BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membicarakan Filsafat Pendidikan Islam, tidak terlepas dari induk teori
filsafat secara umum. Dengan gamblang orang berpendapat bahwa ber-filsafat
adalah berpikir tentang sesuatu secara rasional, sistematis, radikal (sampai
pada akar masalah), dan menyeluruh untuk mencari nilai kebenaran.
Dengan memahami Filsafat Pendidikan Islam diharap melahirkan cara pandang
yang obyektif dan kritis terhadap berbagai persoalan yang mengemukan. Sedang
dengan menggali perkembangan Filsafat Pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi
cermin atas etos pikir yang semata-mata tidak berargumentasi dengan
mengandalkan rasio disebabkan oleh interes keilmuan yang mengambang, tetapi
lahir sikap rasional, sistematis, radikal, dan general sebagaimana para filosof
melakukannya, dan cermin yang sangat penting adalah terpatrinya sikap filosof
yang menjunjung tinggi egalitarianisme, humanisme, dan indevendesi.
Dalam upaya pengembangan pendidikan
Islam sebagai proses pencerdasan umat, banyak variabel yang mendukung
keberhasilan pendidikan yang dilakukan, salah satu di antaranya adalah
kurikulum. Bahkan dapat dikatakan bahwa kurikulum menempati posisi
yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang
dilaksanakan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan komponen pokok dari
sistem pendidikan, maka ia merupakan salah satu alat yang membawa kepada
tercapainya tujuan pendidikan. Pada tataran inilah dirasakan pentingnya
pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, pada bahasan
selanjutnya, penulis akan mengkonsentarsikan kajian pada masalah bagaimana implikasi
filsafat pendidikan Islam terhadap perkembangan kurikulum PAI, untuk lebih
jelasnya penulis akan dibahasan pada pembahasan selanjutnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan sebagai pokok bahasan dalam
penulisan makalah ini, diantaranya :
1.
Bagaimana pengembangan
kurikulum PAI menatap Inovasi Pendidikan ?
2.
Bagaimana implikasi tipologi filsafat pendidikan islam terhadap
pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI ?
C.
TUJUAN PENULISAN
Makalah ini adalah
sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yakni :
1.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pengembangan
kurikulum PAI menatap Inovasi Pendidikan.
2.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang implikasi tipologi
filsafat pendidikan islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
MENATAP INOVASI PENDIDIKAN
Upaya ini memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah
terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajaran
yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi inovasi
ini pada umumnya cenderung top-down
innovation melalui strategis power
coercive atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja
diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama
ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisien dan sebagainya. Inovasi
seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak,
menganjurkan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk
kepentingan bawahannya. Dan bawahanya tidak punya otoritas untuk menolak
pelaksanaannya.
Idris H.M.Nor (Balitbang Depdiknas, 2001), dalam makalahnya “Sebuah
tinjauan teoritis tentang inovasi pendidikan di Indonesia” menyatakan bahwa
banyak contoh inovasi yang telah dilakukan selama beberapa decade terakhir ini, seperti Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Sistem Modul dalam
pembelajaran, Contestual Teaching And
Learning, Quatum Teaching And
Learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan itu tidak bertahan
lama dan hilang dan tenggelam begitu saja. Model inovasi demikian akan bisa
berjalan dengan baik pada waktu berstatus proyek. Tidak sedikit model inovasi
seperti itu pada saat diperkenalkan atau bahkan pada saat pelaksanaanya
mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri
(di sekolah), tetapi para juang pemerhati dan administrator di Kanwil dan
Kandep.
Sebagai kebalikan dari top-down innovation adalah model inovasi yang
diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreatif dan inisiatif dari sekolah, guru, atau
masyarakat yang pada umumnya yang disebut Bottom
Up Innovation. Model ini
jarang dilakukan di Indonesia karena selama ini, karena sistem pendidikan
bersifat cenderung sentralistis walaupun sudah diberlakukan desentralisasi
pendidikan.
Inovasi kurikulum yang bersifat top-down ternyata banyak menghadapi kendala yaitu :
1.
Perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi
2.
Konflik dan motivasi yang kurang sehat
3.
Lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak
berkembangnnya inovasi yang dihasilkan
4.
Keuangan (financial)
yang tidak terpenuhi
5.
Penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi
Di samping itu ada beberapa hal kenapa inovasi sering
ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksanan dilapangan atau
disekolah sebagai berikut:
1.
Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan
bahkan pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut
dianggap oleh guru atau sekolah bukan milikinya, dan merupakan kepunyaan orang
lain yang tidak perlu dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi sekolah
2.
Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat
sekarang, karena metode atau sistem tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun dan
tidak ingin diubah. Di samping itu, sistem yang mereka miliki dianggap oleh
mereka memberikan rasa aman atau kepuasaan serta sudah baik sesuai dengan
pikiran mereka.
3.
Inovasi baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat belum
sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta
didik.
4.
Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat
merupakan kecederungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya diciptakan
inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau
financial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Sehingga, sekolah atau guru
terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para innovator di pusat dan
tidak berwewenang untuk mengubahnya.
Menurut Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001) untuk menghindari penolak
seperti yang disebutkan diatas faktor-faktor utama yang yang perlu diperhatikan
dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum dan fasilitas
dan program/tujuan.
1.
Guru
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan
merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian
dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas
maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa peserta didiknya kepada
tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu ada hal yang dapat membentuk
kewibawaan guru antara lain :
a.
Penguasaan materi yang diajarkan.
b. Metode mengajar yang
sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik.
c. Hubungan antara individu,
baik dengan peserta didik, maupun antara sesama guru dan unsur lain yang
terlibat dalam proses pendidikan, seperti administrator, kepala sekolah, tata
usaha serta masyarakat sekitarnya.
d.
Memiliki pengalaman dan keterampilan.
Dengan demikian,
dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi
pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang
sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka mereka akan menolak
inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini dikarenakan mereka menganggap
inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus
dilaksanakan, tetapi mereka
menganggap akan mengganggu
ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi
pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran
yang luas sebagai pendidik, orang tua, teman, dokter, motivator.
2.
Peserta didik
Sebagai objek utama dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar
mengajar, peserta didik memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses
belajar mengajar, peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui
penggunaan inteligensia, daya motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen yang
timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila
peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya
mengenalkan kepada mereka tujuan daripada perubahan mulai diperencanakan sampai
dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi sebuah tanggung jawab
bersama yang harus dilakukan secara konsekuen. Peran peserta didik dalam
inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya,
karena peserta didik bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran
pada sesame temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam
memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, peserta didik
perlu dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi
tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi (penolakan).
3.
Kurikulum
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum sekolah meliputi program
pengajaran dan perangkat yang merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan
dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar disekolah,
sehingga dalam pelaksanan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peran yang
sama dengan unsur-unsur yang lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan
tanpa mengikuti program-program yang ada didalamnya, maka inovasi pendidikan
tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu
dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya disesuaikan dengan
perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan
pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari keduanya akan berjalan searah.
4.
Fasilitas
Fasilitas, termasuk saran dan prasana pendidikan yang tidak bisa diabaikan
dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam
pembaharuan pendidikan tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut
mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas
maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan
dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar, merupakan hal yang
esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaharuan pendidikan. Oleh karena itu
dalam menerapkan inovasi pendidikan fasilitas perlu diperhatikan.
5.
Lingkungan Sosial Masyarakat
Dalam
menerapkan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat
dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak positif dan negatif dalam
pelaksanaan pembaruan pendidikan. Masyarakat secara langsung
maupun secara tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja tetap terlibat dalam
pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya
mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat dimana peserta didik
itu berada atau berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitar, inovasi
pendidikan akan terganggu bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu
atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya
akan membantu inovator dan pelaksanaan inovasi dalam melaksanakan inovasi
pendidikan.
Pendidikan agama Islam (PAI) ternyata mempunyai
karakteristik tertentu yang berbeda dengan lainnya. Menurut
Muhaimin (2004), bahwa :
1.
PAI berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam
situasi dan kondisi apa pun.
2.
PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang
dan terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta otentisitas keduanya sebagai
sumber utama ajaran Islam.
3.
PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian.
4.
PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan social.
5.
PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan ipteks dan budaya
serta aspek-aspek kehidupan lainnya.
6.
Substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra
rasional.
7.
PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan
kebudayaan (peradaban) Islam.
8.
Dalam beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang beragam,
sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat ukhuwah Islamiyah.
Dilihat dari karakteristik tersebut, PAI mengandung pesan-pesan
pembelajaran yang berupaya membangun inner fonce dalam bentuk kekokohan akidah
(keimanan) dan kedalaman spiritual, juga diperkuat dengan ilmu keagamaan Islam
untuk diaktualisasikan dalam bentuk amal shaleh dalam setiap aspek
kehidupannya. Pendidikan agama di sekolah, madrasah, pesantren ataupun di
masyarakat berpotensi untuk mengarah pada sikap toleran atau intoleran, serta
mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) atau disintegrasi (perpecahan)
dalam kehidupan masyarakat. Fenomena ini banyak ditentukan oleh : pandangan
teologi agama dan doktrin ajarannya; sikap dan perilaku pemeluknya dalam
memahami dan menghayati agama tersebut; lingkungan sosio-kultural yang
mengelilinginya; serta peranan dan pengaruh pemuka agama dalam mengarahkan
pengikutnya.
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrem,
dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual
dan skriptual, karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para pemuka agama yang
bersifat doktriner, rigid (kaku), dan mengembangkan sikap fanatisme buta, serta
didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka akan melahirkan
sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai factor disintegrative
(pemecah).
Namun, dalam konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika,
pengembangan pengembangan pendidikan agama diharapkan agar tidak sampai :
menumbuhkan semangat fanatisme buta; menumbuhkan sikap intoleran di kalangan
peserta didik dan masyarakat Indonesia; memperlemah kerukunan hidup beragama
serta persatuan dan kesatuan nasional. Sebaliknya, pengembangan pendidikan
agama diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan yang
bersifat Islami), mampu membangun persaudaraan antarsesama, serta mampu
membentuk kesalehan pribadi dan sosial.
Memperhatikan beberapa karakteristik PAI tersebut di atas dan gencarnya
inovasi pendidikan yang pada gilirannya ditransfer begitu saja ke dalam mata
pelajaran pendidikan agama Islam, maka perlu didudukkan secara proporsional
dalan kerangka landasan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
B. IMPLIKASI TIPOLOGI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM PAI[2]
Bertolak dari karakteristik PAI tersebut, maka terdapat dimensi-dimensi
yang bisa dikembangkan dalam perspektif tipologi perential-esensialis
salafi, perennial-esensialis mazhabi, modernis, perennial-esensial
kontekstual-falsifikatif. Namun demikian, ada pula dimensi-dimensi yang
perlu dikembangkan dalam perspektif tipologi rekonstruksi social yang
berlandaskan tauhid, terutama dalam membentuk dan mengembangkan keshalehan
individu dan sosial sekaligus. Melalui implementasi tersebut, maka kekokohan
akidah peserta didik, komitmen dan loyalitasnya terhadap ajaran dan nilai-nilai
Islam, serta konsistensi iman, ilmu dan amalnya akan dapat teruji dan lebih
fungsional (untuk diri sendiri, masyarakat dan bangsa). Di samping itu, melalui
teori tersebut akan dapat menumbuhkembangkan sikap dan nilai-nilai
rasional-empiris, objektif-empiris, dan komitmen terhadap nilai-nilai amanah
dan tanggung jawab individu dan sosial (kemasyarakatan), sikap solidaritas
terhadap sesama dan makhluk lainnya, serta mampu mempertanggungjawabkan segala
amal perbuatannya dihadapan Tuhannya.
Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi
tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen
kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap
komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi
pembelajaran PAI dan evaluasinya.
1.
Tipologi
Perenial Esensialis Salafi
Tipologi ini
lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan
berfungsi sebagi upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah
dan insyaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (erat kenabian dan
sahabat) karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan agama Islam diorentasikan pada upaya: 1) membantu
perserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih dan (2) menjelaskan dan
menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan
yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting
diketahui oleh semua orang.
Dengan
tujuan-tujuan seperti itu maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada
doktrin-doktrin agama, kitab besar, kembali kepada hal-hal utama (dasar) dan esensial
serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf. Dalam
kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (sholat, puasa, zakat, haji,
nikah dan lainya) atau baca Al-Qur’an misalnya dimaksudkan untuk melestarikan,
mempertahankan dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai
dengan amaliah para salaf al-shahih. Adanya penyelewengan pada
bidang-bidang tersebut akan diketahui segera dengan tolak ukur mereka. Inilah antara
lain yang dimaksud dengan tajdid (pembaharuan) agama, sebagai I’adatul
ad-din, ila ma kana ‘alaihi ‘ahdu al-salaf al shahih yakni mengembalikan
pendidikan ajaran agama kepada keadaanya semula sebagaimana yang terjadi pada
masa salaf al-shahih (zaman nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in)
Metode-metode pembelajaranya biasa dilakukan dengan ceramah, dialog,
diskusi atau perdebatan dan pemberian tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan
kepada pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan
terstruktur tetap dan sesuai tatanan, dan teratur menjalankan tugas-tugas.
Evaluasinya mengunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau
ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi yang terstandarisasi dan
tes kompetensi yang berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI sebagai figur
yang memilki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar
kebenaran dan orang sarjana yang ahli dibidangnya.
2.
Tipologi
Perennial-Esensialis Mazhab
Tipologi
tersebut lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan
berkencenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta
pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan. Pendidikan
Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya
melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang ada keberanian
untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahuluannya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya
mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks
perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
Bertolak dari karakteristik tipologi tersebut, maka tujuan pendidikan agama
Islam beroreantasikan pada upaya (1) membantu peserta didik dalam menemukan dan
menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf
al-shahih atau masa klasik dan
pertengahan[3], (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran
dan para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting
diketahui oleh semua orang.
Dalam kurikulum PAI, metode yang digunakan hampir sama dengan kurikulum PAI
dan metode yang dikembangkan oleh tipologi perennial esensialis salafi, yang
membedakannya adalah mereka lebih fanatic terhadap karya-karya imam mahzab baik
pada masa klasik dan pertengahan.
3.
Tipologi
Modernis
Tipologi ini
lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif
dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari
lingkungannya sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk melakukan
rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang
intelligent dan mampu mengadakan
penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
dari lingkungan pada masa sekarang.
Atas dasar itu
maka tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan
pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta
didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang selalu
berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi
dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyusuaikan dan
melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan
iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
Dalam
perkembangan kurikulum PAI peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan
mengidentifikasikan masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan
remaja, narkoba dan lain-lain. Masalah yang teridentifikasikan tersebut menjadi
tema-tema pembelajaran PAI. Tema tersebut bersifat tentatif sehingga bagi
peserta didik dikelas dan sekolah lainnya bisa jadi berbeda sesuai dengan
kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
Asumsi yang
perlu dipegangi dalam pembelajaran PAI adalah bahwa : (a) agama Islam adalah
bahasanya seorang pelaku, maka peserta didik harus mampu menjadi pelaku
beragama (Islam) yang baik dan benar; (b) membina sikap loyalitas dan komitmen
(kesetiaan, keterikatan, emosional atau keberpihakan) terhadap kebenaran ajaran
dan nilai-nilai agamanya; (c) membina semangat dedikasi. Hanya saja tampilannya bukan bersikap eksklusif yang bersifat apologis yang
berlebihan, sehingga sulit diwujudkan sikap toleran. Sebaliknya justru
membangun mentalitas beragama yang bersifat inklusif, memiliki semangat persatuan dan toleransi antarsesama
ditengah-tengah masyarakat yang bersifat plural. Sehingga peserta didik dilatih
untuk mengolah informasi tentang masalah-masalah yang terkait dengan tema
tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran dan
nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakatnya.
Metode-metode pembelajaran yang dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning, metode project, dan
scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah
yang terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis dan melaksanakan
penelitian dilapangan. Manajeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberian
kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam
pembelajaran serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya
lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi peserta didik
mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara satu denganyang lainnya, sehingga perlu
dikembangan kemampuannya tersebut. Juga menggunakan On-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus
menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan memimpin
serta mengatur pembelajaran.
4.
Tipologi Perenial-Esensialis
Kontekstual-Falsifikatif
Tipologi ini
mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan IPTEK
serta perubahan sosial yang ada.
Tujuan
pendidikan pada tipologi ini ialah : (1) membantu peserta didik dalaam menguak,
menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa
salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; serta (2) menjelaskan dan
menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau pendahulunya yang dianggap
mapan dalam ujian sejarah, karena penting diketahui semua orang.
Di lain pihak,
tujuan pendidikan juga memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat
kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya yang selalu berubah, sehingga ia bersikap dinamis dalam
menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta
mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan
sosial dan perkembangan IPTEK dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran
universal (Allah). Singkatnya, tujuan pendidikan adalah melestarikan
nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah serta menumbuhkembangkannya dalam konteks
perkembangan IPTEK dan perubahan sosial cultural yang ada.
Pengembangan
kurikulum PAI pada tipologi ini adalah pelestarian doktrin dan nilai-nilai
agama yang dipandang mapan pada kitab terdahulu, yang berisi hal-hal mendasar
dan esensial, serta mata pelajaran kognitif pada masa salaf dan pasca salaf,
juga menggali problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungan peserta didik,
untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya secara kritis dalam perspektif ajaran dan
nilai-nilai agama Islam.
Dalam kurikulum
PAI yang menyangkut doktrin ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah)
atau nilai-nilai esensial Islam yang teruji
dalam sejarah (tawadhu, larangan hasud dan dendam, pentingnya jihad fi
sabilillah), merupakan ajaran dan nilai-nilai yang harus dilestarikan,
dipertahankan, dan disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, untuk
diamalkannya dengan benar daalam kehidupan sehari-hari. adanya penyelewengan di
bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolak ukurnya.
Namun dalam hal
bersifat actual, peserta didik dilatih untuk menggali, menemu-kan dan
mengidentifikasi masalah yang berkembang di lingkungannya yang berbeda
konteksnya dengan yang dialami pendahulunya. Sedangkan dalam hal yang
bersifat doktriner, metode pembelajarannya menggunakan metode tipologi
perenial-esensialis.
Dalam hal yang bersifat antisipasi terhadap masalah negatif yang actual di
masyarakat, maka peserta didik dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah
tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran dan
nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakatnya.
Maka metode yang dikembangkan seperti tipologi modernis.
Dengan demikian, dalam agama Islam terdapat hal yang bersifat doktrin,
supra rasional, nilai-nilai esensial dan universal, yang menggunakan model perenial
esensialis salafi dan mazhabi. Serta ada hal-hal yang berada dalam wilayah akal
serta nilai-nilai yang bersifat instrumental dan lokal, yang menggunakan model modernis.
5.
Tipologi
Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi ini
sangat cocok untuk daerah yang berkeinginan dan berpotensi untuk maju, serta
pada masyarakat yang bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit
sosial. Sedangkan sekolah yang bisa menerapkannya adalah mereka yang telah
mengembangkan pendekatan andragogis, dan guru PAI di dalamnya berobsesi sebagai
muaddib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab
dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Sehingga guru PAI
tersebut selain menjadi ustadz, mu’allim, mursyid, juga sebagai aktivis sosial
(da’i) di masyarakat, yang melekat padanya aspek ideas, ketokohan dan
keteladanan, serta siap melakukan gerakan sosial amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada tipologi
ini, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan
kesadaran peserta didik akan masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang
merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk
memecahkannya melalui da’wah bi al-hal, baik pada masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lain-lain, serta mengajarkan keterampilan-keterampilan yang
diperlukan untuk memecahkan semua masalah tersebut agar dapat berpartisipasi dalam
melakukan ishlah (perbaikan) dan amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga dapat
terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka peserta didik perlu dibekali kemampuan-kemampuan : (1)
mendeteksi masalah atau isu krusial yang berkembang di masyarakat untuk selanjutnya
diangkat menjadi tema-tema proyek atau kaji tindak; (2) mulai berpikir kritis;
(3) bagaimana strategi dan teknik berhubungan dengan masyarakat; (4) bekerja
secara kelompok atau kooperatif dan kolaborasi; (5) menghargai atau toleran
terhadap yang lain; (6) cara kerja untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan
pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik. Karena itu, sekolah
atau perguruan tinggi digunakan sebagai sarana atau wahana untuk melakukan
perubahan sosial, dan sebagian besar waktu kegiatan belajar pendidikan agama
Islam intra-kurikuler di sekolah sebanyak 3 jam pelajaran misalnya, maka dalam
satu semester bisa digabung menjadi 3 jam X 20 kali tatap muka = 60 jam. Jika
dalam sehari membutuhkan waktu belajar selama 4 jam efektif, maka dibutuhkan 15
hari para peserta didik diterjunkan ke masyarakat yang menghadapi masalah
sesuai dengan tema atau proyek yang diangkat. Segala persiapan untuk terjun ke masyarakat dapat dilakukan pada kegiatan
ekstrakurikuler.
Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah sosial budaya yang dihadapi
masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan
masalahtersebut melalui pengetahuan dan
konsop-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi pandangan aliran
interaksional, kurikulum rekonstruksi sosial mengharapkan peserta
didik dapat berinteraksi, bekerja
sama dengan GPAI (Guru PAI), peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber
belajar yang tersedia untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat
menuju pembentukan masyarakat yang baik.
GPAI berperan sebagai project director, yang memimpin dan mengarahkan
transformasi, serta menjadi agen perubahan, dan bersama dengan peserta didik
berusaha membentuk masyarakat baru. Agar peranannya menjadi lebih efektif, maka
GPAI harus menjadi da’i yang selalu mengajak orang lain tanpa bosan kepada
kebaikan atau petunjuk Ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar.
Metode yang digunakan adalah simulasi, bermain peranan, internship
(menerjunkan peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek), serta
belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen kelasnya diupayakan tidak
terlalu terikat pada belajar di dalam kelas, tidak membedakan jenis kelamin dan
ras, berusaha menciptakan suasana think-tank, serta memmbangun, masyarakat.
Interaksi guru dan peserta didik dalam pembelajaran PAI lebih bersifat
dinamis, kritis, progresif, terbukaa, proaktif, antisipatif, yang juga mengembangkan
nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan
kewajiban asasi manusia. Pada tataran operasionalnya, dapat menggunakan peace
education, yakni model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat
agar mampu mengatasi konfliknya sendiri dengan kkreatif dan tanpa kekerasan.
Pelaksanaannya dapat berupa belajar kelompok, sehingga peserta didik terlatih
memecahkan persoalan bersama, dengan berbagai model transaksi
sosial-psikologisnya, serta peserta didik terlatih untuk menekan egoismenya dan
mampu menghargai hak orang lain.
Evaluasi pembelajaran PAI menekankan pada evaluasi formatif, dengan asumsi
bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih
maju secara berkelanjutan, serta kemampuannya untuk membangun masyarakat yang
lebih baik dalam memerankan ilmu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan kemampuan, bakat, minat dan
prestasi belajarnya secara terus menerus melalui pemberian umpan balik. Di
samping itu, karena pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial lebih
menekankan pada belajar kelompok yang dinamis, kooperatif dan kolaboratif, maka
evaluasinya juga dilakukan secara kooperatif.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Implikasi filsafat
pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum PAI sebagai berikut :
1. Pengembangan kurikulum pai
menatap inovasi pendidikan. Menurut Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001)
untuk menghindari penolak seperti yang disebutkan diatas faktor-faktor utama
yang yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta
didik, kurikulum dan fasilitas dan program/tujuan.
2.
Implikasi tipologi filsafat pendidikan islam terhadap pengembangan
komponen-komponen kurikulum pai
Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi
tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen
kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap
komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi
pembelajaran PAI dan evaluasinya.
a.
Tipologi perenial esensialis salafi
b.
Tipologi perennial-esensialis mazhab
c.
Tipologi modernis
d.
Tipologi perenial-esensialis
kontekstual-falsifikatif
e.
Tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan
tauhid
B.
SARAN – SARAN
1. Sebagai seorang calon
guru, kita harus mengenali berbagai tipologi kurikulum yang akan mempermudahkan
kita dalam proses belajar mengajar.
2. Kita harus mampu bekerja
sama dengan peserta didik dalam menggunakan inovasi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Fahmi, Asma. 1997. Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam Jakarta:
Bulan Bintang.
Hasbullah.
2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Garfindo Persada.
Muhaimin. 1993.
Pemikiran Pendidikan Islam: (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalnya). Bandung : Trigenda Karya.
. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
. 2005. Pengembangan Kurikulum PAI di
Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta : Grafindo Persada.
Nasution,
Harun. 1983. Islam Dan Pendidikan
Nasional. Jakarta : Lembaga
Penelitian IAIN.
Oemar Hamalik. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.
Bandung : Rosda Karya.
Subandijah. 1992.
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Umar
Tirtarahardja. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
[2] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan Perguruan Tinggi (Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2001), 125-129.
No comments:
Post a Comment