Sang
Penyusun Ratib Al-Atthas
Karamahnya
sudah tampak sejak dalam kandungan ibundanya. Meski kehilangan penglihatan
sejak kecil, ia giat menuntut ilmu. Dialah salah seorang ulama besar Hadramaut.
Di Hadramaut ada seorang ulama besar, seorang wali, yang sangat termasyhur karena karamah-karamahnya. Dialah Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, lahir pada 992 H/1572 M di Desa Lisk, dekat kota Inat, Hadramaut. Dialah pula yang mula-mula mendapat gelar Al-Atthas, “orang yang bersin”. Disebut demikian karena, konon, ketika masih berada dalam kandungan ibundanya, Syarifah Muznah binti Muhammad Al-Jufri, ia sering bersin. Janin yang masih dalam kandungan, dan bisa bersin, tentulah luar biasa. Dan itulah karamah pertama Habib Umar.
Meski sejak kecil ia sudah kehilangan penglihatan, Allah SWT menerangi kalbunya sehingga ia mampu menyerap dengan baik segala pengetahuan tentang agama yang diajarkan oleh ayahandanya, Al-Imam Abdurrahman bin Aqil. Semangat belajarnya memang sangat besar. Tak jemu-jemunya ia menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar, seperti Syekh Abu Bakar bin Salim, Muhammad bin Abdurrahman Al-Hadi, Syekh Umar bin Isa As-Samarqandi. Sementara guru utama yang paling ia hormati ialah Habib Husein bin Syekh Abubakar bin Salim.
Ia banyak belajar tasawuf, terutama dari Syekh Umar bin Isa Barakwah As-Samarqandi. Setelah merasa cukup menuntut ilmu, ia membuka taklim dengan mengajarkan ilmu agama. Dakwahnya pun menyebar ke segenap penjuru Hadramaut.
Belakangan ia dikenal sebagai seorang sufi yang banyak menguasai ilmu lahir dan batin, pengayom anak yatim piatu, janda, dan fakir miskin. Siang mengajar, malamnya ia gunakan untuk melakukan riyadhah, beribadah, bermunajat kepada Allah SWT, dan sangat jarang tidur.
Sebagai ulama besar dan sufi, Habib Umar dikenal dengan beberapa karamahnya. Ia sangat termasyhur, bahkan sampai ke negari Cina. Suatu hari, salah seorang anak Habib Abdurrahman melawat ke Cina. Di sana ia bertemu seorang sufi yang memberi salam dan hormat, padahal ia tidak mengenalnya.
”Bagaimana engkau mengenalku, padahal kita belum pernah berjumpa?” tanyanya.
”Bagaimana aku tidak mengenal engkau? Ayahmu, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, adalah guru kami, dan kami sangat menghormatinya. Habib Umar sering datang ke negeri kami dan ia sangat terkenal di negeri ini,” jawab sufi tersebut. Padahal jarak antara Hadramaut dan Cina sangat jauh, namun Habib Umar telah berdakwah sampai ke sana.
Syekh Muhammad Baqais, salah seorang muridnya, bercerita, ”Satu kali Habib Umar mendamaikan beberapa suku yang berperang sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan tanggapan baik. Karena itu beliau pun melemparkan biji tasbihnya kepada mereka. Dengan izin Allah biji tasbih itu menjadi ular. Barulah mereka sadar dan mohon maaf.”
Nama Habib Umar tak bisa dipisahkan dari karya agung yang diberinya judul ‘Azizul Manal wa Fathu Babil Wishal, alias “Anugerah nan Agung dan Pembuka Pintu Tujuan” – yang di belakang hari sangat terkenal sebagai Ratib Al-Atthas. Habib Umar sendiri berwasiat, “Rahasia dan hikmah telah kutitipkan di dalam ratib itu.”
Di Hadramaut ada seorang ulama besar, seorang wali, yang sangat termasyhur karena karamah-karamahnya. Dialah Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, lahir pada 992 H/1572 M di Desa Lisk, dekat kota Inat, Hadramaut. Dialah pula yang mula-mula mendapat gelar Al-Atthas, “orang yang bersin”. Disebut demikian karena, konon, ketika masih berada dalam kandungan ibundanya, Syarifah Muznah binti Muhammad Al-Jufri, ia sering bersin. Janin yang masih dalam kandungan, dan bisa bersin, tentulah luar biasa. Dan itulah karamah pertama Habib Umar.
Meski sejak kecil ia sudah kehilangan penglihatan, Allah SWT menerangi kalbunya sehingga ia mampu menyerap dengan baik segala pengetahuan tentang agama yang diajarkan oleh ayahandanya, Al-Imam Abdurrahman bin Aqil. Semangat belajarnya memang sangat besar. Tak jemu-jemunya ia menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar, seperti Syekh Abu Bakar bin Salim, Muhammad bin Abdurrahman Al-Hadi, Syekh Umar bin Isa As-Samarqandi. Sementara guru utama yang paling ia hormati ialah Habib Husein bin Syekh Abubakar bin Salim.
Ia banyak belajar tasawuf, terutama dari Syekh Umar bin Isa Barakwah As-Samarqandi. Setelah merasa cukup menuntut ilmu, ia membuka taklim dengan mengajarkan ilmu agama. Dakwahnya pun menyebar ke segenap penjuru Hadramaut.
Belakangan ia dikenal sebagai seorang sufi yang banyak menguasai ilmu lahir dan batin, pengayom anak yatim piatu, janda, dan fakir miskin. Siang mengajar, malamnya ia gunakan untuk melakukan riyadhah, beribadah, bermunajat kepada Allah SWT, dan sangat jarang tidur.
Sebagai ulama besar dan sufi, Habib Umar dikenal dengan beberapa karamahnya. Ia sangat termasyhur, bahkan sampai ke negari Cina. Suatu hari, salah seorang anak Habib Abdurrahman melawat ke Cina. Di sana ia bertemu seorang sufi yang memberi salam dan hormat, padahal ia tidak mengenalnya.
”Bagaimana engkau mengenalku, padahal kita belum pernah berjumpa?” tanyanya.
”Bagaimana aku tidak mengenal engkau? Ayahmu, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, adalah guru kami, dan kami sangat menghormatinya. Habib Umar sering datang ke negeri kami dan ia sangat terkenal di negeri ini,” jawab sufi tersebut. Padahal jarak antara Hadramaut dan Cina sangat jauh, namun Habib Umar telah berdakwah sampai ke sana.
Syekh Muhammad Baqais, salah seorang muridnya, bercerita, ”Satu kali Habib Umar mendamaikan beberapa suku yang berperang sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan tanggapan baik. Karena itu beliau pun melemparkan biji tasbihnya kepada mereka. Dengan izin Allah biji tasbih itu menjadi ular. Barulah mereka sadar dan mohon maaf.”
Nama Habib Umar tak bisa dipisahkan dari karya agung yang diberinya judul ‘Azizul Manal wa Fathu Babil Wishal, alias “Anugerah nan Agung dan Pembuka Pintu Tujuan” – yang di belakang hari sangat terkenal sebagai Ratib Al-Atthas. Habib Umar sendiri berwasiat, “Rahasia dan hikmah telah kutitipkan di dalam ratib itu.”
Melindungi
Kota
Menurut Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta Pusat), Ratib Al-Aththas lebih tua dibanding Ratib Al-Haddad. Ratib Al-Haddad disusun pada 1071 H/1651 M oleh Habib Abdullah Al-Haddad, atau sekitar 350 tahun lalu, sedang Ratib Al-Atthas disusun jauh sebelumnya. Ada beberapa wirid atau doa yang tidak ada dalam Ratib Al-Atthas tapi terdapat dalam Ratib Al-Haddad, demikian pula sebaliknya. Namun, seperti ratib-ratib yang lain, keduanya tetap mengacu pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ratib Al-Atthas biasa dibaca usai salat Magrib, tapi boleh juga dibaca setiap pagi, siang, atau tengah malam. Bisa dibaca sendiri atau secara berjemaah. Manfaat ratib ini sangat besar. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan, dengan membaca Ratib Al-Atthas atau Ratib Al-Haddad setiap malam, Allah SWT akan menjaga dan memelihara seluruh penghuni kota tempat tinggal kita, menganugerahkan kesehatan, dan mengucurkan rezeki-Nya kepada segenap penduduk.
Dalam keadaan sangat khusus dan mendesak, ratib tersebut bisa dibaca tujuh hingga 41 kali berturut-turut. Pendapat ini mengacu pada beberapa hadis Rasulullah SAW tentang manfaat istigfar dan doa-doa lainnya. Sebab, dalam ratib-ratib tersebut antara lain terdapat selawat, tahlil, tasbih, tahmid, dan istigfar.
Begitu hebat fadilah atau keutamaan ratib-ratib itu, hingga Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husein Al-Atthas menyatakan bahwa mereka yang mengamalkan ratib tersebut tidak akan terluka jika pada suatu hari terpatuk ular. “Orang yang biasa mengamalkan ratib-ratib itu tidak akan merasa takut, ia akan selamat dari segala yang ditakuti,” katanya.
Betapa hormat para ulama kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas. Tergambar ketika suatu hari seorang ulama, Syekh Salim bin Ali, mengunjungi Imam Masjidilharam, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf, dan menyampaikan salam dari Habib Umar. Seketika itu juga Habib Muhammad pun menundukan kepala sejenak, lalu katanya, ”Layaklah setiap orang menundukkan kepala kepada Habib Umar. Demi Allah, saya mendengar suara gemuruh di langit untuk menghormati beliau. Sementara di bawah langit ini tidak ada orang lebih utama daripada beliau.”
Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas wafat pada 23 Rabiulakhir 1072 H/1652 M, dan jenazahnya dimakamkan di Hadramaut. Sampai sekarang, makamnya selalu dikunjungi banyak peziarah dari berbagai belahan dunia.
Menurut Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta Pusat), Ratib Al-Aththas lebih tua dibanding Ratib Al-Haddad. Ratib Al-Haddad disusun pada 1071 H/1651 M oleh Habib Abdullah Al-Haddad, atau sekitar 350 tahun lalu, sedang Ratib Al-Atthas disusun jauh sebelumnya. Ada beberapa wirid atau doa yang tidak ada dalam Ratib Al-Atthas tapi terdapat dalam Ratib Al-Haddad, demikian pula sebaliknya. Namun, seperti ratib-ratib yang lain, keduanya tetap mengacu pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ratib Al-Atthas biasa dibaca usai salat Magrib, tapi boleh juga dibaca setiap pagi, siang, atau tengah malam. Bisa dibaca sendiri atau secara berjemaah. Manfaat ratib ini sangat besar. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan, dengan membaca Ratib Al-Atthas atau Ratib Al-Haddad setiap malam, Allah SWT akan menjaga dan memelihara seluruh penghuni kota tempat tinggal kita, menganugerahkan kesehatan, dan mengucurkan rezeki-Nya kepada segenap penduduk.
Dalam keadaan sangat khusus dan mendesak, ratib tersebut bisa dibaca tujuh hingga 41 kali berturut-turut. Pendapat ini mengacu pada beberapa hadis Rasulullah SAW tentang manfaat istigfar dan doa-doa lainnya. Sebab, dalam ratib-ratib tersebut antara lain terdapat selawat, tahlil, tasbih, tahmid, dan istigfar.
Begitu hebat fadilah atau keutamaan ratib-ratib itu, hingga Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husein Al-Atthas menyatakan bahwa mereka yang mengamalkan ratib tersebut tidak akan terluka jika pada suatu hari terpatuk ular. “Orang yang biasa mengamalkan ratib-ratib itu tidak akan merasa takut, ia akan selamat dari segala yang ditakuti,” katanya.
Betapa hormat para ulama kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas. Tergambar ketika suatu hari seorang ulama, Syekh Salim bin Ali, mengunjungi Imam Masjidilharam, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf, dan menyampaikan salam dari Habib Umar. Seketika itu juga Habib Muhammad pun menundukan kepala sejenak, lalu katanya, ”Layaklah setiap orang menundukkan kepala kepada Habib Umar. Demi Allah, saya mendengar suara gemuruh di langit untuk menghormati beliau. Sementara di bawah langit ini tidak ada orang lebih utama daripada beliau.”
Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas wafat pada 23 Rabiulakhir 1072 H/1652 M, dan jenazahnya dimakamkan di Hadramaut. Sampai sekarang, makamnya selalu dikunjungi banyak peziarah dari berbagai belahan dunia.
—————————————————————————————–
Di ruangan ini, akan
dicatatkan serba sedikit riwayat hidup al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas,
seorang ulama dan wali besar di negeri Hadhramaut, yang merupakan pengasas
ratib al-Attas.
+
|
Biografi al-Habib Umar
bin Abdurrahman al-Attas, oleh Thohir bin Abdullah al-Kaf, terbitan Daar
al-Muhajir
|
+
|
Ringkasan Sejarah
al-Habib Umar ibn Abdurrahman al-Attas: dalam rangka peringatan Haul yang
ke-347 al-Imam al-Arif Billah al-Qutb Rabbani Tahyyibul Anfas al-Habib Umar
bin Abdurrahman al-Attas
|
+
|
Kelebihan Ratib:
Huraian Ratib al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas, oleh Syed Hassan bin
Muhammad al-Attas, Masjid Ba’alwi Singapura, terbitan Hamid Offset Service
|
Nasab al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas
Nama beliau adalah Umar
bin Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Ubaidullah bin Abdurrahman bin Abdullah
bin Syeikh al Ghauts Abdurrahman as-Seggaf bin Muhammad Maulah Dawilah bin Ali
bin Alawi al Ghoyur bin Sayyidina al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali binl
Imam Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidullah bin Imam al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad an Naqib binl Imam
Ali al Uraidhi bin Jaafar as Shadiq binl Imam Muhammad al Baqir binl Imam Ali
Zainal Abidin binl Imam Hussein as Sibith binl Imam Ali bin Abi Thalib dan binl
Batul Fatimah az-Zahra binti Rasullullah S.A.W.
Asal dinamakan ‘Al Attas’
Kata al-Faqih Abdullah
bin Umar Ba’ubad:
“Beliau dinamakan al-Attas yang bermaksud bersin, kerana beliau pernah bersin ketika masih berada di dalam perut ibunya”. Kata al- Habib Ali bin Hassan al-Attas: “Sebenarnya apa yang diucapkan oleh Syeikh al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad adalah benar, hanya saja menurut khabar yang paling benar dikatakan bahawa pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya adalah Habib Aqil yang terkenal hanya Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, sehingga berita itu hanya dikenal pada diri beliau dan anak beliau dan anak cucu Aqil dan Abdullah, saudara beliau. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain dikenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim”.
“Beliau dinamakan al-Attas yang bermaksud bersin, kerana beliau pernah bersin ketika masih berada di dalam perut ibunya”. Kata al- Habib Ali bin Hassan al-Attas: “Sebenarnya apa yang diucapkan oleh Syeikh al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad adalah benar, hanya saja menurut khabar yang paling benar dikatakan bahawa pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya adalah Habib Aqil yang terkenal hanya Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, sehingga berita itu hanya dikenal pada diri beliau dan anak beliau dan anak cucu Aqil dan Abdullah, saudara beliau. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain dikenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim”.
Berkata al-Habib Ali bin
Hassan: “Tidak henti-hentinya didengar dari mereka suara bersin di perut-perut
sebahagian ibu waktu demi waktu, sebagaimana yang diberitahukan oleh isteriku,
seorang wanita solehah. Syeikha binti Sahal bin Abi Bakar bin Syaiban bin Ahmad
bin Ishaq, katanya: “Pada suatu hari sewaktu aku duduk bersama Sharifah Fatimah
bin Habib Muhammad Basurah Ba’alawi, waktu itu aku sedang mengandung puteramu
yang bernama al Hasan yang pertama, aku terdengar ia bersin ketika ia masih di
dalam perutku, aku dan Sharifah Fatimah mendengar suara bersin itu dengan
jelas, dan ia dilahirkan pada waktu 1147 H, tetapi ia wafat waktu masih kecil”.
Al Habib Ali bin Hussain
al-Attas menyebutkan di dalam kitabnya Ta’jul A’raas juz pertama halaman 40.
bahawa di Mekah pernah didengar suara bersin ddari anak yang masih di dalam
perut ibunya, tentunya kejadian itu termasuk kejadian karamah yang diakui oleh
kalangan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab-kitab Tauhid
dan Aqoid mereka beserta dalil-dalilnya yang terkenal yang bersumber dari al-Quran
dan as-Sunnah.
Imam Nawawi pernah
menyebutkan di dalam kitabnya Riyaadhus Shalihin di dalam bab al-Karamat.
Disebutkan dalam kitab itu sebuah hadith yang memberitakan kisah seorang rahib
yaang bernama Juraij, yang kerananya Allah menakdirkan seorang bayi
bercakap-cakap untuk memberikan kesaksian tentang diri Juraij, tentunya bersin
ketika seorang bayi masih di dalam kandungan ibunya tidak berbeza jauh dengan
seorang bayi yang bisa bercakap-cakap setelah ia lahir, kejadian-kejadian
semacam ini tidak sulit bagi Allah sebab Allah Maha Kuasa untuk mentakdirkan
apa saja yang Dia kehendaki.
Kelahiran dan tempat diasuhnya al-Habib Umar bin Abdul Rahman
al-Attas
Beliau dilahirkan di desa
Lisk dekat dengan desa Ainat, di bahagian bawah negeri Hadhramaut, di akhir abad
ke-10, tepatnya pada tahun 992H. Sejak kecilnya beliau diasuh dan dididik oleh
ayah beliau sendiri, al-Habib Abdul Rahman bin Aqil. Meskipun mata beliau buta
sejak kecil, tetapi Allah memberinya kecerdasan otak dan pandangan hati (
Bashirah ), sehingga beliau mudah menghafal apa saja yang pernah didengarnya.
Ayah beliau, al-Habib
Abdul Rahman bin Aqil pernah berkata pada Syeikh Abdurrahman bin Aqil al-Junied
Bawazir yang dikenal dengan panggilan al-Mu’allim: “Hendaknya anda lebih banyak
memberikan perhatian kepada Umar, kerana kedua matanya tidak dapat melihat”.
Jawab Syeikh Abdurrahman: “Meskipun kedua mata Umar tidak dapat melihat, tetapi
pandangan Bashirahnya dapat melihat, disebabkan hatinya bersinar”.
Sejak kecil beliau anak
yang tekun beribadah, hidup zuhud berpaling dari dunia dan sejak kecil sudah
terlihat tanda-tanda kebesaran pada diri beliau. Sejak kecil, beliau sering ke
kota Tarim dari dusunnya Lisk dan melakukan sholat dua rakaat di setiap masjid
yang ada di kota Tarim, bahkan kadang menimba air dari sumur untuk mengisi
kolam-kolam masjid.
Di masa kecilnya, beliau
senantiasa dibimbing oleh ayah beliau dan guru-guru beliau, misalnya al-Habib
Hussien, al-Habib Hamid, al-Habib Muhdhor, putra-putra Saiyidina Syeikh Abu
Bakar bin Salim yang sering dikunjungi oleh ayah beliau, iaitu al-Habib Abdul
Rahman bin Aqil.
Ayahanda al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas
Al-Habib Abdul Rahman bin
Aqil adalah seorang Arif Billah, seorang ulama yang taat menjalani hukum-hukum
Allah, beliau tokoh para wali terkemuka, beliau pernah menerima ilmu dan
wilayah dari pamannya, iaitu Syeikh abu Bakar bin Salim, pamannya yang satu ini
amat cinta kepada Sayyid Abdul Rahman dan kepada ayah beliau iaitu al-Habib
Aqil. Al-Habib Aqil adalah saudara sekandung dengan Syeikh abu Bakar bin Salim,
yang mana Syeikh Abu Bakar bin Salim ada menyebut tentang saudaranya yang satu
ini:
“Apa yang ada di Wali Masyhur ( iaitu dirinya
), tidak lain hanyalah berkat Wali Mastur ( iaitu saudaranyaa yang bernama Aqil
)”
Al-Habib Abdul Rahman bin
Aqil adalah seorang yang mulia, suci dan hati yang bersih, beliau sering
mengunjungi Wadi Amed dan Wadi Kaser, penduduk kawasan-kawasan itu senantiasa
menghormatinya, mengagungkannya dan memohon barakah beliau. Beliau mempunyai
pelbagai karomah, di antaranya adalah pada suatu hari beliau berkunjung di
suatu desa yang ada di Wadi Amed. Ketika itu hujan turun lebat sehingga beliau
berkata kepada untanya: “Pergilah engkau dan carilah sebuah tempat berteduh dan
akupun akan berbuat yang sama dan besok kita bertemu di desa Qaran bin Adwan”.
Keesokan harinya ketika beliau tiba di desa Qaran, maka beliiau tidak mendapati
untanya, sehingga beliau bertanya kepada pembantunya: “Ke manakah perginya
unta?” Tetapi sang pembantu tidak dapat menemukannya. Pada keesokan paginya,
unta itu datang lengkap dengan barang-barangnya.
Ketika al-Habib Abdul
Rahman wafat di kota Huraidhah, maka al-habib Umar menyuruh pembantunya untuk
membantu pencari tanah yang cocok untuk dijadikan sebagai kuburan ayahnya,
akhirnya sang pembantu mendapatkan sebidang tanah yang ditandai dengan sebuah
tiang dari cahaya, akhirnya al-Habib Abdul Rahman dimakamkan di temppat
tersebut. Biasanya jika al-Habib Umar berziaraah ke makam ayahnya, maka beliau
bercakap-cakap dengan ayah beliau dari balik kubur.
Al-Habib Abdul Rahman bin
Aqil bernikah dengan dua orang wanita, iaitu Syarifah Muznah binti Muhammad bin
Ahmad bin Alawi al-Jufri. Syarifah ini adalah bondaa bagi al-Habib Umar dan
saudara-saudara sekandungnya, iaitu al-Habib Abdullah dan al-Hababah Alawiyah.
Selanjutnya beliau bernikah dengan seorang wanita ddarri Yemen dari keluarga
al-Bathouq salah satu dari kabilah Bani Ahmad iaitu Arobiyah binti Yamani
Bathouq. Isteri beliau yang kedua ini melahirkan beberapa orang anak di
antaranya Aqil, Sholeh, Musyayakh dan Maryam.
Pada umumnya beliau
berdomisili di Lisk, tetapi beliau sering berkunjung ke Ainat, Tarim, Wadi
Amed, al-Qaser dan Do’an. Akhirnya beliau ditakdirkan ppindah di Huraidzah
beberapa saat sebelum beliau wafat iaitu bertepatan ketika al-Habib Umar telah
mendapat petunjuk dari kedua guru beliau iaitu al-Habib Hussein adn al-Habib
Hamid putra Syeikh Abu Bakar bin Salim untuk pindah ke Huraidzah. Di desa
Huraidzah inilah beliau wafat.
Bonda al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas
Bonda beliau berrnama
Syarifah Muznah binti Muhammad bin Alawi al-Jufri. Bonda beliau termasuk
seorang yang shalih. Dikisahkan bahawa putra Syarifah Muznah meninggal dunia
dalam usia kecil, ia bernama Ahmad. Setelah beberapa hari dari saat
kematiannya, maka ada seekor burung kecil berwarna hijau yang sering datang
mengunjungi Syarifah Muznah ini, sampai beliau berkata. “Jika engkau adalah ruh
putraku yang telah wafat, amak ddatanglah ke tanganku”. Setelah Syarifah Muznah
menghulurkan tangannya, maka burung kecil itu hinggap ke tangannya dan
menciumnya, kemudian beliau melepaskannya kembali, sehingga burung itu terbang
dari tangan beliau.
Saudara al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas
Beliau mempunyai empat
orang saudara lelaki dan dua perempuan. Adapun yang sekandung dengan beliau
adalah Abdullah dan Alawiyah, sedangkan Sholeh, Aqil, Musyayakh dan Maryam
saudara dari ayah, ibu mereka seorang wanita Yemen dari keluarga Bathouq dari
kabilah Bani Ahmad.
Adapun saudaara beliau
iaitu al-Habib Abdullah bin Abdul Rahman termasuk seorang tokoh wali yang
terkenal, ia pernah melakukan pelbagai latihan riadah dan mujahadah. Dan pergi
berdakwah ke gunung Al Yafi’ tempat Bani Yafi’, setelah mendapat izin dari
gurunya yang bernama al-Habib Hussein bin Abu Bakar bin Salim dengan disertai
oleh pembantunya yang bernama Ali bin Ahmad Harharah Al Yafi’i.
Beliau menetap di desa
Ma’zubah, sempat menikah di desa itu dan mempunyai anak cucu. Makam beliau dan
anak-anaknya di desa itu banyak diziarahi orang dari berbagai tempat yaang
jauh. Mereka diberi berbagai karomah yang tidak sedikit jumlahnya, menurut
al-Habib Ali bin Hassan al-Attas, anak cucu beliau, ada seratus orang lebih
yang sempat dihitung di waktu Habib Ali masih hidup.
Saudara Habib Umar yang
bernama al-Habib Aqil dikenal sebagai seorang ulama yang selalu mengamalkan
ilmunya. Al-Habib Aqil ini pernah berguru dari Syeikh Muhammad biin Umar
al-Afif di desa al-Hajrain, hingga banyak orang yang menimba ilmu dari beliau
setelah beliau kembali ke Huraidzah. Setiap harinya al-Habib Umar menyempatkan
diri untuk menghadiri Majlis Ta’lim al-Habib Aqil setiap kali setelah beliau
kembali dari makam ayahnya.
Al-Habib Aqil wafat di
kala Habib Umar masih hidup. Beliau meninggalkan beberapa putra dan putri.
Setelah ayahnya wafat, maka Habib Umar mengasuh mereka dengan sebaik-baik
asuhan. Setelah putra-putra Habib Aqil dewasa, maka al-Habib Umar mengawinkan
dengan putri-putri beliau.
Adapun Musyayakh termasuk
seorang yang sholeh, beliau wafat di masa hidup al-Habib Umar, beliau
meninggalkan seorang putri. Adapun Sholeh, ia mempunyai seorang putra bernama
Hussein. Adapun saudaranya iaitu Maryam, telah menikah dengan Habib Syeikh bin
Abdillah al-Musawa, dan mempunyai beberapa oraang putra.
Pindahnya al-Habib Umar ke kota Huraidhah
Al-Habib Hussein bin Abu Bakar
bin Salim sering berkata: “Wahai keluarga Ba’alwi Huraidzah?” Maka dikatakan
kepada beliau bahawa tidak seorang pun dari keluarga Ba’alwi yang ada di desa
itu, maka ia berkata: “Kelak di desa itu akan didatangi keluarga Ba’alwi,
wajah-wajah mereka bagaikan bulan, dan akan memberikan manfaat kepada orang
banyak.”
Ketika al-Habib Umar
mencapai usia akil baligh, maka guru beliau yang bernama al-Habib Hussein bin
Syeikh Abu Bakar bin Salim menyuruh beliau untuk berdakwah ke desa
al-Huraidzah. Demikian pula guru beliau yang bernama al-Habib Hamid bin Syeikh
Abu Bakar juga menyuruh beliau untuk segera berdakwah di desa al-Huraidzah.
Maka dengan bekal perintah dari kedua guru beliau, al-Habib Umar segera
berdakwah ke Huraidzah.
Al-Habib Ali bin Hussain
al-Attas menyebut di dalam kitab Taajul A’raas juz 2 halaman 111 bahawa pada
mulanya al-Habib Umar sering pulang pergi ke Huraidzah. Akhirnya beliau menetap
di sana pada tahun 1040 H.
Ketika al-Habib Umar tiba
di Huraidzah untuk pertama kalinya, beliau diminta oleh Syeikh Najjaad Adz
Dzibyani untuk menetap di rumahnya, dia sangat menghormati beliau dan
mengatakan: “Ini rumah-rumahmu” Sehingga Syeikh Najjaad mendapat barakah yang
luar biasa dari beliau.
Di desa itu ada seorang
wanita yang bernama Sholahah, ia bernazar untuk memberikan hartanya dan bagian
dari rumahnya kepada Habib Umar, kemudian al-Habib Umar meminangnya sebagai
imbalan atas kebajikannya itu.
Selanjutnya, sebelum
al-Habib Umar menetap di desa al-Huraidzah, maka beliau kembali ke desa Lisk
lebih dahulu untuk mengajak ayahnya ddan saudara-saudaranya untuk pindah ke
Huraidzah. Pada mulanya ajakan al-Habib Umar untuk pindah ke desa Huraidzah
ditolak ayah beliau, tetapi setelah keduanya minta pendapat dari al-Habib Hamid
dan al-Habib Hussein, maka kedua guru beliau menyuruh al-Habib Abdul Rahman
untuk mengikuti minat al-Habib Umar. Keduanya mengatakan: “Wahai Abdul Rahman,
pergilah bersama Umar, dan ikuti serta pegangi pendapatnya, sekalipun kau
adalah ayahnya dan diia anakmu”. Sehingga al-Habib Abdul Rahman berkata kepada
putranya: “Wahai Umar, kalau sekarang kami mau mengikuti pendapatmu , maka
lakukanlah apa saja yang terbaik bagi kami”. Selanjutnya seluruh keluarga
al-Habib Umar segera meninggalkan Lisk menuju ke desa al-Huraidzah. Ketika
rombongan itu tiba di desa Manwab, maka al-Habib Umarr berkata: “Hendaknya
kalian melanjutkan perjalanan sampai ke Huraidzah, sebbab aku hendak singgah
dulu di tempat isteriku yang ada di desa ini”. Maka rombongan itu meneruskan
perjalanannya ke desa al-Huraidzah, sedangakan al-Habib Umar singgah dan
menetap di desa Manwab selama satu minggu.
Al-Habib Abdul Rahman,
ayah al-Habib Umar mulai merasa sakit setibanya beliau di desa Huraidzah, dan
kerana sakit setibanya beliau, maka beliau takut kalau ajalnya tiba, sedangkan
Habib Umar tidak ada di sisi beliau, kerana itu ketika al-Habib Umar tiba, maka
beliau menegur al-Habib Umar, tetapi al-Habib Umar mengajukan alasannya dan
mohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatannya itu, sehingga ayahnya mau
memaafkannya.
Dan sakitnya yang
menyebabkan ajalnya tiba itu, al-Habib Abdul Rahman merasa takut kalau al-Habib
Umar tidak memperhatikan saudara-saudaranya yang masih kecil dari ibu lain,
sebab beliau tahu ibu tirinya al-Habib Umar tidak sayang padanya sebagaimana
umumnya kaum wanita. Di saat ayahnya risaukan hal itu, maka al-Habib Umar yang
mengetahuinya secara Khasaf, maka beliau mendekati ayahnya dan beliau berkata:
“Wahai ayahku, tenanglah jangan engkau fikirkan tentang keluargamu, aku
Insya-Allah akan menyayangi saudara-saudaraku lebih dari menyayangi diriku
sendiri”. Maka hati al-Habib Abdul Rahman menjadi gembira dan beliau mendoakan
kebajikan baggi Habib Umar, apalagi di saat itu, beliau sedang menyaksikan alam
akhirat, tentu doa seorang ayah yang sholeh bagi anaknya yang sholeh pula, akan
sama dengan doa seorang Nabi buat umatnya, apalagi al-Habib Abdul Rahman waktu
itu sedang sakit, Rasulullah pernah bersabda: “Jika kalian mengunjungi orang
yang sedang sakit, maka mintalah doa bagi kalian”. Al-Habib Umar memenuhi janjinya
kepada ayahnya dan beliau sangat memperhatikan kebutuhan saudara-saudaranya,
terutama dari segi pendidikan dan pemeliharaannya.
Wafatnya ayahanda al-Habib Umar
Beliau wafat setelah
delapan hari tiba di desa al-Huraidzah. Al-Habib Umar sibuk mempersiapkan
perawatan jenazah ayah beliau, kemudian beliau menyuruh pembantunya Mahmud
an-Najar untuk memilih kubur bagi ayahnya. Ketika Mahmud masuk di perkuburan
al-Huraidzah, maka ia dapatkan ada sebuah tanah yang disinari seberkas cahaya
langit, maka di tempat itulah al-Habib Abdul Rahman dikuburkan.
Al-Habib Umar rajin
berziarah ke makam ayahnya, bahkan tidak seharipun beliau pernah melupakannya.
Pada suatu hari al-Habib Umar berkata: “Ketika aku tidak berziarah ke makam
ayahku selama beberapa hari, maka aku lihat ayahku dalam mimpiku amat murka
kepadaku kerana aku tidak menziarahi beliau selama beberapa hari, aku lihat
jasad beliau menjadi besar, sehingga aku sulit untuk berjabat tangan dengan
beliau dikeranakan tingginya jasad beliau”.
Dulu sebelum al-Habib
Umar tiba di desa al-Huraidzah, maka penduduknya sangat berkeyakinan kepada
kewalian para sesepuh al-Masyaikh dari keluarga al-Afif. Pada suatu hari,
penduduknya minta kepada Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif, seorang wali dan
sholeh yang terkemuka, untuk memohonkan air hujan bagi penduduk desa Huraidzah.
Kemudian mereka keluar menuju ke suatu kubur wali, kebetulan pada saat itu
al-Habib Umar masih baru di desa itu dan masih belum dikenal orang, sehingga
penduduknya tidak memberitahu kepada beliau untuk berdoa bersama dengan mereka
dan merekapun tidak memberitahu kepada Syeikh Abdullah al-Afif tersebut tentang
keberadaan al-Habib Umar, sampai setelah mereka melakukan doa bersama untuk memohon
air hujan, lalu terdapat pembicaraan sekitar keberadaan al-Habib Umar, maka
Syeikh Abdullah berkata kepada mereka: “Mengapa kalian tidak memberitahukan aku
tentang keberadaan al-Habib Umar, mungkin doa kalian tidak akan diterima dan
air hujan tidak akan turun”. Kemudian Syeikh Abdullah segera meninggalkan
tempat itu, kemudian mendatangi Habib Umar untuk mohon maaf. Kata al-Habib
Umar: “Wahai Syeikh Abdullah, desa ini adalah desa kalian dan aku di desa ini
hanya orang asing yang baru datang”. Kata Syeikh Abdullah: “Bukan demikian
wahai tuanku, bahkan desa ini adalah milikmu dan aku tidak mempunyai hak apapun
setelah tuan ada di sini”.
Al-Habib Isa bin Muhammad
al-Habsyi berkata: “Memang, al-Habib Umar mempunyai hubungan yang erat dengan
Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif. Dan Syeikh Abdullah pernah berkata kepada
beliau: “Memang, Huraidzah adalah desa kami, akan tetapi kami serahkan kepada
kamu”. Disebutkan bahawa Syeikh Abdullah pernah minta pakaian (Libas) dari
al-Habib Umar, maka kata beliau: “Besarnya rasa cintamu, hal itu sudah cukup”.
Dalam juz kedua di dalam
buku Taajul A’raas disebutkan, bahwa al-Habib Ahmad binl Hassan al-Attas pernah
menyebutkan tentang kisah Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif: “Di desa
Huraidzah, Syeikh Abdullah al-Afif mempunyai sebuah kebun kurma, ketika
al-Habib Umar tiba di desa itu, maka Syeikh Abdullah bernazar untuk memberikan
kebun kurma itu kepada al-Habib Umar. Ketika hal itu diutarakan kepada al-Habib
Umar, maka beliau berkata kepada penduduk Huraidzah: “Wahai penduduk,
bagaimanakah pendapat kalian tentang nazar Syeikh Abdullah?” Jawab penduduk
Huraidzah: “Menurut kami, nazar Syeikh Abdullah adalah benar”. Jawab Habib
Umar: “Kalau begitu, tanah ini aku terima tetapi aku hadiahkan kembali bagi
kalian semua sebagai nazar dari aku, maka terimalah tanah itu dari aku”. Ada
seorang di antara mereka yang berkata kepada beliau: “Mengapakah engkau tidak
memberikannya kepada keluargamu?” Kata al-Habib Umar: “Kelak anak cucuku akan
memiliki desa ini semuanya”.
Guru-guru al-Habib Umar al-Attas
Beliau berguru dari
orang-orang yang pernah berguru dari Sayyidina Syeikh Abu Bakar bin Salim,
terutama dari putra-putranya, iaitu al-Habib Muhdhor bin Syeikh Abu Bakar,
al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar dan al-Habib Hamid bin Syeikh Abu Bakar.
Al-Habib Umar juga pernah
berguru dari Habib Muhammad bin Abdurrahman al-Hadi, dari Sayyid Umar bin Isa
Barakwah as-Samarkandi al-Maghribi yang dimakamkan di desa al-Ghurfah. Demikian
pula al-Habib Umar sering mengunjungi Syeikh al-Kabir Ahmad bin Shahal bin
Ishaq al-Hainani. Selain itu, beliau sangat erat hubungannya dan selalu
mengunjungi Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihab dan Syeikh Abdullah bin
Ahmad al-Afif dan Syeikh Ahmad bin Abdul Kadir Ba’syin, Shahib Rubath. Beliau
pun sering mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Balfaqih, Shahib Qaidun.
Selain itu, beliau gemar mengunjungi orang-orang soleh dari Ahlul Bait maupun
dari keluarga al-Masyaikh dan orang-orang yang soleh.
Al-Habib Umar sangat
mengagungkan dan menghormati guru beliau yang bernama al-Habib Hussein bin
Syeikh Abu Bakar bin Salim. sampaipun, bila al-Habib Umar mendengar nama
gurunya yang satu ini disebut orang, maka wajah beliau berubah kerana
mengagungkan gurunya yang satu ini, bahkan adakalanya al-Habib Umar
bercakap-cakap dengan al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar di tengah satu
majlis, sedangkan ucapan keduanya tidak dapat dimengertikan orang lain. Syeikh
Ali bin Abdillah Baraas berkata: “Al-Habib Umar berkata, pada suatu hari aku
mendatangi al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim dengan maksud untuk
mudzakarah tentang tariqah Tasawwuf, kebetulan ketika itu al-Habib Hussein
sedang berada di tengah anggota majlis ta’alimnya. Kemudian beliau berkata:
“Wahai Umar, seseorang yang tidak mengerti suati isyarat, maka ia tidak akan
dapat mengambil manfaat dari ibarat yang terang dan siapa yang menjelaskan
kata-kata yang sudah jelas dengan kata-kata yang lebih jelas, ada kalanya dapat
menambah pendengarannya makin bertambah bingung”. Selanjutnya al-Habib Umar
berkata: “Timbul rasa takut di hatiku bahwa tutur kata guruku setela kata-kata
itu sengaja ditujukan bagiku”.
Al-Habib Hussein bin
Syeikh Abu Bakar bin Salim sangat menghormati al-Habib Umar, bahkan beliau
lebih mengunggulkan al-Habib Umar dari saudara-saudaranya dan kawan-kawannya.
Al-Habib Hussein tidak pernah berdiri untuk menghormati orang, seperti halnya
untuk al-Habib Umar, hal itu tidak lain dikarenakan tingginya kedudukan Habib
Umar.
Pada suatu hari al-Habib
Umar bersama sekelompok para tokoh Alawiyin datang ke tempat al-Habib Hussein
bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, pada waktu itu al-Habib Umar merupakan
satu-satunya orang yang paling merendahkan diri dan memakai pakaian ang paling
sederhana, ditambah lagi kedua matanya tidak dapat melihat. Ketika al-Habib
Hussein melihat al-Habib Umar berada di paling belakang rombongan itu, maka
al-Habib Hussein berubah wajahnya, kemudian beliau berkata kepada orang-orang
yang terkemuka dari rombongan itu: “Sesungguhnya kalian hanya lebih
mengutamakan penampilan lahiriah, dan kalian tidak mau memuliakan orang yang
paling mulia menurut kedudukan yang sepantasnya, andakata kalian tahu kemuliaan
lelaki ini, iaitu al-Habib Umar, pasti kedudukan kalian tidak ada artinya,
leher-leher kalian akan menunuduk dan ruh serta jasad kalian akan rindu
kepadanya”. Kemudian beliau menyebutkan keutamaan-keutamaan al-Habib Umar yang
menyebabkan mereka berasa betapa kecilnya dirinya masing-masing”.
Al-Habib Umar menerima
selendang hirqah dari al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,
sedangkan beliau menerimanya dari saudaranya iaitu Syeikh Umar al-Muhdhor,
beliau menerimana dari ayah beliau, iaitu Syeikh Abu Bakar bin Salim, Shahib
Ainat, beliau menerimanya dari Syeikh Syihabudin Ahmad bin Abdurrahman, beliau
menerimanya dari ayah beliau, Syeikh Abdurrahman bin Ali, beliau menerimanya
dari ayahnya, Syeikh Ali bin Abu Bakar, beliau menerimanya dari ayahnya, Syeikh
Abu Bakar Sakran, beliau menerimanya dari ayahnya, Syeikh al-Kabir Abdurrahman
as-Seggaf, beliau menerimanya dari ayahnya, iaitu Syeikh Muhammad Mauladawilah,
beliau menerimanya dai ayahnya, Syeikh Ali bin Alawi, beliau menerimanya dari
ayahnya, Syeikh Alwi bin Faqih al-Muqaddam, beliau menerimanya dari ayahnya,
al-Ustadzul A’dzam al-Faqih al-Muqaddam Sayyidina Muhammad bin Ali Ba’alawi.
Adapun sumber penisbatan
al-Hirqah dan silsilah isnad bagi Syeikh al-Faqih al-Muqaddam berasal dua
jalur, salah satu dari jalur ayah-ayah beliau iaitu beliau dididik dan
menerimanya dari ayah beliau, Ali bin Muhammad dan dari paman beliau, Alawi bin
Muhammad, keduanya menerima dari ayahnya Muahmmad Syahib Mirbath, beliau
menerimanya dari ayahnya, Ali Khali’ Qasam, beliau menerimanya dari ayahnya,
Alawi Shahib Samal, beliau menerimanya dari ayahnya, Ubaidillah, beliau
menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa, beliau menerimanya
dari ayahnya, Isa an-Naqib, beliau menerimanya dari ayahnya, Muhammad, beliau
menerimanya dari ayahnya, Ali al-Uraidhi, beliau menerimanya dari ayahnya,
al-Imam Ja’far as-Shoddiq, beliau menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhammad
al-Baqir, beliau menerimanya dari ayahnya, Ali Zainal Abidin, beliau
menerimanya dari ayahnya, al-Imam al-Hussein dan dari pamannya al-Imam
al-Hassan, keduanya menerima dari kakeknya Nabi Muhammad SAW, juga dari ayahnya
al-Imam Ali bin Abi Thalib sedangkan Nabi SAW menerimanya dari Allah seperti
yang beliau katakan:
“Aku dididik oleh Tuhanku dan ia mendidikku dengan sebaik-baik
didikan”.
Adapun jalur kedua yang
diterima oleh Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam Thoriqoh Syuai’biyah iaitu lewat
Syeikh Syu’aib Abu Madyan al-Maghribi dengan perantaraan Abdurrahman al-Muq’ad
dan Abdullah as-Shaleh. Sedangkan Syeikh Syu’aib Abu Madyan menerimanya dari
Syeikh Abu Ya’izza al-Maghrabi, beliau menerimanya dari Syeikh Abul Hasan bin
Herzihim atau yang dikenal dengan nama Abu Harazim, beliau menerimanya dari
Syeikh Abu Bakar bin Muhammad bin Abdillah binl Arabi dan al-Ghadi
al-Mughafiri. Sedangkan binl al-Arabi menerimanya dari Syeikh Imam Hujjatul
Islam al-Ghozali, beliau menerimanya dari gurunya, iaitu Imam al-Haramain Abdul
Malik bin Syeikh Abu Muhammad al-Juaini, beliau menerimanya dari ayahnya, Abu
Muhammad bin Abdullah bin Yusuf, beliau menerimanya dari Syeikh Abu Thalib
al-Makki, beliau menerimanya dari Syeikh Syibli, beliau menerimanya dari Syeikh
al-Junaid, beliau menerimanya dari pamannya, iaitu as-Sirri as-Siqthi, beliau
menerimanya dari Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, beliau menerimanya dari gurunya,
Syeikh Daud at-Tho’i, beliau menerimanya dari Syeikh Habib al-’Ajmi, beliau
menerimanya dari Imam Hasan al-Basri, beliau menerimanya dai Imam Ali bin Abi
Thalib, beliau menerimanya dari Rasulullah SAW, beliau menerimanya dari
malaikat Jibril, dan beliau menerimanya dari Allah Ta’ala.
Sanad penerimaan kalimat talqin bagi al-Habib Umar
Al-Habib Umar menerimanya
talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah SAW dari Syeikh
al-Arif Billah Assyarif Umar bin Isa Barakwah as-Samarqandi al-Maghrabi.
Syeikh Ahmad bin Abdul
Qadir Ba’syin Shahib Rubath berkata: “Syeikh Umar Barakwah menuturkan kepada
kita bahawa talqin dzikirnya cabangnya sampai kepada Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani, sedangkan Syeikh al-Qadir al-Jailani menerima talqin dzikir dari
empat ratus orang guru dan guru-guru beliau sanadnya bersambung sampai dengan
Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib, semua ahli talqin dzikir bersambung
dengan Rasulullah SAW. Keadaannya sama dengan mata rantai yang terjalin erat
antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga jika mata rantai yang ada paling
bawah digerakkan, maka mata rantai yang ada di paling ataspun akan bergerak,
demikian pula sebaliknya. Hal itu adalah disebabkan eratnya keterkaitan antara
yang satu dengan yang lainnya, sama halnya dengan keterkaitan nasab Ahlul Bait,
satu sama lainnya saling terkait erat. Segala puji bagi Allah yang menjadikan
mereka suri tauladan yang baik bagi kami dan keterkaitan kamipun dengan mereka
masih erat”.
Al-Hakim meriwayatkan dari Saddad bin Aus, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi Nabi SAW, maka beliau bersabda:
Al-Hakim meriwayatkan dari Saddad bin Aus, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi Nabi SAW, maka beliau bersabda:
“Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah
“Lailaha Illallaah”. Setelah kami melakukannya, maka Rasulullah SAW bersabda:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutus aku untuk menyampaikan dan mengikrarkan
kalimat Tauhid ini dan Engkau akan memberi Syurga kepada seorang yang
mengucapkannya dan Engkau tidak akan memungkiri janji. Selanjutnya beliau
bersabda: “Bergembiralah kalian sebab Allah telah memberi ampun kepada kalian”.
Budi pekerti al-Habib Umar al-Attas
Al-Habib Umar al-Attas
dikenal sebagai seorang Alim, Amil, Quthub, Ghauts, seorang tokoh sufi, suci,
suka memenuhi janji, Murabbi, Rabbani, Da’i, suka mengajak orang ke jalan Allah
dengan pandangan yang bersih dan budi pekerti yang luhur, beliau himpun ilmu
lahir dan batin. Beliau dikenal sebagai pelindung kaum fakir dan kaum janda
serta anak-anak yatim. Beliau senantiasa menyambut dan menggembirakan
orang-orang fakir, mereka dimuliakan dan didudukkan pada tempat yang mulia,
sehingga mereka sangat mencintai beliau. Beliau dikenal baik oleh kalangan luas
banyak sekali beristiqad dengan beliau, dan mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi, beliau amat tawadhu’ dan merendahkan dirinya kerana merasa diawasi oleh
Allah. Beliau selalu menyuruh orang untuk bersabar, khususnya jika cobaan dan
bencana sedang menimpa. Beliau sangat bersabar untuk menjalankan aktiviti
ibadat.
Beliau al-Habib Umar
tidak pernah tidur pada bagian separuh terakhir di malam hari, beliau pernah
menghabiskan waktu malamnya untuk mengulang-ulang bacaan doa Qunut.
Beliau suka menyantuni
orang-orang fakir dan para wanita yang tidak mampu. Beliau amat sabar dalam
menghadapi pelbagai krisis, beliau tidak pernah menyombongkan diri kepada
seorangpun, beliau mau duduk di tempat mana saja tanpa membezakan tempat yang
baik atau jelek dan beliau tidak pernah menempatkan dirinya di tempat yang
lebih tinggi atau tempat yang menonjol, kalau beliau meninggalkan majlisnya
kerana ada hajat, maka ketika beliau kembali ke tempat duduknya dan beliau
mendapati tempat duduknya telah diduduki orang lain, maka beliau akan mencari
tempat duduk lain. Beliau tidak pernah mendekati kaum penguasa.
Beliau senantiasa
mengikut jejak perjalanan para sesepuh beliau yang terdahulu, para tokoh
Ba’alwi seperti perjalanan yang ditempuh oleh Sayidina al-Faqih al-Muqaddam
Muhammad ibnu Ali Ba’alwi, Syeikh as-Seggaf, Alaidrus, Syeikh Abu Bakar ibnu
Salim dan tokoh-tokoh lainnya. Thoriqah mereka lebih mengutamakan menutup diri,
tawadhu’, tidak menuruti hawa nafsu, lemah lembut, tidak ingin dikenal apalagi
menonjol diri, kerana mereka merasa bahawa diri mereka tidak akan menjadi orang
baik kecuali hanya dengan anugerah dan kemurahan Allah. Sifat ini tetap diikuti
oleh anak cucu mereka, khususnya para wali yang mempunyai kedudukan, ilmu dan
gemar beramal kebajikan dan beribadah.
Pokoknya al-Habib Umar
senantiasa mengikuti jejak para sesepuhnya yang sholeh, beliau selalu mengikuti
budi pekerti yang mulia seperti budi pekerti Nabi yang pernah disebutkan Allah
dalam satu firmannya:
“Dan sesungguhnya engkau di atas budi pekerti
yang agung”.
Jika beliau meningkatkan
frekuensi ibadahnya yang wajib dan sunnah, maka beliau mengikuti apa yang
disebutkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Ibadat di dalam kitab Ihya’.
Demikian pula, jika beliau ingin mengikuti sunnah-sunnah dan memperbaiki niat
dan motivasi, maka beliau mengikuti apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali di
dalam Rub’ul Adat di dalam kitab Ihya’. Adapun jika beliau ingin menjauhi budi
pekerti dan tindak tanduk yang tidak baik, maka beliau mengikuti apa yang
diiterangkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Muhlikat di dalam kitabnya
Ihya’. Adapun jika beliau ingin mengikuti akhlak yang diredhai oleh Allah, maka
beliau akan mengikuti apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul
Munjiyat di dalam kitab Ihya’ dan mencari tambahan keterangan lain dari
buku-buku lain.
Beliau senantiasa
bergembira dan tersenyum kepada semua kalangan, baik terhadap anak-anak kecil
mahupun orang dewasa, sampai setiap orang merasa bahwa dirinya sebagai kaum
kerabat beliau. Beliau senantiasa menyambut dengan baik semua orang menurut
kebutuhannya masing-masing dan beliau bersabar meskipun menghadapi banyak
persoalan dari mereka, semua orang disayangi dan disantuni oleh beliau, beliau
suka berwasiat untuk menyenangkan anak-anak kecil, kata beliau: “Kalau engkau
tidak dapat menyenangkan anak kecil dengan memberi sesuatu, maka berikan kepada
mereka meskipun sebuah batu kerikil berwarna merah, agar mereka bergembira.”.
Beliau suka mengabulkan
segala permintaan orang dan suka menanggung kesulitan orang dengan harapan agar
dapat menyenangkan keluarga orang yang ditolongnya itu. Adakalanya beliau
memaksa diri untuk mendatangi rumah-rumah mereka, sehingga ada dari murid
beliau yang mengatakan kepada beliau, bahawa beliau sudah udzur, karena sudah
lanjut usia dan hal itu cukup memberatkan tetapi beliau menjawabnya:
“Sesungguhnya kami mendatangi rumah-rumah mereka, untuk manfa’at dan maslakhat
mereka dan kami berharap dari Allah, agar setiap rumah yang kami masuki Allah
akan memberi ampun kepada penghuni rumah tersebut”.
Jika ada dua orang datang
ke majlis al-Habib Umar, maka beliau menanya kepada keduanya, siapa di
antaranya yang lebih tua, setelah diberitahukan kepada beliau, maka beliau
mempersilakan yang lebih tua duduk di sebelah kanan beliau sedang yang lebih
muda dipersilakan duduk di sebelah kiri beliau agar beliau dapat menghormati
munurut usianya masing-masing, selanjutnya keduanya disenangkan dan
digembirakan dengan kegembiraan yang luar biasa, kemudian beliau berbicara
dengan keduanya menurut kemampuan berfikir mereka masing-masing. Akhlak beliau
yang seperti itu menyebabkan semua orang terpesona kepada beliau dan budi
pekerti beliau sering disebut orang.
Al-Habib Umar sering
mengunjungi Wadi Amed dan al-Qasar untuk mengajak penduduknya ke jalan Allah
dan untuk mempersatukan orang-orang yang bersengketa di antara mereka. Untuk
kepentingan yang satu ini, beliau banyak mengorbankan hartanya dan tenaganya.
Dan sangat bersabar kepada mereka yang berwatak keras, beliau hampir saja tidak
pernah marah, kecuali larangan Allah diremehkan oleh seseorang, jika hal itu
terjadi, maka beliau amat marah, sampai dapat dilihat dari wajah beliau.
Al-Habib Umar senantiasa
menganjurkan manusia untuk rajin mengerjakan amal-amal ibadah dan menghadiri
solat Jum’at dan Jama’ah, beliau selalu menganjurkan perbuatan baik dan
melarang perbuatan mungkar. Beliau tidak mau masuk ke dalam rumah yang
pemiliknya suka berbuat kemungkaran dan tidak mau menghadiri undangan mereka,
samapi mereka mau berubah kebiasaan mereka.
Al-Habib Umar sering
mengunjungi Wadi Dou’an, kebiasaan itu beliau lakukan sejak awal dan beliau
tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu kecuali di akhir hayatnya. Beliau
pernah mengunjungi Wadi Dou’an berangkat dari al-Lisk dengan mengenderai unta
dan dengan disertai al-Faqih Ahmad ibnu Muhammad Bajamal al-Asbuhi. Dalam satu
kunjungannya ke Wadi Dou’an beliau pernah mengunjungi Syeikh Ahmad ibnu Ali
ibnu Nu’man al-Hajrain di desa Hajrain, maka Syeikh Ahmad ikut bersama beliau
menuju Qaidun untuk berziarah ke makam Syeikh Sa’id ibnu Isa Alamudi.
Dikarenakan banyaknya
berpergian dan perjalanan yang ditempuh oleh al-Habib Umar al-Attas untuk
berdakwah dan untuk mendamaikan orang, maka beliau berkata: “Sesungguhnya aku
di dunia adalah seorang yang asing, maka tidak diwajibkan atasku melakukan solat
Jum’at di suatu desa pun. Beliau lebih suka mengenderai keledai di sebagian
besar waktunya dan di dalam perjalanannya di tengah hari yang amat panas. Di
setiap perjalanannya, beliau selalu membawa kitab ar-Risalah karya Imam
al-Qusyairi di satu tangan, sedang di tangan yang lain memegang kitab Al
‘awarifu Al Maarif maupun kitab-kitab yang semacamnya merupakan benteng bagi
para tokoh Sufi”.
Al-Habib Umar selalu
menghabiskan waktunya untuk muzakarah segala cabang ilmu pengetahuan, untuk
keperluan yang satu ini, beliau suka menghabiskan waktu satu malam penuh.
Adakalanya tiba waktu fajar, sedangkan beliau masih menerangkan berbagai macam
hakikat ketuhanan (Hakaik) kepada murid-murid beliau. Pokoknya tidak satu
waktupun beliau lewatkan, kecuali beliau lewatkan dengan ibadah dan menimba
ilmu atau mendengar suatu bacaan. Biasanya jika ada sekelompok orang duduk di
malam hari bersama beliau, maka beliau melayani mereka, sampai ketika mereka
bubar, maka beliau berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Wahai Ali, apakah masih
ada orang lain selain kita?”. Jika dijawab tidak, maka beliau berkata:
“Ambilkan kitab itu, untuk kita baca bersama”.
Al-Habib Umar tidak
pernah mengkhususkan membaca atau mengajar suatu kitab tertentu. Al-Habib
Hussein bin Umar al-Attas berkata: “Pada suatu hari, aku pergi bersama ayahku,
tanganku yang satu memegang tali kendali kenderaan beliau, sedangkan tanganku
yang satu memegang sebuah kitab, sedangkan beliau menyampaikan kepada kita
berbagai cabang ilmu lewat lisan beliau, hal itu bagaikan sebuah air yang
mengalir dengan derasnya. Ketika kami katakan kepada beliau: “Mengapa engkau
tidak izinkan kami membaca atau belajar sebuah kitab kepadamu?” Maka beliau
berkata: “Terimalah sesukamu ilmu yang sedang mengalir dari satu wadah,
meskipun tanpa sebuah kitab”. Beliau berkata kepada seorang guru: “Ajarkan
anak-anakku untuk membaca kitab karya tulis Syeikh Abu Amru”.
Al-Habib Umar sangat
peduli untuk mengajari saudara-saudaranya yang masih kecil yang ditinggal wafat
oleh ayahnya. Di muka telah kami terangkan bahawa al-Habib Umar sangat peduli
untuk mengajar dan mendidik saudara-saudaranya yang masih kecil, terutama untuk
memahami al-Quran. Beliau menganjurkan mereka untuk gemar mencari ilmu dan
menyuruh guru saudara-saudaranya untuk memukul mereka, jika mereka tidak
memperhatikan pelajarannya. Bahkan beliau sendiri pernah memukul saudaranya
dengan tangannya sendiri, sampai ia berhasil membaca al-Quran dengan baik.
Beliau pernah mengirim saudara beliau al-Habib Aqil ke Hajrain untuk belajar
dari Syeikh Muhammad ibnu Umar al-Afif, sampai akhirnya al-Habib Aqil mampu
mengajar setelah beliau kembali ke desa Huraidzah. Setiap hari al-Habib Umar
menghadiri majlis ta’lim al-Habib Aqil sekembalinya dari menziarahi kubur
ayahnya.
Ketika al-Faqih Syeikh
Abdul Kabir ibnu Abdul Kabir Baqais mengunjungi beliau yang ketika itu beliau
masih dalam usia belajar, maka beliau berkata: “Hai, Abdul Kabir nama telah
dihidupi, maka hidupkanlah ilmu”. Ucapan beliau menyuruh Abdul Kabir untuk
rajin menuntut ilmu. Dengan anjuran beliau, maka Abdul Kabir berhasil menimba
ilmu sebanyak-banyaknya sampai beliau disebut al-Faqih. Al-Habib Umar pernah
memberitahukan akan lahirnya Syeikh Abdul Kabir yang ketika itu masih di dalam
kandungan ibunya, sedang ayahnya meninggal dunia. Ketika keluarganya akan
membagi harta waris ayahnya, di saat itu al-Habib Umar berkata: “Sesungguhnya
janin yang ada di dalam kandungan ibunya ini adalah anak laki-laki, maka
simpanlah bagiannya dari harta warisannya”. Ternyata apa yang dikatakan oleh
al-Habib Umar adalah benar.
Al-Habib Umar telah
memberi isyarat kepada salah seorang pengikutnya, Muhammad ibnu Hishn
al-Huraidzi untuk belajar membaca al-Quran meskipun usianya telah lanjut,
dikarenakan telah mendapat barakah dari Habib Umar, maka ia diberi kemudahan
oleh Allah. Ada seseorang jika menghadiri majlis ta’limnya al-Habib Umar
al-Attas, maka ia banyak berbicara, sehingga majlis beliau terganggu, anehnya
jika diadakan pembacaan suatu kitab, maka orang itu mengantuk sampai tidur.
Karena itu, jika orang itu hadir, maka al-Habib Umar berkata kepada
kawan-kawannya: “Ambilkan kitab dan mari kita membaca kitab itu, agar orang itu
diam karena mengantuk”.
Al-Habib Umar pernah
menyuruh untuk mengeluarkan zakat kurma (Rutob) sebelum kurma itu menjadi
kering. Ketika dikatakan bahawa sebagian ulama mengatakan bahawa tidak sah
mengeluarkan zakatnya kurma sebelum kurma itu menjadi kering, maka al-Habib
Umar berkata: Mereka itu ulama dan kami pun ulama, tanyakanlah kepada
orang-orang miskin, kurma yang masih basah ataukah kurma yang sudah kering yang
mereka sukai”. Setelah dijawab, bahwa yang mereka sukaiadalah kurma yang masih
basah, maka pendapat al-Habib Umar diterima oleh mereka dan dilaksanakan oleh
seluruh penduduk desa itu.
Al-Habib Ali ibnu Hussein
al-Attas menyebutkan dalam kitabnya Taajul A’raas juz 1 hal 708, bahawa
al-Habib Umar ibnu Abdurrahman al-Attas telah berbeda pendapat dengan ahli
Fiqih dalam tiga masalah. Pertama al-Habib Umar berpendapat untuk menaruh
jenazah di ujung kepala liang lahad dan jika jenazah sedang diturunkan ke liang
lahad hendaknya kedua kakinya diturunkan lebih dahulu. Kedua, al-Habib Umar
berpendapat bahawa seseorang tidak harus berniat ketika ia menjadikan tangannya
sebagai wadah untuk mengambil air hendak berwudhu (niat Ightiraf) meskipun menurut
pendapat ahli Fiqih, orang itu diharuskan berniat kalau tidak maka airnya
menjadi musta’mal. Adapun yang dipakai alasan oleh al-Habib Umar, seorang yang
mengambil air ketika hendak berwudhu, maka ia tidak mencuci tangannya ke dalam
tempat air, kerana itu tidak perlu berniat. Ketiga, al-Habib Umar berpendapat
bahawa seseorang dibolehkan mengeluarkan zakatnya kurma ketika buah kurma itu
masih basah (rutob), meskipun para ulama tidak membolehkan cara yang demikian
itu, alasannya Habib Umar adalah buah kurma yang masih basah lebih disenangi
orang-orang miskin, daripada buah kurma yang sudah kering.
Disebutkan juga al-Habib
Umar menganjurkan orang melakukan solat Ghaib setelah selesai mengerjakan solat
Jum’at. Adapun waktunya adalah setelah imam menutup solatnya dengan salam dan
setelah berzikir, maka diumumkan untuk melakukan solat Ghaib bagi mereka yang
telah meninggal dari segenap umat Islam. Tradisi macam ini tetap dilakukan
penduduk desa Huraidzah dan desa-desa lainnya yang pernah mendengar fatwa al-Habib
Umar.
Al-Habib Umar suka
mendengar qasidahnya al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad, yang awal mula
baitnya adalah:
Jika qasidah ini dikumandangkan oleh seseorang di depan Habib Umar, maka beliau suka menyuruh orang itu untuk mengulanginya, sebab beliau sangat menyayangi dan merasa kagum qasidah itu. Setelah al-Habib Umar wafat, maka al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad menyuruh seseorang untuk berziarah ke makam al-Habib Umar dan menyuruhnya untuk membacakan qasidah yang disebutkan di atas tadi di sisi kubur al-Habib Umar. Ketika orang itu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad, maka ia tertidur sejenak, maka tahu-tahu terdapat sepotong roti yang masih hangat di pangkuannya. Ketka ia terbangun ia terkejut dengan adanya dua potong roti dihadapnya, setelah diperiksa di sekelilingnya, ternyata tidak ada seorangpun yang ada didekatnya, sehingga ia yakin bahawa dua potong roti itu adalah karomah dari al-Habib Umar sebagai petanda bahawa qasidah yang dibacanya telah didengar oleh al-Habib Umar dan ziarahnya terkabul. Maka yang sepotong dimakan sedangkan yang sepotong lagi dibagikan kepada anak-anaknya.
Al-Habib Umar dan guru beliau, al-Habib Hussein ibnu Syeikh Abu Bakar ibnu Salim melarang orang untuk menghisap rokok dan mengharamkannya.
Al-Habib Umar suka
menyuruh orang untuk memperbaiki cara pengairan sawah ladang. Beliau amat
senang dengan orang-orang yang suka mengairi sawah ladangnya dan beliau selalu
mendoakan kebajikan bagi mereka, tetapi beliau tidak senang terhadap
orang-orang yang malas mengakhiri sawah ladangnya.
Al-Habib Umar selalu
menganjurkan orang untuk rajin menanam pohon kurma. Di desa Andal dan al-Qasar
banyak menghasilkan buah kurma. dikarenakan seringnya al-Habib Umar
menganjurkan orang untuk menanamnya. Biasanya beliau berpesan untuk memberi
jarak sepuluh langkah atau lima belas langkah antara satu pohon kurma dengan
lainnya.
Banyak hadiah-hadiah yang
mengalir kepada al-Habib Umar, tetapi beliau tidak mahu menerimanya, kecuali
hanya sebagian kecil daripadanya. Bahkan jika ada seseorang yang nadzar memberi
pohon kurma kepada beliau, maka beliau ada kalanya menolaknya. Beliau tidak
mahu menerima pemberian seorang penguasapun, kalau ada seorang penguasa memberi
hadiah atau bingkisan kepada beliau atau yang ada hubungannya denga penguasa,
maka beliau selalu menolaknya dengan cara yang manis dan halus.
Al-Habib Umar selalu
pasrah dan redho terhadap apa saja yang dikehendaki oleh Allah. Al-Habib Umar
selalu sederhana dalam cara berpakaiannya, makan minumnya dan tempat
tinggalnya. Beliau suka memakai pakaian yang kasar berwarna putih, hasil
tenunan dalam negeri, bukan buatan dari India. Beliau tidak pernah memakai
pakaian yang berwarna hitam, selain ketika putera beliau wafat, tetapi beliau
mengenakan juga pakaian putih dan berwarna merah untuk menampakkan beliau tidak
susah atas kematian putranya. Ketika ditanyakan, mengapa beliau berpakaian
demikian, maka beliau berkata: “Sesungguhnya syaitan menyuruh kami untuk
menampakkan rasa susah, tetapi kami menolaknya agar ia menjadi kecewa”.
Biasanya jika al-Habib
Umar diberi hadiah sehelai kain halus berwarna putih, maka beliau memakainya
sebagai alas duduk di atas kenderaannya sampai kain itu tampak rosak. Biasanya
jika beliau diberi hadiah sehelai baju terlalu panjang bagian tangannya, maka
beliau memotongnya sampai sebatas telapak tangan. Hal itu adalah dikarenakan
beliau meniru jejak hidup Imam Ali ibnu Abi Thalib yang selalu memotong bagian
tangannya sampai batas telapak tangan.
Jika al-Habib Umar hendak
membangun rumah, maka beliau menyuruh arkiteknya untuk membangunkan kamar mandi
di bagian depan rumahnya agar orang-orang yang melihatnya akan mengerti, betapa
hinanya kehidupan dunia yang selalu mereka rebutkan itu. ketika arkiteknya
telah selesai membangun tembok rumah beliau, maka beliau dipersilakan masuk ke
dalam bangunan itu. Setelah beliau mengukur tinggi bangunannya dirasa telah
cukup, maka beliau menyuruhnya untuk membangun atapnya. Letak rumah beliau di
bagian atas desa. Ketika penduduk desa Huraidzah minta pertimbangan beliau, di
manakah rumah beliau harus dibangun, maka beliau menyuruh mereka untuk
membangun rumahnya di bagian atas desa itu di dekat rumah Syeikh Salamah ibnu
Ali Basahil. Sebab beliau amat erat hubungannya dengan Syeikh Salamah yang dikenal
sebagai wali yang wara’, ahli ibadah dan amat dekat hubungannya dengan al-Habib
Umar, sehingga al-Habib Umar sering mengunjunginya. Kata al-Habib Umar:
“Andaikata aku tidak takut kebakaran, pasti aku lebih senang di sebuah gubug”.
Beliau tidak terlalu
memperhatikan masalah makanannya, beliau mau makan apa saja yang didapatnya
dengan mudah, tidak jarang beliau menahan lapar jika tidak ada rezeki yang
dimakannya. Disebutkan bahawa pada suatu malam isteri Hussein menantu beliau
tidak menyediakan makan malam bagi al-Habib Umar, sebab ia mengira bahawa
al-Habib Umar sudah makan malam di rumah Salim, puteranya. Demikian juga isteri
Salim tidak menyiapkan makan malam bagi al-Habib Umar, sebab ia mengira bahawa
al-Habib Umar telah makan di rumah Hussein. Kebetulan malam itu pembantunya
keluar dengan membawa sepotong roti untuk makan sapinya, maka beliau mengambil
sebagian seraya berkata: “Ini adalah makan malamku”. Al-Habib Umar hanya
berkata: “Kurma dan mentimun yang halal lebih baik dari bubur kambing (harisah)
yang subhat”.
Pada suatu hari ketika
beliau berkunjung ke Wadi ‘Amed, maka beliau singgah di rumah salah seorang
pengikutnya yang ada di desa itu. Penduduk desa itu senang menerima kehadiran
al-Habib Umar, sehingga mereka membikin bubur asidah bagi beliau. Ketika
penduduk desa itu masih sibuk membuat bubur asidah, salah seorang puteri dari
mereka datang dengan membawa sepiring makanan bagi beliau, beliau hanya
menyuapnya sedikit. Tidak lama setelah bubur asidah yang dipersiapkan penduduk
desa itu telah selesai, maka mereka menghidangkannya ke hadapan al-Habib Umar,
tetapi beliau tidak menyuapkan sedikitpun dari bubur asidah itu, sehingga
mereka minta beliau untuk mencicipinya, tetapi beliau menolaknya dengan halus,
seraya berkata: “Ada seorang puteri telah membawakan makanan buah bidara cina
bagiku, aku telah memakannya sedikit dan hal itu aku telah rasa cukup”. Kisah
ini merupakan salah satu bukti dari kesederhanaan al-Habib Umar dalam hal
makanan.
Al-Habib Ali ibnu Hassan
al-Attas pernah menyebutkan dari al-Habib Abu Bakar ibnu Muhammad Bafaqih,
Shahib Qoidun, tentang sifat diri al-Habib Umar sebagai berikut: “Tubuh
al-Habib Umar berperawakan sedang, wajahnya tampan, janggutnya lebar, jika
seorang melihat beliau, maka akan melihat kewibawaan beliau dan tercium bau
harum dari beliau”.
Al-Habib Umar gemar
memakai parfum. Kata beliau: “Dari besarnya kesukaannya kepada parfum, maka aku
ingin dihadirkan sebuah bejana yang berisi parfum, kemudian aku akan memakainya
semua”. Dikarenakan besarnya kegemaran beliau mamakai parfum, maka keringat
beliau tercium bau harum.
Pada lambung kiri
al-Habib Umar ada warna hitam sebentuk cincin.
Al-Habib Umar adalah
seorang Syeikh, seorang murabbi dan seorang da’i kepada Allah di dalam
tindak-tanduknya dan tutur katanya. Al-Habib Umar pernah berkata: “Ketika aku
ditawari menjadi seorang da’i, maka aku menolaknya dengan berbagai alasan”.
Kemudian dikatakan kepadaku: “Kami akan menjadikan bagimu seorang pendamping
dan membantu yang akan mendampingimu untuk menunaikan tugasmu”, seraya menunjuk
kepada Syeikh Ali Baras. Maka aku menerima tugas itu dan Syeikh Ali Baras akan
membantuku dan mendukungku”.
Al-Habib Umar berkata:
“Sesungguhnya sumber-sumber untuk mendapatkan cahaya Allah tidak berkurang
sedikitpun bagi generasi yang ada di akhir masa, akan tetapi mereka datang
membawa bejana-bejana yang berlubang”.
Pada awal mulanya, Syeikh
Ali Baras sibuk membantu al-Habib Umar dalam menyampaikan dakwahnya. Pada suatu
hari ketika Syeikh Ali Baras duduk di sisi al-Habib Umar, maka beliau bertanya
kepadanya: “Buku apa yang ada padamu?” kata Syeikh Ali Baras: “Buku yang ada di
tanganku adalah Bidayatul Hidayah”. Kata al-Habib Umar: “Bacalah buku itu”. Maka
Syeikh Ali Baras membaca dengan khutbahnya. Selanjutnya, al-Habib Umar berkata
kepada Syeikh Ali Baras: “Berhentilah sampai di situ, aku telah memberimu
ijazahdi bidang Syari’at, Tareqat dan Hakekat, ini adalah ijazah yang diberikan
bertepatan pada saat terkabulnya semua do’a”.
Habib Isa ibnu Muhammad
al-Habsyi berkata: “Biasanya jika ada seorang datang dengan niat yang baik
kepada al-Habib Umar, maka beliau akan menerima segala pengaduannya serta
menghormatnya dengan menampakkan keramatnya, sifat-sifat mulia seperti ini
iaitu niat yang baik dan keyakinan yang kuat jarang dimiliki oleh tamu-tamu
yang lain dan kekeramatan beliau jarang dilihat orang kecuali seorang yang
benar-benar ta’at, bagus niatnya dan kuat aqidahnya”.
Syeikh Ali Baras pernah
berkata kepada al-Habib Umar: “Meskipun engkau sering mengunjungi Wadi ‘Amed
dan desa-desa lainnya, tetapi anehnya tidak banyak yang mendapat petunjuk
dengan sebenarnya dari engkau, padahal aku yakin bahawa jika seorang fakir
bertemu dengan engkau pasti ia akan menjadi muslim”. Jawab al-Habib Umar:
“Andaikata aku bertemu dengan seorang yang hatinya seperti engkau, tentunya aku
dapat menyampaikan ia kepada Allah di dalam waktu yang paling singkat, akan
tetapi aku mendapati orang-orang yang hanya membicarakan: “Habib akan pergi,
habib akan datang”. Dengan kata lain tidak mempunyai persiapan dan keyakinan
kepada beliau”.
Disebutkan bahawa pada
suatu hari ada seorang murid datang kepada beliau dengan niat untuk memohon
keputusan dari beliau. Sebelum murid itu menyampaikan kepada beliau apa yang
yang ada di hatinya, maka dengan cara kasyaf beliau menjawab apa yang akan
ditanyakan oleh murid tersebut: “Wahai orang yang kebanyakan manusia
meninggalkan apa yang semestinya harus ia lakukan, tidak seorangpun yang datang
kepadaku kecuali ingin menanyakan tentang masalah-masalah duniawi seperti
meminta hujan, menginginkan anak atau meminta pendapat, padahal setiap murid
yang datang kepadaku dengan niat yang baik untuk mendapatkan masalah-masalah
yang mulia, pasti ia akan mendapatkan kebajikan yang ia inginkan”.
Ada seorang sholeh dari
penduduk sebuah desa Hadzyah yang bernama Ahmad ibnu Abdillah Bajusair, ia
seorang guru ngaji bagi anak-anak kecil. Biasanya jika penduduk desa Syibam
berziarah ke tempat al-Habib Umar al-Attas, maka mereka singgah di desa Hadzyah
dan akan melewati rumah guru ngaji ini, demikian pula jika mereka pulang dari
tempat beliau. Pada suatu kali, guru itu berkata kepada salah seorang yang
didekatnya: “Aku lihat penduduk Syibam yang pergi ke tempat al-Habib Umar dalam
keadaan wajah tertentu, dan mereka pulang dengan wajah yang berlainan dari
wajah yang sebelumnya. Mengapa demikian?” Ketika ucapan guru ngaji itu
disampaikan kepada al-Habib Umar, maka beliau berkata: “Katakanlah kepadanya,
adakalanya manusia tugasnya sebagai guru ngaji seperti kamu, adakalanya seorang
pendidik, apakah dia tidak mengerti bahawa saya seperti buaya, telurnya di
darat dan ia tetap berada di laut dan memelihara telurnya cukup dengan
pandangan”.
Al-Habib Ahmad ibnu
Hasyim al-Habsyi berkata: “Dulunya aku dan as-Sayid Abdullah al-Haddad sering
berkunjung kepada al-Habib Umar al-Attas, tidak lama, maka al-Habib Abdullah
mendapat pancaran Ilahi (Futuh) sebelum aku mendapatkannya, sehingga minatku
kepada beliau berkurang. Ketika aku adukan keadaanku kepada Habib Umar, maka
beliau menghadap kepadaku dan mendo’akanku untuk mendapatkan seperti yang
didapati al-Habib Abdullah al-Haddad. Maka sejak saat itu akupun mendapat
pancaran Ilahi.
Al-Habib Abdurrahman ibnu
al-Habib Umar al-Attas berkata: “Ketika aku keluar dari desa Ahrum, maka aku
bertemu dengan seorang Darwisy yang sedang mengembara. Waktu itu ia hendak
menyeberang jalan. Ketika aku memberi salam kepadanya, maka ia berkata, selamat
datang wahai fulan. Ia menyebut namaku dan ia menunjukkan kegembiraannya
bersamaku meskipun aku belum pernah bertemu dengannya pada waktu sebelumnya.
Aku bertanya kepadanya, bagaimana engkau tahu namaku, padahal engkau belum
pernah berkenalan denganku?” Jawab orang itu: “Bagaimana aku tidak mengenalmu,
pada hal engkau adalah putera guru kami, al-Habib Umar bin Abdurrahman
al-Attas. Sesungguhnya ayahmu sering datang ke negeri kami secara ghaib dan
nama beliau lebih dikenal di tempat kami daripada di tempat kamu”.
Habib Ahmad ibnu Hussein
ibnu Umar berkata: “Aku pernah diberitahu oleh seorang yang aku tidak ragu akan
kejujurannya bahwa ia pernah bertemu dengan seorang Darwisy dari negeri Sind di
Afrika yang berkata: “Sesungguhnya al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas
sering berkunjung ke negeri kami di Sind untuk mengajari kami Tasawwuf dan ilmu
Tareqat dan beliau banyak dikenal di negeri kami”.
Syeikh Abdullah ibnu
Abdurrahman Ba’ubad menuturkan bahawa ketika ia bersama Syeikh Ali Baras dan
tiga belas orang sahabatnya datang ke tempat al-Habib Umar, maka yang pertama aku
lihat adalah sinar wajah beliau yang amat cemerlang, sehingga aku tidak ingat
lagi akan kehadiranku, sebab aku lihat diri beliau bagaikan mutiara yang
berwarna putih cemerlang, dan wajah beliau memancarkan sinar yang terang, maka
timbul keinginanku untuk tidak akan berpisah dari beliau sepanjang hidupku.
Kami sempat menetap di tempat beliau selama beberapa hari. Ketika beliau
memberi izin kami untuk pulang ke desa kami, maka beliau berkata kepadaku:
“Wahai puteraku, tempat dan sumber mata air serta perjalanan hanya ada satu
macam, barang siapa yang ingin memisahkan antara aku dari Syeikh Ali Baras,
maka ia tidak akan mendapat untung”.
Al-Habib Abdullah ibnu
Alwi al-Haddad berkata: “Ketika aku mengunjungi al-Habib Umar al-Attas, maka
aku lihat pada diri beliau, adanya sifat-sifat yang terdapat pada para sesepuh
beliau hingga pada diri Nabi SAW”.
Habib Isa ibnu Muhammad
al-Habsyi dan para arif billah lainnya, banyak menuturkan bahawa keadaan
peribadi al-Habib Umar al-Attas dan tindak lanjutnya jauh berbeda dengan para
tokoh wali lainnya. Meskipun keadaan dan kedudukan beliau sangat tinggi, namun
beliau lebih senang untuk rendah diri, lemah lembut, ramah tamah kepada semua
orang dan akhlak yang sangat tinggi di mana sangat sedikit sekali orang
berakhlak seperti beliau.
Ketika menyebutkan sifat
al-Habib Umar, Habib Ahmad ibnu Zein al-Habsyi berkata: “Banyak orang dari
kawan-kawan beliau yang menerima kebajikan dari al-Habib Umar, banyak orang
yang menjadi murid beliau dan banyak pula yang menerima talkin dzikir dan
menerima khirqoh dari beliau”.
+ Az Zubad karya tulis Syeikh Ibnu Ruslan. Habib Umar
selalu menyuruh anak-anak kita untuk menghafal nadzom kitab Zubad.
+ Bidaayatul Hidaayah karya tulis Imam Ghozali. Syeikh Ali Baras pernah membaca mukadimah kitab Bidaayatul Hidaayah di hadapan Habib Umar, kemudian beliau memberi ijazah bagi Syeikh Ali Baras sehingga Allah membuka cabang-cabang ma’rifat baginya.
+ Al Minhaaj karya tulis Imam Nawawi. Syeikh Abdullah ibnu Umar Ba’ubaid berkata: “Ketika aku berkunjung ke tempat Habib Umar, beliau berkata kepadaku: “Aku pernah membaca kitab al-Irsyad, karya tulis Syeikh Ismail al-Muqri”. Maka beliau berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Wahai Ali, bacakan kepadanya kitab al-Minhaaj, karya tulis Imam Nawawi dan bacakan juga kitab itu kepada kawan-kawanmu, kerana kitab tersebut membawa berkat dan memberi futuh, Insya-Allah, sebab penyusunnya seorang Wali Qutub dan ia berdo’a bagi setiap pembacanya, semoga diberi barakah”.
+ Ar Risalah karya tulis Imam Qusyairi dan Awarifu al-Ma’arif karya tulis Imam al-Saharwurdi. Al-Habib Umar al-Attas selalu membaca kedua kitab itu ke mana saja beliau pergi. Kata beliau: “Ar Risalah dan al-Awarif dan kitab-kitab sepertinya sangat pentinguntuk dibaca, sebab keduanya termasuk pemasok santapan rohani bagi paraahli Tasawwuf”.
+ Bidaayatul Hidaayah karya tulis Imam Ghozali. Syeikh Ali Baras pernah membaca mukadimah kitab Bidaayatul Hidaayah di hadapan Habib Umar, kemudian beliau memberi ijazah bagi Syeikh Ali Baras sehingga Allah membuka cabang-cabang ma’rifat baginya.
+ Al Minhaaj karya tulis Imam Nawawi. Syeikh Abdullah ibnu Umar Ba’ubaid berkata: “Ketika aku berkunjung ke tempat Habib Umar, beliau berkata kepadaku: “Aku pernah membaca kitab al-Irsyad, karya tulis Syeikh Ismail al-Muqri”. Maka beliau berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Wahai Ali, bacakan kepadanya kitab al-Minhaaj, karya tulis Imam Nawawi dan bacakan juga kitab itu kepada kawan-kawanmu, kerana kitab tersebut membawa berkat dan memberi futuh, Insya-Allah, sebab penyusunnya seorang Wali Qutub dan ia berdo’a bagi setiap pembacanya, semoga diberi barakah”.
+ Ar Risalah karya tulis Imam Qusyairi dan Awarifu al-Ma’arif karya tulis Imam al-Saharwurdi. Al-Habib Umar al-Attas selalu membaca kedua kitab itu ke mana saja beliau pergi. Kata beliau: “Ar Risalah dan al-Awarif dan kitab-kitab sepertinya sangat pentinguntuk dibaca, sebab keduanya termasuk pemasok santapan rohani bagi paraahli Tasawwuf”.
Beliau dikenal sangat
wara’. Beliau tak mau pernah menerimapemberian apapun dari kaum penguasa, tidak
pernah mau diajak makan minum, sampaipun sekedar minum kopi bersama kaum
penguasa, bahkan beliau menolak arang bakar yang datangnya dari kaum penguasa.
Kisah penolakkannya terhadap pemberian Sultan Badar ibnu Abdillah al-Katsiri
ketika datang mengunjungi beliau, kelak akan saya sebutkan dalam fasal
tersendiri.
Beliau tidak mau makan
dari pemberian orang-orang yang berbisnes dengan cara riba’.
Pada suatu kunjungan
beliau di Wadi Amed, maka beliau dipersilakan singgah di rumah seorang dari
keluarga Basulaib, sedangkan mereka tidak mau memberikan bagian waris bagi
anak-anak perempuan, maka belai menolak untuk singgah dan beliau berkata:
“Bagaimana aku akan singgah di rumah seorang yang tidak mau memberikan waris
bagi anak-anak perempuannya? Padahal Allah menyuruh memberikannya dalam al-Quran,
Allah berfirman:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian waris untuk anak-anakmu, iaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan”.
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian waris untuk anak-anakmu, iaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan”.
Kata lelaki itu: “Mulai
dari saat ini, aku akan memberikan waris bagi anak-anak perempuanku”.
Maka Habib Umar mau
singgah di rumah orang itu dan beliau berdo’a bagi keluarga orang itu, sehingga
mereka diberi barokah dan kebahagiaan hidup”.
Pada suatu kali ketika
beliau berkunjung ke rumah seorang dari keluarga Basuwaid yang ada di desa Anaq.
Maka beliau disambut dengan sambutan yang luar biasa, dan beliau diberi labu.
Beliau bertanya: “Dari mana engkau peroleh buah labu ini?” Jawab orang itu:
“Aku memetiknya dari sebuah kebun milik wakaf”. Katanya beliau: “Kalau begitu,
kita tidak diperbolehkan makan dari kebun yang telah diwakafkan, sebab kebun
yang telah diwakafkan itu adalah milik semua orang Islam”. Kata orang itu:
“Mulai sekarang aku tak mau lagi makan dari hasil kebun yang telah diwakafkan,
lalu bagaimana hasil-hasilnya yang telah aku makan di masa-masa sebelumnya?”
Kata Habib Umar: “Untuk menebus dosanya yang lalu, maka rawatlah kebun itu,
kemudian bagikan hasilnya bagi kaum muslimin”. Maka sejak saat itu, kebun yang
telah diwakafkan itu mulai sebaik mungkin”.
Habib Umar tidak mau menerima
harta wasiat dari seorang kecuali bila beliau telah memperjelaskan benar-benar
tentang redhanya ahli warisnya. Pada suatu kali ada seorang wanita yang
mewasiatkan sebagian dari perhiasannya senilai tiga Uqiyah. Ketika wanita
pemilik harta itu wafat, maka harta yang diwasiatkan itu diberikan kepada
beliau, tetapi beliau tidak mau menerimanya sampai setelah memperjelas redha
ahli warisnya tentang harta wasiat itu”.
Disebutkan oleh Syeikh
Ali ibnu Salim al-Junaid, bahwa ayahnya yang bernama Salim pernah meminjam
seekor keldai buat kenderaan bagi perjalanan habib Umar yang akan pergi ke desa
Lahrum. Anehnya, sesampai di tengah perjalanan, keldai itu berhenti dan duduk
di padang pasir, padahal waktu itu udaranya amat panas. Kata Syeikh Salim:
“Hampir aku pukul keldai ini, tetapi beliau melarangku seraya berkata bahwa
pemilik keldai ini tidak mau keldainya dipukul”. Kemudian beliau berkata:
“Peganglah kepalanya dan aku akan membantumu, agar ia berjalan”. Demikian pula
ketika keldai itu mogok kembali, maka Salim hendak memukulnya, tetapi beliau
menolaknya, dan beliau membantunya agar ia mau berjalan”.
Dan jika telah masuk
waktu solat berjamaah, sedangkan imam masjid ada didekat beliau, maka beliau
mengusirnya seraya berkata: “Pergilah engkau untuk menjadi imam, tidak
dihalalkan anda duduk di sini, bila waktu tugas anda sebagai imam telah tiba”.
Al-Habib Abdullah ibnu
Alawi al-Haddad berkata: “Itu orang (al-Habib Umar) yang pepohonnya ditanam
atas dasar tawadhu’ dan lemah lembut, sehingga tangkai-tangkainya seperti itu
juga”. Hal itu menunjukkan kedua sifat budi pekerti beliau.
Al-Habib Abdullah ibnu
Alawi al-Haddad berkata: “Ketika kami berkunjung ke desa Huraidzah ke tempat
Habib Umar, kami melihat Habib Umar bersikap amat tawadhu’, tidak seorangpun
dari orang-orang besar yang dapat mengikuti perangai beliau seperti itu. Begitu
tawadhu’nya perangai beliau, meskipun tingginya kedudukan beliau, samapi beliau
tidak dapat dibezakan dengan kawan-kawan duduknya yang lain. Di tengah
majlisnya, beliau tidak duduk di tempat yang khusus, tidak pakai pakaian
khusus, sehingga beliau tidak berbeza dengan kawan-kawan duduk yang lain. Bila
bangun kerana ada hajat dan tempat duduknya ditempati orang lain, belaiu tidak
marah dan tidak menyuruh orang itu untuk pindah, bahkan beliau duduk di tempat
lain, sampai aku pernah berkata: “Alangkah tidak sopannya kalian terhadap Imam
ini”.
Pada suatu kali, penduduk
Syibam berebutan untuk berjabat tangan dengan beliau, ada seorang yang ketika
itu melihat kesederhanaan pakaian Habib Umar dan ketawadhu’annya, maka ia
berkata: “Seorang yang seperti ini, kami di Tarim tidak mengajak berjabat
tangan dengannya”. Ketika ucapan itu didengar oleh Habib Umar, maka beliau
berkata: “Memang pantas ucapannya itu, sebab yang ada di Tarim hanyalah
orang-orang yang wajah-wajahnya bagaikan bulan”. Beliau mengulang-ulang
berkali-kali.
Pada suatu hari ketika
orang-orang datang ke tempat Habib Umar untuk mengucapkan selamat atas lahirnya
seorang anak beliau, sedangkan dari penduduk kota itu tidak ada yang datang,
mereka adalah orang-orang yang berwatak keras dan meninggalkan solat berjamaah
dan Jum’at, maka ada seorang dari penduduk desa itu yang mendengar bahawa Habib
Umar mempunyai anak, lalu dia mengatakan keldaiku mempunyai anak, suatu ucapan
yang mengejek dan sangat tidak pantas. Mendengar ejekan orang itu, Habib Umar
tidak marah, bahkan Habib Umar mendatangi rumah orang itu dengan tujuh kawan
beliau. Kedatangan beliau menjadikan orang itu amat bergembira, sehingga ia
menjadi amat kagum terhadap lemah lembut budi pekerti beliau. Kunjungan Habib
Umar itu di pagi hari Jum’at. Ketika Habib Umar hendak keluar, maka beliau
bertanya kepada orang itu dan kawan-kawannya yang tidak mau menghadiri solat
Jum’at: “Mengapa kalian tidak menghadiri solat Jum’at, padahal mempunyai
pakaian-pakaian yang bagus dan harum baunya?” Jawab mereka: “Apakah kami boleh
menghadiri solat Jum’at dengan memakai pakaian-pakaian yang bagus dan harum?”
Jawab Habib Umar: “Boleh”. Maka mereka keluar bersama-sama untuk menghadiri
solat Jum’at dengan perasaan gembira dan puas karena akhlak dan perilaku Habib
Umar.
Habib Umar al-Attas
dikenal sebagai seorang yang amat murah tangan, sehingga rumahnya selalu
dibanjiri segala lapisan masyarakat yang membutuhkan bantuan beliau. Kedermawan
Habib Umar tidak pernah membezakan orang, semua orang disamakan pelayanannya,
baik dia orang yang fakir atau pejabat tinggi. Habib Umar sangat peduli untuk
memberi makan orang-orang, sehingga menyuruh pembantu-pembantunya untuk
menyimpan sebagian hasil panen buat nanti bila datang musim paceklik. Sehingga
kalau ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan, pasti kebutuhan mereka
dapat terpenuhi. Meskipun besarnya kedermawan Habib Umar, tetapi beliau tidak
pernah menyombongkan diri di depan orang-orang lemah. eliau senantiasa memberi
pelayanan kepada orang-orang lemah dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka
tidak pernah rasa malu dengan beliau. Demikian pula, Habib Umar tidak pernah
memaksa diri dalam menjamu tamu-tamunya, adkalanya tamunya orang miskin, beliau
hidangkan daging bila beliau memilikinya. Adakalanya tamunya penguasa, beliau
hidangkan seadanya, bahkan beliau lebih mengutamakan kaum lemah dari kaum
penguasa. Hal itu terlihat pada perlakuan beliau terhadap Sultan Badar ibnu
Muhammad al-Katsiri. Yang demikian itu sengaja beliau lakukan agar tidak terasa
di hati Sultan bahwa beliau butuh bantuan dari Sultan atau ingin mendekatkan
diri kepadanya.
Adakalanya kalau ada
orang-orang terpandang mengunjungi beliau, sedangkan beliau tidak mempunyai
hidangan yang pantas buat dihidangkan kepada mereka. Tetapi beliau tidak segan
mohon bantuan atau pinjaman untuk menyembelih seekor kambing bagi tamu-tamunya
yang terpandang itu, agar mereka tidak kecewa bila penghormatannya atau
hidangannya dirasa kurang cukup.
Al-Habib Umar sebagaimana
yang diceritakan oleh putranya iaitu al-Habib Abdullah selalu menyisakan atau
menyimpan sebagian hasil panen tahunan untuk musim paceklik, meskipun
kebanyakan orang tidak memperhatikan hal ini. Karena itu bila banyak
orang-orang yang mohon bantuan bahan makanan di rumah beliau jika musim
paceklik tiba, maka hal itu tidak mengherankan sebab beliau telah lama
bersiap-siap menghadapi krisis pangan seperti itu. Di saat krisis pangan sedang
melanda kaumnya, maka beliau menolong orang-orang yang membutuhkan bahan
makanan. Di antara mereka, ada yang setiap saatnya diberi makan langsung di
rumah beliau, tetapi ada pula yang dikirim bahan pangan ke rumah-rumah mereka,
terutama bagi keluarga-keluarga yang tidak bisa mohon bantuan orang, tetapi
masa paceklik yang memaksa mereka untuk cari bantuan dan juga untuk mempererat
tali silaturahim.
Adakalanya, ada sejumlah
tamu yang datang ke rumah beliau di akhir malam, dan beliau menyambut mereka dengan
ramah-tamah. Biasanya bila ada tamu di akhir malam hari, beliau membangunkan
isterinya untuk menyiapkan makan malam buat tamu-tamu yang datang di akhir
malam, adakalanya beliau menyimpan sebagian makan malamnya, persiapan
barangkali ada tamu yang datang. Biasanya jika bahan makanan pokok menipis,
maka beliau dan keluarganya tidak mau makan bahan pokok. Beliau dan keluarganya
memilih bahan pangan pengganti, sedang bahan pangan yang pokok diberikan bagi
orang lain yang membutuhkannya, terutama bagi para tamu yang datang ke rumah
beliau. Kalau bahan pangan pokok benar-benar habis, maka beliau berikan bahan
pangan berupa apa saja tanpa malu.
Habib Umar dikenal
sebagai seorang yang selalu merahsiakan keistimewaan-keistimewaannya dan
ketekunan beribadahnya. Demikian pula, Habib Umar selalu mewasiatkan hal itu
bagi murid-muridnya.
Habib Umar suka
mengasingkan diri dari masyarakatnya. Kata beliau:
“Menonjolkan diri merupakan penyakit yang tidak ada ubatnya”.
“Menonjolkan diri merupakan penyakit yang tidak ada ubatnya”.
Seorang murid beliau
pernah melihat Habib Umar duduk di tempat solatnya secara tersendiri. Ketika
beliau ditanya: “Mengapa beliau mengasingkan diri?” Kata beliau: “Aku
mengasingkan diri sebab orang-orang itu selalu mendekati aku”.
Habib Ali bin Hasan
al-Attas meriwayatkan bahawa Thabarani menyebutkan bahawa Anas r.a berkata:
“Aku datang ke tempat Rasulullah SAW dan aku dapatkan beliau mendorongkan
sesuatu dengan kedua tangannya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kiranya apa
yang tadi engkau dorongkan dengan kedua tangannya ini?” Sabda beliau: “Tadi aku
didatangi dunia maka aku mengusirnya dariku”.
Salah satu dari tanda
ketidaksenangan Habib Umar untuk menampilkan diri dan tanda lemah lembutnya
adalah jika beliau mengunjungi suatu desa dan beliau tinggal di desa itu selama
tiga hari atau lebih atau kurang dari jumlah itu, tetapi kedatngan beliau itu
hampir tidak diketahui oleh penduduk desa yang beliau kunjungi, kecuali hanya
si pemilik rumah yang beliau singgahi dan tetangga-tetangga dekatnya. Pada
umumnya beliau suka berjalan di saat panas matahari atau di waktu tengahari
yang sangat panas, dan beliau tidak senang ditemani orang lain, kecuali
pembantunya. Jika beliau tiba di suatu desa, maka beliau sengaja memilih
singgah di suatu rumah yang tidak akan dikenal orang banyak.
Habib Umar pernah
berkata:”Ketika aku diminta untuk bergerak di bidang da’wah, maka aku
mengajukan berbagai alasan untuk menerangkan ketidakmampuan melakukannya”. Maka
diberitahukan kepadaku: “Kami akan mendukungmu dalam melaksanakan tugas da’wah
ini dengan seorang yang amat mampu untuk melaksanakan tugas ini. Kemudian
Syeikh Ali Baras diperbantukan kepadaku”.
Dikarenakan seringnya
perjalanan yang beliau lakukan untuk berda’wah dan mendamaikan orang, sampai
beliau mengatakan: “Dikarenakan banyaknya perjalanan yang aku lakukan untuk
berda’wah, sampai aku menjadi orang pendatang (asing) sampai kewajipan solat
Jum’at tidak diwajibkan bagiku”. Karena beliau selalu dalam keadaan musafir.
Al-Habib Abdullah
al-Haddad berkata: “Sebenarnya kami ingin mengunjungi makam-makam dan
negeri-negeri, akan tetapi kami terhalangi oleh kecintaan dan ketergantungan
manusia kepada kami. Kami ingin sekali seperti Habib Umar ibnu Abdurrahman
al-Attas, karena beliau banyak berkunjung ke berbagai tempat, untuk berda’wah
dengan tidak ditemani orang lain.
Al-Habib Abdullah
al-Haddad berkata juga: “Pada tahun 1071 H, tepatnya hari Isnin tanggal 21
Jamadil Akhir, ketika kami berkunjung ke tempat al-Habib Umar al-Attas, maka
kami meminta untuk berdua dengan beliau tanpa diikuti orang lain. Ketika
permintaanku itu dikabulkan oleh Habib Umar dan beliau merestui dengan segala
yang aku lakukan, beliau menganjurkan aku untuk berdakwah secara khusus atau
umum tanpa peduli ucapan orang banyak”.
Habib Umar selalu giat
berda’wah, menyuruh yang baik dan melarang yang mungkar dengan cara yang lemah
lembut, dan bersifat mengayomi orang, sehingga banyak orang yang suka dan cinta
dengan beliau. Tidak sedikit orang-orang yang membangkang dan berbuat dosa terpengaruh
oleh lemah lembutnya da’wah beliau, sehingga mereka bertaubat dan menjadi
orang-orang yang taat kepada Allah. Beliau menggalakkan menghadiri solat
berjamaah dan solat Jum’at. Selain itu, berbagai cabang-cabang amal-amal soleh
pun digalakkan di tengah masyarakatnya. Pada waktu beliau sampai di desa
Huraidzah untuk pertama kalinya, beliau dapati masyarakatnya banyak yang bodoh,
membangkang, kasar, tidak suka tolong-menolong dan tidak mau berjamaah dan
berjum’atan. Dengan tekun Habib Umar mengajak mereka ke jalan Allah. Habib Umar
tidak pernah memaksa orang untuk berbuat baik, tetapi merayu mereka dengan
cara-cara yang menarik, sehingga akhirnya penduduk desa Huraidzah menjadi
manusia-manusia yang berbudi pekerti halus dan ramah-tamah.
Salah satu dari cara-cara
menarik yang dipakai Habib Umar dalam menarik hati masyarakatnya adalah sering
mengunjungi rumah-rumah mereka dan bercengkramah di rumah-rumah mereka, sampai
mereka cinta dengan cara yang dipakai leh beliau. Meskipun demikian, beliau
tidak segan menasihati mereka bila ada perbuatan-perbuatan terlarang yang
dilakukan oleh mereka, misalnya cerita yang tertera di atas akan nasihat yang
beliau berikan kepada seorang Basuid yang menyuguhkan buah labu yang timbul di
kebun milik wakaf. Termasuk juga lemah lembut beliau terhadap orang yang
mengatakan keldaiku juga mempunyai anak, sewaktu orang-orang mengucapkan
selamat atas lahirnya anak beliau, yang mana mereka tidak mau melakukan solat
Jum’at. Sampai mereka mau menghadiri solat Jum’at dan mereka tertarik dengan
cara-cara yang menarik dari Habib Umar.
Terhadap orang-orang yang
terang-terangan menentang hukum Allah, maka beliau bersifat kasar terhadap
mereka. Di antaranya adalah beliau tidak mau singgah ke rumah seorang dari
keluarga Bashalib yang tidak mau memberikan waris bagi putri-putri mereka:
“Ketika mereka bertanya, maka beliau berkata: “Bagaimana aku mau akan
berkunjung ke rumah seorang yang tidak mau memberi hak waris bagi
putri-putrinya?” Maka dengan ketegasan Habib Umar itu, mereka menyatakan taubatnya,
dan akhirnya beliau mau mengunjungi rumah mereka.
Sedangkan terhadap
orang-orang yang tidak ada gunanya dengan cara-cara yang lemah lembut, maa
beliau bersifat kasar dan marah yang sangat marah. Hal itu dinampakkannya
seperti tidak mau memasuki rumah mereka, tidak mau menghadiri undangan mereka,
sehingga banyak yang bertaubat di tangan beliau.
Disebutkan juga bahwa
Habib Umar pernah menola makan hidangan yang dihidangkan di rumah seorang yang
tidak memisahkan antara harta dari hasil yang halal maupun yang haram,
khususnya dari harta hasil riba’. Disebutkan bahwa pada suatu hari, Habib Umar
diundang makan di suatu rumah yang pemiliknya sedikit banyak suka makan harta
hasil riba’. Ketika hidangan makanan telah disuguhkan dan para tamu termasuk
Habib Umar dan Syeikh Ali Baras dipersilakan makan. Ketika itu Habib Umar
merasa bahawa hidangan itu ada undur haramnya. Maka beliau memberitahukan
kepada Syeikh Ali Baras tentang hal itu. Kemudian keduanya meninggalkan jamuan
makan tanpa menyantap sesuap pun dari makanan yang dihidangkan itu sehingga
pemilik rumah bertanya-tanya tentang sebabnya. Kata Habib Umar: “Dalam
hidanganmu ada harta yang tidak halal”. Maka si pemilik rumah menangis dan
berkata: “Kalau orang-orang yang baik tidak mau makan makananku, maka aku adalah
orang yang paling jelek”. Lalu menyatakan taubatnya di hadapan Habib Umar dan
ia berjanji tidak akan memungut harta dari hasil riba’ lagi.
Disebutkan bahawa pada
suatu hari Habib Umar menghadiri majlis ta’lim Habib Aqil, saudara beliau,
sepulangnya dari ziarah ayahnya. Ketika itu ada seorang yang kaya yang suka
menerima harta riba’ memberi suguhan kopi susu kepada para jamaah. Ketika Habib
Umar merasa bahawa dalam kopi yang disuguhkan itu ada unsur haramnya maka
beliau berkata: “Angkatlah kopimu, kami tidak dapat meminumnya sebab engkau
suka menerima harta riba’”. Habib Umar sangat marah terhadap orang itu maka
lelaki itu berdiri sambil marah dan nenentang Habib Umar sehingga Habib Umar
berdoa bagi orang itu. Denga izin Allah, lelaki itu sakit dan mati tidak lama
setelah itu. Kata Habib Ali bin Hasan al-Attas: “Karena lelaki itu menampakkan
diri menentang Allah dari dua sisi, yang satu dengan harta riba’ yang ia makan.
Allah berfirman:
“Maka ketahuilah Allah dan Rasulnya akan memerangimu”
“Maka ketahuilah Allah dan Rasulnya akan memerangimu”
Dan karena ia menentang
wali Allah, seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi:
“Seorang yang menentang
wali-Ku maka Aku akan memeranginya”
Di akhir usianya ketika
Habib Umar solat Jum’at di desa Nafhun, beliau duduk di pintu masjid. Maka
beliau memberikan mauidhoh hasanah dan memperingatkan hadirin dari seksa Allah
karena itu mereka diminta meningkatkan frekuensi ibadah mereka dan ketaqwaan
mereka dan melarang dari apa yang menyebabkan kemurkaan Allah. Setelah itu
beliau berkata: “Apakah aku telah menyampaikan pesan-pesan Allah ini?” Jawab
para hadirin: “Ya”. Maka beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah kesaksian
mereka”.
Di saat itu ada seorang
murid beliau yang bernama Syeikh Abdul Kabir Baqais yang berkata: “Seolah-olah
Habib Umar memberikan nasihat yang terakhir”.
Habib Umar al-Attas suka
mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih demi untuk menjalankan ajaran
Allah yang pernah disebutkan Allah dalam firmannya:
“Tiada kebaikan dalam sebagian besar bisik-bisik kalian kecuali
seorang yang menyuruh bersedekah dan menyuruh berbuat kebajikan atau
mendamaikan di antara manusia yang berselisih. Barang siapa yang mengerjakan
hal itu karena berharap redha Allah, maka akan kami berikan pahala yang besar”
Disebutkan bahawa suatu
hari beliau mendamaikan di anatara dua suku Kabilah Arab yang sedang
bersengketa. Maka masing-masing suku berkeras kepala, sehingga beliau bertanya
kepada mereka: “Bagaimanakah pendapat kalian bila seseorang di antara kalian
berada di suatu lembah, bisakah ia menjadikan lembah itu makmur atau bisakah ia
menggali sumur seorang diri atau menolak serangan musih seorang diri?”
Jawab kedua suku itu:
“Tidak bisa”. Jawab Habib Umar: “Karena itu bersatulah kalian semua agar dapat
menyelesaikan segala persoalan secara bersama”. Berkat nasihat Habib Umar itu,
maka mereka bersatu kembali dan saling memaafkan”.
Dikisahkan oleh Syeikh
Muhammad Ibnu Abdil Kabir Baqais: “Pada suatu kali ketika Habib Umar menyeru
perdamaian pada satu kabilah Arab dengan lemah-lembut, maka mereka menolaknya
dengan cara kasar sehingga beliau melemparkan tasbihnya di antara mereka.
Dengan kuasa Allah, tasbih itu berubah seakan-akan menjadi ular besar yang
merayap di antara mereka sehingga mencari perlindungan di hadapan beliau. Maka
mereka meminta maaf dari Habib Umar dan menerima seruan perdamaian.
Disebutkan bahawa ada
seorang yang berhutang dan si pemberi hutang mengadukan masalah keduanya kepada
Habib Umar. Akhirnya setelah keduanya didamaikan oleh beliau, maka yang memberi
hutang bersedia memaafkan sebagian hutangnya asalkan yang berhutang mau
melunasi sebagiannya. Anehnya setelah keduanya keluar dari tempat Habib Umar,
maka yang memberi hutang mengingkari perjanjian tadi sehingga yang berhutang
memberitahukan Habib Umar. Maka Habib Umar marah pada si pemberi hutang seraya
berkata: “Nanti engkau akan terkena penyakit dan akan terkena sengatan api
sebanyak bilangan wang yang engkau ingkari janji kemudian akan menjadikan
engkau mati”. Nyatanya ucapan Habib Umar itu dikabulkan Allah, akhirnya si
pemberi hutang mati setelah ia menderita sakit beberapa waktu.
Disebutkan juga bahawa
sebagian penduduk desa Huraidzah dipaksa menyerahkan tanah perkebunannya kepada
kaum penguasa. Maka penduduk desa itu meminta bantuan dari Habib Umar untuk
memaksa kaum penguasa itu agar membatalkan tuntutan mereka kepada penduduk
Huraidzah. Ketika para penguasa mau menolak, maka Habib Umar mengancamnya akan
mendoakan bagi mereka, maka mereka terpaksa membatalkan tuntutan mereka.
Disebutkan ada dua
bersaudara pemilik kebun dari keluarga Ghanim yang berbuat zalim kepada
tetangganya tentang pengairan bagi kebunnya. Ketika kedua bersaudara itu
dilaporkan kepada Habib Umar, maka keduanya dinasihati agar memberikan hak
tetangganya, tetapi keduanya menolak bahkan menentang Habib Umar dengan penuh
kurang ajar sehingga Habib Umar berkata pada mereka: “Kalian akan kami masukkan
ke dalam lautan yang tiada bertepi”. Akibat ucapan Habib Umar itu, maka salah
satu dari kedua bersaudara itu ada yang berubah akalnya sehingga ia menyerang
saudaranya, dan saudaranya ikut tak sadar sehingga keduanya saling hunus
senjata tajam, akhirnya keduanya saling menikam hingga keduanya mati secara
tidak terhormat.
Dikenal oleh banyak orang
bahawa Habib Umar selalu berfikiran positif dan pendapatnya dapat dijadikan
petunjuk yang baik. Beliau melihat dengan mata hati. Karena itu banyak orang
yang selalu mohon pendapat beliau. Bagi yang mengikuti pendapat dan
kebijaksanaan beliau, maka ia akan senang. Sebaliknya bagi yang menyalahi
pendapat beliau tidak sedikit yang menyesal dan rugi. Di antara pendapat beliau
yang memberi manfaat adalah pendapat yang beliau berikan kepada Syeikh Muhammad
ibnu Hussein al-Huraidhi untuk menghafal al-Quran. Sedangkan ia telah lanjut usia
lalu diterimanya maka ia diberi kemudahan oleh Allah.
Di antara pula pendapat
beliau bagi Syeikh Muhammad al-Amiri an-Nahdi untuk menanam pohon kurma di
salah satu tempat yang bernama Dhahirah, tetapi pendapat Habib Umar itu
dianggap lemah oleh sebagian orang. Untungnya Syeikh Muhammad al-Amiri
menjalankannya, sehingga ia berhasil mendapatkan untung besar.
Disebutkan bahawa Syeikh
Abdullah ibnu Said Bamika, pemilik masjid al-Aredh di kota Syibam termasuk
salah satu dari orang-orang saleh yang gemar beribadah dan menjalin
persahabatan yang erat dengan Habib Umar. Syeikh termasuk orang yang kaya,
tetapi pada suatu masa kejayaannya menurun sampai ia jadi miskin. Ketika ia
mengadukan kepada Habib Umar, maka beliau memberi petunjuk untuk melakukan
suatu amal kebajikan. Syeikh Abdullah mengerti maksud petunjuk beliau itu,
sehingga ia menggali sebuah sumur dan ia membangun sebuah masjid di tempat itu.
Setelah itu, ia melaporkan apa yang ia lakukan kepada Habib Umar. Dengan restu
Habib Umar, maka kekayaan Syeikh Abdullah kembali seperti sediakala.
Ketika penduduk Syibam
bertanya kepada Habib Abdullah al-Haddad, mana yang bagus solat di masjid
Abdullah Bamika ataukah di masjid milik orang lain, maka Habib Abdullah
al-Haddad menganjurkan orang untuk solat di masjid Abdullah Bamika sebab masjid
tersebut dibangun atas petunjuk seorang wali Allah, iaitu Habib Umar al-Attas.
Disebutkan juga bahawa
ketika sebagian dari penduduk dari suku Nahdi datang kepada Habib Umar tentang
lamanyamusim panas di desa mereka, sampai kebun-kebun kurma mereka banyak yang
kering. Habib Umar menganjurkan mereka untuk menetap bersabar di desa mereka,
mereka dilarang untuk pindah ke tempat lain, semoga tidak lama Allah akan
menurunkan hujan ke desa mereka. Akhirnya dengan mengikuti petunjuk Habib Umar
dengan tetap bersabar, maka tidak lama kemudian Allah menurunkan air hujan bagi
penduduk desa itu, sehingga pengairan bagi kebun-kebun kurma mereka berjalan
lancar lagi seperti sediakala.
Disebutkan bahawa Syeikh
Umar bin Ahmad al-Hilabi al-Juaydi selalu berhubungan erat dan yakin sepenuhnya
kepada Ahbib Umar, dan tidak pernah menyalahi pendapat beliau. Karena itu Habib
Umar memohon kebaikan kepada Allah bagi Syeikh Umar al-Hilabi dan bagi anak
cucunya. Pada suatu kali ketika Syeikh Umar ini singgah di tempat Habib Umar,
maka ia disambut oleh beliau. Waktu itu baru menjelang musim panen. Ketika ia
minta izin untuk meninggalkan tempat Habib Umar, maka beliau berkata: “Hai
Umar, jika engkau sampai di desamu, maka panenlah dan ambillah hasil pohon kurmamu”.
Petunjuk Habib Umar itu
dilaksanakan sebaik-baiknya oleh Syeikh Umar tanpa ragu-ragu lagi karena
kuatnya itikadnya terhadap Habib Umar, padahal bila panen sekarang, maka
hasilnya akan berkurang sampai penduduk desanya menegur dengan keras, bahkan di
antara mereka ada yang menganggap Syeikh Umar sudah gila, untungnya ia tetap
menghargai petunjuk Habib Umar.
Tidak lama kemudian
ketika pasukan belalang menyerbu pohon-pohon kurma penduduk desa itu, semua
hasil yang akan dipanen oleh penduduk desa itu rosak sehingga mereka menyesali
nasib mereka karena tidak mendapat hasil panen kurma pada musim panen itu,
sedangkan Syeikh Umar telah memetik hasilnya sebelum pasukan belalang menyerbu
tanamannya. Maka mereka sadar akan rahasia petunjuk Habib Umar dan faedah mengikuti
pendapatnya.
Disebutkan bahawa putra
Syeikh Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Afif sering ke desa Huraidzah untuk
mengunjungi Habib Umar, karena ayah mereka adalah kawan dekat Habib Umar.
Pada suatu kali, Syeikh
Ma’ruf, putra Syeikh Abdullah menginap di rumah Habib Umar sebelum beberapa
hari, ia tidak mau ke tempat lain kecuali jika sudah mendapat izin dari Habib
Umar.
Suatu hari ketika Syeikh
Ma’ruf minta izin akan pulang, maka Habib Umar tidak mengizinkannya, setelah
beberapa waktu ia minta pamit lagi, tetapi Habib Umar menolaknya, tetapi ia
minta secara berkali-kali agar ia diberi izin. Setelah ia agak memaksa, maka
Habib Umar berkata: “Kami menahan anda untuk pulang agar anda terhindar dari
tuduhan pencuria yang akan terjadi dituduhkan penduduk desamu kepada
saudara-saudaramu dan keluargamu”. Maka apa yang dikatakan oleh Habib Umar itu
memang terjadi, sehingga Syeikh Ma’ruf terhindar dari tuduhan pencurian. Tetapi
tidak lamapun tuduhan pencurian itu ditarik oleh penduduk desa Hajraian, karena
pencuri yang sebenarnya dapat segera ditangkap.
Pada suatu hari ketika
beliau berkumpul dengan tokoh-tokoh masyarakat dari kaumnya, maka beliau
menasihati mereka untuk segera memperbaiki saluran-saluran air yang
dipergunakan untuk mengairi kebun kurma mereka. Nasihat Habib Umar ini
dilaksanakan oleh kaumnya meskipun bulan itu adalah bulan suci Ramadhan.
Kebetulan setelah mereka selesai mengerjakannya, mereka pulang, maka tidak lama
kemudian datang banjir, sehingga airnya melimpah ruah di tempat-tempat penampungan
air yang telah mereka perbaiki.
Disebutkan pula bahawa
pada suatu hari musim panas dan di mana paceklik yang luar biasa, tiba-tiba ada
seorang lelaki yang sudah lanjut usia minta izin untuk ke Yaman. Ia telah
menyimpan bekal makanan di rumahnya, tidak seorang pun yang tahu apa yang ia
telah lakukan. Kata Habib Umar: “Mengapa engkau sore ini akan melakukan
perjalanan ke tempat yang amat jauh dan perjalanannya pun amat berbahaya,
padahal engkau masih menyimpan sejumlah bahan makanan di tempat yang amat rahasia
sehingga tidak seorangpun yang mengetahuinya selain Allah”.
Setelah mendengar nasihat
dan pertanyaan dari Habib Umar, maka orang tua itu mengurungkan niatnya. Tidak
lama dari kejadian itu, maka ia sakit dan wafat, sehingga sejumlah bahan
makanan yang ia sembunyikan itu jadi hidangan para pelawat jenazah orang tua
itu.
Habib Umar dikenal
sebagai seorang yang tidak merasa takut terhadap kaum penguasa. Beliau suka
menasihati mereka meskipun nasihat beliau adakalanya dirasakan pahit oleh kaum
penguasa. Dan beliau selalu menolak pemberian maupun hidangan mereka, sampaipun
kayu bakar dari mereka beliau tidak mau menggunakannya.
Pada suatu hari, ketika
utusan Sultan Badar al-Katsiri memberitahu bahawa Sultan Badar akan mengunjungi
beliau di Huraidzah, maka beliau memberitahukan bahawa beliau yang akan
mendatangi Sultan di mana ia berada, karena itu beliau minta akan Sultan tetap
berada di mana ia sekarang berada. Kemudian Habib Umar segera berangkat dan
beliau menyuruh pelayannya untuk membawa kopi, kayu bakar dan api, yang mana
kopi itu untuk beliau minum di tempat Sultan, sebab beliau tidak mau minum
apapun dari milik Sultan atau milik kaum penguasa.
Setelah beliau berhadapan
dengan Sultan Badar, maka beliau memberinya nasihat-nasihat yang berguna
mengenai dunia dan akhiratnya. Pada saat itu, Sultan Badar menyuruh pelayannya
membuat kopi yang dicampur dengan madu dan diminta untuk dihidangkan kepada
Habib Umar dan rombongannya. Setelah dimasak dalam waktu yang lama, maka Sultan
menyuruh pembantunya untuk segera menyuguhkannya ke hadapan Habib Umar. Ketika
si pembantu melihat ke dalam tempat air yang sedang dimasak, ia menjadi
terkejut sebab di tempat air itu, air dan madunya tidak ada sehingga ia segera
melapor kepada Sultan Badar. Laporan dari si pembantu itu menjadikan Sultan
Badar menyadari bahawa Habib Umar sangat tingi rasa wara’nya dan ia merasa
bahawa air kopi itu habis dikarenakan besarnya karomah beliau. Akhirnya Sultan
Badar segera minta maaf kepada Habib Umar. Kata Sultan Badar: “Mengapa anda
sampai kami ajak minum secangkir kopi dari kami saja anda tidak mau?” Jawab
Habib Umar: “Memang, kalau kami tidak menjaga diri, tentunya kami tak akan
dapat berbuat seperti itu”.
Biasanya jika penguasa
minta pendapat dari Habib Umar, maka beliau memberi pendapat yang sejujurnya,
walaupun pendapat beliau itu dirasa tidak menyenangkan hatinya.
Disebutkan ketika ada
seorang penguasa di Hadramaut berkata kepada Habib Umar: “Kami selalu
mengingatimu dan mengharap doamu wahai Habib Umar”.
Jawab Habib Umar: “Kami
tidak takut kalian akan terkena gangguan dari warga barat dan timur, kecuali
jika ada seorang yang teraniaya hak-haknya yang berdoa, sebab doa orang yang
teraniaya akan segera dikabulkan oleh Allah. Di saat itu doaku tak dapat
berguna bagi kalian”.
Habib Umar al-Attas
dikenal sebagai seorang yang tidak mau menerima pemberian apapun bentuknya dari
kaum penguasa. Meskipun demikian setiap hadiah yang diberikan kepada Habib Umar
maka beliau menerimanya dengan penuh karomah selanjutnya beliau memberikannya
lagi kepada yang memberinya dengan cara yang penuh hormat sehingga yang memberi
tidak merasa tersinggung atau disedekahkan kepada fakir miskin.
Keterkaitan perasaan
Habib Umar terhadap pengikut-pengikutnya yang mencintainya amat besar. Tentang
masalah ini banyak dikenal orang.
Di antaranya adalah
sebagaimana yang dikisahkan oleh Syeikh Muhammad ibnu Ahmad Bamasymus berikut
ini: “Waktu aku masih kecil, aku sempat menempuh perjalanan di padang pasir
yang amat luas dan tandus bersama sekelompok rombongan. Ketika kami tiba di
suatu tempat yang tidak ada airnya, maka kami merasa sangat haus, sehingga
rombongan kami melarikan diri dan aku ditinggalkan seorang diri di tengah
padang pasir yang tandus tidak dapat menyusul mereka. Kemudian tidak lama aku
mendapatkan sebuah mata air sehingga aku minum airnya dengan sepuas-puasnya.
Aku kira mata air itu adalah mata air lama yang biasa diambil airnya, kemudian
aku melanjutkan perjalananku dan aku mendapatkan orang-orang yang meninggalkan
aku tadi sedang berebut minum air di suatu mata air. Kemudian mereka merebahkan
diri karena lelah dan haus. Ketika mereka melihat aku datang maka mereka
menyilahkan aku minum di mata air itu, tetapi aku katakan bahawa aku telah
minum di suatu mata air yang tadi kalian telah melewatinya. Mereka merasa heran
akan perkataanku karena mereka merasa bahawa tidak mendapati mata air selain
dari tempat mereka berada di saat itu. Setelah aku dewasa, ketika aku bertemu
dengan Habib Umar, maka beliau bertanya kepadaku: “Wahai Muhammad, ingatkah
engkau ketika engkau berada di suatu tempat yang tandus dan engkau hampir mati
dari kehausan, maka engkau segera mendapati mata air dan engkau meminum
sepuas-puasnya?” Ucapan Habib Umar itu mengingatkan aku bahwa hal itu suatu
karomah dari beliau”.
Disebutkan Syeikh
Muhammad Bamasymus juga bahawa pada suatu hari ketika kami dan Syeikh Ali Baras
dan rombongannya berkunjung ke desa Habib Umar di Huraidzah, maka beliau
menyuruh kami untuk meneruskan perjalanan ke bagian bawah Hadramaut. Ketika
kami tiba di kota Tarim, aku menderita sakit hingga tidak dapat mengikuti
rombongan Syeikh Ali Baras. Lalu ia menyuruh , maka sewaktu aku sampai di desa
Dhibiy, bertambah keras sakitku sampai aku pengsan. Di malam hari ketika aku
dalam keadaan sakit-sakitan, aku mendengar Habib Umar sedang berdehem di
rumahnya di Huraidzah sedangkan aku sekarang di Wadi Dhibi. Maka di saat itu
hilanglah pengikutku dan kesihatanku telah pulih kembali. Hal itu tidak lain
dikarenakan kekeramatan beliau.
Dikisahkan oleh Syeikh
Salim ibnu Abdul Qawi bahawa ayahnya yang bernama Abdul Qawi bin Muhammad
Baqais, bahawa pada suatu hari Syeikh Abdul Qawi berjalan di suatu pergunungan
bersama seorang kawannya. Ketika keduanya akan naik ke atas, maka keduanya
mencari jalan yang dilewati agar dapat sampai ke atas. Singkat katanya,
keduanya mendapati satu jalan sempit ke arah atas. Jalan itu hanya dapat
dilewati seorang saja. Ketika kawannya naik lebih dahulu, tiba-tiba satu batu
besar jatuh ke bawah. Kebetulan pada waktu itu Syeikh Abdul Qawi sedang naik ke
atas sehingga batu besar yang melewati jalan yang sempit itu sehingga Syeikh
Abdul Qawi merasa terancam dan ia terkejut. Untung pada saat itu ia ingat kepada
Habib Umar sehingga ia berteriak memanggil nama Habib Umar al-Attas. Dengan
izin Allah, maka batu itu sudah berada di belakangnya sampai ia terhindar.
Tentunya kejadian itu adalah sebagai bukti adanya pertolongan Allah dan adanya
kekeramatan Habib Umar al-Attas.
Disebutkan bahawa Syeikh
Salmin ibnu Umar dan kawan-kawannya pergi ke Yaman. Mereka naik kuda. Syeikh
Salmin dikenal sebagai penunggang yang mahir. Ketika rombongan melewati suatu
pantai, tiba-tiba kuda yang ditunggangi Syeikh Salmin berjalan di tepi laut.
Kebetulan di saat itu ada gelombang yang menerjang kuda Syeikh Salmin, hingga
kudanya Syeikh Salmin terseret ke tengah laut sampai kawan-kawannya sangat
menyesalkan keadaan kawannya yang terseret ke tengah lautan itu. Mereka tidak
dapat memberikan bantuan sedikitpun pada Syeikh Salmin. Kebetulan Syeikh Salmin
yang sedang menghadapi maut itu ingat kepada Habib Umar sehingga ia berteriak
menyebut nama Habib Umar dan ia bernazar jika ia diselamatkan Allah dari bahaya
maut itu, maka ia akan memberikan harga kuda itu kepada Habib Umar. Dengan
rahmat Allah, maka ia seolah-olah diselamatkan oleh seseorang yang sedang naik
seekor kuda. Setelah ia selamat, maka ia menaiki kudanya yang tadi ikut
terseret ke tengah lautan itu. Tidak lamapun ia dapat mengejar kawan-kawannya
hingga mereka tercengan dan merasa gembira. Maka ia menceritakan apa saja yang
ia dapati dan iapun memenuhi nazarnya bagi Habib Umar.
Disebutkan juga bahawa
Muhammad ibnu Hushin al-Huraidhi yang pernah diajarkan oleh Habib Umar al-Attas
untuk menghafalkan Al-Quran meskipun usia sudah lanjut, dengan keyakinannya,
maka ia melakukan anjuran Habib Umar dan akhirnya ia dapat menghafal Al-Quran
di luar kepala.
Pada suatu hari,
Muhammmad ibnu Hushin al-Huraidhi ini bergadang bersama teman-temannya. Kebetulan
pada waktu itu sedang musim belalang yang merosak tanaman. Mereka sepakat untuk
membakar belalang mulai dari sarangnya yang ada di suatu gua di tempat yang
bernama Gorgodah sebelah utara desa Huraidzah. Pada malam itu, mereka keluar
dengan membawa api dan pelepah-pelepah pohon kurma menuju gua yang dimaksud.
Sesampainya di dalam gua dari obor seorang di antara mereka menimbulkan api
membara di tempat sekitarnya. Nampaknya api itu dianggap remeh oleh mereka,
karena itu mereka tidak memperdulikannya. Setelah api makin membesar maka
mereka tidak mendapat jalan keluar dari gua itu sehingga mereka yakin bahawa
mereka akan binasa. Maka di saat itu mereka teringat terhadap Habib Umar,
kemudian mereka memohon ampun kepada Allah dengan bertawasul kepada Habib Umar.
Maka dengan balas kasih Allah salah satu dari celah gua itu terbuka sehingga
terbentang jalan keluar bagi mereka dari gua itu. Itula salah satu dari
kesekian cerita dari kekeramatan Habib Umar. Kata Habib Ali ibnu Hasan
al-Attas: ” Kisah yang dialami Muhammad ibnu Hushin dan kawan-kawannya di dalam
gua itu sangat mirip dengan kisah 3 lelaki Bani Israel yang terjebak dalam gua
seperti yang disebutkan di dalam Hadith Bukhari”. Bahkan keadaan ini lebih
menakutkan.
Habib Umar amat sayang
kepada binatang. Hal itu terlihat dari kejadian-kejadian berikut ini.
Disebutkan beliau bila masuk ke rumahnya, maka ia minta diambilkan sejumlah
makanan yang dimiliki keluarganya demi untuk keledainya yang baru beliau
tunggangi.
Disebutkan juga bahawa
Habib Umar melarang Syeikh Salim al-Junaid untuk memukul keledainya yang mogok
di suatu tempat yang amat panas. Beliau suruh Syeikh Salim untuk mengangkat
leher keledainya dan Habib Umar ikut membantunya. Meskipun keledainya itu mogok
berkali-kali, tetapi Habib Umar tetap melarang Syeikh Salim untuk memukulnya.
Pada suatu kali, ada
seorang dari Lahrum yang membawa ternaknya dengan memukuli ternaknya dengan
keras. Maka ia datang kepada Habib Umar. Ketika ia hendak berjabat tangan dengan
Habib Umar, maka Habib Umar menolak berjabat tangan dengannya. Jawab Habib
Umar: “Aku tidak mau berjabat tangan denganmu karena tanganku sakit”. Maka
orang tadi bertanya: “Karena apa?” Jawab beliau: “Dari sakitnya pukulan
tersebut ketika engkau memukuli binatang-binatang ternakmu tadi”. Ketika orang
itu minta maaf kepada Habib Umar maka beliau menasihatinya dengan keras agar ia
tidak mengulangi perbuatannya itu.
Seorang yang mempunyai
tugas sebagai Da’i sekaligus penegak kebenaran, maka gangguan-gangguannya tidak
sedikit, bahkan beliau mendengar seorang yang berkata kepada beliau: “Alangkah
enaknya anda wahai Habib Umar, sebab seorang semacam anda tidak akan ada orang
yang berani membenci anda”. Maka beliau berkata: “Katakan kalimat Lailaaha
illallah sebanyak orang-orang yang membenci Habib Umar”. Hal ini menunjukkan
akan banyaknya orang-orang yang memusuhi beliau.
Orang-orang yang
mengganggu dan menyakiti Habib Umar itu bukan sahaja dari orang-orang luar,
tapi dari orang dalam rumah beliau sendiri, iaitu dari isteri beliau sendiri.
Adapun ceritanya sebagai berikut:
Pada suatu malam anda serombongan tamu datang ke rumah Habib Umar. Maka beliau membangunkan isterinya dan menyuruhnya membuatkan makanan malam bagi tamu-tamu beliau, tetapi isteri beliau menolaknya. Habib Umar memintanya dengan lemah lembut tetapi isteri beliau tetap menolaknya. Akhirnya Habib Umar terpaksa keluar rumah tetangganya minta tolong agar isterinya memasak buat makan malam tamu-tamu beliau. Maka isteri tetangga itu berkenan membuatkan makan malam bagi tamu-tamu Habib Umar.
Pada suatu malam anda serombongan tamu datang ke rumah Habib Umar. Maka beliau membangunkan isterinya dan menyuruhnya membuatkan makanan malam bagi tamu-tamu beliau, tetapi isteri beliau menolaknya. Habib Umar memintanya dengan lemah lembut tetapi isteri beliau tetap menolaknya. Akhirnya Habib Umar terpaksa keluar rumah tetangganya minta tolong agar isterinya memasak buat makan malam tamu-tamu beliau. Maka isteri tetangga itu berkenan membuatkan makan malam bagi tamu-tamu Habib Umar.
Yang menyakitkan Habib
Umar tidak saja terjadi semasa Habib Umar masih hidup, tetapi setelah beliau
wafatpun, tidak sedikit yang menghasut dan mencaci-maki beliau. Anehnya setelah
orang-orang yang menghasut itu melihat kekeramatan Habib Umar, maka baru mereka
menyesal dan mengakui besarnya kekeramatan beliau.
Menurut berita yang dapat
dipercaya disebutkan bahwa Habib Umar pernah menikah dengan tiga belas orang
wanita. Ada lapan wanita yang sempat memberi anak bagi beliau, sedangkan yang
lima orang tidak sempat memberi anak bagi beliau.
Adapun isteri-isteri
beliau yang sempat memberi anak bagi Habib Umar adalah:
-
|
Sultonah binti Umar bin
Reba’ sempat memberi dua anak bagi beliau, iaitu Salim dan Musyayakh.
|
Adapun isteri-isteri
beliau yang tidak sempat memberi anak:
|
Seorang wanita dari keluarga Basurah Baalwi dari Hainan. Beliau mengahwini wanita ini sebab wanita ini mengalami terlambat kawin. |
|
|
Seorang wanita dari desa
Huraidzah, ia bernama Solahah. Beliau mengahwinnya tepat diawal beliau di desa
Huraidzah.
Beliau sempat menikah dengan dua orang wanita dari keluarga Bajabir dari Andal.
Beliau pernah menikah dengan seorang wanita dari Manwab.
Ketika Habib Umar berkunjung ke desa Qaydun untuk mengunjungi Syeikh Said bin Isa al-Amudi maka beliau sempat melamar putri Habib Abu Bakar bin Muhammad Bafaqih. Lamaran beliau diterima oleh Habib Abu Bakar. Dengan ini, maka terjadilah hubungan yang sangat erat antara dua tokoh ini, hanya saja tidak sampai jadi perkahwinan.
Beliau sempat menikah dengan dua orang wanita dari keluarga Bajabir dari Andal.
Beliau pernah menikah dengan seorang wanita dari Manwab.
Ketika Habib Umar berkunjung ke desa Qaydun untuk mengunjungi Syeikh Said bin Isa al-Amudi maka beliau sempat melamar putri Habib Abu Bakar bin Muhammad Bafaqih. Lamaran beliau diterima oleh Habib Abu Bakar. Dengan ini, maka terjadilah hubungan yang sangat erat antara dua tokoh ini, hanya saja tidak sampai jadi perkahwinan.
Jumlah anak-anak Habib
Umar ada 14 orang, 9 anak-anak lelaki, 5 anak-anak perempuan. Adapun anak-anak
lelaki beliau adalah: Salim, Musyayakh, Hussein, Abdurrahman, Ali, Syeikh
al-Albar, Muhsin, Syeikh dan Abdullah.
Adapun anak-anak
perempuan beliau adalah: Syeikha, Alwiyah, Fatimah, Asma’ dan Salma.
Selain itu, beliau masih
mempunyai banyak anak-anak lelaki dan perempuan yang wafat di waktu kecil.
Di antara anak-anak
lelaki beliau yang menurunkan anak cucu adalah: Salim, Hussein, Abdurrahman,
Syeikh dan Abdullah. Sedangkan anak-anak beliau yang lain tidak mempunyai anak.
Disebutkan bahawa Habib
Umar al-Attas pernah memberitahukan dekatnya ajalnya, adakalanya pemberitahuan
itu berupa isyarat-isyarat yang dapat dimengeti, tetapi ada pula yang
terang-terangan. Disebutkan bahwa ketika beliau ditanya oleh seorang pada umur
berapa beliau akan wafat, maka beliau mengisyaratkan pada usia 80 tahun.
Kenyataannya memang demikian. Berita tersebut pernah disampaikan oleh Habib
Abdullah, putra beliau.
Disebutkan pula, ketika
beliau bertemu dengan tokoh-tokoh Ba’alawi sepert habib Abdullah al-Haddad,
Habib Ahmad bin Hashim dan Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi di desa Sad’beh.
beliau sempat memberi pesan-pesan terakhir bagi mereka dan beliau mengatakan:
“Mungkin saat ini adalah pertemuan terakhir dengan kalian di dunia, aku akan
menemui kalian kelak”. Kemudian beliau meninggalkan desa Sad’beh menuju desa
Nafhun. Tidak lama setelah beliau tiba di desa Nafhun, beliau wafat.
Di akhir hayat beliau,
ketika beliau solat Jum’at di masjid desa Nafhun, maka beliau duduk di depan
pintu masjid sebagaimana tertera di atas. Beliau memberi nasihat-nasihat yang
baik bagi pengikut-pengikutnya, kemudian beliau bertanya kepada mereka:
“Bukankah aku telah menyampaikan pesan-pesan Allah ini?” Jawab
pengikut-pengikut beliau: “Ya”. Kemudian beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah
ucapan mereka, sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang menyaksikan”. Setelah
mendengar ucapan beliau yang terakhir itu, salah seorang pengikut beliau ada
yang berkata kepada putra beliau, Habib Hussein: “Ucapan ayahmu yang terakhir
ini mengisyaratkan bahawa beliau akan meninggalkan kita, lalu memberikan bela
sungkawa terhadap Habib Hussein”.
Disebutkan oleh Habib Isa
bin Muhammad al-Habsyi, bahawa ketika beliau berkunjung ke tempat Habib Umar
beserta murid-muridnya ke Huraidah tetapi Habib Umar berada di Sahrun. Habib
Isa tidak diperkenankan masuk ke tempat Habib Umar dan beliau menyuruh untuk
menunggu. Demikian pula ketika al-Habib Ahmad bin Hasyim al-Habsyi tiba di
tempat itu dan ingin berkunjung Habib Umar, maka beliau pun ditolak menemui
Habib Umar, sebelum diizinkan oleh beliau. Pada hari itu juga al-Habib Abdullah
al-Haddad tiba bersama-sama murid-muridnya di tempat itu dan beliau disuruh
menunggu di tempat itu.
Tidak lama kemudian Habib
Umar menemui ketiga tokoh Ba’alawi itu bersama rombongannya secara singkat.
Dalam pertemuan itu, beliau berdo’a dan beliau memberi libas kepadanya mengajak
membaca surat al-Fatihah. Kemudian beliau berkata: “Hari ini adalah hari
pertemuan terakhir di dunia ini, semoga kita dapat bertemu lagi di sisi Allah”.
Kemudian Habib Umar menyuruh kepada Habib Abdullah al-Haddad untuk pergi ke
Haynan dan Habib Ahmad bin Hasyim untuk pergi ke Hajrain dan beliau juga
memberikan libas kepadanya. Sedangkan Habib Isa bin Muhammad diajak ke desa
Huraidzah bersama beliau. Setelah keduanya tiba di desa Andal maka keduanya
menghadiri majlis pembacaan Maulud Nabi S.A.W. Selanjutnya pada keesokan
harinya sewaktu sampai di desa Hunfur, Habib Isa diperintahkan ke desanya dan
selanjutnya diminta pada malam Khamis untuk pergi ke desa Nafhun. Kata Habib
Isa: “Aku tiba di desa Nafhun pada malam Khamis dan aku dapatkan putra-putra
Habib Umar dan kawan-kawan serta murid-muridnya yang datang dari pelbagai
tempat sedang berkumpul dengan beliau”.
Di waktu menjelang saat
wafatnya Habib Umar, beliau mengulang-ulang mengucapkan bait puisi:
”Wajah kekasihku
adalah tatapanku, aku senantiasa menghadapkan wajahku kepada-Nya,
cukuplah dia sebagai kiblatku dan aku pun pasrah diri kepada-Nya”. Kedua bait puisi di atas adalah ucapan Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni.
cukuplah dia sebagai kiblatku dan aku pun pasrah diri kepada-Nya”. Kedua bait puisi di atas adalah ucapan Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni.
Al-Habib Hussein bin Umar
al-Attas: “Ketika saat menjelang kewafatannya, ayahku mengulang-ulangi
bait-bait puisi al-Faqih Umar Bamahramah:
”Jika bukan
dikarenakan besarnya harapan kepada Allah dan berkeyakinan yang baik terhadap
orang-orang yang menghiasi masjid dengan yang selalu menghadiri solat
berjamaah, tentunya tak seorangpun di antara kami yang mengharapkan kesenangan
pada sisia umur, sebab beristirehat di perkuburan adalah lebih baik dan lebih
bermanfaat dari hidup di dunia, berada di antara orang-orang yang suka berbuat
fitnah dan suka menghasut”.
Dikatakan pula oleh
al-Habib Hussein bahawa sebelum tiba saat kewafatannya, Habib Umar sempat
mengulang firman Allah:
”Katakan, hai
hamba-hamba-Ku yang telah menzalimi dirinya, janganlah kalia berputus-asa dari
rahmat Allah, sesungguhnya Allah berkenan memberi ampun seluruh dosa-dosa,
sesungguhnya Dia Maha Pemberi Ampun dan Maha Penyayang”.
Dikatakan pula bahawa
Habib Umar sering membaca surat al-Fatihah kemudian beliau mengusap tangannya
ke wajahnya. aku pernah bertanya kepada beliau: “Mengapa aku sering melihatmu
membaca al-Fatihah kemudian engkau mengusapkan tanganmu ke wajahmu?” Jawab Habib
Umar: “Kira-kira mengapa aku melakukan hal itu?” Kata Habib Hussein: “Aku tidak
tahu”. Kata Habib Umar: “Apa yang dikatakan orang banyak?” Jawab Habib Hussein:
“Mereka sering mengeluh tentang kesulitan mereka”. Kata Habib Umar:
“Sesungguhnya aku memperbanyak membaca al-Fatihah dengan harapan semoga mereka
dijauhkan dari segala bencana dan diberi kebahagian sebab mereka peru
diperhatikan”.
Kata al-Habib Hussein bin
Umar: “Selama dalam sakitnya, ayahku sering tidak sedarkan diri. Jika beliau
sadar, maka beliau sering menanyakan keadaan para sesepuh ulama yang ada
beliau. Ketika beliau ditanya tentang dimanakah beliau harus dikuburkan, maka
beliau berkata: “Mohonlah petunjuk kepada Allah, nanti Allah memberi petunjuk
kepadamu”. Nyatanya setelah beliau wafat, maka banyak pertolongan-pertolongan
yang datangnya dari berbagai tempat. Sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang
terakhir, beliau berwasiat kepada kami: “Perhatikanlah keadaan agama kalian,
hendaknya kalian saling tolong-menolong dan bersabar, sebab besabar akan
memberi hasil yang memuaskan”. Di saat itu pula beliau berdo’a memohonkan
pertolongan bagi orang-orang Islam agar diberi kesabaran bila mereka berpisah
dengan beliau”.
Di saat yang sekrisis
itu, beliau bertanya tentang muridnya Syeikh Abbas bin Abdillah Bahafash,
apakah ia sudah datang dari desa Huraidzah, sebab beliau minta dimandikan oleh
Syeikh Abbas. Untungnya Syeikh Abbas tiba di malam harinya sebelum beliau
wafat, sehingga beliau bergembira atas kedatangannya.
Ketika sedang menghadapi
saat-saat terakhir, maka beliau menyuruh orang-orang yang ada di sekitarnya
untuk berzikir di sisinya dengan suara keras, sehingga terdengar seperti
gaungnya Tawon. Beliau menghembuskan nafas terakhir dengan keadaan berzikir dan
diiringi dengan suara zikir dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sebelum beliau
menghembuskan nafasnya yang terakhir, beliau minta diwudhui. Maka Syeikh Abbas
bin Bahafash mewudhui beliau. Ketika Syeikh Abbas lupa menyela-nyela janggut
beliau, maka beliau mengingatkannya dengan gerakan tangan sebab pada waktu itu
beliau sudah tak dapat berkata-kata, tentunya hal itu ada sebagai petanda
bahawa beliau selalu mengikuti jejak sunnah Rasulullah S.A.W. Sekalipun di saat
yang sangat krisis.
Di saat itu, salah
seorang murid beliau yang menyebut-nyebut kalimah Laa Ilaaha Illallah di
sebelah telinga beliau sebagaimana yang disunnahkan Rasulullah S.A.W. meskipun
orang itu telah diberitahu bahawa perbuatan semacam itu tidak perlu dilakukan
terhadap Habib Umar yang telah menjadikan kalimat zikir telah menyatu dengan
darah dan dagingnya.
Habib Umar menghembuskan
nafasnya yang terakhir di tengah malam , iaitu malam Khamis tanggal 23 Rabi’ul
Akhir 1072H. Wafatnya Habib Umar membuat murid-murid dan pengikut beliau sedih
yang sangat mendalam baik kecil maupun besar. Beliau wafat di desa Nafhun ,
tetapi jenazah beliau dimakamkan di desa Huraidzah pada hari Khamis sore. Para
pelawat jenazah beliau mengadakan pembacaan al-Quran dan mengkhatamkannya
berkali-kali dan hal itu berlangsung lapan hari di sisi kubur beliau. Hal itu
menunjukkan betapa besarnya karomah beliau. Tepat pada dikuburkannya Habib
Umar, suasana di desa itu diliputi mendung dan hujan. Kepergian Habib Umar
banya membangkitkan keinginan para penyair untuk menuangkan duka-cita mereka
dalam bait-bait puisi yang indah. Di antara puisi al-Faqih Umar bin Qadim.
Tepat di malam wafatnya
Habib Umar al-Attas, salah seorang saleh dari keluarga Ba’alawi di Tarim
bermimpi seolah-olah bulan dan matahari terjatuh di tanah keluarga Ba’alawi,
nyatanya ia mendengar khabar tentang wafatnya Habib Umar.
Disebutkan oleh Syeikh
Abdullah bin Syeikh Ali bin Abdullah Baras, katanya ketika Syeikh Ali telah
wafat, maka Syeikh Muhammad bin Ahmad Bamasymus mimpi bertemu dengan Syeikh Ali
Baras dan ia bertanya kepadanya: “Di manakah engkau bertemu dengan Habib Umar?”
Jawab Syeikh Ali Baras: “Aku sempat berjabatan tangan dengan Habib Umar di
dekat Arasy Tuhan”.
Disebutkan oleh seorang
keluarga Bawazir, bahwa ia bermimpi di suatu malam seolah-olah hari kiamat
telah tiba. Pada saat itu seolah-olah manusia sedang berkumpul di padang
Mahsyar, jumlah mereka amat banyak. Ketika mereka sedang berada di
tengah-tengah padang Mahsyar, tiba-tiba ada api di bawah Hadraumaut, sedangkan
Malaikat menggiring manusia dengan besi yang amat panjang. Ketika orang-orang
itu melihat api dan rantai yang panjang, maka mereka berlarian ke sebuah tempat
di Wadi Amed, maka aku lihat ada cahaya turun dari langit seperti awan putih
yang mengumpal. Ketika aku tanyakan: “Apa kejadian ini?” Maka dikatakan: “Ini
adalah cahaya Tuhan Yang Maha Mulia yang hendak menghakimi manusia di padang
Mahsyar. Di saat itu aku lihat Habib Umar berdiri di bawah pancaran cahaya itu,
sedangkan Malaikat Ridwan berada di sebelah kanan beliau. Demikian pula
Malaikat Malik hadir dengan wajah yang seram. Kemudian aku lihat Habib Umar
memohon syafaat kepada Allah bagi umat Muhammad S.A.W: “Wahai Tuhan kami,
mereka adalah umat Muhammad S.A.W, mereka datang kepada Engkau dengan
menyaksikan bahawa tiada Tuhan selain Allah dan menyaksikan bahawa Muhammad
utusan Allah, mereka mendirikan solat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan,
beribadah Haji, bersedekah, menyambung tali kekerabatan, menegakkan Amar Ma’ruf
dan Nahi Munkar, menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat, karena takut kepada-Mu.
Jika Engkau seksa mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau
mengampuni mereka, maka Engkau Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Ucapan Habib
Umar itu dibantah oleh Malaikat Malik: “Wahai Tuhan kami, mereka tidak seperti
yang dikatakan oleh Habib Umar. Mereka meninggalkan solat, tidak mau bayar
zakat, tidak berpuasa dan tidak berhaji, dan mereka selalu melanggar
larangan-larangan-Mu. Habib Umar mengulangi permohonannya sekali lagi dan
Malaikat Malik pun mengulangi bantahannya pula, sampai akhirnya Allah
berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, Aku terima permohonan Habib Umar dan Aku
berkenan mengampuni mereka”. Allah berfirman: “Wahai Malaikat Ridwan, bukalah
pintu Syurga dan ajaklah mereka masuk ke dalamnya”. Maka Malaikat Ridwan
bangkit dan bergembira dan melaksanakan perintah Allah kepadanya. Sedangkan
Malaikat Malik terlihat amat geram. kata orang yang bermimpi itu: “Pada saat
itu, seolah-olah aku berdiri bersama mereka dengan memegangi baju Habib Umar
dan aku merasa amat takut sehingga aku berkata kepada Habib Umar: “Wahai Habib
Umar, bicaralah kepada Malaikat Ridwan agar aku dimasukkan Syurga bersamanya”.
Kata Habib Umar: “Pergilah engkau bersama mereka ke dalam Syurga kerana
permohonanku telah diterima oleh Allah bagi uma ini”. Kataku: “Bicarakanlah
dengan Malaikat Ridwan untuk membawa ke dalam Syurga, sebab aku takut dengan
dosa-dosaku yang amat banyak”. Kata Habib Umar: “Wahai Malaikat Ridwan, bawalah
orang ini ke dalam Syurga”. Jawab Malaikat Ridwan: “Biarkan ia pergi bersama”.
Ketika Malaikat Ridwan memegangi tanganku dan mengajakku ke dalam Syurga, maka
aku terbangun karena terasa amat senang”.
Habib Umar pernah
berkata: “Perhatikan kebiasaan baik yang engkau inginkan, wafat dalam kebiasaan
itu, karena itu tetaplah engkau dalam kebiasaan seperti itu, dan perhatikanlah
kebiasaan buruk yang tidak engkau inginkan wafat dalam kebiasaan seperti itu,
kerana itu jauhilah kebiasaan itu”.
Habib Umar berkata: “Jika
engkau melihat seorang selalu berkelakuan baik, maka yakinlah engka orang itu
teguh agamanya”.
Habib Umar berkata:
“Sumber-sumber ilmu tidak akan berkurang sedikitpun dari generasi terkemudian,
akan tetapi pada umumnya mereka datang dengan membawa wadah yang bocor,
sehingga tidak memperoleh ilmu kecuali sedikit.”
Habib Umar berkata:
“Sebagian orang yang datang dengan membawa benjana yang dapat mencukupinya
dalam waktu sebulan, ada yang mencukupinya hanya 8 hari, ada juga yang
mencukupinya sehari, tetapi ada juga yang dapat mencukupinya sepanjang
hidupnya”.
Ketika beliau mendengar
sabda Nabi S.A.W:
”Seseorang
adakalanya beramal kebajikan-kebajikan sampai antara ia dengan Syurga hanya
tinggal sejengkal, tetapi dalam ketentuan Illahi, ia ditetapkan sebagai
penghuni Neraka, sehingga ia melakukan perbuatan-perbuatan amal penghuni
Neraka, sampai ia masuk ke dalam Neraka. Seseorang adakalanya beramal
kejahatan-kejahatan sampai antara ia dengan Neraka hanya tinggal sejengkal,
tetapi dalam ketetapan Illahi, ia ditetapkan sebagai calon penghuni Syurga,
sampai ia masuk ke dalam Syurga”.
Komentar Habib Umar:
“Seseorang yang selalu mengerjakan amal-amal ahli Syurga, kebanyakkannya akan
masuk ke dalam Syurga, sebab perbuatan lahiriyah adalah lambang perbuatan
batiniyah. Jika ia sampai masuk ke dalam neraka, maka hal itu jarang sekali.
Hal itu seperti seorang yang jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi,
tentunya orang itu tidak akan berbahaya. Demikian pula seorang yang melakukan
amal-amal penduduk neraka, kebanyakannya ia akan masuk ke dalam neraka. Tetapi
kalau ia masuk ke dalam Syurga, maka hal itu jarang terjadi sekali. Hal itu
seperti seorang yang jatuh dari puncak gunung, kebanyakannya akan mati”.
Habib Umar berkata:
“Seorang yang melakukan amal kebajikan tetapi ia suka makan yang diharamkan,
maka ia seperti seorang yang mengambil air dengan tempayan yang datar, alias
tidak akan memperoleh pahala sedikitpun”.
Habib Umar berkata: “Dulu
di antara manusia, ada yang datang membawa pelitanya lengkap dengan minyak dan
koreknya yakni dengan persiapan yang lengkap, sehingga gurunya dapat
menyalakan. Tetapi kini, banyak di antara yang datang kepada gurunya tetapi
mereka tidak membawa apapun gurunya dapat menyalakan”.
Habib Umar berkata:
“Bersabar itu akibatnya adalah positif. Allah akan selalu memberi akibat
positif bagi seorang yang bersabar. Alhamdulillah apa yang dikehendaki Allah
pasti akan ditentukan, dan apa yang akan dilaksanakan Allah, maka akan
terlaksana”.
Habib Umar berkata pada
sekelompok kaum petani: “Apakah kaum petani akan tidur nyenyak di malam hari,
bila di malam hari ada pembagian air untuk sawah-sawah mereka yang dapat
mengairi sawah-sawah mereka?” Jawab mereka: “Tidak seorangpun akan tidur di
antara kami.” Kata Habib Umar: “Hendaknya orang-orang yang menghendaki
keselamatan di akhirat meninggalkan tidurnya, demi untuk mendapatkan siraman
rahmat di tengah malam hari”.
Ketika dibacakan bait
puisi Syeikh Abdul Hadi Assudi:
”Siapa yang
mencinta Suad, hendaknya selalu tidak tidur di malam hari”.
Habib Umar memberi komentarnya: “Siapa mencintai Huraidzah, maka ia tidak tidur di malam hari, artinya siapa yang mencintai seorang, maka ia harus mengikuti perjalanannya, sebab mengikuti perilaku seseorang sebagai tanda cinta kepadanya”.
Habib Umar memberi komentarnya: “Siapa mencintai Huraidzah, maka ia tidak tidur di malam hari, artinya siapa yang mencintai seorang, maka ia harus mengikuti perjalanannya, sebab mengikuti perilaku seseorang sebagai tanda cinta kepadanya”.
Habib Umar berkata:
“Hendaknya kalian senantiasa menghadirkan hati kalian kepada Allah dan
hendaknya kalian senantiasa menghadirkan hati kalian kepada Allah dan hendaknya
kalian bertawakal kepada-Nya sepenuh hati, sebab Allah mengetahui di manapun
kalian berada.”
Habib Umar berkata:
“Syaitan dapat menggoda manusia dari sisi manapun yang tak pernah ia
perkirakan”.
Habib Umar berkata: “Buah
kurma atau buah ketimun dari sumber yang halal lebih baik dari bubur daging
dari sumber syubhat”.
Habib Umar berkata:
“Janganlah terlalu perduli kepada dunia dan penghuninya dan janganlah merasa
iri pula dengan pakaian atau makanan yang dimiliki oleh penghuninya”.
Pada suatu hari, ketika
banyak orang yang mengucapkan kata belasungkawa kepada Habib Umar atas wafatnya
putranya beliau yang masih kecil, maka beliau berkata dengan ungkapan yang
dipenuhi rasa hairan: “Alangkah entengnya musibah dalam agama menurut kalian,
padahal kalian tidak pernah menyatakan belasungkawa andaikata aku terlambat
solat berjamaah artinya terlambat solat berjamaah lebih pantas untuk disesali
atas kewafatan seseorang anak kecil”.
Ketika beliau mendengar
kekaguman sebagian orang yang menyaksikan kekeramatan seseorang wali, maka
beliau berkata: “Sesungguhnya semua itu hanyalah kemurahan Allah yang
memberikan kepada seorang hamba”.
Ketika disebutkan kepada
beliau: “Mengapa dialek bahasamu tidak berubah, padahal engkau telah lama
tinggal di bagian atas Hadramaut?” Jawab Habib Umar: “Seorang yang merubah
dialek bahasanya adalah seorang yang kurang akalnya”.
Habib Umar berkata: “Desa
Huraidzah adalah wilayah kehormatan kami, adapun wilayah kehormatan Syeikh
Abdul Qadir Djaelani ada di masa sebelum kami, barangsiapa yang melakukan
perbuatan yang lahiriyahnya maka akan kami lakukan baginya perbuatan lahiriyah
pula, demikian pula barangsiapa yang melakukan perbuatan batiniyah, maka
kamipun akan melakukan hal serupa baginya”.
Ketika ada seorang
berkata kepada Habib Umar: “Wahai Habib Umar, kelak kami ingin dikubur
bersebelahan dan berdekatan denganmu”. kata Habib Umar: “Kami harap akan
memberi syafaat bagi seluruh penduduk Huraidzah atau penduduk dunia”.
Ketika ada sebagian orang
berkata si fulan lebih baik dari si fulan, maka Habib Umar berkata: “Yang
dikatakan orang baik adalah seorang yang telah melewati pintu Syurga sampai
masuk ke dalamnya”.
Habib Umar berkata: “Aku
beserta putra-putraku di mana saja mereka berada”. Ditanyakan kepada beliau:
“Wahai Habib Umar, bagaimana mungkin engkau dan putra-putramu berada di tempat
ini yang jauh dari kota-kota yang besar dan yang terkenal dengan wali-wali
seperti kota-kota Tarim?” Jawab Habib Umar: “Harumnya suatu tempat tergantung
keharuman penduduknya, demikian pula kami akan mengharumi negeri kami sendiri”.
Habib Umar berkata:
“Kezaliman kaum penguasa terhadap rakyatnya akan menambah kebajikan bagi rakyat
negeri itu, baik di dalam masalah dunia maupun akhirat, yang sedemikian itu
sama halnya dengan sebuah sumur, makin banyak diambil airnya maka sumur itu
makin banyak memancarkan air, sebaliknya jika sumur itu tidak diambil airnya,
maka tidak akan bertambah airnya sedikitpun, mungkin arnya akan menjadi busuk,
karena air di dalamnya tidak pernah bergerak”.
Ketika ada seorang
dermawan yang mengeluh kepada Habib Umar bahawa ia tidak bisa mengerjakan solat
di awal waktunya, dikarenakan ia tidak mau menolak permintaan orang yang minta
bantuan daripadanya meskipun telah tiba waktu solat, maka Habib Umar berkata:
“Wahai saudaraku, bila waktu solat telah tiba, tinggalkan semua kegiatanmu
sebab Allah lebih pantas untuk diperhatikan daripada yang lain”.
Beliau menganjurkan
setiap orang yang telah mengkhatamkan bacaan al-Quran yang ditujukan bagi
arwah-arwah orang-orang yang telah wafat, hendaknya ia membaca Tahlil iaitu
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah seberapa banyak yang ia kehendaki, kemudian
dilanjutkan Subhaanallahi Wabihamdi beberapa banyak yang ia kehendaki, kemudian
dilanjutkan dengan membaca Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah sebanyak 3
kali dengan memanjangkan bacaannya, kemudian hendaknya ia mengucapkan solawat
sebanyak 3 kali iaitu Allahumma Solli ‘Alaa Habibika Sayyidina Muhammadin Wa
Alihi Wa Shohbihi Wasallim, kemudian hendaknya ia mengucapkan Ya Rasulullah
‘Alaika Salam Ya Rasulullah Salamun Fi Salamin ‘Alaika sebanyak 3 kali, setelah
itu hendaknya membaca al-Fatihah sebanyak 1 kali, surat al-Ikhlas 11 kali,
surat al-Falaq sebanyak 1 kali, surat an-Naas sebanyak 1 kali, ayat Kursi 1
kali, akhir surat al-Baqarah 1 kali dan surat al-Qadar 1 kali dengan niat
menghadiahkan pahalanya kepada arwah yang dituju”.
Pernah Habib Umar
menganjurkan muridnya membaca Istighfar dan Alhamdulillah sebanyak mungkin
setelah seorang membaca Maulud.
Habib Umar menganjurkan
untuk memperbanyak membaca Istighfar dan Solawat, sebab keduanya adalah
sebaik-baik zikir yang dapat menolong kesulitan di masa kini.
Habib Abdullah bin Alawi
al-Haddad berkata: “Jika engkau mengucapkan sebanyak 11 kali tiap kali
kalimat-kalimat ini, berarti engkau telah menjalankan apa yang pernah diajarkan
oleh Habib Umar al-Attas:
Disebutkan ada seorang
pengikut Habib Umar berkata beliau: “Aku lihat orang-orang yang berada di
majlis ini Wali semuanya”. Kata Habib Umar: “Apa yang engkau katakan itu memang
benar”. Ketika orang itu keluar dari Majlis Habib Umar, maka beliau ditanya
oleh seorang yang hadir dari Majlis itu tentang maksud ucapan beliau kepada
orang tersebut. Maka Habib Umar berkata: “Sesungguhnya orang itu telah diangkat
menjadi Wali Allah, sehingga melihat orang lain menurut cerminnya, sebab
seorang mukmin menjadi cermin mukmin hainya”.
Disebutkan ketika Habib
Umar al-Attas dan sekelompok orang datang ke tempat Habib Husin bin Syeikh Abu
Bakar bin Salim, maka Habib Umar berada di jajaran paling belakang di antara
mereka dan pakaian beliau pun agak lusuh dan buta kedua matanya. Ketika Habib
Husin melihat pada diri Habib Umar, maka beliau berkata kawan-kawan Habib Umar:
“Mengapa kalian lebih menonjolkan hal-hal yang nampak saja sampai kalian tidak
mau memuliakan orang ini pada tempat yang semestinya. Andaikata kamu tahu
kedudukan Habib Umar yang sebenarnya, pasti kalian akan tunduk kepadanya dan
pasti kalian akan lebih memuliakan kepada beliau”.
Ketika Habib Muhammad bin
Alawi bin Abu Bakar bin Ahmad bin Syeikh Abdurrahman as-Seggaf, seorang wali
yang berdomisili di kota Makkah menerima salam dari Habib Umar lewat Syeikh
Salim bin Ali Ba’ubad, maka ia menundukkan kepalanya sejenak, kemudian ia
berkata: “Hendaknya setiap orang yang berkepala rela menundukkan kepalanya demi
menghormati Habib Umar al-Attas dan demi menghormati kebesaran Allah,
sesungguhnya aku mendengar suara gemerincing dari langit, demi untuk
menghormati Habib Umar. Beliau juga mengatakan kini tidak seorangpun di kolong
langit yang lebih mulia dari Habib Umar al-Attas.
Habib Abdullah bin Alawi
al-Haddad pernah menyatakan di sebuah suratnya yang ditunjukkan pada seorang
muridnya bahawa di zaman itu tidak seorang walipun yang setara dengan Habib
Umar al-Attas.
Disebutkan oleh salah
seorang murid Habib Abdullah al-Haddad, bahawa ketika aku berada di majlis
Habib Abdullah al-Haddad, maka tergerak hatiku untuk menanyakan kepada beliau
tentang sifat Habib Umar al-Attas. Maka secara spontan Habib Abdullah al-Haddad
berkata: “Seorang yang mengenali Habib Umar al-Attas, maka ia akan dapati sifat
Habib Umar al-Attas mirip dengan Sayyidina Abdurrahman as-Seggaf”.
Kata al-Habib Abdullah
al-Haddad: “Habib Umar al-Attas adalah ibarat hati dan kebenaran yang dimiliki
oleh seseorang dan orang itu tidak memiliki nafsu apapun.”
Ketika Habib Abdullah
al-Haddad ditanya seseorang, apakah Habib Umar al-Attas meninggalkan karya
tulis atau bait-bait puisi?” Jawab Habib Abdullah: “Yang ditinggalkan oleh
Habib Umar adalah orang-orang seperti aku, Syeikh Ali Baras dan Syeikh Muhammad
Bamasymus”.
Ketika orang
menyebut-nyebut sifat Habib Umar al-Attas di hadapan Habib Abdullah al-Haddad,
maka beliau berkata: “Itu orang (al-Habib Umar) yang pepohonnya ditanam atas
dasar tawadhu dan lemah-lembut, sehingga tangkai-tangkainya seperti itu juga”.
Selanjutnya Habib Isa bin
Muhammad al-Habsyi menyebutkan berbagai sifat yang dimiliki oleh Habib Umar
al-Attas sebagai berikut:
Habib Umar al-Attas,
sejak di usia kecil, beliau sudah gemar beribadah, zuhud dan menjaga dirinya
baik-baik dari sifat buruk.
Beliau sentiasa menghormati para Wali Allah, pengayom kaum Muslim, wanita-wanita janda dan anak-anak yatim.
Beliau sentiasa menghormati para Wali Allah, pengayom kaum Muslim, wanita-wanita janda dan anak-anak yatim.
Habib Umar selalu
menghibur mereka dengan berita-berita baik, sehingga mereka amat meyakini dan
mencintai Habib Umar sepenuh hati.
Di kalangan umum dan
khusus, Habib Umar dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Al-Habib Husin bin Syeikh Abu Bakar sangat sangat bangga dikarenakan Habib Umar menuntut ilmu dari beliau”.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Al-Habib Husin bin Syeikh Abu Bakar sangat sangat bangga dikarenakan Habib Umar menuntut ilmu dari beliau”.
Habib Ali al-Attas
berkata: “Habib Umar al-Attas sangat bangga dikarenakan Habib Abdullah
al-Haddad menuntut ilmu dari beliau”.
Habib Muhammad bin
Abdurrahman Madihij selalu menganjurkan murid-muridnya untuk pergi ke kota
Huraidzah bila mereka memohon ijazah ilmu dari beliau sebab ketika itu Habib
Umar al-Attas masih hidup. Menurut beliau Habib Umar adalah tokoh semua
keluarga Ba’alawi.
Di antara murid-murid
yang pernah belajar dari Habib Umar adalah: Putra-putra beliau, di antaranya
adalah Habib Husin, Habib Salim, Habib Abdurahman, saudara-saudara beliau Habib
Aqil, Habib Abdullah al-Haddad, Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi, Habib Ahmad
bin Hasyim al-Habsyi, Habib Abdullah bin Ahmad Balfaqih, Habib Muhammad bin
Abdurrahman Madihij, Sayis Ali bin Umar bin Husein bin Ali bin Syeikh Abu
Bakar, Syeikh Ali Baras, Syeikh Muhammad Bamasymus, Syeikh Muhammad bin Umar
Alamudi yang dikenal dengan jolokan Ghozali di Budzah, Syeikh Abdullah bin
Usman Alamudi, Syeikh Abdullah bin Ahmad Ba’afif Alamudi, Syeikh Aqil bin Amir
bin Daghmusy, Syeikh Sahal bin Syeikh Ahmad bin Sahal Ishaq, Syeikh Abdul Kabir
bin Abdurrahman Baqis, Syeikh Muhammad bin Abdul Kabir Baqis, Syeikh Alfaqih
Ahmad bin Abdullah bin Syeikh Umar Syarahil Syeikh Umar bin Salim Badzib,
Syeikh bin Salim Baubad, Habib Husein bin Syeikh Ali bin muhammad al-Aidrus,
Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan, Habib Zein bin Imron Ba’alawi, Syeikh Abbas bin
Abdillah Bahafash, Syeikh Umar bin Ahmad al-Hilabi, Abu Said, Habib Abdullah
bin Muhammad bin Basurah, Syeikh Muzahim bin Ali Bajabir, Syeikh Ali bin
Sholeh, Qouzan Zahir, Al-Faqih Abdurrahim Bakatir, Syeikh Salim bin Abdurrahman
Junaid Bawazir, Syeikh Abu Bakar bin Abdurrahman bin Abdul Ma’bud Wazir,
Muhammad bin Umar Bawazir, Syeikh Abdullah bin Sad Bamika Syibami, Syeikh Ahmad
bin Muhammad Bajamal, Syeikh Ali bin Toha as-Seggaf, Syeikh Umar bin Ali
az-Zubaidi Al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad, Syeikh Ali bin Ahmad bin Wurud
Bawazir, Habib Aqil bin Syeikh as-Seggaf, Habib Syeikh bin Abdurrahman
al-Habsyi, Syeikh Ali bin Haulan, Syeikh Ali bin Kosim al-Udzri, Syeikh Mahmud
Jummal an-Najar yang pernah bertemu dengan Hidzir tetapi tidak meminta do’a karena
merasa cukup dengan do’a gurunya iaitu Habib Umar.
Habib Umar bin
Abdurrahman Albar pernah berkata kepada Habib Ali bin Hasan al-Attas: “Wahai
Ali, sesungguhnya seluruh penduduk Hadhramaut pernah berhubungan dengan kakekmu
al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas. Di antara mereka ada yang berhubungan
dengan beliau dari satu jalur, ada yang berhubungan dengan beliau dari dua
jalur, bahkan ada yang berhubungan dengan beliau dari tiga jalur”.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-umar-bin-abdurrahman-al-atthas/
No comments:
Post a Comment