Tanggal 26
September 2014
Kuhirup sekuat
mungkin udara yang mampu kumasukkan dan menghempaskannya sejauh mungkin bersama
puing-puing kesedihan yang sedang kurasakan. Lambaian tangan itu akan sangat
kurindukan untuk waktu yang cukup lama.
“Mama do’akan
kamu mendapat jodoh yang terbaik walaupun terlambat untuk menikah.” Itulah untaian
kata yang terucap indah dari Mama sebelum kepergiannya.
Aku hanya bisa
menangis sesegukan. Bukan hanya karena doa yang terlontar, melainkan karena
perpisahan yang akan terjadi. Selama ini aku terbiasa hidup bersama keluarga
yang lengkap, terutama Mama.
Segala persiapan
telah selesai, tinggal menunggu para tamu hadir. Setelah shalat jum’at ini,
maka acara yang sacral ini pun akan dilaksanakan. Tampak wajah Mama begitu
bercahaya, bagaikan pengantin baru yang menunggu pasangannya datang.
Waktu terus
berlalu, berputar sesuai takdir yang telah Allah SWT gariskan. Para tamu dengan
khusyuk melantunkan surah Yasin dengan merdunya. Namun di sisi lain, kamar ini
bagaikan tempat menumpahkan air mata. Acara minta maaf antara orang tuaku
kepada nenek dan kami dibajiri air mata, terutama aku dan mama. Kami terlalu sensitive
untuk hal kesedihan.
Kini saatnya orangtuaku
duduk di pelamin sederhana, bak acara pernikahan. Namun yang diantarkan
bukanlah sang pengantin, melainakan calon jemaah haji yang menjemput panggilan
dari Rabb-Nya. Panggilan yang telah lama dinanti-nanti orangtuaku.
Suasana mengharu
biru masih lekat terasa. Apalagi saat adzan dikumandangkan sebagai pertanda, inilah
Ya Rabb, kedua makhluk-Mu yang ingin memenuhi panggilan suci-Mu. Permudahkanlah
langkah mereka ini, lindungilah mereka yang akan menyempurnakan rukun Islam
dalam hatinya. Dengan iringan shalawat yang dilantunkan penuh kesyahduan,
orangtuaku berangkat menuju Rumah Jabatan Bupati Kuala Kapuas.
Lautan manusia
sepuluh kali lipat terlihat di tempat ini. Ya, warga Kuala Kapuas dari berbagai
penjuru memadati lokasi ini. Tampak lima bus berjejer rapi, siap mengantarkan
para jemaah menuju embarkasi Palangkaraya. Inilah tempat terakhir aku bisa
melihat wajah kedua orangtuaku. Semoga ini bukan yang terakhir untuk selamanya.
Telah dua jam
lebih aku berada di depan rumah jabatan bupati ini. Lelah, ya memang lelah
apabila harus berdesak-desakan dan berdiri berjam-jam. Namun hati berkata “Ini
yang terakhir. Setelah ini, kau harus memendam rindu selama 40 hari”. Nuansa
sakral nan agamis terasa di sini.
Kini secara
perlahan para jemaah memasuki busnya sesuai nomor rombongannya, orangtuaku
berada pada bis pertama, memungkinkan aku dan adik untuk menatap wajah mereka
lebih lama walau terdinding kaca bus. Lambaian tangan ini yang hanya mampu
mengungkapkan perasaan sedih, haru dan bahagia. Tak mampu aku memendam air mata
ini. Tak kupedulikan lingkungan sekitar yang melihat wajah cengengku. ini
adalah suatu kewajaran bagiku.
![]() |
bis jemaah haji rombongan satu kloter kuala Kapuas |
Rindu ini akan
semakin menggunung selama kepergian mereka. Mungkin seperti inilah rasa seorang
anak yang kehilangannya orangtuanya karena malaikat maut menjemputnya. Dan
rumah ini akan terasa sepi tanpa mereka berdua yang memberi warna dalam jannah
dunia.
****
![]() |
foto ayah dan adik setelah makan siang di rumah jabatan bupati |
![]() |
foto di rumah jabatan bupati |
![]() |
Tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away #EMOTIONALSEPTEMBERPROJECT |
No comments:
Post a Comment