KATA PENGANTAR
Dengan
mengucap puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kekuatan dan kemampuan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Prinsip-Prinsip Pembelajaran ini.
Tugas
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Suherman. M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Bimbingan dan Konseling yang telah membimbing penulis
dalam penyusunan makalah ini.
Tidak
menutup kemungkinan bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan yang disebabkan keterbatasan ilmu pengetahuan penulis, dimana
penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan bekal pengetahuan yang penulis
miliki untuk mencapai hasil yang terbaik. Maka demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini, kami terbuka untuk menerima kritik-kritik yang konstruktif dari
pembaca.
Semoga
karya kecil ini dapat menjadi bekal ilmu pengetahuan bagi pembaca dan
menjadikan rahmat yang tak putus bagi penulis. Amin.
Bandung,
Maret 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………… i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………… ii
BAB
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………….. 1
1.1
Latar belakang……………………………………………………………………….. 1
1.2
Rumusan masalah…………………………………………………………………… 1
1.3
Tujuan penyusunan………………………………………………………………… 2
BAB
II. MASALAH-MASALAH SISWA DI SEKOLAH SERTA PENDEKATAN-PENDEKATAN UMUM DALAM
BIMBINGAN DAN KONSELING (STRATEGI BIMBINGAN DAN
KONSELING)………….…
3
2.1
Masalah-masalah Siswa di Sekolah…………………………………………… 3
2.2
Pendekatan-pendekatan Umum dalam Bimbingan & Konseling…… 9
2.3
Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling……………. 13
BAB
III. PENUTUP……………………………………………………………………………… 36
3.1
Kesimpulan……………………………………………………………………………. 18
3.2
Saran…………………………………………………………………………………….. 18
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………. 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bimbingan
dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupan manusia.
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya menghadapi
persoalan-persoalan atau masalah yang silih berganti.. Manusia tidak sama satu
dengan yang lain, baik dalam sifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang
sanggup mengatasi persoalan tanpa bantuan pihak lain, tetapi tidak sedikit
manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibantu orang lain.
Manusia
adalah sasaran pendidikan. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.peserta didik merupakan
pribadi-pribadi yang sedang berada dalam proses berkembang kearah kematangan.
Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik pribadi yang unik. Dalam
arti terdapat perbedaan individual diantara mereka, seperti menyangkut aspek
kecerdasan, emosi, sosiabilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian
diri. Dalam dunia pendidikan, peserta didikpun tidak jarang mengalami
masalah-masalah, sehingga tidak jarang dari peserta didik yang menunjukkan
berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan
sampai dengan berat.
Berkenaan
dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didik, maka perlu adanya
pendekatan-pendekatan melalui pelaksanaan bimbingan dan konseling. Disini, guru
memiliki perananan yang sangat penting karena guru merupakan sumber yang sangat
menguasai informasi tentang keadaan siswa atau pesrta didik. Di dalam melakukan
bimbingan dan konseling, kerja sama konselor dengan personel lain di sekolah
merupakan suatu syarat yang tidak boleh ditinggalkan. Kerja sama ini akan
menjamin tersusunnya program bimbingan dan konseling yang komprehensif,
memenuhi sasaran, serta realistik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
- Apa masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah?
- Apa pendekatan-pendekatan umum dalam Bimbingan & Konseling?
- Bagaimana strategi pelaksanaan layanan Bimbingan dan Konseling?
1.3 Tujuan Penyusunan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah adalah sebagai berikut:
- Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah.
- Mengetahui pendekatan-pendekatan umum dalam Bimbingan & Konseling.
- Mengetahui strategi pelaksanaan layanan Bimbingan dan Konseling.
BAB II
MASALAH-MASALAH SISWA DI SEKOLAH SERTA PENDEKATAN-PENDEKATAN
UMUM DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING (STRATEGI BIMBINGAN DAN KONSELING)
2.1
Masalah-masalah Siswa di Sekolah
Apakah
yang dimaksud “masalah” (persoalan, problema)? Masalah ialah suatu yang
menghambat, merintangi, mempersulit bagi orang dalam usahanya mencapai sesuatu.
Bentuk konkrit dari hambatan/rintangan itu dapat bermacam-macam, misalnya
godaan, gangguan dari dalam atau dari luar, tantangan yang ditimbulkan oleh
situasi hidup. Masalah yang timbul dalam kehidupan siswa di sekolah beraneka
ragam, diantaranya sebagai berikut:
- 1. Masalah Perkembangan Individu
Setiap
individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Hal ini berarti
bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang
tuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik dan psikis atau sifat-sifat
mental.
Hereditas
merupakan aspek bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh
perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya,
bergantung kepada kualitas hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Lingkungan merupakan factor penting disamping hereditas yang menentukan
perkembangan individu.
Perkembangan
dapat berhasil dengan baik, jika factor-faktor tersebut bisa saling melengkapi.
Untuk mencapai perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam
perkambangan dengan melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Tugas-tugas
perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang
seyogianya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase
perkembangannya. Hurlock (1982) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan
merupakan social expectations (harapan-harapan sosial masyarakat). Dalam
arti setiap kelompok budaya mengharapkan para anggotanya menguasai keterampilan
tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai
usia sepanjang rentang kehidupan.
Munculnya
tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor berikut.
- Kematangan Fisik, misalnya (1) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan (2) belajar bergaul dengan lawan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja, karena kematangan hormone seksual.
- Tuntutan Masyarakat secara Kultural, misalnya (1) belajar membaca, (2) belajar menulis, (3) belajar berhitung, dan (4) belajar berorganisasi.
- Tuntutan dari Dorongan dan Cita-cita Individu itu sendiri, misalnya (1) memilih pekerjaan, dan (2) memilih teman hidup.
- Tuntutan Norma Agama, misalnya (1) taat beribadah kepada Allah, dan (2) berbuat baik kepada sesama manusia.
Tugas-tugas
perkembangan bagi setiap fase perkembangan dalam rentang kehidupan individu
dapat diuraikan sebagai berikut.
- Tugas Perkembangan Usia Bayi dan Kanak-kanak (0,0-6,0 tahun)
1)
Belajar berjalan.
2)
Belajar Memakan makanan padat.
3)
Belajar berbicara.
4)
Belajar buang air kecil dan buang air besar (toilet training).
5)
Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.
6)
Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis.
7)
Belajar memahami konsep-konsep sederhana tentang kehidupan sosial dan alam.
8)
Belajar melakukan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
9)
Belajar mengenal konsep baik dan buruk (mengembangkan kata hati).
10)
Mengenal konsep, norma atau ajaran agama secara sederhana.
- Tugas Perkembangan Usia Sekolah Dasar (7,0-12 tahun)
1)
Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
2)
Belajar membentuk sikap positif, yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai
makhluk biologis (dapat merawat kebersihan dan kesehatan diri).
3)
Belajar bergaul dengan teman sebaya.
4)
Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
5)
Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
6)
Belajar mengembangkan konsep (agama, ilmu pengetahuan, adat istiadat)
sehari-hari.
7)
Belajar mengembangkan kata hati (pemahaman tentang benar-salah, baik-buruk).
8)
Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi (bersikap mandiri).
9)
Belajar mengembangkan sikap postif terhadap kehidupan sosial.
10)
Mengenal dan mengamalkan ajaran agama sehari-hari.
- Tugas Perkembangan Usia Remaja (13-19 tahun)
1)
Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2)
Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figure-figur yang mempunyai
otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orangtua dan orang lain tanpa tergantung
kepadanya.
3)
Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal.
4)
Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5)
Menemukan manusia model yang dijadikan pusat identifikasinya.
6)
Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya
sendiri.
7)
Memperoleh self-control (kemampuan mengendalikan sendiri)
atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.
8)
Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku) yang
kekanak-kanakan.
9)
Bertingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10)
Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi
warga Negara.
11)
Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan).
12)
Memiliki sikap positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga.
13)
Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
- Tugas Perkembangan Usia Dewasa Awal (20-40 tahun)
1)
Mengembangkan sikap, wawasan dan pengamalan nilai-nilai (ajaran) agama.
2)
Memperoleh atau mulai memasuki pekerjaan.
3)
Memilih pasangan hidup.
4)
Mulai memasuki pernikahan dan hidup berkeluarga.
5)
Mengasuh, merawat dan mendidik anak.
6)
Mengelola hidup rumah tangga.
7)
Memperoleh kemampuan dan kemantapan karir.
8)
Mengambil tanggung jawab atau peran sebagai warga masyarakat.
9)
Mencari kelompok sosial (kolega) yang menyenangkan.
- Tugas Perkembangan Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)
1)
Memantapkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama.
2)
Mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga Negara.
3)
Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan bahagia.
4)
Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada
aspek fisik (penurunan kemampuan dan fungsi).
5)
Memantapkan keharmonisan hidup berkeluarga.
6)
Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir.
7)
Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa, baik di lingkungan kerja
maupun masyarakat.
- Tugas Perkembangan Usia Dewasa Tua (Lansia: 60 tahun-mati)
1)
Lebih memantapkan diri dalam mengamalkan ajaran agama.
2)
Mampu menyesuaikan diri dengan menurunnya kemampuan dan kesehatan fisik.
3)
Dapat menyesuaikan diri dengan masa pensiunan (jiak pegawai negeri) dan
berkurangnya “income”, penghasilan keluarga.
4)
Dapat menyesuaikan diri dengan kematian pasangannya.
5)
Membentuk hubungan dengan orang lain yang seusia.
6)
Memantapkan hubungan yang lebih harmonis dengan anggota keluarga (istri, anak,
menantu, cucu, dan saudara).
Dalam
mencapai tugas-tugas perkembangan ini, tidak sedikit yang mengalami
kegagalan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor (1) tidak atau kurang adanya
bimbingan untuk memahami dan menguasai tugas-tugas perkembangan, (2) kurang
memiliki motivasi untuk berkembang ke arah kedewasaan, (3) mengalami kesehatan
yang buruk (sakit-sakitan), (4) cacat tubuh, (5) tingkat kecerdasan yang
rendah, dan (6) iklim lingkungan yang kurang baik.
Kegagalan
mencapai tugas-tugas perkembangan ini akan melahirkan perilaku yang menyimpang (delinquency)
atau situasi kehidupan yang tidak bahagia, penyimpangan perilaku yang
dialami individu, sebagai dampak dari tidak tertuntaskannya tugas-tugas
perkembangan akan bervariasi sesuai dengan fase perkembangannya.
Penyimpangan
perilaku yang dialami anak berusia sekolah dasar diantaranya adalah (1) suka
membolos dari sekolah, (2) malas belajar, dan (3) keras kepala. Pada usia
remaja, penyimpangan perilaku yang dialaminya seperti (1) suka mengisolir diri,
(2) meminum-minuman keras keras, (3) mengkonsumsi obat-obat terlarang atau
narkoba, (4) tawuran, (5) malas belajar, (6) kurang bersikap hormat kepada
orangtua dan orang dewasa lainnya. Sementara penyimpangan perilaku orang
dewasa, diantaranya adalah (1) berselingkuh dengan istri/suami orang, (2)
menelantarkan kehidupan keluarga (istri dan anak), (3) menjadi biang keladi
kerusuhan (provokator) dalam masyarakat, (4) melakukan tindak criminal, dan (5)
tidak melaksanakan perintah agama.
Masa
belajar disekolah atau perguruan tinggi merupakan masa transisi, sebagai proses
untuk mencapai kematangan, dan masa persiapan untuk mencapai kehidupan dewasa
yang berarti. Dalam hubungan ini sekolah atau perguruan tinggi mempunyai
peranan yang penting dalam membantu siswa (mahasiswa) untuk mencapai taraf
perkembangan, melalui penuntasan atau pencapaian tugas-tugas perkembangannya
secara optimal.
Pelayanan
bimbingan dan konseling merupakan komponen pendidikan yang dapat membantu para
siswa atau mahasiswa dalam proses perkembangannya. Demikianlah, pemahaman
terhadap masalah perkembangan dengan prinsip-prinsipnya akan merupakan
kebutuhan yang mendasar bagi pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling.
- 2. Masalah Perbedaan Individu
Keunikan
Individu mengandung arti bahwa tidak ada 2 orang individu yang sama persis
dalam aspek pribadinya,baik aspek jasmani maupun rohaniah. Induvidu yang satu
berbeda dengan individu lainya. Timbulnya perbedaan individu ini dapat
dikembalikan Kepada factor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utamabagi
terbentuknya kmeunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan
perbedaan individu, meskipun dengan lingkungan yang sama, sebaliknya lingkungan
yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu, meskipun
pembawaannya sama.
Di
sekolah sering kali tampak masalah perbedaan individu ini, misalnya ada siswa
yang sangat cepat dan ada yang sangat lambat belajar. Ada yang menonjol dalam
kecerdasan tertentu tapi kurang cerdas pada bidang yang lain.Kenyataan ini akan
membawa konsekuensi bagi pelayanan pendidikan, khususnya yang menyangkut bahan
pelajaran, metode mengajar,alat alat pelajaran, pelayanan lainnya. Siswa akan
menghadapi kesulitan dalam penyesuaian diri antara keunikan dirinya dengan
dengan tuntutan dalam lingkungannya. Hal ini di sebabkan karena pelayanan pada
pada umumnya program pendidikan memberikan pelayanan atas dasar ukuran pada
umumnya atau rata-rata.
Mengingat
bahwa yang menjadi tujuan pendidikan adalah perkembangan yang optimal
dari setiap individu, maka masalah perbedaan individu ini perlu mendapat
perhatian dalam pelayanan pendidikan. Dengan kata lain sekolah hendaknya
memberikan pelayanan kepada para siswa secara individual sesuai dengan
keaunikan masing-masing. Usaha melayani siswa secara individual ini dapat
diselenggarakan melalui program bimbingan dan konseling.
Beberapa
segi perbedaaan individual yang perlu mendapat perhatian diantaranya ialah
perbedaan dalam :
-
Kecerdasan
-
Prestasi belajar
-
Sikap dan kebiasaan belajar
-
Motivasi belajar
-
Temperamen
-
Karakter
-
Minat
-
Ciri- ciri fisik
-
Cita- cita
-
Kemampuan dalam komunikasi atau berhubungan interpersonal
-
Kemandirian
-
Kedisiplinan, dan
-
Tangung jawab
Untuk
memahami karakteristik diatas, dapat dilakukan melalui teknik tes dan non tes.
Teknik tes meliputi psikotes dan tes prestasi belajar. Sementara teknik non-tes
meliputi angket, wawancara, observasi, sosiometri, autobiografi dan catatan
anekdot. Data tentang keragaman atau perbedaan tersebut akan besar sekali
manfaatnya bagi usaha layanan bimbingan dan konseling.
- 3. Masalah Kebutuhan Individu
Kebutuhan
merupakan dasar timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku
karena ada dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini
sifatnya mendasar bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. Jika individu
berhasil dalam memenuhi kebutuhannya, maka dia akan merasa puas, dan sebaliknya
kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak menimbulkan masalah baik
bagi dirinya maupun bagi lingkungan.
Dengan
berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara dalam
memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan belajar pada hakikatnya merupakan
perwujudan usaha pemenuhan kebutuhan tersebut. Sekolah hendaknya menyadari hal
tersebut, baik dalam mengenal kebutuhan-kebutuhan pada diri siswa, maupun dalam
memberikan bantuan yang sebaik-baiknya dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut.
Seperti telah dikatakan di atas, kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan
banyak menimbulkan masalah-masalah bagi dirinya.
Pada
umumnya secara psikologis dikenal ada dua jenis kebutuhan dalam diri individu
yaitu kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial/psikologis. Beberapa diantara
kebutuhan-kebutuhan yang harus kita perhatikan ialah kebutuhan:
- memperoleh kasih sayang;
- memperoleh harga diri;
- untuk memperoleh pengharapan yang sama;
- ingin dikenal;
- memperoleh prestasi dan posisi;
- untuk dibutuhkan orang lain;
- merasa bagian dari kelompok;
- rasa aman dan perlindungan diri;
- untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Pengenalan
terhadap jenis dan tingkat kebutuhan siswa sangat diperlukan bagi usaha membantu
mereka. Program bimbingan dan konseling merupakan salah satu usaha kearah itu.
Menurut
Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara
hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling
tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi maka akan
muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi.
Hirarki
kebutuhan itu meliputi fisiologis (biologis), rasa aman, pengakuan,
penghagaan, kognitif, estetika dan aktualisasi diri. Hirarki kebutuhan itu dapat
digambarkan dala bentuk piramida sebagai berikut.
Estetika
|
Kognitif
|
Penghargaan
|
Pengakuan dan Kasih Sayang
|
Rasa Aman
|
Kebutuhan Biologis
|
Aktualisasi
diri
|
Kebutuhan
Biologis
Kebutuhan
ini merupakan kebutuhan yang paling dasar. Kebutuhan ini berfungsi
mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan akan makan,minuman, seks,
istirahat dan oksigen. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menyebabkan
kematian.
- Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan
ini sangat penting bagi setiap orang, baik anak remaja maupun dewasa. Pada anak
kebutuhan akan rasa aman ini Nampak dengan jelas, sebab mereka suka mereaksi
secara langsung sesuatu yang mengancam dirinya. Agar kebutuhan anak akan rasa
aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim kehidupan yang memberikan
kebebasan (freedom) untuk berekspresi. Pada orang dewasa kebutuhan akan
rasa aman ini memotivasinya untuk mencari keraja, menbung uang, atau menjadi
peserta asuransi. Orang dewasa yang sehat mentalnya ditandai dengan perasaan
aman, bebas dari rasa takut, dan cemas. Sedangkan yang tidak sehat, ditandai
dengan perasaan seolah-olah selalu dalam keadaan terancam bencana besar.
- Kebutuhan akan Pengakuan dan Kasih Sayang
Kebutuhan
ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara seperti persaudaraan, persahabatan,
atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari
pengakuan dan curahan kasih saying dari orang lain, baik dari orangtua,
saudara, guru, pimpinan, teman, atau orang dewasa lainnya. Kebutuhan untuk
diakui sulit dipuaskan pada suasana masyarakat yang mobilisasinya sangat cepat
terutama di kota-koa besar yang gaya hidupnya sudah bersifat individualistic.
Sebaliknya kebutuhan ini akan mudah terpuaskan dalam suasana masyarakat yang
akrab, penuh persahabatan atau persaudaraan. Kebutuhan akan kasih sayang atau
mencintai-dicintai dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan lain
(persahabatan dan persaudaraan).
Dalam
hal ini maslow membedakan antara cinta (love) dengan sex (kebutuhan biologis),
meskipun diakuinya bahwa seks merupakan salah satu cara pernyatan kebutuhan
cinta. Dia sependapat dengan rumusan cinta dari Rogers yaitu bahwa cinta
merupakan “Keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh
hati.” Maslow berpendapat bahwa kegagalan mencapai kepuasan kebutuhan cinta
atau kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional atau
maladjustment.
- Kebutuhan akan Penghargaan
Jika
seseorang telah merasa diakui, maka dia akan mengembangkan kebutuhan akan
perasaan berharga. Kebutuhan ini meliputi dua kategori yaitu:
1)
Harga diri (self esteem) yang meliputi: kepercayaan diri, kompetensi,
kecukupan, prestasi dan kebebasan
2)
Penghargaan dari orang lain(esteem from oher people) yang meliputi:
pengakuan, perhatian, prestise, respek dan kedudukan (status)
Memperoleh
kepuasan dari kebutuhan ini memungkinkan seseorang memiliki rasa percaya diri
akan kemampuan dan penampilannya menjadi kompeten dan produktif dalam semua
aspek kehidupan. Sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan, atau
mengalami “lack of self-esteem” maka dia akan mengalami perasaan rendah diri
(inferior), tak berdaya, tak bersemangat, dan kurang percaya diri akan
kemampuannya untuk mengatasi masalah kehidupan yang dihadapinya.
- Kebutuhan Kognitif
Secara
alami manusia memiliki hasrat ingin memperoleh pemahaman tentang sesuatu.
Hasrat ini mulai berkembang sejak akhir usia bayi dan awal masa kanak-kanak,
yang diekspresikan sebagai rasa ingin tahunya (curiosity) dalam bentuk
pengajuan pertanyaan-pertayaan tentang berbagai hal, baik terkait dengan
dirinya sendiri maupun lingkungannya (sperti benda-benda, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan). Rasa ingin tahu ini biasanya terhambat perkembangannya oleh
lingkungan yang terlalu membatasi atau otoriter, baik dilingkungan keluarga
maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan menghambat
pencapaian perkembangan kepribadian secara penuh. Menurut Maslow, rasa ingin
tahu ini merupakan ciri mental yang sehat. Kebutuhan kognitif ini diekspresikan
sebagai kebutuhan untuk memahami, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan,
mencari sesuatu atau suasana baru, dan meneliti.
- Kebutuhan Estetik
Kebutuhan
estetik (order & beauty) merupakan ciri orang yang sehat mentalnya. Melalui
kebutuhan inilah, manusia dapat mengembangkan kreativitasnya dalam bidang seni
(seperti lukis, rupa, patung, dan grafis), arsiektur, tata busana, tata boga,
dan tata rias. Di samping itu orang yang sehat mentalnya ditandai dengan
kebutuhan akan keteraturan, keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek
kehidupannya, seperti dalam cara berpakaian (rapi dengan keterpaduan warna yang
serasi), penataan rumah (penempatan meubeler, vas bunga, dsb), dan pemeliharan
ketertiban berlalu lintas. Orang yang kurang sehat mentalnya, mengalami
gangguan emosional atau stress, biasanya kurang memperhatikan kebutuhan ini
seperti: tidak rapi dalam berpakaian, kurang memperhatikan kebersihan, dan
kurang apresiatif terhadap keteraturan dan kehidupan.
- Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan
ini merupkan puncak dari hierarki kebutuhan manusia, yaitu perwujudan potensi
dan kapabilitas secara penuh. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, namun
apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, dalam arti seseorang itu tidak dapat
mengembangkan kemampuan atau potensinya secara penuh, maka dia akan mengalami
kegelisahan, ketidaknyamanan atau frustasi. Contoh: jika seseorang memiliki
kemampuan potensial dalam bidang musik, tetapi dia disuruh bekerja sebagai
akuntan maka dia akan mengalami kegagalan dalam mengaktualisasikan dirinya.
Maslow
berpendapat bila seseorang telah mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh
(self-actualizing person) berarti dia telah memiliki kepribadian yang sehat.
Maslow mengemukakan teori motivasi bagi “self-actualizing person” dengan nama
“Metamotivation, Meta-needs, B-Motivation, atau Being Values.” Seseorang yang
telah mampu mengaktualisasikan dirinya tidak termotivasi dirinya untuk mengejar
sesuatu yang khusus, mereduksi ketegangan, atau memuaskan suatu kebutuhan,
etapi mencapai tujuan secara menyeluruh (tujuannya untuk memperkaya dan
memperluas kehidupannya dan mengurangi keegangan melalui berbagai pengalaman
yang menantang). Dia berusaha untuk mengembangkan potensinya secara maksimal,
dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada dalam keadaan menjadi
(becoming) yaitu spontan, alami, dan senang mengekspresikan potensinya secara
penuh.
Sementara
itu motivasi bagi mereka yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia namai
“D-motivation” atau “deficiency.” Tipe motivasi ini mengejar hal-hal yang
khusus untuk memenuhi kekurangan atau kebutuhan dalam dirinya seperti mencari
makanan untuk memenuhi rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar)
untuk tujuan yang khusus (kenyang, menyantap makanan) menghasilkan motivasi
untuk memperoleh sesuatu yang dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini
tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan fisologis tetapi juga rasa aman, cinta
kasih, dan penghargaan.
Terkait
dengan Meta-needs di atas, Maslow selanjutnya mengatakan bahwa kegagalan dalam
memuaskannya akan berdampak kurang baik bagi individu, sebab dapat menggagalkan
pemuasan kebutuhan yang lainnya, dan juga melahirkan metapatalogi yang dapat
merintangi perkembangannya. Maslow mengemukakan ciri-ciri orang yang memiliki meta-needs
dan patalogis seperti yang berada di bawah ini
Ciri-ciri Orang yang Memiliki Meta-Needs dan Patalogis
Meta-needs
|
Metapatalogis
|
1)
Sikap Percaya
2)
Bijak, Baik
3)
Indah/Estetis
4)
Kesatuan atau Menyeluruh
5)
Enerjik/Optimis
6)
Pasti
7)
Lengkap
8)
Adil, Altruis
9)
Berani
10)
Sederhana/Simple
11)
Bertanggung Jawab
12)
Penuh makna
|
1. Tidak
Percaya, Sinis, Skeptis
2.
Benci dan Memuaskan
3.
Vulgar, Mati Rasa
4.
Disintegrasi
5.
Kehilangan Semangat Hidup, Pasif, Pesimis
6.
Chaos, tidak dapat diprediksi
7.
Tidak lengkap, tidak tuntas
8.
Suka marah-marah, sini, tak adil, egois
9.
rasa tidak aman, memerlukan bantuan
10.
Sangat kompleks, membingungkan
11.
Tak bertanggung jawab
12.
Tak tahu makna kehidupan, kehilangan, harapan, dan
putus asa
|
Pengenalan
terhadap jenis dan tingkat kebutuhan seseorang (siswa/mahasiswa) sangat
diperlukan bagi usaha membantu mereka. Program bimbingan dan konseling
merupakan salah satu usaha untuk membantu para siswa untuk memenuhi
kebutuhannya secara wajar dan sesuai norma yang berlaku.
- 4. Masalah Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental
Kegiatan
atau tingkah merupakan laku individu pada hakikatnya merupakan cara
pemenuhan kebutuhan. Banyak cara yang dapat ditempuh individu untuk memenuhi
kebutuhannya, baik secara yang wajar maupun yang tidak wajar, cara yang
disadari maupun cara yang tidak disadari. Yang penting untuk dapat memenuhi
kebutuhan ini, indiviidu harus dapat menyesuaikan antar kebutuhan dengan segala
kemungkinan yang ada dalam lingkungan, disebut sebagai proses penyesuaian diri.
Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan baik
lingkungan sekolah, rumah maupum masyararakat.
Proses
penyesuaian diri ini menimbulkan berbagai masalah terutama bagi diri individu
sendiri.terdapat 2 jenis proses penyesuain diri. Yaitu : (1) “Well adjusted”
yaitu keadaan dimana individu dapat berhasil memenuhi kebutuhannya sesuai
dengan kebutuhannya sesuai dengan lingkungannya dan tanpa menimbulkan gangguan
atau kerugian bagi lingkungannya. (2) Maladjusted yaitu keadaan dimana
individu gagal dalam proses penyesuaian tersebut.
- a. Penyesuaian Normal
Schneiders
(1964: 51) berpendapat adalah penyesuaian adalah proses yang melibatkan
respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik secara sukses, serta
menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau
tuntutan lingkungan dimana dia hidup.
Selanjutnya
akan dijelaskan ciri-ciri orang well adjusted yaitu “ yang mampu
merespon (kebutuhan, dan masalah) secara matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome).”
Yang dimaksud efisien adalah hasil yang diperolehnya tidak banyak
membuang energi, waktu, dan kekeliruan. Sementara wholesome adalah
respon individu itu sesuai dengan hakikat kemanusiaannya, hubungan dengan yang
lain, dan hubungannya dengan Tuhan.
Orang
yang memiliki kemampuan untuk mereaksi kebutuhan dirinya atau tuntutan
lingkungannya secara matang, sehat dan efisien sehingga dapat memecahkan
konflik-konflik mental., frustasi, dan kesulitan-kesulitan pribadi dan
sosialnya tanpa mengembangkan tingkah laku simtomatik (seperti rasa cemas,
takut, khawatir, obsesi, pobia, atau psikosomatik). Dia adalah orang yang
berupaya menciptakan hubungan interpersonal dan suasana yang saling
menyenangkan yang berkotribusi kepada perkembangan kepribadian yang sehat.
Orang
yang memiliki sikap iri hati, hasud, cemburu, atau, permusuhan merupakan
respon yang “unwholesome” (tidak sehat), sedangkan sikap persahabatan
, toleransi, dan pemberi pertolongan merupakan respon yang “wholesome”.
Berdasarkan
pengertian diatas, maka seseorang itu dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri
yang normal, yang baik (well adjustment) apabila dia mampu memenuhi
kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri-sendiri
dan lingkungannya, serta sesuai dengan norma agama.
Menurut
Schneiders (1964: 274-276) penyesuaian yang normal ini memiliki karakter
sebagai berikut :
- Absence of excessive emotionality (Terhindar dari ekspresi emosi yang berlebih-lebihan, merugikan, atau kurang mampu engontrol diri).
- Absence of psychological machanisme (Terhindar dari mekanisme-mekanisme psikologis, seperti rasionalisasi, agresi, kompensasi dan sebagainya).
- Absence o the sense of personal frustration (Terhindar dari perasaan frustasi atau perasaan kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhannya).
- Rational deliberaton and self-direction (Memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional, yaitu mmpu memecahkan masalah berdasarkan alternative-alternatif yang telah dipertimbangkan secara matang dan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil).
- Ability to learn (Mampu belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah seari-hari).
- Utilization of past experience (Mampu memanfaatkan penglaman masa lalu, bercermin ke masa lalu bik yang berkaitan dengan keberhasiln maupun kegagalan untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik).
- Realistic, objective attitude (Bersikap objektif dan realistik; mampu menerima kenyataan hidup ang dihadap secara wajar; mampu menghindari, merespon situasi atau masalah secara rasional, tidak didasari oleh prasangka buruk atau negative).
- b. Penyesuaian Menyimpang
Penyesuaian
diri yang menyimpang atau tidak normal merupakan proses pemenuhan kebutuhan
atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang tidak wajar atau
bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dapat juga
dikatakan bahwa penyesuaian yang menyimpang ini adalah sebagai tingkah laku
abnormal (abnormal behavior), terutama terkait dengan criteria
sosiopsokologis dan agama. Penyesuaian yang menyimpang atau tingkah laku
abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1) Reaksi Bertahan
Organisme
atau individu dikepung oleh tuntutan dari dalam diri sendiri dan dari luar yang
kadang-kadang mengancam rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman
organisasinya, individu mereaksi dengan mekanisme pertahan diri.
Mekanisme
pertahanan dapat diartikan sebagai respon yag tidak disadari yang berkembang
dalam kepribadian individu, dan menjadi menetap, sebab dapat menetap, sebab
dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan
penyesuaian diri.
Orang
yang berusaha mempertahanan diri sendiri, seolah-olah tidak mengalami
kegagalan, menutupi kegagalan, atau menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan
cara-cara atau alasan tertentu. Bentuk reaksi ini diantaranya:
- Konpensasi : menutupi kelemahan dalam satu hal, dengan cara mencari kepuasan pada bidang lain.
- Sublimasi : menutupi atau mengganti kelemahan atau kegagalan dengan cara atau kegiatan yang mendapatkan pengakuan (sesuai dengan nilai-nilai) masyarakat.
- Proyeksi : melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain.
Mekanisme
pertahanan diri ini dilatarbelakangi oleh dasar-dasar psikologis, seperti: inferiority,
inadequacy, failure, dan guilt. Masing-masing dasar-dasar psiklogis itu
akan dibahas dalam uraian berikut.
a) Perasaan Rendah Diri
Inferioritas
ini dapat diartikan sebagai perasaan atau sikap yang pada umumnya tidak
disadari yang berasal dari kekurangan diri, baik secara nyata maupun maya
(imajinasi)
Inferioritas
ini menimbulkan gejala-gejala sikap dan perilaku berikut.
- Peka (merasa tidak senang) terhadap kritikan orang lain.
- Sangat senang terhadap pujian atau penghargaan.
- Senang mengkritik atau mencela orang lain.
- Kurang senang untuk berkompetisi
- Cenderung senang menyendiri
Berkembangnya
sikap inferioritas ini dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu sebagai berikut.
- Kondisi fisik: lemah, kerdil, cacat, tidak berfungsi, atau wajah yang tidak menarik.
- Psikologis : kecerdasan di bawah rata-rata, konsep diri yang negative sebagai dampak dari frustasi yang terus meneruskan dalam memenuhi kebutuhan dasar (seperti selalu gagal untuk memperoleh status, kasih sayang, prestasi, dan pengakuan).
- Kondisi lingkungan yang tidak kondusif : hubungan interpersonal dalam keluarga tidak harmonis, kemiskinan, dan perlakuan yang keras dari orang tua.
Proses
perkembangan inferioritas dapat dijelaskan melalui gambar berikut :
Psikologis
|
Lingkungan
|
Kondisi Fisik
|
Frustasi dalam memenuhi kebutuhan
Konsep Diri
|
Inferioritas
|
b) Perasaan Tidak Mampu
“Inadequasi”
merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari
lingkungan. Contoh: seorang ibu rumah tangga merasa tidak mampu mengelola
urusan keluarga; dan seorang siswa mengeluh, karena tidak mampu memenuhi
tuntutan akademik di sekolahnya. Sama halnya dengan inferioritas, factor
penyebab perasaan tidak mampu ini adalah: frustasi dan konsep diri yang tidak
sehat.
c) Perasaan Gagal
Perasaan
ini sangat dekat hubungannya dengan perasaan “inadequacy”, karena jika
seseorang sudah merasa bahwa dirinya tidak mampu, maka dia cenderung mengalami
kegagalan untuk melakukan sesuatu atau mengatasi masalah yang dihadapinya.
d) Perasaan Bersalah
Perasaan
bersalah ini muncul setelah seseorang melakukan perbuatan yang melanggar aturan
moral, atau sesuatu yang dianggap berdosa.
Mekanisme
pertahanan diri ini memiliki beberapa bentuk, yaitu sabagai berkut.
- 1. Kompensasi
Kompensasi
diarta sebagai usaha-usaha psikis yang biasanya tidak disadari untuk menutupi
keterbatasan atau kelemahan diri dengan cara mengmbangkan respon-respon yang
dapat mengurangi ketegangan dan frustasi sehingga dapat meningkatkan
penyesuaian individu.
Kompensasi
dilakukan dengan tujuan hal-hal berikut.
1)
Mensubstitusi pestasi nyata.
2)
Mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan
3)
Memelihara status, harga diri dan interitas.
Untuk
mengetahui wujud kompensasi dapat dilihat dari gejalanya yang nampak dalam
bentuk-bentuk periaku sebagai berikut.
1)
Overreaction (Reaksi yang berlebihan)
2)
Identifikasi, seperti ada orangtua yang senang membicarakan keberhasilan
anaknya, dalam rangka menutup kelemahan dirinya mencapai hal itu.
3)
Bermain dan berfantasi
Penjelasan
diatas menunjukan bahwa kompensasi termasuk maladjustment. Walaupun
begitu dalam kehidupan nyata sehari-hari, tidak sedikit bahwa proses kompensasi
itu dapat membantu individu mencapai kepuasan. Contoh : Ada seorang anak yang
mengkompensasi frustasinya (gagal dalam memenuhi kerinduannya untuk mendapatkan
kasih sayang dari orang tuanya) dengan cara mekukn kegiatan bermain.
Contoh
ini mengidentifikasikan bahwa kompensasi itu dapat mengatasi masalah tanpa
menimbulkan gejala-gejala perilaku yang maladjustment. Agar reaksi
kompensasi itu dapat mendukung penyesuaian yang sehat, maka perlu diperhatikan
hal-hal berikut.
1)
Dalam mereduksi ketegangan atau frustasi jangan menimbulkan kerusakan pada diri
individu itu sendiri.
2)
Kembangkanlah kompensasi itu dengan penuh kesabaran dan pertimbangan.
3)
Landasilah kompensasi itu dengan kesadaran yang jelas tentang keterbatasan atau
kelemahan diri sendiri.
4)
Jangan menghindar untuk mencapai prestasi, tetapi tingkatkanlah usaha untuk
mencapainya.
5)
Jangan mengfungsikan kompensasi sebagai substitusi dari upaya yang baik
(sehat).
6)
Tingkatkan kesejahteraan psikologis.
- 2. Sublimasi
Sublimasi
adalah pengerahan energy-energi drive atau motif secara tidak sadar ke dalam
kegiatan-kegiatan yang dapat diterima secara social maupun moral.
Sublimasi
ini bertujuan untuk mereduksi ketegangan, frustasi, konflik, dan memelihara
integritas (keutuhan) ego. Dalam hal ini sublimasi mirip dengan kompensasi,
namun begitu terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu kompensasi berkembang
dari perasaan “inadequacy”, sedangkan sublimasi berkembang dari “guilty
feeling” yang terkait dengan motif-motif agresi, curiocity,
kekejaman, dan keibuan.
Beberapa
contoh mekanisme sublimasi adalah sebagai berikut:
- Dorongan keibuan (maternal drive), atau dorongan cinta kasih disublimasikan kepada kegiatan-kegiatan mengajar, kerja social, dan kegiatan lain yang memberi peluang untuk mengekspresikan kecintaan kepada anak.
- Dorongan rasa ingin tahu (curiocity) yang seering diekspresikan ke dalam cara-cara yang tidak diinginkan, seperti: voyeurism, peeping (mengintip), percakapan seksual, dan gossip (gibah) yang mengakibatkan timbulnya perasaan bersalah atau berdosa dapat disublimasikan ke dalam kegiatan seni dan penelitian ilmiah.
- 3. Rasionalisasi
Rasionalisasi
dapat diartikan sebagai upaya mereka-reka alasan untuk menutupi suasana
emosional yang tidak nyaman, tidak dapat diterima, atau merusak keutuhan (ego)
atau status.
Dengan
melakukan perbuatan atau tingkah laku yang nampaknya rasional, individu
melindungi dirinya dari kritikan diri sendiri dan oranglain dalam upaya
memelihara keutuhan ego. Perasaan tidak mampu, gagal, dan berdosa merupakan
sumber penyebab psikologis rasionalisasi. Walaupun begitu, rasionalisasi
digunakan juga dalam berbagai situasi pada saat tuntutan penyesuaian diri
memerlukan pemecahannya.
Untuk
mengetahui reaksi rasionalisasi ini pada uraian berikut akan diberikan
contoh-contohnya:
1)
Seorang siswa tidak dapat melaksanakan tugas untuk bercerita, dengan alasan
bukunya lupa tidak dibawa.
2)
Seorang pegawai terlambat datang bekerja, dengan alasan kendaraanya terjebak
macet.
3)
Seorang siswa tidak lulus ujian, dengan alasan sakit.
Setiap
kasus diatas mempunyai kesamaan sumber penyebab, yaitu ketidakmampuan
menghadapi (1) kegagalan secara wajar, (2) menghadapi kelemahan, dan (3)
menerima tanggung jawab.
Para
ahli psikologi sepakat bahwa rasionalisasi dapapt merusak integritas pribadi
dan penyesuaian diri yang sehat. Rasionalisasi tidak ada bedanya dengan
berbohong, karena kedua-duanya menunujukkan gejala inkonsistensi, kontradiksi
pribadi, dan inkoherensi. Hal ini terjadi karena kedua-duanya merupakan upaya
untuk memelihara integritas pribadi yang fiktif dan menghindari situasi atau
kondisi yang nyata.
- 4. Sour Grape (Anggur Masam)
Istilah
ini berasal dari suatu cerita, yaitu: ada seekor rubah yang sangat menyenangi
buah anggur, tetapi dia gagal meraih buah anggur tersebut. [ada saat itu dia
berbicara pada dirinya, buah angggur itu sangat masam rasanya.
Mekanisme
pertahanan diri ini sama dengan rasionalisasi, yaitu sikap menipu diri sendiri
(self deception). Sikap “sour grape” ini merupakan indikasi
ketidakmampuan, dan kelemahan kepribadian, karena mendistorsi kenyataan. Oleh
karena itu sikap ini merupakan penyesuaian diri yang tidak normal.
Contoh-contoh
sikap “sour grape”: siswa yang gagal di sekolah, seorang pekerja yang
kehilangan pekerjaannya, seorang suami mencerai istrinya, atau seorang penulis
yang gagal mempublikasikan karyanya, masing-masing mereka mungkin akan
menggunakan mekanisme “sour grape” ini dalam upaya menenangkan perasaan
frustasinya.
- 5. Egosentrisme dan Superioritas
Egosentrisme
dan Superioritas merupakan sikap-sikap yang dipandang efektif untuk melindungi
dampak-dampak buruk dari perasaan inferioritas dan perasaan gagal dalam
mencapai sesuatu yang disenangi.
Egosentrisme
dapat diartikan sebagai perbuatan pura-pura yang tidak disadari untuk mencapai
kualitas superior, dan usaha untuk menyembunyikan inferioritasnya.
Factor-faktor
yang menyebabkan berkembangnya sikap egosentris adalah
- Perasaan tidak aman (insecurity) yang pada umumnya berasal dari perasaan rendah diri (inferiority)
- Perlakuan orangtua yang sangat memanjakan, atau yang selalu memberikan pujian atau membangga-banggakannya.
- 6. Introjeksi dan Identifikasi
Kedua
mekanisme pertahanan diri ini sama-sama berusaha untuk memelihara atau
melindungi ego dari kelemahannya. Introjeksi merupakan mekanisme dengan cara
individu berusaha mengasimilasi kualitas-kualitas yang diingini atau disenangi
dari orang lain atau kelompok.
Efisiensi
asimilasi ini tergantung kepada tingkat kemampuan seseorang dalam
mengidentifikasi dirinya dengan orang lain. Sementara identifikasi diartikan
sebagai “suatu proses dimana seseorang membangun persamaan psikologis dengan
orang lain, baik dalam aspek kapasitas maupun sifat-sifat”. Dapat juga
diartikan sebagai “sikap menerima identitas orang lain atau kelompok secara
tidak disadari untuk meningkatkan prestige atau harga diri” .
Contoh:
anak laki-laki mengidentifikasi kekuatan ayahnya dan kemudian mengintrojeksi
kualitas-kualitas pribadinya, seperti keberanian dan kematangan.
- 7. Proyeksi dan Sikap Mencela (Blaming)
Proyeksi
merupakan “mekanisme pertahanan diri dimana individu melepas dirinya sendiri
dari kualitas atau keadaan yang tidak diinginkan dengan cara
mengkambinghitamkan orang lain atau sesuatu sebagai penyebabnya ”.
Contoh:
- Seorang pekerja yang gagal dalam mengerjakan tugasnya memproyeksikan kegagalannya kepada mesin, bukan kepada dirinya yang tidak mampu menyelesaikan tugasnya.
- Seorang remaja yang nakal memproyeksikan penyebab kenakalannnya kepada orangtuanya, bukan kepada dirinya sendiri.
Proyeksi
ini sering dihubungkan dengan reaksi “blamming” dan merefleksikan
perasaan tidak mampu dan tidak bersalah yang mendalam,. Ketika seseorang
mencela atau menyalahkan orang lain, karena ketidakmampuan dan kegagalannya
merupakan indikasi yang baik bahwa dia merasa bersalah, dan secara tidak
langsung dia telah mencela kelemahan dirinya sendiri.
- 8. Represi
Represi
merupakan proses penekanan pengalaman, dorongan, keinginan, atau pikiran yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan social kea lam tak sadar, karena
hal itu mengancam keamanan egonya.
Represi
melindungi organisme dari ketegangan, frustasi, perusakan ego, dan juga dapat
mengembangkan motif-motif yang tidak disadari yang mengraha kepada pembentukan
gejala-gejala gangguan tingkah laku.
Semua
bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut di atas, sama-sama bertujuan untuk
mereduksi ketegangan, konflik, frustasi, dalam upaya melindungi keamanan
egonya. Mekanisme pertahanan diri ini bergerak di antara normal dan abnormal.
Apabila mekanisme tersebut mendistorsi kenyataan dan melemahkan hubungan
social, serta mengarah kepada kerusakan ego, maka mekanisme itu termasuk maladjusment
(abnormal).
2) Reaksi
Menyerang
Agresi
dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan
frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
Berbeda
dengan mekanisme penyesuaian diri yang lainnya, reaksi agresi tidak
berkontribusi bagi kesejahteraan rohaniah individu atau penyelesaian masalah
yang dihadapinya.
Agresi
ini terefleksi dalam tingkah laku verbal dan nonverbal. Contoh
yang verbal: berkata kasar, bertengkar, panggilan nama yang jelek, jawaban yang
kasar, sarkasme (perkataan yang menyakitkan hati), dan kritikan yang
tajam. Sementara contoh yang nonverbal, di antaranya: menolak atau melanggar
aturan (tidak disiplin), memberontak, berkelahi (tawuran), mendominasi orang
lain, dan membunuh.
Agresi
ini dipengaruhi beberapa factor, yaitu sebagai berikut:
- Fisik: sakit-sakitan atau mempunyai penyakit yang sulit disembuhkan.
- Psikis: ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam memenuhi Kebutuhan dasar, seperti rasa aman, kasih sayang, kebebasan, dan pengakuan social.
- Social: perhatian orangtua yang sangat membatasi atau sangat memanjakan, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, hubungan guru siswa yang negative, kondisi sekolah yang tidak nyaman, kegagalan dalam pernikahan, kondisi pekerjaan yang tidak nyaman atau di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Lebih
lanjut dikemukakan gejala-gejala perilaku sikap agresif, yaitu sebagai berikut
(M. Surya, 1976).
- Selalu membenarkan diri sendiri.
- Mau berkuasa dalam setiap situasi.
- Mau memiliki segalanya.
- Bersikap senang mengganggu orang lain.
- Menggertak, baik dengan ucapan atau perbuatan.
- Menunujukkan sikap permusuhan secara terbuka.
- Menunjukkan sikap menyerang dan merusak.
- Keras kepala.
- Bersikap balas dendam.
- Memperkosa hak orang lain.
- Bertindak serampangan (impulsif)
- Marah secara sadis.
Bentuk
mekanisme yang sangat dekat hubungannya dengan agresi adalah “delinquency”,
karena kedua-duanya merupakan sikap perlawanan terhadap kondisi yang
memfrustasikan pemenuhan Kebutuhan atau keinginannya. Delinquency dapat
diartikan sebagai tingkah laku individu atau kelompok yang melanggar norma
moral yang dijunjung tinggi masyarakat, yang menyebabkan terjadinya konflik
antara individu dengan kelompok atau masyarakat.
Tingkah
laku nakal (delinquency) dapat dipandang sebagai upaya untuk memenuhi
Kebutuhan, dan mereduksi ketegangan, frustasi, dan konflik yang disebabkan oleh
tuntutan tersebut.
Healy
dan Bronner (Schneiders, 1964:354) mengemukakan tentang karakteristik “delinquency”
itu sebagai berikut:
- Penolakan terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara “escape” atau “flight” (melarikan diri) dari situasi tersebut.
- Memperoleh kepuasan pengganti melalui “delinquency”.
- Upaya memperoleh kepuasan ego, melalui pernyataan sikap balas dendam secara langsung, baik disadari maupun tidak, sebagai ekspresi dari keinginannya yang tersembunyi untuk menghukum orangtua atau orang lain dengan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesulitan hidup bagi dirinya.
- Upaya memperoleh kepuasan pribadi secara maksimum melalui perilaku agresif, sikap anti social , dan permusuhan terhadap orang-orang yang memiliki otoritas.
Berkembangnya
perilaku “delinquency” disebabkan oleh beberapa factor, yaitu sebagai
berikut:
- Factor Psikologis: inferioritas, perasaan tidak aman, tersisihkan dari kelompok (tidak mendapat pengakuan kelompok), kurang mendapat kasih sayang, dan gagal memperoleh prestasi.
- Factor Lingkungan: broken home, perlakuan orangtua yang sering menghukum, sikap penolakan orangtua, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, iklim kehidupan (social, moral dan agama) masyarakat yang tidak kondusif, dan kondisi ekonomi yang morat-marit.
3) Reaksi
Melarikan Diri dari Kenyataan
Reaksi
"escape'" dan "withdrawal" merupakan perlawanan pertahanan
diri individu terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan dimana
dia hidup. "Escape" merefleksikan perasaan jenuh, atau putus asa;
sementara "withdrawal" mengindikasikan kecemasan, atau ketakutan.
Bentuk-bentuk reaksi "escape" dan "withdrawal" ini
diantaranya: (a) berfantasi - melamun, (b) banyak tidur, atau tidur yang patologis:
narcolepcy, yaitu kebiasaan tidur yang tak terkontrol, (c) meminum-minuman
keras, (d) bunuh diri, (e) menjadi pecandu ganja, narkotika, shabu-shabu atau
ecstacy, dan (f) regresi.
Contoh:
seorang siswa mengalami frustrasi, karena prestasi belajarnya di sekolah
rendah. Akhirnya dia menjadi sering melamun (day dreaming). Dia melarikan diri
dari dunia nyata dan mencari kepuasan di dunia tak nyata (melamun).
Reaksi
"escape" dan "withdrawal" berkembang disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a.
Psikologis: frustrasi, konflik, ketakutan, perasaan tertindas, dan kemiskinan
emosional.
b.
Lingkungan keluarga: orangtua terlalu memanjakan anak, orangtua bersikap
menolak terhadap anak, dan orangtua menerapkan disiplin yang keras terhadap
anak.
4) Penyesuaian
yang Patologis
Penyesuaian
yang patologis ini berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapat
perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit
(hospitalized). Yang terrnasuk penyesuaian yang patologis ini adalah
"neurosis" dan "psikosis."
Untuk
membantu para siswa atau mahasiswa agar tercegah dari sikap dan perilaku salah
suai di atas, maka pihak sekolah atau perguruan tinggi hendaknya memberikan
bantuan agar setiap siswa (mahasiswa) mampu menyesuaikan diri dengan baik dan
terhindar dari timbulnya gejala-gejala salah suai. Sekolah hendaknya
menempatkan diri sebagai suatu lingkungan yang memberikan kemudahan-kemudahan
untuk tercapainya penyesuaian yang baik.
Di
atas dikatakan bahwa jika individu gagal dalam penyesuaian diri, maka ia akan
sampai pada suatu situasi salah suai. Gejala-gejala salah suai ini akan
dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku yang kurang wajar atau kelainan
tingkah laku.
Gejala-gejala
tingkah laku salah suai tersebut seringkali menimbulkan berbagai masalah. Hal
tersebut tentu saja tidak dapat dibiarkan terus, karena akan mengganggu baik
bagi individu itu sendiri maupun bagi lingkungan.
Mereka
yang menunjukkan gejala-gejala kelainan tingkah laku mempunyai luvondenmgan
gagal dalam proses pendidikannya. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu usaha
nyata untuk menanggulangi grjala-gejala terscbut, dalam hubungan ini bimbingan
dan konseling mempunyai peranan yang cukup penting.
- 5. Masalah belajar
Dalam
seluruh proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. Pendidikan itu
sendiri dapat diartikan sebagai bantuan perkembang-an melalui kegiatan belajar.
Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan
tingkah laku (baik dalam kognitif, af'ektif, maupun psikomotor) untuk memperoleh
respons yang diperlukan dalam interaksi dengan lingkungan secara efisien.
Dalam
kegitatan belajar dapat timbul berbagai masalah baik bagi pelajar itu sendiri
maupun bagi pengajar. Misalnya bagaimana menciptakan knndisi yang baik agar
berhasil, memilih metode dan alat-alat sesuai dengan jonis dan situasi belajar,
membuat rencana belajar bagi siswa, menyesuaikan proses belajar dengan keunikan
siswa, penilaian hasil belajar, diagnosis kesulitan belajar, dan sebagainya.
Bagi siswa sendiri, masalah-masalah belajar yang mungkin timbul misalnya
pengaturan waktu belajar, memilih cara belajar, menggunakan buku-buku
pelajaran, belajar berkelompok, mempersiapkan ujian, memilih mata pelajaran
yang cocok, dan sebagainya.
Keberhasilan
belajar siswa/mahasiswa itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
internal (yang bersumber dari dalam diri sendiri) maupun eksternal (yang
bersumber dari luar atau lingkungan).
a.
Faktor Internal
Ada
beberapa faktor yang harus dipenuhinya agar belajarnya berhasil. Syarat-syarat
itu meliputi fisik dan psikis. Yang termasuk faktor fisik, di antaranya:
nutrisi (gizi makanan), kesehatan dan keberfungsian fisik (terutama
pancaindera). Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan kelesuan, lekas mengantuk,
lekas lelah, dan kurang bisa konsentrasi. Penyakit juga dapat mempengaruhi
keberhasilan belajar, apabila penyakit itu bersifat kronis atau terus menerus
dan mengganggu kenyamanan. Pancaindera pun sangat berpengaruh terhadap belajar,
ka-rena merupakan pintu gerbang masuknya informasi dari luar. Oleh karena itu,
pemeliharaan yang intensif sangat penting bagi individu. Sementara yang masuk
faktor psikis di antaranya adalah kecerdasan, motivasi, minat, sikap dan
kebiasaan belajar, dan suasana emosi. Apabila kedua faktor tersebut tidak
terpenuhi atau mengalami gangguan, maka kemungkinan besar individu akan
mengalami kesulitan belajar.
Menurut
W.H. Burton (Syamsu Yusuf LN dkk., 1992) faktor internal yang mengakibatkan
kesulitan belajar adalah sebagai berikut.
Ketidakseimbangan
mental atau gangguan fungsi mental: (a) kurangnya kemampuan mental yang
bersifat potensial (kecerdasan); (b) kurangnya kemampuan mental, seperti
kurang perhatian, adanya kelainan, lemah dalam berusaha, menun-jukkan kegiatan
yang berlawanan, kurangnya enerji untuk bekerja atau belajar karena kekurangan
makanan yang bergizi, kurangnya penguasaan terhadap kebiasaan belajar dan
hal-hal fundamental; dan (c) kesiapan diri yang kurang matang.
Gangguan
fisik: (a) kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat-alat bicara; dan (b)
gangguan kesehatan (sakit-sakitan).
Gangguan
emosi: (a) merasa tidak aman, (b) kurang bisa menyesuaikan diri, baik dengan
orang, situasi, maupun kebutuhan; (c) adanya perasaan yang kompleks (tidak
karuan), perasaan takut yang berlebihan (phobi), perasaan ingin melarikan diri
atau menghindar dari masalah yang dialami; dan (d) ketidakmatangan emosi.
b.
Faktor Eksternal
Faktor
ini meliputi aspek-aspek sosial dan nonsosial. Yang dimak-sud dengan faktor
sosial adalah faktor manusia, baik yang hadir secara langsung (bertatap muka
atau berkomunikasi langsung), maupun kehadirannya secara tidak langsung,
seperti: berupa foto, suara (nyanyian, pembicaraan) dalam radio, TV, dan tape
recorder. Sedangkan yang termasuk faktor nonsosial adalah: keadaan suhu udara
(panas, dingin), waktu (pagi, siang, malam), suasana lingkungan (sepi, bising
atau ramai), keadaan tempat (kualitas gedung, luas ruangan, kebersihan,
ventilasi, dan kelengkapan mebeler), kelengkapan alat-alat atau fasilitas
belajar (ATK, alat peraga, buku-buku sumber, dan media komunikasi belajar
lainnya).
Jadi
jelas bahwa dalam kegiatan belajar ini banyak masalah-masalah yang timbul
terutama yang dirasakan oleh siswa sendiri. Sekolah mempunyai tanggung jawab
yang besar dalam membantu siswa agar mereka berhasil dalam belajar. Untuk itu
hendaknya sekolah memberikan bantuan kepada siswa dalam mengatasi
masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan belajar. Di sinilah penting dan
perlunya program bimbingan dan konseling untuk membantu agar mereka berhasil
dalam belajar.
Layanan
bantuan yang seyogianya diberikan kepada para siswa adalah bimbingan belajar.
Bimbingan belajar ini meliputi beberapa kegiatan layanan, baik yang bersifat
preventif maupun kuratif. Layanan yang bersifat preventif di antaranya dengan
pemberian layanan informasi sebagai berikut: (a) Sikap dan kebiasaan belajar
yang positif; (b) Cara membaca buku yang efektif; (c) Cara membuat catatan
pelajaran; (d) Cara mengikuti kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas; (e)
Cara belajar kelompok; dan (f) Teknik menyusun laporan.
Adapun
bimbingan belajar yang bersifat kuratif adalah layanan bantuan bag! para siswa
yang memiliki masalah atau kesulitan belajar. Untuk meinbantu mereka, maka
dilakukan langkah-langkah sebagai brrikut.
Mengidentifikasi
kasus, dengan cara (1) membandingkan nilai setiap siswa dengan nilai batas
lulus kelompok, dan (2) menerima laporan dari sol.iap guru atau wali kelas
tentang aktivitas belajar setiap siswa yang diduga bermasalah dalam belajar.
Mengidentifikasi.
letaknya masalah, dengan cara (1) melihat kawasan tujtian belajar mana yang
belum tercapai, dan (2) melihat ruang lingkup atau bahan ajar mana yang belum
dikuasai.
Mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab kesulitan belajar (diagnosis). Faktor-faktor penyebab
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua laktor, yaitu: internal (yang berasal
atau bersumber dari diri siswa itu sendiri) dan eksternal (yang bersumber dari
luar atau lingkungan).
Prognosis,
mengambil kesimpulan dan keputusan serta meramalkan kemungkinan penyembuhannya.
Treatment,
pemberian layanan bantuan sesuai dengan prognosis yang telah dilakukan.
2.2
Pendekatan-pendekatan Umum dalam Bimbingan & Konseling
Dilihat
dari pendekatan bimbingan, bimbingan itu dibagi menjadi 4 pendekatan yaitu :
(1) pendekatan krisis; (2) pendekatan remedial; (3) pendekatan preventif; (4)
pendekatan perkembangan.
- a. Pendekatan Krisis
Pendekatan
krisis adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami
krisis atau masalah. Bimbingan bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang
dialami individu. Dalam pendekatan krisis ini, konselor menunggu klien yang
datang, selanjutnya mereka memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang
dirasakan klien.
Pendekatan
ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikoanalisis. Psikoanalisis terpusat pada
pengaruh masa lampau sebagai suatu hal yang menentukan bagi fungsinya
kepribadian pada masa kini. Pengalaman-pengalaman pada masa lima atau enam
tahun pertama dari kehidupan individu dipandang sebagai akar dari krisis
individu yang bersangkutan pada masa kini.
- b. Pendekatan Remedial
Pendekatan
remedial adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami
kesulitan. Tujuan bimbingan adalah untuk memperbaiki kesulitan-kesulitan yang
dialami individu. Dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada
kelemahan-kelemahan individu yang selanjutnya berupaya untuk memperbaikinya.
Pendekatan
remedial ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi behavioristik. Pendekatan
behavioristik ini menekankan pada perilaku klien di sini dan saat ini. Perilaku
saat ini dari individu dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini pula.
Oleh sebab itu untuk memperbaiki perilaku individu perlu ditata lingkungan yang
mendukung untuk perbaikan perilaku tersebut.
- c. Pendekatan Preventif
Pendekatan
preventif adalah upaya bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi
masalah-masalah umum individu dan mencoba mencegah jangan sampai terjadi
masalah tersebut pada individu. Konselor berupaya untuk mengajarkan pengetahuan
dan keterampilan untuk mencegah masalah tersebut.
Pendekatan
kuratif ini tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatannya dapat
dikatakan mempunyai banyak teknik terapi, tetapi hanya sedikit konsep.
- d. Pendekatan Perkembangan
Bimbingan
dan konseling yang berkembang pada saat ini adalah bimbingan dan konseling
perkembangan. Visi bimbingan dan konseling adalah edukatif, pengembangan, dan
outreach. Edukatif karen titik berat kepedulian bimbingan dan konseling
terletak pada pencegahan dan pengembangan, bukan pada korektif atau terapeutik,
walaupun hal itu tetap ada dalam kepedulian bimbingan dan konseling
perkembangan. Pengembangan, karena titik sentral tujuan bimbingan dan konseling
adalh perkembangan optimal dan strategi upaya pokoknya adalah memberikan
kemudahan perkembangan bagi individu melalui perekayasaan lingkungan
perkembangan. Outreach, karena target populasi layanan bimbingan dan konseling
tidak terbatas kepada individu bermasalah dan dilakukan secara individual
tetapi meliputiragam dimensi (masalah, target intervensi, setting, metode, lama
waktu layanan) dalam rentang yang cukup lebar. Teknik yang digunakan dalam
bimbingan dan konseling perkembangan adalah pembelajaran, pertukaran informasi,
bermain peran, tutorial dan konseling. (Muro and Kottman, 199:5)
2.3 Strategi
Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Strategi
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terkait dengan empat komponen
program yaitu: (1) layanan dasar; (2) layanan responsif; (3)
perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem.
- 1. Strategi untuk Layanan Dasar Bimbingan
- a. Bimbingan Klasikal
Layanan
dasar diperuntukkan bagi semua siswa. Hal ini berarti bahwa dalam peluncuran
program yang telah dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung
dengan para siswa di kelas. Secara terjadwal, konselor memberikan layanan
bimbingan kepada para siswa. Kegiatan layanan dilaksanakan melalui pemberian
layanan orientasi dan informasi tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat
bagi siswa. Layanan orientasi pada umumnya dilaksanakan pada awal pelajaran,
yang diperuntukan bagi para siswa baru, sehingga memiliki pengetahuan yang utuh
tentang sekolah yang dimasukinya. Kepada siswa diperkenalkan tentang berbagai
hal yang terkait dengan sekolah, seperti : kurikulum, personel (pimpinan, para
guru, dan staf administrasi), jadwal pelajaran, perpustakaan, laboratorium,
tata-tertib sekolah, jurusan (untuk SLTA), kegiatan ekstrakurikuler, dan
fasilitas sekolah lainnya. Sementara layanan informasi merupakan proses bantuan
yang diberikan kepada para siswa tentang berbagai aspek kehidupan yang
dipandang penting bagi mereka, baik melalui komunikasi langsung, maupun tidak
langsung (melalui media cetak maupun elektronik, seperti : buku, brosur,
leaflet, majalah, dan internet). Layanan informasi untuk bimbingan klasikal
dapat mempergunakan jam pengembangan diri. Agar semua siswa terlayani kegiatan
bimbingan klasikal perlu terjadwalkan secara pasti untuk semua kelas.
- b. Bimbingan Kelompok
Konselor memberikan layanan bimbingan kepada siswa melalui
kelompok-kelompok kecil (5 s.d. 10 orang). Bimbingan ini ditujukan untuk
merespon kebutuhan dan minat para siswa. Topik yang didiskusikan dalam
bimbingan kelompok ini, adalah masalah yang bersifat umum (common problem)
dan tidak rahasia, seperti : cara-cara belajar yang efektif, kiat-kiat
menghadapi ujian, dan mengelola stress. Layanan bimbingan kelompok ditujukan
untuk mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih efektif dan
produktif.
- c. Berkolaborasi dengan Guru Mata Pelajaran atau Wali Kelas
Program
bimbingan akan berjalan secara efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang
dalam hal ini khususnya para guru mata pelajaran atau wali kelas. Konselor berkolaborasi
dengan guru dan wali kelas dalam rangka memperoleh informasi tentang siswa
(seperti prestasi belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu memecahkan
masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan
oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya :
1)
menciptakan sekolah dengan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi
belajar siswa;
2)
memahami karakteristik siswa yang unik dan beragam;
3)
menandai siswa yang diduga bermasalah;
4)
membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial
teaching;
5)
mereferal (mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan
konseling kepada guru pembimbing;
6)
memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang
diminati siswa;
7)
memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan
informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja,
suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja);
8)
menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun
moral-spiritual (hal ini penting, karena guru merupakan “figur central” bagi
siswa);
9)
memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya
secara efektif.
- d. Berkolaborasi (Kerjasama) dengan Orang Tua
Dalam
upaya meningkatkan kualitas peluncuran program bimbingan, konselor perlu
melakukan kerjasama dengan para orang tua siswa. Kerjasama ini penting agar
proses bimbingan terhadap siswa tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga
oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama ini memungkinkan terjadinya saling
memberikan informasi, pengertian, dan tukar pikiran antar konselor dan orang
tua dalam upaya mengembangkan potensi siswa atau memecahkan masalah yang
mungkin dihadapi siswa. Untuk melakukan kerjasama dengan orang tua ini, dapat
dilakukan beberapa upaya, seperti : (1) kepala sekolah atau komite sekolah
mengundang para orang tua untuk datang ke sekolah (minimal satu semester satu
kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan pembagian rapor, (2) sekolah
memberikan informasi kepada orang tua (melalui surat) tentang kemajuan belajar
atau masalah siswa, dan (3) orang tua diminta untuk melaporkan keadaan anaknya
di rumah ke sekolah, terutama menyangkut kegiatan belajar dan perilaku
sehari-harinya.
- 2. Strategi untuk Layanan Responsif
- a. Konsultasi
Konselor
memberikan layanan konsultasi kepada guru, orang tua, atau pihak pimpinan
sekolah dalam rangka membangun kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan
kepada para siswa.
- b. Konseling Individual atau Kelompok
Pemberian
layanan konseling ini ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami
kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya.
Melalui konseling, siswa (klien) dibantu untuk mengidentifikasi masalah,
penyebab masalah, penemuan alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan
keputusan secara lebih tepat. Konseling ini dapat dilakukan secara individual
maupun kelompok. Konseling kelompok dilaksanakan untuk membantu siswa
memecahkan masalahnya melalui kelompok. Dalam konseling kelompok ini,
masing-masing siswa mengemukakan masalah yang dialaminya, kemudian satu sama
lain saling memberikan masukan atau pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.
- c. Referal (Rujukan atau Alih Tangan)
Apabila
konselor merasa kurang memiliki kemampuan untuk menangani masalah klien, maka
sebaiknya dia mereferal atau mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang
lebih berwenang, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Klien
yang sebaiknya direferal adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi,
tindak kejahatan (kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.
- d. Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance/Peer Facilitation)
Bimbingan
teman sebaya ini adalah bimbingan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang
lainnya. Siswa yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau
pembinaan oleh konselor. Siswa yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor
atau tutor yang membantu siswa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya,
baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai
mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang
kondisi, perkembangan, atau masalah siswa yang perlu mendapat layanan bantuan
bimbingan atau konseling.
- 3. Strategi untuk Layanan Perencanaan Individual
- a. Penilaian Individual atau Kelompok (Individual or small-group Appraisal)
Yang
dimaksud dengan penilaian ini adalah konselor bersama siswa menganalisis dan
menilai kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi belajar siswa. Dapat juga
dikatakan bahwa konselor membantu siswa menganalisis kekuatan dan kelemahan
dirinya, yaitu yang menyangkut pencapaian tugas-tugas perkembangannya, atau
aspek-aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier. Melalui kegiatan penilaian
diri ini, siswa akan memiliki pemahaman, penerimaan, dan pengarahan dirinya
secara positif dan konstruktif.
- b. Individual or Small-Group Advicement
Konselor
memberikan nasihat kepada siswa untuk menggunakan atau memanfaatkan hasil penilaian
tentang dirinya, atau informasi tentang pribadi, sosial, pendidikan dan karir
yang diperolehnya untuk (1) merumuskan tujuan, dan merencanakan kegiatan
(alternatif kegiatan) yang menunjang pengembangan dirinya, atau kegiatan yang
berfungsi untuk memperbaiki kelemahan dirinya; (2) melakukan kegiatan yang
sesuai dengan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan (3) mengevaluasi
kegiatan yang telah dilakukannya.
- 4. Strategi untuk Dukungan Sistem
- a. Pengembangan Professional
Konselor
secara terus menerus berusaha untuk “meng-update” pengetahuan dan
keterampilannya melalui (1) in-service training, (2) aktif dalam organisasi
profesi, (3) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop
(lokakarya), atau (4) melanjutkan studi ke program yang lebih tinggi
(Pascasarjana).
- b. Pemberian Konsultasi dan Berkolaborasi
Konselor
perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah
lainnya, dan pihak institusi di luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk
memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah
diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif
bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program
bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya
sekolah untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang
relevan dengan peningkatan mutu layanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini
seperti dengan pihak-pihak (1) instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3)
organisasi profesi, seperti ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),
(4) para ahli dalam bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater,
dokter, dan orang tua siswa, (5) MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling),
dan (6) Depnaker (dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).
- c. Manajemen Program
Suatu
program layanan bimbingan dan konseling tidak mungkin akan tercisekolaha,
terselenggara, dan tercapai bila tidak memiliki suatu sistem pengelolaan
(manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan secara jelas, sistematis, dan
terarah. Mengenai arti manajemen itu sendiri Stoner (1981) mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut: “Management is the process of planning,
organizing, leading and controlling the efforts of organizing members and of
using all other organizational resources to achieve stated organizational
goals”.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perlunya
layanan bimbingan di sekolah adalah berlatarbelakangkan tiga aspek. Pertama
adalah aspek lingkungan, khususnya lingkungan. sosial kultural, yang secara
langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi individu siswa sebagai subjek
didik, dan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai akibat dari lingkungan
pengaruh sosial-kultural ini, maka individu memerlukan adanya bantuan dalam
perkembangannya, dan sekolahpun memerlukan pendekatan khusus. Bantuan dan
pendekatan yang diperlukan adalah layanan bimbingan dan konseling.
Aspek
yang kedua adalah lembaganya itu sendiri yaitu pendidikan yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian subjek didik. Pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tuntas baik dalam proses
kegiatannya maupun tindak dan para pelaksana nya yaitu guru sebagai pendidik.
Untuk menuntaskan pendidikan, diperlu kan adanya layanan bimbingan dan
konseling.
Aspek
ketiga adalah yang menyangkut segi subjek didik sebagai pribadi yang unik,
dinamik dan berkembang, memerlukan pendekatan dan bantuan yang khusus melalui
layanan bimbingan dan konseling.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan (sosial kultural)
pendidikan, dan siswa (psikologis) merupakan latar belakang perlunya layanan
bimbingan dan konseling di sekolah.
3.2
Saran
Untuk
menciptakan pelayanan bimbingan secara bermutu, maka para pembimbing, guru, dan
personel sekolah lainnya perlu mendapatkan penambahan, perluasan, atau
pendalaman tentang konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan tertentu
tentang bimbingan, sesuai dengan deskripsi pekerjaan (kinerja)
masing-masing. Bentuk pengembangan staf ini bisa dilaksanakan melalui seminar
atau lokakarya. Melalui kegiatan pengembangan ini diharapkan personel sekolah
memiliki kompetensi atau kemampuan sesuai dengan deskripsi kerja
(kinerja) masing-masing.
(kinerja) masing-masing.
Selain
itu, konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua,
staf sekolah lainnya, dan pihak instansi di luar sekolah (pemerintah dan
swasta) untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling secara akurat dan
bijaksana, dalam upaya memfasilitasi individu atau peserta didik mengembangkan
npotensi dirinya secara optimal, untuk memperoleh informasi, dan umpan balik
tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan
lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal,
serta meningkatkan kualitas program layanan bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf,
Syamsu., dan A. Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Winkel,
W.S. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT
Gramedia
Sudrajat,
Akhmad. (2010). Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling.
[Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/02/03/strategi-pelaksanaan-layanan-bimbingan-dan-konseling/. [4 Maret 2012]
No comments:
Post a Comment