Pelayanan bimbingan
dan konseling merupakan pekerjaan professional, sehingga harus dilaksanakan
dengan mengikuti kaidah atau asas-asas tertentu. Dengan mengikuti kaidah-kaidah
atau asas-asas tersebut diharapkan efektivitas dan efisiensi proses
bimbingan dan konseling dapat tercapai. Selain agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam praktek pemberian layanan.
Slameto (1986) membagi asas-asas bimbingan dan konseling menjadi dua bagian,
yaitu:
1.
Asas-Asas Bimbingan dan Konseling yang
Berhubungan dengan Siswa
a.
Tiap-tiap siswa mempunyai
kebutuhan
Tiap-tiap siswa
sebagai individu mempunyai kebutuhan yang berbeda baik jasmani dan rohaniah. Tingkah laku individu pada
umumnya dalam rangka memenuhi kebutuhan. Apabila kebutuhan tidak tercapai, akan
menimbulkan kecemasan dan kekecewaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan
perilaku menyimpang. Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah harus
bisa memahami berbagai kebutuhan siswa, sehingga pelayanan bimbingan dan
konseling diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan siswa terutama kebutuhan
psikis seperti kasih sayang, memperoleh rasa aman, kebutuhan untuk sukses dalam
belajar, memperoleh harga diri, kebutuhan untuk diakui dan diterima oleh
kelompok, kebutuhan untuk melaukan eksistensi diri, dan lain-lain.
b.
Ada perbedaan di antara
siswa (asas perbedaan siswa)
Dalam teori
individualitas ditegaskan bahwa tiap-tiap individu berbeda. Demikian halnya
siswa sebagai individu jelas mempunyai perbedaan. Tiap-tiap siswa memepunyai
karakteristik yang berbeda baik fisik maupun psikisnya. Setiap siswa berbeda
dalam hal kemampuan, bakat, minat, kebutuhan, cita-cita, sikap atau pandangan
hidup dan ciri-ciri pribadi lainnya. Perbedaan-perbedaan siswa tersebut harus
mendapat perhatian secara lebih spesifik dari pembimbing atau konselor di
sekolah dan madrasah sehingga siswa dapat berkembang sesuai dengan
karakteristik pribadinya masing-masing.
c.
Tiap-tiap individu (siswa)
ingin menjadi dirinya sendiri
Relevan dengan
asas-asas perbedaan individu di atas, tiap-tiap individu ingin menjadi dirinya
sendiri sesuai dengan ciri-ciri atau karakteristik pribadinya masing-masing.
Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah harus dapat
mengantarkan siswa berkembang menjadi dirinya sendiri. Guru pembimbing atau
konselor di sekolah atau madrasah tidak boleh mengarahkan perkembangan siswa
kearah yang pembimbing atau konselor inginkan. Dalam kaitan dengan peran siswa
di tengah masyarakat kelak, pelayanan bimbingan dan konseling harus diarahkan
agar siswa menjadi ”baik” menurut ukuran masyarakat tanpa kehilangan
kepribadiannya sendiri.
d.
Tiap-tiap individu (siswa)
mempunyai dorongan untuk menjadi matang
Dalam tiap-tiap
tahapan perkembangannya, setiap siswa mempunyai dorongan yang kuat untuk
menjadi matang, produktif, ddan berdiri sendiri. Kematangan yang dimaksud
disini adalah kematangan kejiwaan, emosi, dan sosial. Pelayanan bimbingan dan
konseling kepada para siswa di sekolah dan madrasah harus berorientasi kepada
kematangan di atas sehingga siswa dapat berkembang sesuai dengan
kecenderungan-kecenderungannya.
e.
Tiap-tiap siwa mempunyai
masalah dan mempunyai dorongan untuk menyelesaikannya
Tidak
ada individu (siswa) yang tidak memiliki masalah.Mungkin tidak ada pula
individu yang tidak ingin masalahnya terselesaikan. Apalagi individu (siswa)
yang sedang dalam proses perkembangan, pasti memiliki masalah. Yang berbeda
adalah kompleksitas masalah yang dialami oleh tiap-tiap siswa, artinya ada
siswa yang mengalami masalah kompleks dan ada yang kurang kompleks. Pada dasarnya
setiap individu (siswa) mempunyai dorongan-dorongan untuk memecahan masalahnya,
namun karena keterbatasaanya ada kalanya siswa tidak selalu berhasil. Pelayanan
bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah harus diarahkan dalam rangaka
membantu siswa menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
hidupnya dengan memanfaatkan sebaik-baiknya dorongan-dorongan yang ada pada
setiap siswa.
2.
Asas yang Berhubungan dengan Praktik atau
Pekerjaan Bimbingan
Menurut Arifin dan Ety
Kartikawati (1995) dan Prayitno dan Erman Amti (1999) asas-asas yang berkenaan
dengan praktik atau pekerjaan bimbingan dan konseling adalah:
a.
Asas Kerahasiaan
Kadang bimbingan dan
konseling berkenaan dengan individu (siswa) bermasalah. Masalah bisanya
merupakan suatu yang harus dirahasiakan. Adakalanya dalam proses konseling
siswa enggan berbicara karena merasa khawatir apabila konselornya tidak dapat
menjaga rahasia kliennya. Apa pun yang sifatnya rahasia yang disampaikan klien
kepada konselor, tidak boleh diceritakan kepada orang lain meskipun kepada
koleganya.
Dalam konseling, asas
ini merupakan asas kunci karena apabila asas ini di pegang teguh, konselor akan
mendapat kepercayaan dari klien sehingga mereka akan memanfaatkan jasa
bimbingan dan konseling sebaik-baiknya. Sebaliknya apabila asas ini tidak di pegang
teguh, konselor akan kehilangan kepercayaan dari klien (siswa) sehingga siswa
akan enggan memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling karena merasa takut
masalah dan dirinya menjadi bahan gunjingan.
Asas kerahasiaan
sangat sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Islam sangat dilarang seseorang
menceritakan aib atau keburukan orang lain bahkan Islam mengancam bagi
orang-orang yang suka membuka aib saudaranya diibaratkan seperti memakan
bangkai daging saudaranya sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nuur
ayat 19:
žcÎ)
tûïÏ%©!$#
tbq™7Ïtä†
br&
yì‹Ï±n@
èpt±Ås»xÿø9$#
’Îû
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä öNçlm; ë>#x‹tã
×LìÏ9r&
’Îû
$u‹÷R‘‰9$# ÍotÅzFy$#ur
4 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ
óOçFRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès?
ÇÊÒÈ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan
Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”.
b.
Asas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan
konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan baik dari pihak pembimbing
(konselor) maupun dari pihak klien (siswa). Klien (siswa) diharapkan secara
sukarela, tanpa terpaksa dan tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa
menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan semua fakta, data
dan segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah yang dihadapinya kepada
konselor. Sebaliknya konselor atau pembimbing dalam memberikan bimbingan juga
hendaknya jangan karena terpaksa. Dengan perkataan lain pembimbingan atau
konselor harus memberikan pelayanan bimbingan dan konseling secara ikhlas.
Dalam asas ini, bukan
berarti konselor tidak boleh menerima jasa dari pelayanan bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan profesi, oleh
sebab itu, pembimbing atau konselor tidak dilarang menerima gaji atau upah
tetapi hendaknya gaji atau upah tidak menjadi tujuan. Pembimbing atau konselor
tidak memberikan pelayanan bimbingan konseling karena terpaksa. Asas ini sangat
relevan dengan ajaran Islam berkenaan dengan ikhlas. Siswa harus ikhlas (tidak
terpaksa) untuk mengikuti bimbingan dan konseling dan pembimbingpun harus
ikhlas memberikan bimbingan dan konseling.
c.
Asas Keterbukaan
Dalam proses bimbingan
dan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan (pihak konselor maupun siswa).
Asas ini tidak kontradiktif dengan asas kerahasiaan karena keterbukaan yang
dimaksud menyangkut kesediaan menerima saran-saran dari luar dan kesediaan
membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Siswa yang dibimbing
diharapkan dapat berbicara secara jujur dan berterus terang tentang dirinya
sehingga penelaahan dan pengkajian tentang berbagai kekuatan dan kelemahannya
dapat dilakukan.
Siswa diharapkan dapat
membuka diri sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya (masalah yang
dihadapinya) dapat diketahui oleh konselor atau pembimbingnya. Selain itu,
siswa pun harus secara terbuka menerima saran-saran dan masukan dari pihak
lain. Konselor pun harus terbuka dengan bersedia menjawab berbagai pertanyaan
dari klien dan mengungkapkan diri konselor sendiri apabila hal terebut
dikehendaki oleh klien. Tegasnya, dalam proses bimbingan dan konseling
masing-masing pihak harus terbuka (transparan) terhadap pihak lainnya.
d.
Asas Kekinian
Pelayanan bimbingan
dan konseling harus berorientasi kepada masalah yang dirasakan klien sasat ini.
Artinya, masalah-masalah yang ditanggulangi dalam proses bimbingan dan
konseling adalah masalah-masalah yang dirasakan oleh siswa, bukan masalah yang
sudah lampau atau yang mungkin akan dialami di masa yang akan datang.
Asas kekinian juga
menandung makna bahwa pembimbing atau konselor juga tidak boleh menunda-nunda
pemberian bantuan. Apabila klien meminta bantuan atau fakta menunjukkan ada siswa
yang perlu bantuan, maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor
tidak boleh menunda-nunda memberikan bantuan kepada klien. Konselor hendaklah
lebih mementingkan kepentingan klien daripada yang lainnya.
e.
Asas Kemandirian
Kemandirian
merupakan salah satu tujuan pelayanan bimbingan dan konseling. Siswa yang telah
dibimbing hendaklah bisa mandiri, tidak tergantung kepada orang lain dan kepada
konselor. Ciri-ciri kemandirian pada siswa yan telah dibimbing adalah:
·
Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaiman
adanya
·
Menerima diri sendiri dan lingkungannya secara
positif
·
Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri
·
Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu
·
Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan
potensi, minat dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
f.
Asas Kegiatan
Pelayanan bimbingan
dan konseling tidak akan memberikan hasil berarti apabila klien tidak melakukan
sendiri kegiatan untuk mencapai tujuan bimbingan dan konseling. Hasil usaha
yang menjadi tujuan bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan
sendirinya, melainkan harus dicapai denga kerja giat dari klien sendiri. Guru
pembimbing atau konselor harus dapat membangkitkan semangat klien sehingga ia
mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah
yang menjadi pokok pembicaraan dalam proses konseling.
Asas ini bermakna
bahwa masalah klien tidak akan terpecahkan apabila siswa tidak melakukan
kegiatan seperti yang dibicarakan dalam konseling.
g.
Asas
Kedinamisan
Usaha bimbingan dan
konseling menghendaki tejadinya perubahan pada individu (siswa) yang dibimbing,
yaitu perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Perubahan yang terjadi tidak
sekadar mengulang-ulang hal-hal yang lama bersifat menonton, melainkan
perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan atau sesuatu yang lebih maju
dan dinamis sasuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaki.
h.
Asas Keterpaduan
Individu memiliki
berbagai aspek kepribadian yang apabila keadaannya tidak seimbang, tidak
serasi, dan tidak terpadu, justru akan menimbulkan masalah. Oleh sebab itu,
usaha bimbingan dan konseling hendaklah memadukan berbagai aspek kepribadian
klien. Selain keterpaduan pada diri klien, juga harus terpadu dalam isi dan
proses layanan yang diberikan. Tidak boleh aspek layanan yang satu tidak serasi
apalagi bertentangan dengan aspek layanan lainnya.
Asas keterpaduan juga
menuntut konselor memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan
aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk
menangani masalah klien. Semua aspek di atas dipadukan secara serasi dan
sinergi dalam upaya bimbingan dan konseling.
i.
Asas Kenormatifan
Proses bimbingan dan
konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku baik norma
agama, adat, hukum atau negara, norma ilmu, maupun norma kebiasaan sehari-hari.
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Demikian pula prosedur, teknik, dan peralatan (instrumen) yang dipakai tidak
menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
j.
Asas Keahlian
Pelayanan bimbingan
dan konseling merupakan pekerjaan profesional yang diselenggarakan oleh
tenaga-tenaga ahli yang khusus dididik untuk pekerjaan tersebut. Dengan kata
lain, pelayanan bimbingan dan koseling harus dilakukan oleh orang yang memiliki
keahlian tentang bimbingan dan konseling.
Asas keahlian juga
mengacu kepada kualifikasi konselor seperti pendidikan dan pengalaman. Selain
itu, seorang konselor juga harus mengetahui dan memahami secara baik teori-teori
dan praktik bimbingan dan konseling.
k.
Asas Alih Tangan (Referal)
Konselor sebagai
manusia, di atas kelebihannya tetap memiliki keterbatasan kemampuan. Tidak
semua masalah yang dihadapi klien berada dalam kemampuan konselor untuk
memecahkannya. Apabila konselor telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya
untuk memecahkan masalah klien, tetapi belum berhasil, maka konselor yang
bersangkutan harus memindahkan tanggung jawab pemberian bimbingan dan konseling
kepada pembimbing atau konselor lain atau kepada orang lain.
Asas ini juga bermakna
bahwa konselor dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling jangan
melebihi batas kewenangannya. Atau pelayanan bimbingan dan konseling hanya
menangani masalah-masalah individu (siswa) sesuai dengan kewenangan petugas
konselor atau pembimbing yang bersangkutan. Misalnya individu yang setres berat
(gila) tidak lagi menjadi kewenangan konselor sekolah dan madrasah melainkan
kewenangan psikiater. Pembimbing atau konselor tidak boleh melaksanakan tugas
melebihi batas kewenagannya.
l.
Asas Tut Wuri
Handayani
Asas ini menunjuk pada
suasana umum yang hendak tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara
pembimbing (konselor) dengan yang dibimbing (siswa). Asas ini menuntut agar
pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada waktu siswa
mengalami masalah. Bimbingan dan konseling hendaknya dirasakan adanya dan
manfaatnya sebelum dan sesudah siswa menjalani layanan bimbingan dan konseling
secara langsung. Dalam asas ini, pembimbing atau konselor bisa menjadikan
dirinya sebagai contoh pemecahan masalah yang efektif. Dalam praktik bimbingan
dan konseling Islam, asas ini bertumpu pada keteladanan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW merupakan sosok pemecah masalah yang efektif, sehingga berbagai
masalah para sahabat ketika itu dapat dipecahkan melalui percontohan
(keteladanan) dari Rasulullah SAW.
Asas ini juga
memberikan makna bahwa untuk bisa menjadi pemecah masalah yang efektif dan bisa
dicontoh (diteladani) oleh klien, pembimbing atau konselor harus memulai dari
diri sendiri.
No comments:
Post a Comment