Thursday, August 11, 2016

IBNU ATHA’ {SYAHID DALAM HUKUMAN PENGUASA ZHALIM)



Nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha’Al-Adami. Ia murid Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 298 H/910M), Sultahanul Auliya’, Penghulu para Wali yang cukup menonjol. Ibnu Atha’ adalah seorang penggubah syair-syair mistik dan seorang tokoh terkemuka di kota Baghdad. Ia dihukum mati pada tahun 309 H/922 M oleh penguasa zhalim waku itu.
Pada suatu hari, beberapa orang pergi ke tempat Al-Junaid Al-Bagdadi berkhutbah dan mendapatkan seluruh lantai basah.
“Apakah yang terjadi ?” para murid itu bertanya.
“Aku mendapatkan sebuah pengalaman mistik,” Ibnu Atha’ menjelaskan. “Dalam keadaan malu dan dengan air mata bercucuran aku berjalan hilir mudik di dalam ruangan ini.”
“Mengapa demikian?” mereka bertanya lagi.
“Ketika masih kecil, aku pernah mencuri seekor burung dara milik tetangga. Hal ini teringat olehku. Lalu aku berikan seribu dinar perak kepada pemilik burung itu sebagai penggantinya. Namun batinku tetap gelisah. Aku pun menangis, khawatir, apakah akibat yang akan kutanggungkan karena perbuatanku tersebut.”
Ibnu Atha’ mempunyai 10 orang putra, semuanya gagah dan tampan. Ketika mereka menyertai Ibnu Atha’ dalam suatu perjalanan, perampok menghadang mereka. Para perampok itu hendak memenggal kepala mereka satu per satu. Ibnu Atha’ tidaak berkata apa-apa. Dan setiap kali salah seorang dari putranya itu dipenggal kepalanya, ia menengadahkan kepala ke langit dan tertawa. Sembilan orang telah terbunuh. Para penyamun hendak menghabisi anaknya yang kesepuluh.
“Sungguh seorang ayah yang baik hati,” putranya yang kesepuluh itu berseru kepadanya. “Sembilan orang putramu telah dipenggal dan engkau tidak berkata apa-apa, malah tertawa-tawa.”
“Wahai buah hati ayah ! DIA-lah yang melakukan hal ini, apakah yang dapat kita katakana kepada-NYA ? DIA Maha Tahu dan Maha Melihat. Sesungguhnya DIA bisa, jika DIA memang menghendaki menyelamatkan anak-anakku semuanya.”
Mendengar ucapan Ibnu Atha’ ini, penyamun yang hendak membunuh putra yang kesepuluh itu tergugah hatinya dan berseru, “Orang tua, seandainya tadi kata-kata itu engkau ucapkan, niscaya tak seorang pun diantara anak-anakmu yang akan terbunuh.”
Ibnu Atha’ dituduh bid’ah oleh Ali bin Isa (w.334 H/946 M), yang menjabat wazir khalifah. Ia memanggil dan mencela Ibnu Atha’, lalu dijawab Ibnu Atha’ dengan kata-kata kasar. Si wazir murka dan memerintahkan hamba-hambanya melepaskan sepatu yang sedang dikenakannya, dan dengan sepatu itu mereka harus memukul kepala Ibnu Atha’ sampai ia mati. Di dalam penyiksaan itu Ibnu Atha’ meneriakkan kutukan kepadanya, “Semoga Allah swt memutuskan kaki dan tanganmu!”
Di belakang hari Khalifah marah kepada wazirnya, Ali bin Isa, dan memerintahkan agar tangan dan kakinya dipotong.
Sehubungan dengan peristiwa ini beberapa di antara tokoh sufi menyalahkan Ibnu Atha’ dan berpendapat, “Jika melalui doa-doa engkau dapat memperbaiki manusia, mengapa engkau mengutuknya? Seharusnya engkau mendoakan keselamatannya.” Namun tokoh sufi yang lain membela Ibnu Atha’ dan berkata, “Mungkin sekali Ibnu Atha’ mengutuk si wazir untuk membela kaum muslimin, karena ia adalah seorang wazir yang zhalim.”
Sebuah penjelasan yang membela Ibnu Atha’ mengatakan, sebagai seorang manusia yang kasyaf, Ibnu Atha’ mengetahui malapetaka yang akan menimpa diri si wazir. Ia hanya menyatakan persetujuan terhadap takdir Allah swt. Dengan demikian, Allah swt menyatakan kehendak-NYA melalui lidah Ibnu Atha’, sedangkan Ibnu Atha’ sama sekali berlepas tangan atas takdir itu.
Sementara seorang ahli tasawuf dari Inggris, A.J.Arberry, yang menulis buku Muslim Saint and Mystics (London,1979), setelah mengkaji buku karya H. Bowen berjudul The Life Times of Ali bin Isa (Cambridge,1928), berpendapat, Sesungguhnya Ibnu Atha’ tidak mengutuk si wazir. Bahkan sebaliknya, Ibnu Atha’ mendoakan demikian supaya si wazir menanggung kehinaan di dunia ini dan kehilangan kedudukannya yang tinggi beserta kekayaannya yang berlimpah itu. Dengan sudut pandang seperti ini terlihatlah, Ibnu Atha’ semata-mata menghendaki kebaikan bagi Ali bin Isa. Bukankah hukuman di dunia jauh lebih ringan daripada di akhirat ???
Sumber : Majalah Kisah Islami “AlKisah” No.09/Tahun V/23 April-6 Mei 2007 hal. 130-131   

No comments:

Post a Comment