menengah ke bawah. Mereka lebih di hargai dan tidak tertindas lagi karena Islam tidak mengenal sistem kasta, karena semua masyarakat memiliki derajat yang sama. Islam juga membawa perubahan-perubahan baik di bidang politik, ekonomi dan agama. Islam juga bisa mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia untuk melawan dan memgusir para penjajah.

B.       SARAN
 Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas kelompok kami ini




 DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia",   dalam    Seminar Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia", Jakarta:
Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet . ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
http://kesultanankadriah.blogspot.com/2011/01/islamsejarah-masuknya-ke-kalimantan.html
http://khuzmayudi.blogspot.com/2013/03/sejarah-pendidikan-islam-di-kalimantan.html
http://kota-islam.blogspot.com/2013/10/sejarah-masuknya-islam-di-kalimantan.html
http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-kalimantan.html
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/20/masuknya-islam-di-kalimantan-bag-3-548367.html
http://senyumislam.wordpress.com/2012/09/10/perkembangan-islam-di-kalimantan-barat/
 International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama dan    Filsafat UIN Jakarta, 10 Juni 2003

3 comments: