Thursday, August 11, 2016

MANAQIB HABIB ANIS BIN ALWI BIN ALI ALHABSYI






Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.
Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.
Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”

Tokoh ulama yang khumul lagi wara`, pemuka dan sesepuh habaib yang dihormati, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi rahimahumullah telah kembali menemui Allah s.w.t. pada tanggal 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006 dalam usia kira-kira 78 tahun. Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis mawlid, dalam rangka menumbuhkan mahabbah umat kepada Junjungan Nabi s.a.w. Selain berdakwah keliling kota, sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh ayahanda beliau, al-Habib Alwi bin ‘Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.
Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, iaitu khatam pengajian kitab “Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumaat pula diadakan majlis mawlid dengan pembacaan kitab mawlid “Simthuth Durar” karya nenda beliau yang mulia al-Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jumaat Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana mawlid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.
Peringatan mawlid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa.
Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi rhm. Sungguh kemuliaannya bukanlah semata-mata faktor keturunannya yang umpama bintang bergemerlapan, tapi juga kerana ilmunya, taqwanya, waraknya dan akhlaknya yang mencontohi akhlak para leluhurnya terdahulu. Para leluhurnya yang terkenal dengan ketinggian akhlak mereka sehingga telah menawan hati segala rumpun Melayu rantau sini untuk memeluk agama Islam yang mulia.
Sumber dari http://majelisfathulhidayah.wordpress.com
Diposkan oleh Sih Ambari


Penggubah Untaian Mutiara Kehidupan Rasulullah SAW, Maulid Simthuddurar, Al Allamah Arifbillah Al Imam Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dilahirkan di Qasam, Yaman pada hari Jum’at, tanggal 24 Syawwal 1259 H (1839 M). Nama Ali adalah pemberian dari Al Allamah Arifbillah Al Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’alawi untuk bertabarruk dari Imam Ali Khali Qasam.

Ayahnya kelahiran Qasam, 18 Jumadil Akhir 1213 H, adalah seorang ulama dan wali besar yang kemudian hijrah ke Makkah Al Mukarramah dan menjadi Mufti Syafi’iyyah disana setelah kewafatan Al Allamah Arifbillah Asy Syaikh Ahmad Dimyati tahun 1270 H. Beliau tetap menjadi Mufti hingga kewafatannya pada hari Rabu, tanggal 21Dzulhijjah 1281 H. Beliau dimakamkan di pemakaman Hauthah Saadah Ba’alawi, Makkah. Sedangkan ibunya, Syarifah Alwiyah binti Husain bin Ahmad Al Hadi Al Jufri, adalah seorang wanita yang gemar mengajar dan berdakwah dari kota Syibam. Beliau dilahirkan pada tahun 1240 H dan wafat pada tanggal 6 Rabiul Akhir 1309 H. Habib Ali memiliki beberapa saudara, diantaranya Habib Abdullah, Habib Ahmad, Habib Husain, Habib Syaikh dan Syarifah Aminah.

Nasab Habib Ali adalah, Habib Ali Shahib Maulid bin Muhammad bin Husain bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husain bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ashghar bin Alwi bin Abu Bakar Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib Saumah bin Alwi Shahib Sumail bin Ubaidillah Shahib Aradh bin Ahmad Al Muhajir-ilallah bin Isa Arrumi bin Muhammad Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shiddiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain Asy Syahid Syabul Jannah bin Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan Fathimah Azzahrah binti Rasulullah SAW.

Ketika Habib Ali berusia tujuh tahun, ayahnya diperintahkan oleh Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’alawi untuk hijrah ke Makkah dan tinggal disana hingga wafat. Pada usia ke-11, Habib Ali hijrah dari Syibam ke Seiwun bersama ibunya, sesuai perintah dari Al Allamah Arifbillah Al Habib Umar bin Hasan Al Haddad. Dalamp erjalanan itu beliau singgah di Masileh dan tinggal di rumah Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’alawi. Disana beliau menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menelaah kitab, mengambil sanad dan ijazah.

Atas permintaan ayahnya, pada usia 17 tahun Habib Ali berlayar menuju Makkah dan memperdalam ilmu agama kepada ayahnya. Disana beliau tinggal selama dua tahun dan pulang kembali ke Yaman saat adiknya, Aminah menikah dengan Habib Alwi bin Ahmad Assegaf, salah seorang murid ayahnya. Setelah itu beliau kembali memperdalam ilmu agama kepada ulama-ulama di Yaman. Diantara guru-guru beliau adalah :

  1. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al Attas (Guru Futhuh beliau)
  2. Habib Ahmad bin Muhammad Al Muhdhar
  3. Habib Abdullah bin Husain bin Muhammad Ba’alawi
  4. Habib umar bin Hasan Al Haddad
  5. HabibAbdurrahman bin Muhammad Al Masyhur
  6. Habib Ali bin Idrus Syahab
  7. Habib Umar bin Abdurrahman Syahab
  8. Habib Ahmad bin Abdullah Al Baar
  9. Habib Idrus bin Umar Al Habsyi
  10. Habib Muhammad bin Ibrahim Ba’alawi

Pada usia 37 tahun, beliau membangun sebuah Ribath (Pondok Pesantren) yang pertama kali didirikan di Hadramaut, yaitu di Seiwun dengan nama Ribath Riyadh. Kemudianpada tahun 1303 H, saat berusia 44 tahun, beliau membangun sebuah masjid disamping Ribath itu, dengan nama yang sama, Masjid Riyadh. Semua biaya untuk membangun keduanya ditanggung oleh Habib Ali, juga biaya-biaya santri yang monok di Ribath, ditanggung oleh beliau. Pada tahun 1255 H, putra beliau yang bernama Habib Alwi juga membangun Masjid Riyadh di Solo, Indonesia.

Telah banyak ratusan alim ulama yang dicetak di Ribath Riyadh di bawah bimbingan Habib Ali. Diantara murid-murid Habib Ali adalah :
  1. Habib Abdullah, Habib Muhammad, Habib Ahmad dan Habib Alwi (anak-anak beliau)
  2. Habib Syaikh bin Muhammad Al Habsyi (adik beliau)
  3. Habib Thoha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf
  4. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf (ayah Al Quthub Habib Abdul Qadir Assegaf)
  5. Habib Muhammad bin Hadi Assegaf
  6. Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Al Quthub, Gresik)
  7. Habib Ali binAbdul Qadir Alaydrus
  8. Habib Abdullah bin Ali Syahab
  9. Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri (ayah Sulthanul Ulama Habib Salim)
  10. Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi (Gubah Ampel, Surabaya)

Yang paling masyhur dari keharuman nama Habib Ali adalah karena gubahannya yang indah, sebuah untaian mutiara perihal perjalan hidup dan akhlak datuknya yang agung, yaitu kitab Simthuddurar Fii Akhbar Maulid Khoiril Basyar Wama Lahu Min Akhlaq Wa-aushof Wa-sirr, yang dikenal dengan nama Maulid Simthuddurar atau Maulid Habsyi. Beliau menggubah kitab ini ketika berusia 68 tahun. Pada hari Kamis, 26 Shafar 1327 H beliau mendiktekan bab pertama, lalu pada hari Kamis 10 Rabiul Awwal 1327 H, beliau menyempurnakannya, dan pada hari Jum’at 12 Rabiul Awwal1327 H, beliau membacakan seluruh isi kitab untuk pertama kalinya di rumah salah seorang muridnya, Habib Umar bin Hamid Assegaf.

Suatu ketika Habib Ali pernah berkata mengenai kitab Maulidnya, “Jika sesorang menjadikan kitab Maulidku (Simthuddurar) sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sirr (rahasia) Rasulullah SAW akan nampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, maka dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Rasulullah SAW. Pujianku terhadap beliau dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada beliau, bahkan dalam surat-suratku, ketika aku meyifatkan RasulullahSAW, Allah SWT membukakan padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.”

Pada penghujung hayatnya yang mulia, kesehatan Habib Ali mulai menurun dan dua tahun sebelum kewafatannya, beliau kehilangan penglihatannya. 70 hari menjelang wafat, beliau mengalami Isthilam hingga kesehatannya semakin melemah. Hingga pada waktu Dzuhur, hari Ahad tanggal 20 Rabiul Akhir 1333 (1913 M), beliau wafat meninggalkan dunia fana untuk berjalan diatas sutra surga menuju Rabb dan Kekasih-Nya. Jenazah beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Riyadh, Seiwun.

Habib Muhammad Al Habsyi, putra tertua Habib Alii ditunjuk oleh beliau sebagai khalifah penggantinya. Sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Habib Alwi, kemudian hijrah dan berdakwah di Indonesia. Habib Ali menikah dua kali. Pertama dengan seorang wanita dari Qasam, dan melahirkan Habib Abdullah. Kedua dengan Syarifah Fathimah binti Muhammad Mulakhela dan mempunyai empat anak, Habib Muhammad, Habib Ahmad, Habib Alwi dan Syarifah Khadijah. Hingga kini anak cucu Habib Al i terus berdakwah meneruskan perjuangan Habib Ali, diantara mereka adalah Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Hasyi, Solo.






Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Umar bin Muhammad bin Hasan bin Hud Al Attas dilahirkan oleh seorang wanita shalihah bernama Syarifah Nur binti Hasan Al Attas di Huraidhah, Yaman Selatan pada tahun 1313 H (1892 M). Suatu saat Al Allamah Arifbillah Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas, seorang Waliyullah besar di kota Huraidhah menyampaikan bisyarah perihal kehamilan Syarifah Nur. Berkata Habib Ahmad “Ia akan melahirkan seorang anak laki-laki yang panjang usianya, penuh dengan keberkahan serta akan banyak orang yang datang untuk bertawassul dan bertabarruk padanya, hendaklah ia diberi nama “Umar”, sebagai pengganti kakaknya yang juga bernama Umar, yang telah wafat ketika berada di Indonesia bersama ayahnya.” Maka benarlah apa yang dikatakan Habib Ahmad, beliau diberi umur yang panjang, usia beliau mencapai 108 tahun dan seluruh usianya itusenantiasa berada dalam keberkahan.

Habib Muhammad, ayah Habib Umar telah lebih dulu tinggal di Indonesia, setelah sebelumnya selama 20 tahun beliau mengabdikan dirinya menjadi imam di Masjid Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang berada di kota Huraidhah. Habib Umar mempunyai beberapa orang saudara, diantaranya Habib Umar (kakaknya yang telah meninggal sebelum beliau lahir) dan Habib Salim yang mengasuh beliau ketika kecil. Habib Umar masih berusia 15 tahun ketika ibundanya wafat, setelah itu beliau hijrah dan tinggal di Indonesia.

Di Indonesia, beliau kemudian menimba ilmu kepada ulama-ulama Ahlubait disana, diantara guru-gurubeliau adalah :

  1. Habib Abdullahbin Muhsin Al Attas (Keramat Empang, Bogor)
  2. Habib Muhsin binMuhammad Al Attas (Al Hawi, Jakarta)
  3. Habib Alwi AlAttas Azzabidi (Jakarta)
  4. Habib Alwi binMuhammad Al Haddad (Bogor)
  5. Habib Muhammadbin Idrus Al Habsyi (Gubah Ampel, Surabaya)
  6. Habib Muhammadbin Ahmad Al Muhdhar (Bondowoso)

Diantara ketekunan beliau dalam menimba ilmu adalah, beliau senantiasa mendatangi majelis Al Allamah Arifbillah Al Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas di Keramat Empang, Bogor dengan menggunakan sepeda, padahal beliau tinggal di Jakarta. Tahun 1965 M, beliau mendapat isyarah untuk menetap di kota suci Makkah Al Mukarramah. Maka berangkatlah Habib Umar bersama 11 orang saudaranya dengan menggunakan kapal laut. Ketika ditengah laut, datang badai yang menyebabkan kapal itu oleng dan akan temggelam. Melihat hal demikian, maka beliau memerintahkan semua yang ada di kapal itu untuk membaca Ratib Al Attas, hingga dengan izin Allah meredalah badai itu.

Setelah beberapa tahun mukim di Makkah, beliau hijrah lagi ke Singapura, kemudian kembali lagi ke Indonesia dan tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Disana beliau membangun sebuah masjid dan madrasah yang diberi nama Assa’adah. Nama Assa’adah yang berarti "Kebahagiaan" adalah pemberian dari Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid (Tanggul, Jember). Kepengurusan masjid dan madrasah tersebut kemudian dipegang oleh putranya, Habib Salim bin Umar Al Attas. Setelah sekian lama tinggal disana, beliau pindah lagi ke kawasan Condet, Jakarta Timur hingga akhir hayatnya.

Setiap tahunH abib Umar senantiasa melaksanakan acara Maulid Akbar di Cipayung, Bogor. Peringatan Maulid ini dihadiri oleh ribuan orang, dari dalam dan luar negeri. Untuk jamuannya, beliau menyembelih 1.600 kambing, dua unta dan memasak 25 ton beras. Jika ditanya darimana uang sebanyak itu, beliau hanya menjawab “Dari Allah.”Setiap hari beliau memimpin shalat Shubuh di kediamannya, di Condet, pada hari biasa terdapat sekitar 300 orang, dan khusus pada hari Jum’at meningkat menjadi 1.000 orang. Setiap Sabtu beliau mengajar Fiqih, dan setiap malam Jum’at mengadakan pembacaan Maulid Addiba’i di Cipayung, Bogor, dari sanalah beliau dikenal dengan nama Habib Umar Cipayung.

Setelah seumur hidupnya diabdikan di jalan Allah, akhirnya beliau berpulang kehadirat Tuhan Yang Agung pada Rabu malam Kamis, tanggal 11 Agustus 1999 M (1420 H) pada usia 108 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Al Hawi, Cililitan, Jakarta. Diantara anak-anak beliau adalah Habib Husain, Habib Muhammad, Habib Salim dan Syarifah Raguan.


Posted by Majelis Sayyidul Wujud on September 13, 2011 at 2:50 AM


Al Allamah Arifbillah Azzahid Al Habib Ali bin Ja’far bin Abdul Qadir bin Salim Alaydrus, dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1919 M. Tak banyak yang tahu memang jika beliau dilahirkan di Nusantara, karena hanya tujuh tahun beliau disana. Setelah itu beliau hijrah ke Singapura, lalu kembali lagi ke Indonesia selama dua tahun. Tahun 1929 M beliau hijrah lagi ke Singapura, dan menetap disana hingga 1942 M. Dari sana beliau hijrah lagi ke Batu Pahat, Johor, Malaysia hingga wafat, dari situlah beliau dikenal dengan nama Habib Ali Batu Pahat.

Ayahnya, Habib Ja’far, pertama kali datang dari Yaman, ke Singapura lalu ke Purwakarta pada kisaran tahun 1930-an. Beliau kemudian pulang lagi ke Tarim, Yaman dan wafat disana pada tahun 1976 M. Habib Ja’far mempunyai 10 orang anak laki-laki, yaitu Habib Ali sendiri, Habib Abdullah, Habib Abdul Qadir, Habib Idrus, Habib Thoha, Habib Ahmad, Habib Abu Bakar, Habib Thohir dan Habib Alwi. Juga beberapa orang anak perempuan, diantaranya yang masih ada adalah Syarifah Gamar.

Habib Ali adalah seorang Ahlubait yang menjadi cerminan kehidupan Zuhud zaman ini. Sungguh kemurahan adab dan kerendahan akhlak beliau teramat memikat dan membuat semua orang berdecak kagum, hingga menangis haru bilamana menatap kehidupan beliau yang sederhana, bertolak belakang dengan derajat beliau yang tinggi di sisi Allah SWT. Saking mulianya beliau dimata ulama-ulama dan kaum Muslimin, Al Allamah Arifbillah Al Musnid Assayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani sampai menggubah sebuah Qashidah untuk memuji akhlak beliau.

Kelembutan tutur kata dan santun sikapnya membuat siapa saja yang menziarahinya merasa nyaman. Diantara sifat mulia beliau, jika ada yang bertamu kepada beliau, sang tamu tidak diizinkan pulang sebelum mendo’akan beliau, padahal tamu tersebut datang dengan maksud meminta do’a dan keberkahan beliau. Yang datang menziarahi beliau bukan hanya dari kalangan awam saja, namun kaum alim ulama pun tak ketinggalan. Diantaramereka adalah (Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani Abuya Maliki).

Suatu ketika, Abuya Maliki teramat rindu ingin berjumpa dengan datuknya, Rasulullah SAW. Kemudian beliau memutuskan untuk pergi ke Malaysia dan menziarahi Habib Ali. Beliau masuk dan beberapa waktu berada di dalam bersama Habib Ali. Setelah itu beliau keluar dalam keadaan menangis, sambil berkata, “Hajatku telah terkabul, hajatku telah terkabul.” Maksudnya hajat beliau ingin berjumpa dengan Rasulullah SAW telah terkabul dengan washilah Habib Ali.

Selain Abuya Maliki, ulama besar yang juga sering menziarahi beliau adalah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Al Quthub), Habib Umar bin Hafidh BSA, Habib Anis bin Alwi Al Habsyi, Habib Salim bin Abdullah Asy Syahthi (Sultanul Ulama), Habib Zain Bin-Sumaith (Mufti Madinah), Habib Umar bin Hamid Al Jailani (Mufti Makkah), dll. Diantara mereka yang datang kemudian pulang dengan membawa mutiara ilmu dan nasihat, serta kehangan dari keagungan akhlak beliau. Beliau amat dirindukan oleh setiap orang yang pernah mengunjunginya.

Kamis petang, tanggal 28 Jumadil Akhir 1431 H (13 Mei 2010 M), 40 hari setelah kewafatan Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), sebuah bintang bersinar dari Bani Alawi tenggelam meninggalkan dunia yang sepanjang hidupnya beliau lawan dengan kezuhudan. Habib Ali yang agung wafat meninggalkan kefanaan menuju keabadian. Jutaan manusia datang berbondong-bondong bertakziah ke kediaman beliau. Saking banyaknya pelayat, jenazah beliau baru selesai dimandikan pukul 09.30 pagi, dan dimakamkan seusai shalat Jum’at. Beliau meninggalkan tiga oranganak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Habib Muhammad, HabibHusain, Habib Umar dan Syarifah Khadijah.


Posted by Majelis Sayyidul Wujud on September 13, 2011 at 2:45 AM


Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha Assegaf dilahirkan di Seiwun, Yaman oleh seorang wanita mulia berdarah suci, Syarifah Alwiyah binti Ahmad bin Muhammad Al Jufri pada bulan Jumadil Akhir tahun 1331 H. Nama Abdul Qadir ini adalah pemberian dari Yang Mulia Al Allamah Arifbillah Al Imam Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shahib Simthuddurar). Diantara keistimewaan beliau saat bayi adalah, setiap satu jam sekali beliau dibangunkan oleh ayahnya, dan dituntun membaca Syahadat, sehingga kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau ketika beliau mulai berbicara, adalah kalimat Syahadat.

Habib Abdul Qadir masih berusia 25 tahun ketika ayahnya wafat. Ayahnya itu wafat pada hari Sabtu sore, tanggal 4 Muharram 1357 H setelah menunaikan shalat Ashar. Sedangkan ibundanya wafat pada tanggal 29Rajab 1378 H, bertepatan dengan wafatnya Al Allamah Arifbillah Al Musnid Al Habib Salim bin Hafidh BSA (kakek Habib Umar bin Hafidh BSA).

Pertama kali beliau belajar kepada ayahandanya, hingga pada usia dini beliau telah memahami dasar-dasar agama. Beliau kemudian melanjutkan belajarnya ke Ulmah Thoha, sebuah Rubath yang didirikan datuknya, Habib Thoha bin Umar Assegaf di Seiwun. Guru beliau ketika belajar di Rubath Ulmah Thoha adalah Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmid. Setelah itu beliau belajar Al Quran dan Qiraah Sab’ah kepada Syaikh Hasan bin Abdullah Baraja di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah, sehingga beliau mampu menguasai dan menghafal keduanya. Karena keistimewaan beliau dibanding murid-murid lain, dalam waktu singkat beliau telah diangkat oleh gurunya untuk menjadi staff pengajar di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah.

Keadaan negeri Yaman yang kala itu dikuasai oleh Komunis memaksa beliau dan beberapa ulama lainnya hijrah. Pertama kali beliau hijrah ke Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau disambut dengan hangat dan diminta untukmembuka majelis ilmu disana. Setelah dari Aden, beliau bertolak menuju Singapura, dan disana pun beliau disambut dengan suka cita serta membuka majelis-majelis ilmu. Pada bulan Juli 1974 M (1393 H), beliau singgah di Jakarta dan mengunjungi beberapa ulama besar disana, diantaranya kepada Al Allamah Arifbillah Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang). Dari Jakarta kemudian menuju Surabaya, disana pun beliau berziarah kepada ulama-ulama dan mendirikan majelis ilmu.

Pada tahun yang sama, beliau terbang menuju Arab Saudi. Disana beliau memperdalam ilmu agama kepada ulama-ulama disana, diantaranya kepada Mufti Maliki saat itu, manusia mulia guru yang sangat dicintainya, saking cintanya beliau kepada gurunya itu, sampai-sampai beliau menggubah sebuah Qashidah untuk menyanjungnya, guru mulia tersebut adalah Al Allamah Arifbillah Shahibul Fatawa Al Imam Assayyid Alwi bin Abdul Aziz Al Maliki Al Hasani, ayah dari Abuya Maliki. Kemudian beliau menetap di kota Jeddah hingga akhir hayatnya. Selain kepada ulama-ulama diatas, Habib Abdul Qadir juga belajar kepada ulama-ulama besar di zamannya, diantaranya kepada :

  1. Habib Umar bin Hamid Assegaf
  2. Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
  3. Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
  4. Habib Abdullah bin Alwi Al Habsyi
  5. Habib Husain bin Abdullah Al Habsyi
  6. Habib Abdu Baari bin Syaikh Alaydrus
  7. Habib Muhammad bin Hadi Assegaf
  8. Habib Abdullah bin Umar Assegaf
  9. Habib Hasan bin Ismail BSA
  10. Habib Hamid bin Alwi Al Baar

Adapun diantara murid-murid beliau yang termasyhur adalah :

  1. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani
  2. Habib Zain bin Ibrahim Bin-Sumaith
  3. Habib Salim bin Abdullah Asy Syahthiri (Sulthanul Ulama)
  4. Habib Umar bin Hafidh BSA
  5. Habib Abu Bakar Al Adani bin Ali Al Masyhur
  6. Habib Abu Bakar bin Hasan Al Attas
  7. Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri

Demikian Habib Abdul Qadir menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan benih ilmu dan akhlak datuknya, Rasulullah SAW ke seluruh penjuru dunia. Hingga pada saat Allah menghendaki yang dikehendaki-Nya, wajah dunia mendadak muram pada Shubuh hari Ahad, tanggal 19 Rabiul Akhir 1431 H (4 April 2010 M), ketika beliau yang agung wafat menghadap Allah dan Rasul-Nya. Beliau wafat dalam usianya 100 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Jannatul Ma’ala setelah shalat Isya.


Posted by Majelis Sayyidul Wujud on October 20, 2011 at 10:45 AM

Istri-istri Rasulullah SAW yang dikenal dalam sejarah dengan nama Ummul Mu'minin berjumlah 12 orang. Mereka semua dinikahi Rasulullah SAW atas dasar wahyu dari Allah, untuk berkembangnya dakwah dan ajaran Islam. Berikut adalah biografi singkat istri-istri Rasulullah SAW tersebut.


1. Khadijah binti Khuwailid
Dia adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdu Uzza bin Qushay bin Kilab, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Qushay bin Kilab. Dia adalah istri pertama Rasulullah SAW. Selama hidup dengannya, beliau tidak menikah dengan wanita lain. Khadijah juga yang melahirkan semua anak-anak beliau, kecuali Ibrahim yang dilahirkan oleh Mariyyah. Pernikahan ini terjadi di Makkah ketika beliau berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Beliau meminangnya dengan mahar 20 ekor anak unta, dan yang menikahkan mereka berdua adalah ayahnya Khadijah, Khuwailid bin Asad. Sebelumnya ia adalah janda dari dua orang. Pertama dari Atiq bin Abid bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqadzah bin Murrah bin Ka’ab, dan melahirkan Abdullah dan Jariyah. Kedua dari Abu Halah bin Malik dari Bani Usaid bin Amar bin Tamin, dan melahirkan Hindun dan Zainab. Khadijah hidup bersama Rasulullah SAW selama 15 tahun. Khadijah wafat di Makkah tahun ke-10 kenabian, pada usia 55 tahun. Wafatnya beliau hanya berselang tiga hari setelah kewafatan Abu Thalib.

2. Saudah binti Zam’ah
Dia adalah Saudah bin Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Nashr bin Malik bin Hisl bin Amir bin Lu’ayy bin Ghalib, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Lu’ayy bin Ghalib. Saudah adalah seorang janda yang usianya terpaut jauh dengan Rasulullah SAW. Di penghujung hayatnya, ia menyerahkan giliran malam-malamnya kepada Aisyah. Ia sempat berkata kepada Rasulullah SAW, “Aku tidak lagi membutuhkan laki-laki.Aku hanya ingin di akhirat kelak tetap termasuk istri-istrimu.” Rasulullah SAW menikahinya di Makkah beberapa waktu setelah kewafatan Khadijah, yaitu di tahun ke-10 kenabian, dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkannya adalah Salith bin Amir, pendapat lain mengatakan oleh Abu Hathib bin Amar bin Abdu Syams. Ia menjadi istri tunggal beliau selama tiga bulan. Saudah wafat di Madinah pada tahun 55 H.

3. Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq
Dia adalah Aisyah binti Abu BakarAsh Shiddiq bin Abu Quhafah (Utsman) bin Amir bin Amar bin Ka’ab bin Sa’ad binTaim bin Murrah bin Ka’ab, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Murrah bin Ka’ab. Dialah yang bergelar Al Khumairah atau yang kemerah-merahan pipinya, karena memang pipinya indah kemerah-merahan. Dia dinikahi Rasulullah SAW di Makkah tiga bulan setelah beliau menikahi Saudah, dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkannya adalah ayahnya sendiri, Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika dinikahi ia baru berusia enam atau tujuh tahun, namun baru digauli ketika berusia sembilan tahun di Madinah. Ia masih berusia 18 tahun ketika RasulullahSAW wafat. Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah SAW yang dinikahi dalam status perawan. Ia banyak meriwayatkan Hadits. Aisyah wafat di Madinah pada tahun 58 H.

4. Hafshah binti Umar bin Khattab
Dia adalah Hafshah binti Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdu Uzza bin Abdullah bin Qurtsh bin Riyah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ayy, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Ka’ab bin Lu’ayy. Dia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Madinah setelah perang Badar tahun 2 H, dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkan beliau dengan Hafshah adalah ayahnya sendiri, Umar bin Khattab. Sebelumnya ia diperistri oleh Khunais bin Hudzafah Assahmi yang syahid di perang Badar. Hafshah wafat di Madinah pada tahun 45 H.

5. Zainab binti Khuzaimah
Dia adalah Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin Amar bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin bin Mashur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin Ailan bin Mudhar bin Nizar, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Mudhar bin Nizar. Dialah yang bergelar Ummul Masakin, ibunya orang-orang miskin. Rasulullah SAW menikahinya di Madinah pada tahun 3 H dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkannya adalah Qabishah bin Amar Al Hilali. Sebelumnya Zainab adalah janda dari dua orang. Pertama dari sepupunya sendiri, Jahm bin Amar bin Harits. Kedua dari sepupu Rasulullah SAW, Ubaidah bin Harits bin Abdul Muthalib. Zainab hanya hidup bersama Rasulullah SAW selama dua atau tiga bulan, setelah itu ia wafat di Madinah.

6. Ramlah binti Abu Sufyan
Dia adalah yang bergelar Ummu Habibah, nama aslinya Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Abdu Manaf bin Qushay. Dia dinikahi Rasulullah SAW ketika berada di Habasyah (Ethiopia) dengan perantara Raja Najasyi, bahkan maharnya pun dibayarkan oleh Najasyi atas nama beliau berupa uang sebanyak 400 Dirham. Orang yang menikahinya pun adalah Najasyi sendiri, sedangkan yang menjadi wali bagi Ramlah adalah Utsman bin Affan yang kala itu juga berada di Habasyah. Sebelumnya ia diperistri oleh Ubaidillah bin Jahsyi Al Asadi yang murtad menjadi Nasrani di Habasyah. Ramlah wafat di Madinah pada tahun 44 H.

7. Ummu Salamah
Nama aslinya adalah Hindun binti Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqadzah bin Murrah bin Ka’ab, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Murrah bin Ka’ab. Ia dinikahi Rasulullah SAW setelah kewafatan suaminya, Abu Salamah Abdullah bin Asad. Abu Salamah merupakan salah seorang saudara sepersusuan beliau ketika disusui oleh Tsuwaibah Al Aslamiyyah. Darinya Ummu Salamah mempunyai empat anak, Salamah,Umar, Zainab dan Ruqayyah. Rasulullah SAW menikahi Ummu Salamah di Madinah dengan mahar sebuah kasur yang berisi sabut, gelas, mangkok dan alat penggiling. Orang yang menikahkan mereka berdua adalah anaknya Ummu Salamah sendiri, yaitu Salamah bin Abu Salamah. Ummu Salamah wafat di Madinah pada tahun 62 H.

8. Zainab binti Jahsyi
Dia adalah Zainab binti Jahsyi bin Riab bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanam bin Daudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrika bin Kinanah, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Khuzaimah bin Mudrika. Ia adalah sepupu Rasulullah SAW, karena ibunya merupakan bibi beliau, yaitu Umaimah binti Abdul Muthalib. Rasulullah SAW menikahinya di Madinah dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkannya adalah saudara dari Zainab sendiri, yaitu Abdun Abu Ahmad bin Jahsyi. Sebelumnya ia diperistri oleh Zaid bin Haritsah, maula dan anak angkat Rasulullah SAW. Beliau menikahinya untuk pembatalan hukum Tabbani, yaitu dengan disahkannya menikahi mantan istri anak angkat. Zainab wafat di Madinah pada tahun 20 H.

9. Juwairiyyah binti Harits
Dia adalah Juwairiyyah, putri dari Harits bin Abu Dhirar Al Khuza’i, seorang pemimpin Bani Al Mushthaliq yang kalah berperang dengan kaum Muslimin. Ia adalah salah satu tawanan perang dari kabilah Khuza’ah ketika perang Al Mushthaliq pada bulan Sya’ban tahun 6 H. Ia dinikahi Rasulullah SAW setelah beliau membebaskannya, dengan mahar uang 400 Dirham. Orang yang menikahkannya adalah ayahnya sendiri, Harits bin Abu Dhihar yang ketika itu telah memeluk Islam setelah menyaksikan mu’jizat beliau. Sebelumnya Juwairiyyah diperisitri oleh sepupunya sendiri yang bernama Abdullah. Juwairiyyah wafat di Madinah pada tahun 56 H.

10. Maimunah binti Harits
Dia adalah Maimunah binti Harits bin Huzn bin Bahir bin Huzam bin Ruaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin bin Mashur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin Ailan bin Mudhar bin Nizar, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Mudhar bin Nizar. Dialah yang menghibahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW menikahinya di Madinah dengan mahar uang 400 Dirham yang dibayarkan Abbas bin Abdul Muthalib atas nama beliau, dan yang menikahkannya pun adalah Abbas sendiri. Sebelumnya ia diperistri oleh Abu Ruhm bin Abdu Uzza bin Abu Qais bin Abdu Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl bin Amir bin Lu’ayy bin Ghalib. Maimunah wafat di Madinah pada tahun 66 H.

11. Shafiyyah binti Hayyi
Dia adalah putri dari Hayyi bin Akhtab dari Yahudi Bani Nadhir yang menjadi pemimpin kaum Yahudi ketika perang Khaibar pada bulan Muharram tahun 7 H. Ia tertawan dan dibebaskan oleh Rasulullah SAW, kemudian dinikahi dengan mahar kebebasannya itu. Jika diruntut dari nasab, ia adalah salah satu keturunan Nabi Harun AS. Sebelumnya ia diperistri oleh Kinanah bin Rabi bin Abu Huqaiq. Ia wafat di Madinah tahun 50 H.

12. Mariyyah Al Qibthiyyah
Dia adalah putri dari Syam’un Al Qibthi yang berasal dari Hafan, Mesir. Ia adalah satu-satunya istri Rasulullah SAW selain Khadijah yang melahirkan putra bagi beliau. Ia melahirkan anak Rasulullah SAW yang bernama Ibrahim, namun hanya sekitar 70 hari Ibrahim hidup, setelah itu wafat. Mariyyah merupakan hadiah dari raja Mesir, Muqauqis bersama beberapa orang lainnya, diantaranya Sirrin, ayah dari Ibnu Sirrin (Muhammad bin Sirrin). Ia wafat di Madinah.


Posted by Majelis Sayyidul Wujud on October 2, 2011 at 12:00 AM

Rasulullah SAW adalah Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhor bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrika bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan, terus nasabnya menyambung kepada Nabi Ibrahim AS. Di bawah ini akan diuraikan sekelumit manaqib singkat leluhur-leluhur Rasulullah SAW dari ayahnya hingga Adnan, karena hanya sampai Adnan nasab Rasulullah SAW yang di-shahih-kan oleh Ahli Hadits.


1. Adnan bin Muqawwam
Adnan bin Muqawwam adalah keturunan ke-7 dari Nabi Ismail AS, ke-8 dari Nabi Ibrahim AS, ke-18 dari Nabi Nuh AS, ke-21 dari Nabi Idris AS dan ke-27 dari Nabi Adam AS, demikian menurut Imam Ibnu Hisyam dalan kitab Sirohnya, Tahdzib Siroh Nabawiyyah. Adapun nasab lengkapnya adalah Adnan bin Muqawwam bin Nakhur bin Tayrah bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail AS bin Ibrahim Al Khalil AS bin Tairukh bin Nakhur bin Sawiragh bin Raghu bin Falikh bin Aibar bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh AS bin Lamik bin Mattusyilakh bin Idris AS bin Yarid bin Mahlayil bin Qaynan bin Anusy bin Syist AS bin Adam AS. Adnan adalah salah satu keturunan Nabi Ismail yang tetap memegang teguh ajaran datuknya, Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim. Ia mempunyai dua orang anak, Akk dan Ma’ad. Akk kemudian menikah dengan seorang wanita Bani Asy’ariyyin keturunan Qathani dan menetap di negerinya, yaitu Yaman. Adapun Ma’ad kemudian menurunkan kabilah lain di kota Makkah dan menjadi penguasa disana. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.

2. Ma’ad bin Adnan
Diantara putra Adnan yang tetap tinggal di kawasan Hijaz dan meneruskan perjuangan dakwah dalam menyebarkan agama yang dibawa Nabi Ibrahim adalah Ma’ad bin Adnan. Ia kemudian menikah dengan wanita setempat dan mempunyai empat orang anak. Mereka adalah Qudha’ah, Qanash, Iyad dan Nizar. Quda’ah bin Ma’ad kemudian merantau ke negeri Yaman dan tinggal di daerah kabilah Himyar bin Saba. Sementara Qanash keturunannya sebagian berada di kawasan Iraq, diantara keturunannya adalah Nu’man bin Munzir, Raja Herat, Iraq, pada masa RasulullahSAW. Adapun Iyad, tidak ada sedikitpun keterangan mengenai keturunannya. Terakhir, Nizar bin Ma’ad adalah yang keturunannya tetap lestari dan menjadi penjaga Rumah Suci Allah di Makkah. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


3. Nizar bin Ma’ad
Nizar bin Ma’ad adalah seorang yang memiliki kemuliaan akhlak dan keluasan ilmu, semasa hidupnya ia menjadi tempat bersandarnya orang yang membutuhkan. Ia mempunyai tiga orang anak yang dua diantaranya menurunkan banyak kabilah Arab. Mereka adalah Rabi’ah, Anmar dan Mudhar. Rabi’ah, dia terputus keturunannya, sedangkan Anmar banyak menurunkan kabilah-kabilah, diantaranya kabilah Bani Anzah, Bani Abdu Qais, Bani Taghlib dan Bani Hanifah (kabilahnya Musailamah bin Habib Al Kadzab, sang Nabi Palsu pada masa Rasulullah SAW). Adapun Mudhar bin Nizar tetap tinggal di Makkah dan menjadi pemuka kaum dan keturunannya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


4. Mudhar bin Nizar
Mudhar bin Nizar merupakan seorang yang shalih dan menjadi tumpuan kaumnya, pemberi rasa aman bagi yang ketakutan dan pelindung bagi yang lemah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu Qais Ailan, Ilyan dan Ilyas. Diantara anak-anaknya, hanya Ilyan yang keturunannya terputus. Anak-anak keturunan Qais Ailan bin Mudhar kemudian disebut kabilah Bani Qais Ailan, darinya terbentuk lagi beberapa kabilah besar, diantara kabilah Bani Sulaim, Bani Ghataffan dan Bani Hawazin. Diantara keturunan kabilah Bani Hawazin adalah dua orang istri Rasulullah SAW, yaitu Ummul Mu’minin Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin Amar bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin bin Mashur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qaisbin Ailan bin Mudhar dan Ummul Mu’minin Maimunah binti Harits bin Huzn bin Bahir bin Huzam bin Ruaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin. Adapun Ilyas, dia mewarisi sifat dan keutamaan ayahnya, dia menjadi penerus ayahnya dalam memimpin kaumnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


5. Ilyas bin Mudhar
Ia adalah seorang Faqih di masanya yang mengajak kaumnya untuk bersama-sama mengagunggkan Ka’bah dan Tanah Haram. Dialah orang yang pertama kali berkurban unta di Tanah Haram. Ketika ia sedang menyembelih untanya itu, terdengarlah dari sulbinya (tulang punggung) suara Nur Muhammad yang sedang bertalbiyah. Ia mempunyai tiga orang anak, Thabikhah, Qam’ah dan Mudrika. Mudrika inilah yang kemudian menjadi penerus perjuangannya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


6. Mudrika bin Ilyas
Ia yang bernama asli Amir, adalah seorang pemuka agama dan hakim yang adil di masanya, tempat mengadu semua permasalahan yang muncul di masyarakat. Ia adalah satu-satunya putra ayahnya yang menurunkan keturunan. Ia mempunyai dua orang anak, yang mana keduanya menurunkan kabilah-kabilah yang besar. Anak pertamanya adalah Hudzail, penghulu kabilah Hudzail yang sempat berperang dengan Abrahah ketika penguasa yang lalim itu hendak menghancurkan Ka’bah. Sedangkan anak keduanya bernama Khuzaimah yang meneruskan estafet perjuangan dakwah ayahnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


7. Khuzaimah bin Mudrika
Satu diantara dua putra Mudrika bin Ilyas yang mewarisi keluhuran sifat dan ilmunya adalah Khuzaimah bin Mudrika. Pada masanya kota Makkah makmur dan terjaga dari gangguan luar. Ia mempunyai empat orang anak, Al Huun, Asad, Asadah dan Kinanah. Diantara mereka hanya dua orang yang keturunannya tetap tumbuh di Makkah, yaitu Asad dan Kinanah. Jika Asad menurunkan salah satu wanita mulia, istri Rasulullah SAW, yaitu Ummul Mu’minin Zainab binti Jahsyi bin Riab bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanam bin Daudan bin Asad bin Khuzaimah, maka Kinanah menurunkan seorang makhluk teragung, Rasulullah SAW.


8. Kinanah bin Khuzaimah
Ia adalah penerus kepemimpinan ayahnya yang memberi rasa aman kepada kaumnya. Rumahnya senantiasa didatangi oleh orang-orang yang membutuhkan. Keturunan keluarga besar Kinanah bin Khuzaimah disebut dengan Bani Kinani yang kemudian terpecah lagi menjadi puluhan kabilah. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu Abdu Manat, Malik, Milkan dan Nadhor. Abdu Manat bin Kinanah kemudian mempunyai anak bernama Bakr yang keturunannya disebut kabilah Bani Bakr bin Abdu Manat. Sedangkan Bakr bin Abdu Manat mempunyai seorang anak bernama Dhamrah, yang keturunannya disebut Bani Dhamrah. Kabilah inilah yang pertama kali diperangi oleh kaum Muslimin. Adapun anak Kinanah yang lain, Nadhor,kemudian ditunjuk sebagai penerus ayahnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


9. Nadhor bin Kinanah
Ia adalah mataharinya bangsa Arab dan bulannya Bani Ismail. Semasa mudanya telah gemar beribadah dan beperang dalam menjaga kehormatan kota Makkah. Ia dikaruniai dua orang anak. Pertama bernama Yakhlud yang keturunannyat idak terlacak. Kedua bernama Malik yang menjadi penerus perjuangannya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


10. Malik bin Nadhor
Ia adalah ayah dari seorang yang paling besar pengaruhnya di kota Makkah khususnya dan jazirah Arab umumnya. Ia hanya dikaruniai seoranganak laki-laki yang memiliki hasrat besar untuk mengembalikan kaumnya kepada martabat luhur yang dijanjikan Allah. Anaknya itu adalah Fihir bin Malik, yang pertama kali disebut Quraisy dalam sejarah. Ia adalah putra tunggal dari ayahnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.

11. Fihir bin Malik
Ia adalah orang yang gemar berniaga untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Makkah. Semua rombongan kafilah yang berdagang ke negeri lain dari Makkah, berada dalam pengawasannya. Semuanya terayomi dengan baik dan aman. Jika setiap kafilah-kafilah dagang pulang dari perniagaannya, ia akan meminta sebagai harta mereka untuk ia kumpulkan, lalu dibagi-bagikan kepada orang-orang tidak mampu di Makkah. Dialah Fihir bin Malik, orang yang pertama kali bergelar Quraisy, maka semua anak keturunannya disebut Quraisy. Ia mempunyai empat orang anak bernama Muharib, Asad, Harits (penghulu kabilah BaniAl Harits bin Fihir) dan Ghalib. Dari keturunan Ghalib bin Fihir ini lahirlah Rasulullah SAW.


12. Ghalib bin Fihir
Dia yang tidak berbeda dengan ayahnya dalam memberikan rasa aman kepada kaumnya. Pada masanya kota Makkah tumbuh makmur dan Baitullah teragungkan dengan mulia. Ia mempunyai dua orang anak yang keduanya menurunkan kabilah-kabilah besar. Anak pertamanya bernama Taim, penghulu kabilah Bani Taimbin Ghalib. Anak keduanya bernama Lu’ayy yang kemudian menjadi penerusnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


13. Lu’ayy bin Ghalib
Ia yang oleh kaumnya dipanggil Lawwi, adalah seorang pemimpin yang adil dan dicintai oleh kaumnya. Tempat berteduh bagi semua masyarakatnya yang kehujanan dan tempat persinggahan bagi mereka yang berhaji ke Baitullah. Dia mempunyai empat orang anak, Samah, Auf, Amir dan Ka’ab. Amir bin Lu’ayy kemudian menurunkan kabilah Bani Amir bin Lu’ayy, diantara keturunannya adalah istri ke-3 Rasulullah SAW, yaitu Ummul Mu’minin Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Hisl bin Amir bin Lu’ayy. Sedangkan Ka’ab, ia menjadi penerus bagi nasab dan sanad ayahnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.

14. Ka’ab bin Lu’ayy
Dialah seorang pemberani yang melindungi kaumnya dan kehormatan kota Makkah. Ia seorang ulama sekaligus panglima yang ulung dalam menyusun strategi melawan musuh-musuh Allah. Ia mempunyai tiga orang anak bernama Hushaisah, Adi dan Murrah. Hushaishah kemudian mempunyai anak bernama Sahm yang merupakan leluhur Bani Sahmi. Sedangkan Adi bin Ka’ab adalah penghulu bagi kabilah Bani Adi, yaitu kabilahnya Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdu Uzzabin Abdullah bin Qurtsh bin Riyah bin Adi bin Ka’ab. Adapun Murrah adalah pemilik keturunan suci yang darinya lahirlah Rasulullah SAW.


15. Murrah bin Ka’ab
Dia adalah pemilik cahaya dari keagungan Nur Muhammad, yang menjaga kemurnian aqidah kaumnya. Semasa hidupnya ia senantiasa mengajak kaumnya untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh datuknya, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dia mempunyai tiga orang anak yang kesemuanya menurunkan kabilah-kabilah besar di kota Makkah. Anak pertama bernama Taim bin Murrah, yang keturunannya disebut Bani Taim, yaitu kabilahnya Abu Bakar Ash Shiddiq bin Abu Quhafah (Utsman) bin Amir bin Amar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Anak kedua bernama Yaqadzah bin Murrah. Ia kemudian mempunyai anak bernama Makhzum, yang disebut Bani Makhzum, sebuah kabilah yang terdiri dari orang-orang kaya di Makkah. Diantara keturunannya adalah Ummul Mu’minin Hindun binti Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, yang dikenal dengan nama Ummu Salamah. Anak ketiga bernama Kilab bin Murrah yang menurunkan banyak kabilah dan memiliki segala kemuliaan yang terhormat. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


16. Kilab bin Murrah
Dia seorang yang berakhlak lembut dan senantiasa mengangis karena takut kepada Allah. Pada masanya inilah kota Makkah dan kepengurusan Ka’bah direbut oleh kaum Khuza’ah di bawah pimpinan Hulail bin Hubasya. Namun kemudian anaknya yang bernama Qushay mampu merebut kembali kota Makkah dan Ka’bah dari kaum Khuza’ah. Kilab bin Murrah dikaruniai dua orang anak yang keduanya sama-sama memiliki cahaya Nur Muhammad, yaitu Zuhrah dan Qushay. Zuhrah adalah penghulu kabilah Bani Zuhri, darinya lahirlah ibunda Rasulullah SAW, Aminah binti Wahhab bin Abdu Manaf bin Zuhrah. Sedangkan dari Qushay lahir ayah Rasulullah SAW. Cahaya keduanya kemudian dipersatukan dalam diri RasulullahSAW.


17. Qushay bin Kilab
Dialah orang yang paling dibanggakan oleh bangsa Quraisy, yang banyak dipakai sebagai washilah dan dijadikan simbol bagi kebesaran kaumnya. Dialah seorang pemberani yang kembali merebut kepemimpinan kota Makkah dan kepengurusan Ka’bah dari orang-orang Khuza’ah. Dia juga merupakan orang yang pertama kali mampu mengumpulkan 12 bangsa keturunan Nabi Ismail yang telah terpencar ke berbagai negeri, sehingga ia disebut Mujammi yang artinya pengumpul. Nama aslinya adalah Zaid, disebut Qushay karena ia pernah berkelana ke kawasan Qudha’ah, yaitu sebuah daerah terpencil di ujung kota Makkah untuk berkhalwat, namun kemudian Allah menggerakan hatinya untuk kembali pulang ke Makkah. Ibunya bernama Fathimah bin Sa’ad bin Sahal, sedangkan istrinya adalah seorang putri dari pemimpin Bani Khuza’ah, Hubayya binti Hulail bin Hubasya. Dengan pernikahan ini maka bersatulah dua bangsa besar, yaitu Quraisy dan Khuza’ah yang sebelumnya bertentangan. Ia mempunyai empat orang anak, mereka adalah Abdu Daar (penghulu kabilah Bani Abdari), Abdu Uzza (menurunkan kabilah Al Asadi, kabilahnya Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdu Uzza), Abdu Qushay dan Abdu Manaf (penghulu Bani Abdu Manaf). Anak yang terakhir inilah yang kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya. Dari keturunannya lahirlah Rasulullah SAW.


18. Abdu Manaf bin Qushay
Nama aslinya adalah Mughirah. Dialah yang dipilih ayahnya sebagai penggantinya. Dia merupakan seorang yang lemah lembut dan penyayang. Iamempunyai empat orang anak yang semuanya menjadi penghulu bagi kabilah-kabilah besar bangsa Quraisy. Mereka adalah Hasyim (penghulu Bani Hasyim), Abdu Syams (penghulu Bani Abdu Syams, darinya menurunkan kabilah Umayyah, kabilahnya Utsman bin Affan), Muthalib (penghulu kabilah Muthalib, kabilahnya Imam Syafi’i yang sama-sama membela Rasulullah SAW ketika beliau diboikot oleh kaum kuffar Quraisy) dan Naufal (penghulu Bani Naufal). Dari semua anak-anaknya itu, akhirnya Abdu Manaf menurunkan kepemimpinannya kepada Hasyim. Dari keturunannya itulah lahir Rasulullah SAW.


19. Hasyim bin Abdu Manaf
Dialah seorang pemimpin yang mampu melepaskan kaumnya dari ancaman kelaparan yang kala itu menghantui kota Makkah. Karenanya masyarakat Makkah amat mencintainya, hingga hal itu menimbulkan iri hati dari kabilah sepupunya, yaitu Bani Umayyah. Namun Allah menghendaki ia untuk tetap memimpin Makkah karena keutamaan yang ia dapat dari kemuliaan Nur Muhammad. Dia menikah dengan seorang wanita mulia dari Madinah, Salma binti Amir Annajariyyah. Dia mempunyai sembilan anak, mereka adalah adalah Abdul Muthalib (kakek Rasulullah SAW), Asad (kakek Ali bin Abu Thalib dari fihak ibu), Abu Saifi, Nadla, Syifa, Khalida, Da'ifa, Ruqayyah dan Jannah. Setelah kewafatannya, kepemimpinan Makkah dipegang oleh adiknya yang bernama Muthalib. Hingga ketika anaknya yang bernama Abdul Muthalib besar, kepemimpinannya diserahkan kepada Abdul Muthalib. Darinya lahirlah Rasulullah SAW.


20. Abdul Muthalib bin Hasyim
Nama aslinya adalah Syaibah. Ia masih kecil ketika ayahnya wafat. Ia lahir dan tumbuh besar di Madinah di bawah bimbingan ibundanya. Ketika bersia sekitar 14 tahun, pamannya yang bernama Muthalib (yang kala itu menjadi pemimpin Makkah), membawanya ke Makkah untuk dididik menjadi seorang pemimpin. Ketika mereka berdua memasuki kota Makkah, orang-orang menyangka bahwa Muthalib sedang membawa seorang budak (yaitu Syaibah), sehingga mereka menyebut kakek Rasulullah SAW itu dengan panggilan Abdul Muthalib (budaknya Muthalib).Muthalib kemudian menjelaskan perihal siapa sebenarnya Syaibah, yang merupakan putra dari pemimpin mereka sebelumnya. Mengetahui hal itu, penduduk Makkah merasa malu dan menaruh hormat padanya, namun panggilan Abdul Muthalib telah melekat pada diri Syaibah, hingga dalam sejarah ia lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Setelah dewasa, ia kemudian menjadi pemimpin Makkah dalam waktu yang cukup lama, sehingga ia mampu menjumpai cucunya yang agung, Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Abdul Muthalib jugalah yang kemudian menemukan kembali sumur Zam-zam setelah sebelumnya terkubur pada masa Fihir bin Malik. Pada masa kepemimpinannya juga terjadi penyerangan Makkah oleh pasukan bergajah untuk merobohkan Ka’bah. Ia menikah dengan beberapa wanita, diantara dengan Fathimah binti Amir bin Aidz bin Imran bin Makhzum bin Yaqadzah bin Murrah (nenek Rasulullah SAW). Ia mempunyai 13 orang anak laki-laki dan enam orang anak perempuan. Mereka adalah Abdullah (ayah Rasulullah SAW), Harits, Qustam, Zubair, AbuThalib (Abdu Manaf), Hamzah, Abbas, Abu Lahab (Abdu Uzza), Abdu Ka’bah, Hajal (Mughirah), Dhirar, Muqawwam dan Ghaidaq. Sedangkan anak-anak perempuannya adalah Shafiyyah, Atikah, Arwa, Umaimah, Barrah dan Ummu Hakim (Baidha). Setelah kewafatan Abdul Muthalib, kepemimpinan Makkah dipegang oleh Abu Thalib, dan setelah Abu Thalib wafat, kepemimpinan Makkah direbut oleh Bani Umayyah dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.


21. Abdullah bin Abdul Muthalib
Dialah manusia mulia yang menurunkan putra yang maha mulia. Ia merupakan putra kesayangan ayahnya. Ia menikah dengan Aminah binti Wahhab pada usia 25 tahun, namun pada usia itu juga ia wafat di Madinah. Ketika itu Rasulullah SAW berusia dua atau tiga bulan dalam kandungan ibunya. Abdullah ibarat Nabi Ismail bagi Nabi Ibrahim. Dia juga pernah hendak dikurbankan oleh ayahnya atas perintah Allah, sebagaimana Nabi Ismail akan dikurbankan oleh ayahnya atas perintah Allah. Namun perintah pengurbanan itu semuanya telah tergantikan oleh keikhlasan mereka dalam menjalankan ujian dari Allah. Abdullah tidak jadi dikurbankan karena tingkat keikhlasan dari dia maupun ayahnya telah mencapai derajat yang dikehendaki Allah. Jika Nabi Ismail ditebus oleh seekor Kibasy dari surga, maka Abdullah ditebus dengan 100 ekor unta. Darinya inilah lahir seorang Nabi Ahir Zaman, pemberi rahmat bagi seluruh alam, dialah Muhammad SAW bin Abdullah, semoga shalawat, rahmat dan keselamatan tercurah kepada beliau dan semua jalur leluhur beliau.


sudah
Manaqib Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al - Habsyi

Nasab Habib Ali bin Muhammad bin Husien Al Habsyi

Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shohibusy Syi’ib bin Muhammad Ashgor bin Alwi bin Abu Bakar Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan At-Turabiy bin Ali bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Beliau lahir di desa Qosam pada hari jum’at, 24 syawal 1259 H / 1839 M; dan diberi nama Ali oleh Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir untuk mengambil berkah dari Sayyidina Ali Kholi’ Qosam. Ibunda beliau, Sayyidah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri (lahir tahun 1240 H), berasal dari kota Syibam, adalah seorang yang sangat gemar mengajar dan berdakwah, yang memiliki banyak karomah.

Ayahanda beliau, Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi ( lahir, 18 jumadil akhir 1213 H) seorang ahli dakwah, memiliki karomah dan seringkali mengkasyf isi hati Habib Ali. Habib Muhammad berguru kepada Habib Tohir bin Husein bin Tohir, Habib Abdullah bin Husein bin Tohir, Habib Ahmad bin Umar bin Smith, Habib Hasan bin Saleh Al Bahr Al Jufri, Habib Abdullah bin Ali bin Syihabuddin, Syeikh Mufti Makkah Muhammad Saleh Rayyis, Syeikh Umar bin Abdurrasul Al-Atthar, Sayyid Al-Imam Al-Badi Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal dan Syeikh Al-Waliy Manshur bin Yusuf Al Budairi.

Nasehat Habib Muhammad Al Habsyi :

“Camkanlah, jangan sampai kalian tidak mempelajari ilmu bahasa, Nahwu dan shorof. Karena ilmu bahasa merupakan dasar dan perantara kalian untuk memahami semua ilmu.”

Hijrah ke Seiyun dan Mekah.

Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, ayahandanya hijrah ke Mekah bersama tiga anaknya yang telah dewasa; Abdullah, Ahmad dan Husein. Suatu hijrah yang abadi ke Mekah, demi mematuhi keinginan Syeikh Fath beliau, Al-Allamah Sayyid Abdullah bib Husein bin Tohir.
Ketika Habib Ali berumur 11 tahun, beliau bersama ibundanya pindah ke Seiwun, supaya beliau dapat memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu lainnya, sesuai perintah Sayyid Umar bi Hasan bin Abdullah Al Haddad.
Dalam perjalanan ke Seiwun; beliau melewati Masileh dan singgah di rumah Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir. Beliau menggunakan kesempatan itu, untuk menelaah kitab, mengambil ijazah dan ilbas. Di antara hafalan beliau adalah kitab Al-Irsyad, Alfiyah Ibnu Malik dan lainnya.

Pada usia 17 tahun, beliau diminta ayahandanya pergi ke Mekah dan tinggal bersama ayahnya selama 2 tahun yang penuh berkah. Setelah itu, beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang Alim dan ahli dalam pendidikan. Beliau kembali atas perintah ayahandanya untuk menikahkan adik beliau, Aminah, dengan Sayyid Alwi bin Ahmad Assegaf, salah seorang murid ayahanya.

Kegiatan Habib Ali di Seiwun
Setelah merayakan pernikahan adiknya, Habib Ali lalu tinggal di Seiwun untuk belajar dan mengajar. Banyak pendduduk Seiwun menuntut ilmu kepadanya. Beliau juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari orang-orang alim disana. Beliau berguru kepada :

1. Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad.
2. Syeikh Muhammad bin Ibrahim.
3. Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad.
4. Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur.
5. Habib Ali bin Idrus bin Syihabuddin.
6. Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab.
7. Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar ( Imam Para Sadah yang mulia ).
8. Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar.
9. Imam Idrus bin Umar bin Idrus Al-Habsyi.
10. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas ( Syeikh beliau ).

Hubungan Habib Ali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas.

Ketika Habib Ali bertemu pertama kali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas, terlihat tubuhnya diliputi cahaya, “Lelaki ini malaikat atau manusia” kata Habib Ali dalam hati.. Suatu hari beliau tidak bisa lagi membendung rasa rindunya kepada gurunya, Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas; kemudian beliau pergi ke Ghurfah. Saat itu Habib Abu Bakar sedang bertamu di rumah salah seorang kenalannya.

“Tambahlah hidangan siang untuk Ali bin Muhammad Al Habsyi. Sebentar lagi ia datang kemari. Ia tidak mampu berpisah terlalu dariku.”

Kata Habib Abu Bakar kepada tuan rumah. Sesampainya Habib Ali di rumah itu, si tuan rumah memberitahu bahwa Habib Abu Bakar telah mengkasyaf kedatangannya.

Makam Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Beliau adalah guru utama Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Muallif Simtud Duror. Beliau juga merupakan mertua dari Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas. Beliau sangat mastur hingga keluarganya sendiri tidak mengetahui kebesarannya.

Habib Ali berkata :

“Ucapan kaum Sholihin cukup sebagai pengganti makanan selama sebulan. Jika mendengar Habib Abu Bakar berceramah, rasanya aku tidak tidak membutuhkan makanan lagi. Seandainya beliau menyampaikan ilmunya selama sebulan, maka aku akan menjadikan ucapannya sebagai santapanku. Bukankah tujuan memberi kakan jasad adalah ruh, padahal ucapan beliau ini adalah santapan ruh langsung.”

“Alangkah baiknya membicarakan ilmu dengan seorang yang ahli dan mampu menerangkannya dengann baik. Habib Abu Bakar jika menerangkan suatu ilmu kepada kami, dari kedua bibirnya meluncur ilmu-ilmu yang segera melekat di hati kami; seperti air dingin bagi orang yang sedang kehausan. Jika duduk bersama beliau, aku selaliuberharap agar majelis itu tidak akan berakhir, walau selama sebulan. Saat itu, rasanya aku tidak menginginkan lagi kenikmatan duniawi, aku tidak merasa lapar atau haus. 

Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas pernah berkata kepada Habib Ali :

• ”Tidak mencintaiku kecuali orang yang berbahagia (sai’id). Tidak mencintaiku kecuali seorang yang saleh.”Aku, para sahabatku dan orang-orang yang mencintaiku kelak di hari kiamat berada dalam naungan Arsy.”
• “Wahai anakku, ketahilah, aku mengetahui semua wali yang ada di timur dan di barat. Aku belajar kepada mereka semua. Kadang kala aku memberitahu seseorang bahwa dia adalah seorang wali karena dia sendiri tidak menyadarinya,”
• “Ya, Ali. Sesungguhnya aku telah memeliharamu sejak kau berada dalam sulbi ayahmu.”
• “Wahai anakku. Ketahuilah aku mewarisi semua hal keluargaku, dan aku melebihi mereka dengan pemahamanku tentang kitabulloh yang tudak dimiliki oleh satupun dari keluargaku.”
• “Aku berniat mensyarahkan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Dan aku akan memulainya dari bab keajaiban-keajaiban hati, sebab Syeikh Ghazali tidak membahas semuanya, beliau hanya menjelaskan secara garis besar. Namun kemudian, aku ingat bahwa tidak ada seorang salaf pun yang melakukannya.”

Wafatnya Ayahanda beliau.

Habib Muhammad sesungguhnya sedih melihat Habib Ali lebih senang tinggal di Hadramaut. Ketika Habib Abu Bakar bin Abdullah Al Attas berada di Mekah; Habib Muhammad mengadukan hal ini. Habib Abu Bakar kemudian memberinya kabar gembira bahwa kelak di Hadramaut, Habib Ali akan memperoleh Ahwal yang besar dan manfaat yang banyak. Baru setelah itu, tenanglah hati Habib Muhammad, dan Allah pun mewujudkan apa yang diucapkan Habib Abu Bakar Al Attas. Ketika Habib Ali berusia 22 tahun, ayahandanya, Habib Muhammad meninggal dunia di Mekah. Habib Muhammad memegang jabatan Mufti Syafiiyah Di Mekah; setelah wafatnya Syeikh Al-Allamah Ahmad Dimyati tahun 1270 H. jabatan ini dipegangnya hingga beliau wafat

Pada hari rabu 21 Dzulhijah 1281 H. beliau dimakamkan di Ma’laa di Huthoh saadah Aal Baa Alawiy. Sedangkan ibunda Habib Ali, Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri wafat pada tanggal 6 Rabiuts tsani 1309 H

Putra –putri Habib Ali

Dari perkawinannya dengan wanita Qosam, satu anak, Abdullah.
Dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti Muhammad bin Segaf Maulakhela, 4 anak ( Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khodijah ).

Ribath Habib Ali

Ketika berusia 37 tahun, beliau membangun Ribath ( pondok pesantren ) yang pertama di Hadramaut, di kota Seiwun untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath menyerupai mesjid dan terletak di sebelah timur halaman masjid Abdul Malik. Biaya orang-orang yang tinggal di Ribath beliau tanggung sendiri. Habib Ali berkata :
”Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan Ribath ini menyimpan rahasia (sir) yang besar. Ribath ini mrnyadarkan mereka yang lalai dan membangunkan mereka yang tertidur. Berapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, berapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath ini merubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.

Pembangunan Masjid Riyadh 

Ketika berusia 44 tahun, beliau membangun Masjid Riyadh, pada tahun 1303 H.
Pada bulan syawal 1305 H, Habib Ali menggubah sebuah syair tentang Masjid Riyadh :

“Inilah Riyadh, ini pula sungai-sungainya yang mengalir
Yang memakmurkan mereguk segar airnya
Yang bermukim tercapai tujuannya
Yang berkunjung terkabul keinginannya
Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih
Maka tampaklah hasilnya”

Habib Ali berkata :

“Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW”
Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi berkata :

“Berkata penggubah syair, lembah kebaikan telah penuh
Siapa ingin hajatnya terkabul beri’tikaflah di sekitar Riyadh”

Simtud Duror

Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid Simtud Duror ; pada hari kamis 26 safar 1327 H, beliau mendiktekan paragraph awal kitab mauled tersebut. Pada hari kamis 10 Rabiul Awal 1327 H, beliau menyempurnakannya dan pada malam sabtu 12 Rabiul Awal 1327 H, beliau membaca Simtud Duror di rumah muridnya, Sayyid Umar bin Hamid As segaf.
Maulid Simtud Duror yang agung ini, mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadramaut, Haramain, Indonesia, Afrika, Dhofar dan Yaman.

Habib Ali berkata :

• ”Tanggal 27 sya’ban 1327 H, Sayyid Hamid bin Alwi Al Bar akan pergi ke Madinah Al Munawwaroh membawa satu naskah maulid Simtud Duror yang akan dibacanya di hadapan Nabi SAW. Dan Nabi SAW akan merasa sangat senang.”
• “Maulidku ini tersebar di tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah SWT dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.”
• Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) Nabi SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah SWT membukakan padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.

Wafatnya Habib Ali

Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah Isthilam; yang berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu dzuhur, hari minggu, 20 Rabiuts tsani 1333 H / 1913 M, beliau wafat. Jenazah beliau dimakamkan disebelah barat Masjid Riyadh.

Makam Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi.

Habib Ahmad bin Hasan Al Attas berkata :

”Apakah Ali banyak melakukan shalat sunah? Apakah dia tidak tidur di malam hari? Apakah dia mengerjakan sekian ribu dzikir secara tetap? Tidak! Namun beliau sangat mencintai Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka menarik Habib Ali, sehingga tanpa disadarinya, ia telah bersama mereka dan mereka berkata kepadanya, “berbicaralah dengan lisan kami”.

Kholifah Habib Ali

dalam wasiatnya, habib Ali menunjuk Habib Muhammad sebagai kholifahnya. Mengenai Habib Muhammad ini, Habib Ali berkata :

“Kalian jangan mengkhawatirkan anakku Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah dzohir dan batin. Semoga Allah SWT menjadikan dia dan saudara-saudaranya penyejuk hati, semoga mereka dapat memakmurkan Ribath dan Masjid Riyadh dengan ilmu dan amal, semoga Allah menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan semoga Allah SWT memberi mereka keturunan yang saleh, serta menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan teman-teman yang buruk.”

Habib Alwi bin Ali Al Habsyi membangun Masjid Riyadh di Solo tahun 1255 H. Beliau menyelenggarakan kegiatan ibadah dan taklim yang biasa diamalkan oleh ayahnya. Mengenai Habib Alwi ini, ayahnya ( Habib Ali ) pernah berkata dalam salah satu syairnya :

Ya Tuhan, dengan kebesaran Al Musthofa berilah Alwi Fath,
Dan berilah ia madad dari segala penjuru
Begitu pula semua saudara dan semua yang bersamanya
Dan penuhilah kedua tangannya dengan karunia-karunia-Mu
Dan jadikanlah dalam ilmu ia sebagai rujukan ahli zamannya

Murid-murid Habib Ali

1. Anak-anak beliau ( Habib Abdullah, Habib Muhammad, Habib Ahmad dan Habib Alwi )
2. Adik beliau ( Habib Syeikh bin Muhammad Al Habsyi ) dan kemenakan beliau ( Sayyid Ahmad bin Syekh Al Habsyi )
3. Sayyid Jakfar dan Abdul Qadir bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf.
4. Sayyid Muhammad bin Hadi bin Hasan Assegaf.
5. Sayyid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Assegaf
6. Sayyid Salim bin Shofi bin Syeikh Assegaf
7. Sayyid Ali binAbdul Qadir bin Salim bin Alwi Al Aydrus
8. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Zen Al Habsyi
9. Sayyid Muhammad bin Salim bin Alwi As Siri
10. Sayyid Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Masyhur
11. Sayyid Hasan bin Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih
12. Sayyid Ali binAbdurrahman bin Muhammad Al Masyhur
13. Sayyid Umar dan Sayyid Abdullah bin Idrus bin Alwi Al Aydrus
14. Sayyid Abdullah bin Ali bin Syihabuddin
15. Sayyid Abdullah bin Umar Asy Syathri
16. Syeikh Ahmad bin Abdullah bin Abu Bakar Al Khotib
17. Sayyid Muhammad bin Idrus bin Umar Al Habsyi
18. Sayyid Umar bin Abdullah bin Muhammad Al Habsyi
19. Sayyid Umar bin Abdurrahman Al Aydrus Shohib Hazm
20. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Hasan Al Attas
21. Sayyid Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah Al Atthas
22. Sayyid Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al Bar
23. Sayyid Hamid bin Alwi bin Abdullah Al Bar
24. Sayyid Muhammad dan Sayyid Musthofa bin Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al Muhdhor
25. Sayyid Muhammad dan Sayyid Umar bin Tohir bin Umar Al Haddad

Murid-murid beliau yang mencapai derajat Alim dalam ilmu Fiqih dan lainnya, selain yang menetap di Ribath antara lain :

1. Sayyid Toha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf
2. Sayyid Umar bin Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf
3. Syeikh Hasan, Ahmad dan Muhammad Baraja.

Orang-orang yang bersama beliau sepanjang hidup beliau dan seperti murid beliau adalah :

1. Sayyid Abdillah bin Ahmad bin Toha binAlwi Assegaf
2. Sayyid Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Segaf Assegaf
3. Syeikh Ahmad bin Ali Makarim
4. Syeikh Ahmad bin Umar Hassan
5. Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Zein bin Hadi bin Ahmad Basalamah
6. Syeikh Ubaid bin Awudh Ba Fali

Wasiat dan Nasihat Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

• Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah swt, wujudkanlah kebenaran janji-Nya, dan rasakanlah kebesaran rahmat-Nya. Cukuplah bagi kita firman Allah swt, seperti disabdakan Rasulullah saw, “Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka berprasangkalah kepada-Ku sesukamu.”

• Jika seorang hamba memedulikan penyakit hati seperti penyakit badan, niscaya mereka akan mendapatkan tabib di hadapan mereka. Tetapi, sedikit sekali yang membahas masalah ini, karena mereka telah dikuasai nafsu dan akal.”

• Jika tak ada ketamakan, dan tak ada satu mahluk pun keluar dari lingkaran jejak nabi saw, tidak akan ada manusia mengejar dunia yang fana ini atau berpaling dari kebahagiaan akhirat yang kekal.”

• Tak ada derajat yang lebih tinggi daripada prasangka baik. Karena di dalam prasangka baik terdapat keselamatan dan keberuntungan. Didalam keluasan rahmat Allah swt sirnalah amalmu seperti amal setiap mahluk. Di dalam rahasia Allah swt swt, yang dititipkan pada mahluk-Nya, terdapat sesuatu yang mengharuskan untuk berkeyakinan bahwa semua mahluk adalah Aulia.

• Keteguhan yang sempurna berbeda-beda. Keteguhan dalam perkataan berbeda dengan keteguhan dalam perbuatan. Keteguhan perbuatan berbeda dengan keteguhan dalam beramal. Keteguhan dalam beramal berbeda dengan keteguhan dalam mencari. Keteguhan dalam mencari berbeda dengan keteguhan dalam apa yang dicari. Sedangkan hakikatnya, secara utuh dan merupakan kedudukan yang terakhir, adalah tidak memalingkan pandangan dari Allah swt sekedip mata pun, bahkan yang lebih cepat dari itu.

• Janganlah kau putuskan kehadiranmu di tempat-tempat yang baik karena alas an kesibukan dunia. Hati-hatilah, karena itu merupakan tipu daya setan. Hadirkanlah Allah swt ketika sendirian. Sembahlah Dia, seakan melihatnya; dan jika tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.

• Tutuplah mata dari perhiasan dunia dan segala kenikmatan fana yang dimiliki budak-budaknya serta kenikmatan yang akan terputus. Sesungguhnya semuanya seperti kau saksikan bahwa dunia ini cepat berpindah dan dekat kefanaannya.

• Jadikanlah Al-Qur’an dan zikir kepada Allah swt bacaan sehari-harimu. Bertafakurlah terhadap nikmat Allah swt. Jika mungkin, setiap waktu hanya ada antara dirimu dan Allah swt, dan pada saat itu telitilah diri sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Telitilah dirimu, sebelum kalian diteliti.” Seseorang yang meneliti dirinya di dunia, perhitungan baginya akan lebih ringan di akherat kelak.

• Orang yang lalai mengira bahwa dirinya mencapai kelezatan dunia tanpa mengetahui bahwa sebenarnya kemanisan dunia bercampur dengan kepahitannya. Sedangkan kehidupan indah yang sebenarnya adalah berpaling dari dunia, kemudian masuk ke hadirat yang Maha Kaya dengan sifat faqir, miskin, lalu memetik sesuatu yang indah dari tempat itu.

• Kerjakanlah segala perintah Allah swt dan tinggalkanlah larangan-Nya. Jangan sampai Allah swt melihatmu melakukan apa yang dilarang-Nya, atau kehilangan-Mu pada perintahnya. Bangkitlah untuk memenuhi hak Allah swt. Bersemangatlah melakukan sesuatu yang membuat para salaf Mulia.

• Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan qurb ( kedekatan ) kepada Allah swt, air telaga dari celah wishal ( persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan.

• Yang selalu memperlambat terkabulnya doa’ seorang hamba adalah karena harapan yang rendah : mengharapkan sesuatu dari mahluk. Angkatlah pandanganmu secara keseluruhan kepada zat yang dibutuhkan semua mahluk….maka akan tampak tanda-tanda terkabulnya doa’. 

(Al-Kisah No.15/tahun III/18-31 juli 2005, al-Kisah No.11 / Tahun IV/ 22 Mei- 4 Juni 2006 dan Manaqib Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi; oleh Novel Muhammad Al-Aydrus)


al-Habib Alwi bin Ali Al - Habsyi ( Solo )
Betapa sedihnya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Pemuda berusia 22 tahun itu ditinggal wafat ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al- Habsyi, Sohibul Simtud Duror, pada tahun 13331 H / 1913 M. kota Seiyun, Hadramaut, yaman, itu terasa asing bagi ayah satu anak ini, Habib Alwi adalah anak bungsu, paling disayang Habib Ali. Begitu juga, Habib Alwi pun begitu menyayangi ayahnya, sehingga dirinya bagaikan layangan yang putus benangnya.

Beliau adalah Alwy bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW

Hababah Khodijah, kakak sulungnya, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil. Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putrid Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.

Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Douman, antri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.

Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.

Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.

Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.
Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.

Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tyersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.

Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dinia, yaitu ruang antara kamar Nabi saw dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghdap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.

Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikinjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.

Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.

Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.

Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib tayfiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.

Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.

Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.

"Sebetulnya waktu itu Habib Anis belum siap untuk menggantikan peran ayahnya. Tetapi karena menjunjung amanah, wasiat itu diterimanya. Jadi dia adalah anak muda yang berpakaian tua." Tutur Habib Ali Al-Habsyi, adik Habib Anis dari lain ibu.

Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, abun dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah swt bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.

Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo.

Ada peristiwa unik yang mungkin baru pertama kali di Indonesia, bahkan di Dunia. Para kerabat dan Kru pesawat terbang AURI membacakan Tahlil di udara.

Masalah lain timbul lagi. Pada tahun itu, sulit mendapatkan izin memakamkan seseorang di lahan pribadi, seperti halaman Masjid Riyadh. Namun berkat kegigihan Yuslam Badres, yang kala itu menjadi anggota DPRD kota Solo, izin pun bisa didapat, khusus dari gubernur Jawa tengah, sehingga jenazah Habib Alwi dikubur di selatan Masjid Riyadh.

Makmnya sekarang banyak di ziarahi para Habib dan Muhibbin yang datang dari berbagai kota. Beliau dikenang serbagai ulama yang penuh teladan, tangannya tidak lepas dari tasbih, juga dikenal sangat menghormati tamu yang datang kepadanya. Habib Alwi pin tidak pernah disusahkan oleh harta benda. Meski tidak kaya, ketika mengadakan acara haul atau Maulidan, ada saja uang yang didapatnya. Allah swt telah mencukupi rezekinya dari tempat yang tidak terduga.

Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006


Al-Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus (Habib Keramat Luar Batang)

Beliau lahir di Migrab, dekat Hazam, Hadramaut, Datang di Betawi sekitar tahun 1746 M. Berdasarkan cerita, bahwa beliau wafat di Luar Batang, Betawi tanggal 24 Juni 1756 M. bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 Hijriyah dalam usia lebih dari 30 tahun ( dibawah 40 tahun ). Jadi diduga sewaktu tiba di Betawi berumur 20 tahun. Habib Husein bin Abubakar Alaydrus memperoleh ilmu tanpa belajar atau dalam istilah Arabnya “ Ilmu Wahbi “ , yaitu pemberian dari Allah tanpa belajar dahulu. Silsilah beliau : Habib Husein bin Abubakar bin Abdullah bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Husein bin Abdullah bin Abubakar Al-Sakran bin Abdurrahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath.
Habib Husein yang lebih terkenal dengan sebutan Habib Keramat Luar Batang, mempunyai perilaku “ Aulia “ (para wali) yang di mata umum seperti ganjil. Seperti keganjilan yang dilakukan beliau, adalah :
Habib Husein tiba di Luar Batang, daerah Pasar Ikan, Jakarta, yang merupakan benteng pertahanan Belanda di Jakarta. Kapal layar yang ditumpangi Habib Husein terdampat didaerah ini, padahal daerah ini tidak boleh dikunjungi orang, maka Habib Husein dan rombongan diusir dengan digiring keluar dari teluk Jakarta. Tidak beberapa lama kemudian Habib Husein dengan sebuah sekoci terapung-apung dan terdampar kembali di daerah yang dilarang oleh Belanda. Kemudian seorang Betawi membawa Habib Husein dengan menyembunyikannya. Orang Betawi ini pun berguru kepada Habib Husein. Habib Husein membangun Masjid Luar Batang yang masih berdiri hingga sekarang. Orang Betawi ini bernama Haji Abdul Kadir. Makamnya di samping makam Habib Husein yang terletak di samping Masjid Luar Batang.
Habib Husein sering tidak patuh pada Belanda. Sekali Waktu beliau tidak mematuhi larangannya, kemudian ditangkap Belanda dan di penjara di Glodok. Di Tahanan ini Habib Husein kalau siang dia ada di sel, tetapi kalau malam menghilang entah kemana. Sehingga penjaga tahanan (sipir penjara) menjadi takut oleh kejadian ini. Kemudian Habib Husein disuruh pulang, tetapi beliau tidak menghiraukan alias tidak mau pulang, maka Habib Husein dibiarkan saja. Suatu Waktu beliau sendiri yang mau pergi dari penjara.
Sumber dari Buku Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi – Idrus Alwi Almasyhur
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-husein-bin-abubakar-alaydrus/


 

Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih Al-Alawy

Hafal Ribuan Hadits
Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
diringkas dari manakib tulisan Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdul-qadir-bin-ahmad-bilfagih-al-alawy/


Al-Habib Abdul Qadir bin Alwy Assegaf

Angin Segar dari Kota Tuban
Auliya’ ini dikenal banyak membawa angin segar bagi umat, terutama di kota Tuban dan sekitarnya. Para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau
Sosok Habib Abdul Qadir dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang ramah tamah, murah senyum dan dermawan. Semua orang yang mengenalnya, pasti akan mencintainya. Tidak heran bila para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau. Salah satunya, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, beliau selalu mengunjungi semasa hidup mau pun sesudah wafatnya. Wali Kramat dari Empang, Bogor itu bersyair dengan pujian,”Telah bertiup angin segar dari Kota Tuban….” Auliya lain yang sering mengunjunginya adalah Habib Ahmad bin Abdullah Alattas, Pekalongan dan Habib Abdul Qadir bin Quthban.
Habib Abdul Qadir bin Alwy As-Segaf dilahirkan di Seiwun pada tahun 1241 H. Sejak kecil ia telah dididik secara khusus oleh paman beliau, Habib Abdurrahman bin Ali Assegaf. Oleh sang paman, Habib Abdul Qadir selalu diajak berziarah ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya di Seiwun. Dalam berziarah ke tempat para auliya’, ia pun pernah menyaksikan kejadian yang menakjubkan hatinya, yakni saat berziarah ke makam Syaikh Umar Ba Makhramah. Dimana, Habib Abdurrahman ketika di dalam kubah makam Syaikh Umar Ba Makhramah, tiba-tiba Syaikh Umar bangun dari kuburnya dan bercakap-cakap dengan Habib Umar. Habib Abdul Qadir menyaksikan kejadian itu secara yaqadzah (terjaga, bukan melalui mimpi).
Habib Abdul Qadir dikenal sejak usia remaja berteman akrab dengan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Sahibul Maulid Simthud Durar) dan Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad (Sahibur Ratib Hadad). Bahkan di akhir umur Habib Abdullah Al-Hadad pernah berkirim surat kepada Habib Abdul Qadir yang diantaranya berisi,”Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut.” Tidak lama setelah itu Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad wafat, 27 hari kemudian Habib Abdul Qadir juga wafat. Beliau juga mempunyai hubungan yang istimewa dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya) dan Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar (Bondowoso).
Kedekatan hubungan Habib Abdul Qadir dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi tidak lepas dari kejadian menimpa Habib Muhammad yang sering kali tidak bisa menguasai diri ketika kedatangan hal (keadaan luar biasa yang meliputi seseorang yang datang dari Allah SWT). Dalam keadaan seperti itu Habib Muhammad tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.
Suatu saat Habib Muhammad kedatangan hal ketika sedang berjalan, kebetulan saat itu Habib Abdul Qadir sedang berada di dekatnya. Melihat keadaan Habib Muhammad yang hampir tidak sadarkan diri, Habib Abdul Qadir segera menyadarkannya, sehingga Habib Muhammad pun sadar dan melihat Habib Abdul Qadir telah berada di depannya. Mereka berdua akhirnya berpelukan,”Ini adalah sebaik-baik obat,”kata Habib Muhammad dengan raut wajah yang gembira. Sejak itulah, hubungan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir semakin erat dan saking dekatnya, Habib Muhammad menyatakan bahwa menceritakan tentang keadaaan Habib Abdul Qadir lebih manis dari madu. Kecintaan itu juga oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi diungkapkan dalam syair:
Wahai malam yang penuh cahaya/
Semua permintaan telah terkabul/
Hari ini aku datang ke Tuban di awal bulan/
Putra Alwi yang kucintai/
Kelezatannya tiada bandingan/
Dia lah pintu masuk dan pintu keluar kita/
Obat bagi yang kena segala penyakit/
Dari hatinya memancar rahasia sempurna/
Semoga dengan berkahnya, dosa dan salah kita diampuni//
Pernah suatu ketika Habib Abdul Qadir dalam perjalanan pulang dari haji bersama rombongan dengan mempergunakan perahu. Ternyata perahu yang dinaikinya berlubang, air pun masuk menerobos dengan deras ke dalam perahu. Orang-orang panik dan segera mengurasnya. Tapi, air yang masuk bukan semakin habis, malah semakin banyak dan memenuhi seluruh perahu hingga hampir tenggelam. Keringat dan air laut berpadu membasahi pakaian yang dikenakan mereka yang tengah berusaha dengan keras menguras air dalam perahu. Para penumpang menangis karena putus asa.
Melihat hal itu Habib Abdul Qadir segera masuk ke dalam bagasi kapal beserta dua isterinya. Setelah menutup pintu beliau berdoa sambil mengangkat tangannya memohon kepada Allah. Tiba-tiba datanglah empat orang lelaki yang telah berdiri di hadapannya, kemudian salah satunya menepuk punggungnya.”Hai Abdul Qadir! Aku Umar Muhadar,”katanya sambil memperkenalkan tiga orang yang ada disebelahnya,”Ini kakekmu, Alwi bin Ali bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Itu kakekmu, Abdurrahman Assegaf dan yang itu Syaikh Abu Bakar bin Salim.”
Setelah itu lelaki tersebut menyuruh Habib Abdul Qadir menguras air dan keempat lelaki asing itu pun lalu menghilang.
“Apakah kalian melihat empat orang tadi?” tanya Habib Abdul Qadir kepada kedua isterinya.
“Tidak,” jawab mereka.
Habib Abdul Qadir segera keluar dan menyuruh para penumpang untuk menguras kembali air laut yang masuk ke dalam perahu. Tak berapa lama kemudian, perahu besar itu sudah tidak berisi air lagi. Ternyata lubang tadi telah lenyap, papan-papannya tertutup rapat seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Dikisahkan pula, suatu malam Habib Abdul Qadir bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW tengah menuntun Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr. Lalu Nabi SAW menyuruhnya membaca Doa Khidir AS sebanyak 50 kali setiap pagi dan sore. Habib Abdul Qadir merasa bilangan itu terlalu banyak. Ia ingin agar Habib Hasan memintakan keringanan untuknya, belum sempat diutarakan, Nabi SAW bersabda,”Bacalah sebanyak lima kali saja, tetapi pahalanya tetap 50.” Gambaran ini persis seperti lafadz barjanji ketika mengisahkan Isra’ Mi’raj. Seketika itu, Habib Abdul Qadir terjaga dari tidurnya dan membaca doa Nabi Khidir dari awal sampai akhir, padahal dia belum pernah tahu doa tersebut sebelumnya.
Ia lalu mencari teks doa itu dan menemukannya di kitab Maslakul Qarib, tetapi di sana ada tambahan dan pengurangan. Sampai akhirnya ia menemukan teks yang sama persis di kitab Ihya’ juz 4 dalam bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Imam Ghozali menyebutkan faedah dan pahala yang sangat banyak dalam doa ini. Jelaslah bahwa itu termasuk salah satu karamah Habib Abdul Qadir, sebab ia hafal doa yang cukup panjang hanya dengan dituntun Nabi Muhammad SAW. Dalam khasanah dunia pesantren, cara menghafal demikian disebut ilmu paled! atau apal pisan langsung wuled(sekali dengar langsung hafal).
Ketika ia sakit di akhir umurnya, salah seorang putranya yang bernama Umar mengusahakan kesembuhan dengan cara bersedekah atau yang lainnya. Ketika Habib Abdul Qadir tahu, ia langsung berkata,”Jangan merepotkan diri, karena Malaikat Maut sudah dua atau tiga kali mendatangiku.”
Dalam sakit itu pula ia sering menyambut kedatangan ahlil ghaib di tengah malam dan berbincang-bincang dengan mereka. Kejadian tersebut berlangsung hampir setiap malam, sampai suatu saat ditemukan secarik kertas di dekatnya yang bertuliskan syair,”Telah datang pada kami, Shohibul Waqt, Khidir dan Ilyas. Mereka memberiku kabar gembira seraya berkata,’Kau dapatkan hadiah serta pakaian. Jangan takut! Jangan khawatir dengan kejahatan orang yang dengki, serta syaitan’.”
Tidak lama setelah itu, ia meninggalkan alam yang fana ini tepatnya pada tanggal 13 Rabiul Awal 1331 H (1912 M). Jasadnya yang suci kemudian dimakamkan di pemakaman Bejagung, Tuban. Haul Habib Abdul Qadir biasanya diperingati pada bulan Sya’ban di Jl Pemuda, Tuban.
Dok. Cahaya Nabawiy
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdul-qadir-bin-alwy-assegaf/


AL-HABIB ABDULLAH ASY-SYATHIRY
Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry berguru kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Dhiyar Hadramaut). Setelah itu, beliau pergi ke Seiwun untuk belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi selama 4 bulan. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kota Makkah dan belajar dari para ulama di kota tersebut selama 4 tahun.
Dalam sehari, tidak kurang dari 12 mata pelajaran yang dipelajari oleh beliau, diantaranya Nahwu, Tafsir, Figih, Tauhid dll. Seusai belajar, beliau pergi ke Multazam dan berdoa disana, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar ilmuku dapat bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia dari timur hingga ke barat”. Dan Allah akhirnya mengabulkan doa beliau. Setelah beliau menamatkan pelajarannya, beliau kembali pulang ke kota Tarim dan mengajar di Rubath Tarim selama 50 tahun.
RUBATH TARIM
Rubath Tarim adalah rubath yang tertua di Hadramaut dan terletak di kota Tarim. Rubath ini usianya mencapai 118 tahun. Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim yang hidup jauh sebelum masa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry setiap kali pergi ke kota Tarim, beliau selalu berhenti di suatu tanah sambil berkata, “Tanah ini nantinya akan menjadi sebuah Rubath…”.
Benarlah apa dikatakan oleh beliau, diatas tanah itu akhirnya terbangunlah Rubath Tarim. Dikatakan di sebagian riwayat bahwa 2 wali min Auliyaillah Al-Fagih Al-Muqoddam dan Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim selalu menjaga Rubath Tarim. Juga dikatakan bahwa setiap harinya arwah para auliya turut menghadiri majlis-majlis taklim di Rubath.
MURID-MURID BELIAU
Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Tidak kurang dari 13.000 ulama tercatat sebagai alumni Rubath (ma’had/ponpes) Tarim yang diasuh oleh beliau. Bahkan riwayat lain menyebutkan lebih dari 500.000 ulama pernah belajar dari beliau. Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Alhaddad sempat berkata, “Tidak pernah aku masuk ke suatu desa, kota atau tempat lainnya, kecuali aku dapatkan bahwa ulama-ulama di tempat tersebut adalah murid dari Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry atau murid dari murid beliau”.
Sebagian ulama alumni Rubath pimpinan Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry diantaranya adalah :
Di Hadramaut
Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Bin Syeikh Abubakar
Beliau adalah pimpinan Rubath Syihir. Setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh Al-Habib Kadhim bin Ja’far bin Muhammad Assegaf. Semasa belajar di Rubath Tarim, beliau Al-Habib Ahmad belum pernah tidur. Tempat tidur beliau selalu kosong dan rapi dan hal ini berlangsung selama 10 tahun.
Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar
Beliau belajar kepada Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry selama 4 tahun. Semasa belajar, beliau selalu menghafal pelajaran di pinggiran atap (balkon) Rubath Tarim. Beliau pernah berkata, “Kalau saya masih mau hidup, saya harus menghafalkan pelajaran dan tidak boleh tidur”. Kalau hendak tidur, beliau selalu mengikat kakinya dengan tali dan diikatkan ke jendela kecil. Beliau hanya tidur selama beberapa jam. Sisanya dipergunakan untuk mendalami ilmu agama. Jika waktunya bangun, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab menarik tali yang terikat di kaki Al-Habib Muhammad sambil berseru, “Wahai Muhammad, bangunlah…!”, lalu terbangunlah beliau. Itulah sebagian mujahadah beliau sewaktu belajar di Rubath Tarim.
Al-Habib Hasan bin Ismail Alhamid
Beliau adalah pimpinan Rubath Inat. Di Rubath Tarim beliau belajar selama beberapa tahun, lalu beliau diperintahkan oleh Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry untuk membuka Rubath di kota Inat. Sampai sekarang Rubath Inat terus berkembang dan berkembang.
Di Indonesia
Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.
Beliau adalah seorang wali Qutub dan pimpinan Ma’had Darul Hadits Malang. Dari sebagian murid beliau diantaranya putera beliau sendiri Al-Habib Abdullah, Al-Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan dll.
Al-Habib Abdullah bin Husin Al-’Attas As-Syami
Beliau seorang wali min auliyaillah dan tinggal di Jakarta. Sampai sekarang beliau masih ada (semoga Alloh memanjangkan umurnya dan memberikan manfaat kepada kita dari keberadaannya)
Al-Habib Abdullah bin Ahmad Alkaf
Beliau tinggal di kota Tegal. Beliau adalah ayah dari Ustadz Thohir Alkaf, seorang dai yang melanjutkan tongkat estafet dakwah ayahnya.
Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Alkaf
Beliau adalah pengarang kitab Sullamut Taysir.
dan masih banyak lagi anak didik beliau Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry yang tak dapat ditulis satu persatu. Putera beliau Al-Habib Salim pernah ditanya oleh seseorang, “Kenapa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry tidak mengarang kitab sebagaimana umumnya para ulama ?”. Beliau Al-Habib Salim menjawab, “Beliau tidak mengarang kitab, tapi mencetak ulama-ulama”.
Beliau RA dilahirkan pada bulan Romadhon tahun 1290 H di kota Tarim Al-Ghonna, tepatnya di sebelah Rubath Tarim. Beliau hidup dan tumbuh di lingkungan kalangan kaum Sholihin.
NASAB BELIAU
Abdulloh bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husin bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alwi Asy-Syathiry bin Al-Fagih Ali bin Al-Qodhi Ahmad bin Muhammad Asaadulloh bin Hasan At-Turobi bin Ali bin Al-Fagih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali dan terus bersambung hingga sampai dengan datuk beliau yang termulia Rasululloh SAW.
Garis nasab beliau adalah pohon nasab yang penuh petunjuk dan hidayah. Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam perkataan Al-Habib Abdulloh bin Alwi Alhaddad :
“Mereka mengikuti jejak Rasululloh dan para sahabatnya
serta para tabi’in maka berjalanlah kamu dan ikutilah mereka
Mereka berjalan menuju suatu jalan kemuliaan
generasi demi generasi dengan begitu kokohnya”
NASAB IBU DAN AYAH BELIAU
Adapun nasab ibu beliau yang sholihah afifah adalah Nur binti Umar bin Abdulloh bin Husin bin Syihabuddin.
Ayah beliau adalah Al-Habib Umar bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry. Beliau Al-Habib Umar meninggal di kota Tarim pada tanggal 2 atau 4 Syawal 1350 H. Beliau adalah merupakan salah seorang pembesar kota Tarim yang terpandang, kaya raya, jenius dan pendapat-pendapatnya jitu dan diikuti.
Al-Habib Umar mempunyai andil yang cukup besar didalam mendidik anak-anaknya, memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu dan menyebarluaskannya dalam dakwah fisabilillah. Kemuliaan dan keutamaan beliau yang terbesar adalah didalam mendidik dan mendorong putra-putranya agar menjadi orang besar serta kemampuan keuangannya didalam mencukupi putra-putranya.
MASA BELAJAR BELIAU
Ketika Al-Habib Abdulloh bin Umar Asy-Syathiry mencapai usia tamyiz (mampu makan, minum dan istinja’ tanpa dibantu orang lain), beliau diperintahkan oleh ayah dan kakeknya untuk mempelajari ilmu agama, yaitu belajar kitab Syeikh Barosyid. Beliau kemudian belajar membaca dan menulis serta membaca Al-Qur’an kepada 2 orang ulama yang paling terkemuka di jaman itu. Mereka adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Bahalmi dan putranya Syeikh Abdurrahman. Setelah tamat belajar pada Syeikh Muhammad dan putranya, beliau yang masih kecil pada saat itu mengatur waktu belajarnya sendiri di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus.
Teman akrab beliau saat belajar di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus adalah Al-Habib Abdul Bari’ bin Syeikh Alaydrus. Begitu dekat hubungan antara keduanya hingga Habib Abdul Bari Alaydrus berkata, “Al-Habib Abdulloh Asy-Syathiry benar-benar belajar denganku di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus”.
Guru beliau yang mengajar disana waktu itu adalah Syihabuddin (lentera agama) Habib Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Alkaf. Habib Ahmad adalah orang yang sangat takwa. Selain Habib Ahmad Alkaf, guru beliau yang lain waktu itu adalah Al-Habib Syeikh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus yang terkenal dengan selalu memakai pakaian yang terbaik. Beliau belajar dari kedua guru tersebut dalam bidang figih dan tasawuf, hingga beliau hafal beberapa juz Al-Qur’an. Beliau memiliki semangat belajar yang tinggi dan selalu mencurahkan waktunya untuk mendalami ilmu agama.
Setelah belajar dari kedua guru beliau tersebut, Al-Habib Abdulloh Asy-Syathiry melanjutkan belajar kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur Mufti Dhiyar (pengarang kitab Bughyatul Murtarsyidin) dan juga belajar kepada Al-Habib Al-’Allamah penyebar bendera dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abubakar Almasyhur. Selain itu beliau juga mempelajari dari para ulama yang tinggal di kota Tarim ilmu-ilmu agama seperti figih, tafsir, hadits, tasawuf, mantiq (kalam) dan lain-lain.
Antusias beliau seakan tak pernah surut untuk semakin memperdalam ilmu agama. Untuk itu beliau pergi ke kota Seiwun. Disana beliau belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Alhabsyi (pengarang maulud Simthud Duror) selama 4 bulan. Meskipun tak seberapa lama, beliau benar-benar memanfaatkan waktu dan mengaturnya dengan baik, sehingga dengan waktu yang sedikit tersebut dapat menghasilkan ilmu yang lebih banyak dari yang beliau dapatkan sebelumnya. Selain itu beliau juga belajar kepada saudara Al-Habib Ali, yaitu Al-Habib Alwi bin Ali Miuhammad bin Husin Alhabsyi.
Setelah menamatkan pelajarannya, beliau kembali ke kota Tarim. Beliau tidak pernah merasa cukup untuk menuntut ilmu. Himmah (keinginan kuat) beliau untuk belajar tak pernah pudar, bahkan semakin bertambah, sehingga beliau dapat menghafalkan banyak matan terutama dalam ilmu figih seperti matan Al-Irsyad yang beliau hafalkan sampai bab Syuf’ah.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdullah-asy-syathiry/


Al-Habib Abdullah Ba’alawi Ibnul Ustadzul A’dzam

Beliau dikenali sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang kenamaan di masanya. Tentang karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pada suatu hari beliau melihat seorang minum Khamer di Mekkah. Beliau memperingatkan orang itu agar berhenti dari perbuatan mungkarnya. Namun peminum Khamer itu menjawab: “Aku adalah seorang penjahit, aku minum Khamer ini agar membantu daya khayalku dalam menjahit”. Tanya beliau: “Maka Allah memberimu kekayaan apakah anda akan mengulangi perbuatanmu yang semacam ini?” Jawab peminum itu: “Tidak”. Mendengar ucapan orang itu beliau segera mendoakan agar ia diberi kekayaan dan dibukakan jalan untuk bertaubat. Berkat doa beliau orang itu bertaubat dan Allah pun memberinya kekayaan yang berlimpah-limpah.
Sebahagian riwayat mengatakan bahawa Ahmad bin Abdullah Ba’amir pernah bercerita: “Aku pernah menitipkan wang beberapa Dirham kepada Muhammad Ba’ubaid. Kebetulan rumah Muhammad Ba’ubaid terbakar dan hartaku pun ikut terbakar sehingga aku sangat susah kerananya. Aku datang kepada guruku Sayid Abdullah Ba’alawi untuk kuadukan persoalanku tersebut. Narnun beliau tidak menanggapi persoalanku itu. Isterinya memohon pertolongan pada beliau agar beliau mau menolong padaku. Beliau mengatakan sesuatu pada pelayannya. Pelayan itu segera meninggalkan beliau. Tidak seberapa lama ia datang dengan membawa sebuah kantung yang berisi wang Dirham. Sekantung wang Dirham itu segera diserahkan padaku. Waktu kuperhatikan seluruh wang Dirham yang ada dalam kantung itu ternyata adalah wangku yang terbakar di rumah Muhammad Ba’ubaid”.
Diriwayatkan bahawasanya ada serombongan kaum fakir yang lapar datang kepada beliau. Beliau menyuruh pelayannya untuk pergi tempat penyimpanan kurma. lawab pelayannya: “Tempat penyimpanan kurma itu telah habis isinya”. Beliau tetap menyuruh pelayannya untuk pergi mengambil kurma dari tempat tersebut. Narnun pelayan itu tetap menjawab seperti jawabannya semula. Setelah itu beliau berkata: “Pergilah ke tempat penyimpanan kurma itu nanti kamu akan mendapatkan kurma di tempat tersebut”. Waktu pelayan itu pergi ke tempat penyimpanan kurma yang ditunjukkan oleh beliau ternyata ia dapatkan kurma dalam tempat itu cukup untuk memberi makan sekelompok kaum fakir yang berkumpul di rumah beliau. Bahkan setiap orang dari mereka pulang dengan perut kenyang dan membawa sisa kurma yang masih banyak itu ke rumahnya masing-masing.mendamaikannya dengan keluarga Bani Ahmad yang mengancam untuk merosak ladangnya. Beliau segera menunggang kudanya pergi ke tempat Bani Ahmad dan menganjurkan mereka untuk mengurungkan niat mereka. Namun mereka menolak anjuran beliau. Untuk merendahkan keterangan itu beliau berkata: “Ladang orang itu adalah milikku jangan kamu berani mengganggunya kalau ingin selamat”. Kemudian beliau pergi meninggalkan keluarga Bani Ahmad. Mendengar tentangan yang sedemikian itu sebahagian orang tua dari keluarga Bani Ahmad berkata: “Sebenarnya kamu telah mendengar apa yang diucapkan oleh Sayid Abdullah dan aku takut kamu akan merasakan akibatnya jika kamu sampai berani melaksanakan niat kamu, sebaiknya kamu kirimkan keldai kamu untuk makan dari hasil ladang petani itu, jika ia selamat maka kamu boleh melaksanakan niat kamu, namun jika ia terkena musibah maka kamu harus meninggalkan niat kamu”. Usul baik itu diterima dan segera mereka mengirirnkan keldai mereka untuk merosak tanaman dari ladang petani itu. Waktu keldai mereka makan sebahagian dari tanaman yang ada dalam ladang petani itu, dengan izin Allah keldai itu jatuh tersungkur mati seketika itu juga. Sehingga mereka tidak jadi melaksanakan niat mereka.
Diriwayatkan bahawa salah seorang murid beliau yang bernama Syeikh Muflih bin Abdillah bin Fahd pernah menceritakan tentang pengalamannya dengan beliau: “Di suatu tahun ketika aku akan berangkat ke Haji aku datang pada Sayid Abdullah bin Alwi untuk minta izin dan minta bantuan wang buat ongkos dalam perjalanan. Jawab beliau: “Apakah kamu mau menerimanya di sini ataukah aku pesankan pada salah seorang kawan kami yang berada di Mina untuk memberikan segala macam keperluanmu?” Jawabku: “Biar aku minta di Mina saja”. Jawab beliau: “Jika kamu telah sampai di Mina carilah si Fulan bin Fulan kelak ia akan memberikan segala apa yang kamu minta”. Tepat setelah selesai menjalankan ibadat Haji waktu kami tanyakan orang yang disebutkan oleh Sayid Abdullah itu, kami ditunjukkan ke tempatnya oleh orang yang mengenalnya. Setelah bertemu dengan orang yang kucari, aku terangkan apa yang dikatakan oleh Sayid Abdullah padaku. Orang tersebut menanyakan padaku dimanakah beliau sekarang berada?” Aku jawab: “Beliau kini sedang berada di kota Tarim (Hadramaut)”. Orang itu hanya meniawab: “Kelmarin di hari Wuquf beliau berkumpul dengan kami di Arafah sambil memakai pakaian ihram”. Kemudian orang itu memberikan apa yang kuminta padanya. Waktu aku tiba di kota Tarim beliau menyambut kedatanganku dari Haji sambil mengucapkan selamat. Jawabku: “Aku ucapkan selamat pula bagimu, aku dengar dari orang itu bahawa Sayid kelmarin berwuquf di Arafah juga”. Jawab beliau: “Jangan kamu beritahukan pada seorangpun tentang kehadiranku di Arafah selama aku masih hidup”.
Sayid Abdullah bin Alwi ini wafat di tahun 731 H, dalam usia sembilan puluh tiga tahun.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdullah-baalawi-ibnul-ustadzul-adzam/


Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir

Beliau lahir di Tarim, sebuah kota kecil di Yaman Selatan pada tahun 1191 Hijriyah. Menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Hadhramaut dan ulama-ulama besar dari Makkah dan Madinah. Dengan kemauan yang kuat dan kecerdasan yang luar biasa serta kebersihan dan keikhlasan hatinya, beliau pada akhirnya menjadi salah seorang ulama paling besar pada masanya.Dari beliau banyak sekali lahir murid-murid yang kemudian menjadi ulama-ulama besar di antaranya adalah Al-Allamah Muhammad bin Husain Al-Habsyi dan Al-Habib Ali Al-Habsy, penulis risalah Maulid Nabi Muhammad s.a.w yang terkenal (Simthud Duror).
Dari tangan beliau juga lahir karya-karya (kitab) yang cukup fenomenal, antara lain Diwan (kumpulan syair), al-Washiah an-Nafi’ah fi Kalimat Jami’ah, Dzikru al-Mu’minin bima Ba’atsa bihi Sayyidil Mursalin (berisi tentang ajakan untuk mengerjakan amal salih), Silmu at-Taufiq (tentang fiqih), Miftahul I’rab (tentang ilmu nahwu) dan Majmu’ (yang sekarang ada di tangan pembaca).
Beliau meninggal pada usia 81 tahun, yakni pada tahun 1272 Hijriyah. Tepatnya, setelah menjalani kehidupan yang penuh dengan perjuangan di jalan Allah, baik dalam ilmu agama maupun perjuangan politiknya, dengan mengatakan yang benar di hadapan penguasa pada masa itu.
Demikianlah sekelumit tentang riwayat hidup beliau. Semoga Allah meridhai perjuangan beliau dan membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdullah-bin-husain-bin-thahir/


Al-Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas

Sejarah Ringkas Habib Abdullah Dan Masjid Keramat Empang Bogor
Kawasan Empang Bogor Selatan, Kota Bogor menjadi terkenal karena di lokasi itu berdiri Masjid Keramat An Nur yang lokasinya tepat di Jalan Lolongok.
Di Kompleks Masjid An nur itulah, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas di makamkan, bersama dengan makam anak-anaknya yaitu Al Habib Mukhsin Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Zen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Husen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti Abdullah Al Athas, dan makam murid kesayangannya yaitu Al Habib Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir.
Dalam Manakibnya disebutkan bahwa Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas adalah seorang “ Waliyullah” yang telah mencapai kedudukan mulia dekat dengan Allah SWT. Beliau termasuk salah satu Waliyullah yang tiada terhitung jasa-jasanya dalam sejarah pengembangan Islam dan kaum muslimin di Indonesia. Beliau seorang ulama “Murobi” dan panutan para ahli tasauf sehingga menjadi suri tauladan yang baik bagi semua kelompok manusia maupun jin.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin. Bin Muhammad. Bin Abdullah. Bin Muhammad. Bin Mukhsin. Bin Husen. Bin Syeh Al Kutub, Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas adalah seorang tokoh rohani yang dikenal luas oleh semua kalangan umum maupun khusus. Beliau adalah “Ahli kasaf” dan ahli Ilmu Agama yang sulit ditandingi keluawasan Ilmunya, jumlah amal ibadahnya, kemulyaan maupun budi pekertinya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas beliau asli dari Yaman Selatan dilahirkan di desa hawrat
salah satu desa di Al Kasar, Kampung kharaidhoh, “Khadramaut” pada hari Selasa 20 Jumadi Awal 1275 hijriah. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan rohani dan perhatian khusus dari Ayahnya. Beliau mepelajari Al Qur’an dimasa kecilnya dari Mu’alim Syeh Umar Bin Faraj Bin Sabah.
Dalam Usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qui’an. Kemudian beliau oleh Ayahnya diserahkan kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan Keimanan.
Diantara guru–guru beliau, salah satunya adalah Assyayid Al Habib Al Qutbi Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, dari guru yang satu itu beliau sempat menimba Ilmu–Ilmu rohani dan tasauf, Beliau mendapatkan do’a khusus dari Al Habib Abu Bakar Al Athas, sehingga beliau berhasil meraih derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang patut dibanggakan adalah yang mulya Al Habib Sholih Bin Abdullah Al Athas penduduk Wadi a’mad.
Habib Abdullah pernah membaca Al Fatihah dihadapan Habib Sholeh dan Habib Sholeh menalkinkan Al Fatihah kepadanya Al A’rif Billahi Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Habsi. ketika melihat Al Habib Abdullah Bin Mukhsin yang waktu itu masih kecil beliu berkata sungguh anak kecil ini kelak akan menjadi orang mulya kedudukannya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin pernah belajar Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad Bin Zen Al Habsi kepada Al Habib Abdullah Bin A’lwi Alaydrus sering menemui Imam Al Abror Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Muhdhor. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa Waliyulllah yang tingal di hadramaut seperti Al Habib Ahmad Bin Abdullah Al Bari seorang tokoh sunah dan asar. Dan Syeh Muhammad Bin Abdullah Basudan. Beliau menetap di kediaman Syeh Muhammad basudan selama beberapa waktu guna memperdalam Agama.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya.
Selama di tanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama–ulama Islam terkemuka. Kemudian, seusai menjalankan ibadah haji, beliau pulang ke Negrinya dengan membawa sejumlah keberkahan. Beliau juga mengunjungi Kota Tarim untuk memetik manfaat dari wali–wali yang terkenal.
Setelah dirasa cukup maka beliau meninggalkan Kota Tarim dengan membawa sejumlah berkah yang tidak ternilai harganya. Beliau juga mengunjungi beberapa Desa dan beberapa Kota di Hadramaut untuk mengunjungi para Wali dan tokoh–tokoh Agama dan Tasauf baik dari keluarga Al A’lwi maupun dari keluarga lain.
Pada tahun 1283 H, Beliau melakukan ibadah haji yang kedua. Sepulangnya dari Ibadah haji, beliau berkeliling ke berbagai peloksok dunia untuk mencari karunia Allah SWT dan sumber penghidupan yang merupakan tugas mulya bagi seorang yang berjiwa mulya. Dengan izin Allah SWT, perjalanan mengantarkan beliau sampai ke Indonesia. beliau bertemu dengan sejumlah Waliyullah dari keluarga Al Alwi antara lain Al Habib Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Athas.
Sejak pertemuanya dengan Habib Ahmad beliau mendapatkan Ma’rifat. Dan, Habib Abdullah Bin Mukhsin diawal kedatangannya ke Jawa memilih Pekalongan sebagai Kota tempat kediamannya. Guru beliau Habib Ahmad Bin Muhammad Al Athas banyak memberi perhatian kepada beliau sehinga setiap kalinya gurunya menunjungi Kota Pekalongan beliau tidak mau bermalam kecuali di rumah Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos.
Dalam setiap pertemuan Habib Ahmad selalu memberi pengarahan rohani kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin sehingga hubungan antara kedua Habib itu terjalin amat erat. Dari Habib Ahmad beliau banyak mendapat manfaat rohani yang sulit untuk dibicarakan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Dalam perjalan hidupnya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas pernah dimasukan kedalam penjara oleh Pemerintah Belanda, mungkin pengalaman ini telah digariskan Allah. Sebab, Allah ingin memberi beliau kedudukan tinggi dan dekat dengannya. Nasib buruk ini pernah juga dialami oleh Nabi Yusuf AS yang sempat mendekam dalam penjara selama beberapa tahun. Namun, setelah keluar dari penjara ia diberi kedudukan tinggi oleh penguasa Mashor yang telah memenjarakannya.
Karomah dan Kekeramatan Habib Abdullah
Selama di penjara ke keramatan Habib Abdullah Bin Mukhsin semakin tampak sehingga semakin banyak orang yang datang berkunjung kerpenjaraan tersebut. Tentu saja hal itu mengherankan para pembesar penjara dan penjaganya. Sampai mereka pun ikut mendapatkan berkah dan manfaat dari kebesaran Habib Abdullah dipenjara,
Setiap permohonan dan hajat yang pengunjung sampaikan kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin selalu dikabulkan Allah SWT, para penjaga merasa kewalahan menghadapi para pengunjung yang mendatangi beliau Mereka lalu mengusulkan kepada kepala penjara agar segera membebaskan beliau. Namun, ketika usulan dirawarkan kepada Habib Abdullah beliau menolak dan lebih suka menungu sampai selesainya masa hukuman.
Pada suatu malam pintu penjara tiba–tiba terbuka dan datanglah kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas seraya berkata, Jika kau ingin keluar dari penjara keluarlah sekarang, tetapi jika engkau mau bersabar maka bersabarlah.
Beliau ternyata memilih untuk bersabar dalam penjara, pada malam itu juga Sayyidina Al Faqih Al Muqodam dan Syeh Abdul Qodir Zaelani serta beberapa tokoh wali mendatangi beliau. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Al Muqodam memberikan sebuah kopiah. Ternyata dipagi harinya Kopiah tersebut masih tetap berada di kepala Al Habib Abdullah Padahal, beliau bertemu dengan Al Faqih Al Muqodam didalam impian.
Para pengujung terus berdatangan kepenjara sehingga berubahlah penjaraan itu menjadi rumah yang selalu dituju, Beliau pun mendapatkan berbagai kekeratan yang luar biasa mengingatkan kembali hal yang dimiliki para salaf yang besar seperti Assukran dan syeh Umar Muhdor
Diantara Karomah yang beliau peroleh adalah sebagaimana yang disebutkan Al Habib Muhammad Bin Idrus Al Habsyi bahwa Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ketika mendapatkan anugrah dari Allah SWT, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah, hilang dengan segala hubungan alam dunia dan sergala isinya. Al Habib Muhammad Idrus Al Habsyi juga menuturkan, ketika aku mengujunginya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos dalam penjara aku lihat penampilannya amat berwibawa dan beliau terlihat dilapisi oleh pancaran Illahi. Sewaktu beliau melihat aku beliau mengucapkan bait –bait syair Habib Abdullah Al Hadad yang awal baitnya adalah sbb “ Wahaii yang mengunjungi Aku di malam yang dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitrah, Selanjutnya, kata Habib Muhammad Idrus, kami selagi berpelukan dan menangis, “
Karomah lainnya setiap kali beliau memandang borgol yang membelegu kakinya, maka terlepaslah borgol itu.
Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh bawahannya untuk mengikat keher Habib Abdullah Bin Mukhsin maka dengan rante besi maka atas izin Allah rantai itu terlepas, dan pemimpin penjara beserta keluarga dan kerabatnya mendapat sakit panas, dokter tak mampu mengobati penyakit pemimpin penjara dan keluarganya itu, barulah kemudian pemimpin penjara sadar bahwa ;penyakitnya dan penyakit keluarganya itu diakibatkan Karena dia telah menyakiti Al Habib yang sedang dipenjara.
Kemudian, kepala penjara pengutus bawahannya untuk mendo’akan, penyakit yang di derita oleh kepala penjara dan keluarganya itu agar sembuh Maka, berkatalah Habib Abdullah kepada utusan itu Ambillah borgol dan rante ini ikatkan di kaki dan leher pemimpin penjara itu, maka akan sembuhlah dia.
Kemudian dikerjakanlah apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah, maka dengan izin Allah SWT penyakit pimpinan penjara dan keluarganya seketika sembuh. Kejadian ini penyebabkan pimpinan penjara makin yakin akan kekeramatan Habib Abdullah Mukhsin Al Athas. Sekeluarnya dari penjara beliau tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.
Perjalanan ke Empang
Dari sumber lain disebutkan, bahwa awal mula kedatangan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah, beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang da dipakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor
Beliau datang ke Empang dengan tidak membawa apa-apa,
Pada saat belau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang Diceritakan, ada kekeramatan yang lain terjadi pula ketika beliau tengah makan dipinggiran empang, kebetulan pada saat itu datang kepada beliau seorang penduduk Bogor dan berkata “ Habib, kalau anda benar-benar seorang Habib Keramat, tunjukanlah kepada saya akan kekeramatannya..
Pada saat itu kebetulan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas tengah makan dengan seekor ikan dan ikan itu tinggall separuh lagi. Maka Habib Abdukkah berkata” Yaa sama Anjul ilaman Tabis,” ( wahai ikan kalau benar-benar cinta kepadaku tunjukanlah) maka atas izin Allah SWT, seketika itu juga ikan yang tinggal sebelah lagi meloncat ke empang. Konon ikan sebelah tersebut sampai sekarang masih hidup dilaut.
Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, yang kini rumah itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah Bin Zen Al Athas. Didalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat khalwat dan zikir beliau. Bahkan disana terdapat peninggalan beliau seperti tempat tidur, tongkat , gamis dan sorbannya yang sampai sekarang masih disimpan utuh.
Kitab-kitab beliau kurang lebih ada 850 kitab, namun yang ada sekarang tinggal 100 kitab, sisanya disimpan di “Jamaturkhair atau di Rabitoh”. Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal adalah “Faturrabaniah” konon kitab itu hanya beredar dikalangan para ulama besar,
Adapun karangannya yang lain adalah kitab “Ratibul Ahtas dan Ratibul Hadad.” Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap magrib oleh beliau kepada murid-muridnya dimasa beliau masih hidup, bahkan kepada anak dan cucunya, Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas menganjurkan supaya tetap dibacanya.
Habib Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri kenegeri lain. Di Kampung Empang beliau menikahi seorang wanita keturanan dalem Sholawat. Dari sanalah beliau mendapatkan wakaf tanah yang cukup luas, sampai sekarang 85 bangunan yang terdapat di kampung Empang didalam sertifikatnya atas nama Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.
Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya beliau selalu membaca Sholawat Nabi yang setiap harinya dilakukan secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang dikenal yaitu “ Dala’l Khoirot” artinya kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Menurut Manakib, beliau dipanggil Allah SWT pada hari Selasa, 29 Zulhijjah 1351 Hijriah diawal waktu zuhur Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya hari Rabu setelah Sholat zuhur. Tak terhitung jumlah orang yang ikut mesholatkan jenazah. Beliau dimakamkan di bagian Barat Masjid An nur Empang,sebelum wafat beliau terserang sakit flu ringan. (penulis : Iyan dan End)
“Sumber: kitab Manakib Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas dan wawancara “Gentra Madani” dengan Habib Hasan Bin Ja’far (Keturunan Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos)”.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdullah-bin-mukhsin-al-athas/


Al-Habib Abdur Rahman as-Saqqaf (Bukit Duri)

Hari Isnin, waktu Zohor tanggal 7 Rabi`ul Awwal 1428H (26 Mac 2007) kembali seorang lagi ulama kita ke rahmatUllah. Habib ‘Abdur Rahman bin Ahmad bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf dilahirkan di Cimanggu, Bogor. Beliau telah menjadi yatim sejak kecil lagi apabila ayahandanya berpulang ke rahmatUllah dan meninggalkan beliau dalam keadaan dhoif dan miskin. Bahkan beliau sewaktu-waktu terkenang zaman kanak-kanaknya pernah menyatakan: “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu Lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apa lagi sepatu.”
Tapi kemiskinan tidak sekali-kali menghalangi beliau dalam menuntut ilmu agama. Bermula dengan pendidikan di Jamiat al-Khair, Jakarta, dan seterusnya menekuni belajar dengan para ulama sepuh seperti Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-Aththas rahimahUllah yang lebih terkenal dengan panggilan Habib Empang Bogor. Beliau sanggup berjalan kaki berbatu-batu semata-mata untuk hadir pengajian Habib Empang Bogor. Selain berguru dengan Habib Empang Bogor, beliau turut menjadi murid kepada Habib ‘Alwi bin Thahir al-Haddad (mantan Mufti Johor), Habib ‘Ali bin Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur), Habib Ali bin ‘Abdur Rahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan beberapa orang guru lagi. Dengan ketekunan, kesungguhan serta keikhlasannya, beliau dapat menguasai segala pelajaran yang diberikan dengan baik. Penguasaan ilmu-ilmu alat seperti nahwu telah membuat guru-gurunya kagum, bahkan menganjurkan agar murid-murid mereka yang lain untuk belajar dengan beliau.
Maka bermulalah hidup beliau menjadi penabur dan penyebar ilmu di berbagai madrasah sehinggalah akhirnya beliau mendirikan pusat pendidikan beliau sendiri yang dinamakan Madrasah Tsaqafah Islamiyyah di Bukit Duri, Jakarta. Dunia pendidikan memang tidak mungkin dipisahkan dari jiwa almarhum Habib ‘Abdur Rahman, yang hampir seluruh umurnya dibaktikan untuk ilmu dan pendidikan sehingga dia disebut sebagai gurunya para ulama. Sungguh almarhum adalah seorang pembimbing yang siang dan malamnya menyaksikan keluhuran akhlak dan budi pekertinya, termasyhur dengan kelembutan perangainya, termasyhur dengan khusyu’nya, termasyhur dengan keramahannya oleh segenap kalangan masyarakat, orang-orang miskin, orang kaya, pedagang, petani, kiyai, ulama dan orang-orang awam yang masih belum mendapat hidayah pun menyaksikan kemuliaan akhlak dan keramahan beliau rahimahullah, termasyhur dengan keluasan ilmunya, guru besar bagi para Kiyai dan Fuqaha di Indonesia, siang dan malamnya ibadah, rumahnya adalah madrasahnya, makan dan minumnya selalu bersama tamunya, ayah dan ibu untuk ribuan murid-muridnya.
Selain meninggalkan anak-anak kandung serta ribuan murid yang menyambung usahanya, beliau turut meninggalkan karangan-karangan bukan sahaja dalam Bahasa ‘Arab tetapi juga dalam Bahasa Jawa dan Sunda. Karangannya pula tidak terbatas pada satu cabang ilmu sahaja, tetapi berbagai macam ilmu, mulai dari tauhid, tafsir, akhlak, fiqh hinggalah sastera. Antara karangannya yang dicetak untuk kegunaan santri-santrinya:-
1. Hilyatul Janan fi hadyil Quran;
2. Safinatus Sa`id;
3. Misbahuz Zaman;
4. Bunyatul Ummahat; dan
Buah Delima.
Maka bulan mawlid tahun ini menyaksikan pemergian beliau ke rahmatUllah. Mudah-mudahan Allah menempatkan beliau bersama para leluhur beliau sehingga Junjungan Nabi s.a.w. dan semoga Allah jadikan bagi kita yang ditinggalkannya pengganti.
al-Fatihah
from: bahrusshofa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdur-rahman-as-saqqaf-bukit-duri/


Al-Habib Abdurrahman Az-Zahir

Pejuang Perang Aceh
Menjelang akhir abad ke-19 tekanan kolonialisme Belanda terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan semakin bengis, terutama terhadap pejuang-pejuang Islam. Tapi tekanan itu tidak pernah mengendurkan semangat para syuhada dalam berjuang melawan penjajah. Berbagai perlawanan, bahkan peperangan terjadi di tanah air untuk mendepak keluar penjajah.
Di antara peperangan melawan Belanda, perang Aceh merupakan peperangan yang paling lama dan dahsyat. Dari tahun 1973 sampai tahun 1903, tidak kurang dari 30 tahun, tanah rencong ini bergolak dan disirami darah para syuhada. Dalam perang ini, beberapa nama menjadi sangat terkenal, seperti Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien dan banyak lagi. Tapi, seperti dikatakan oleh Mr. Hamid Algadri (alm.), 86, di dalam bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, kurang diketahui oleh umum bahwa di dalam perang itu juga terdapat beberapa keturunan Arab. Bahkan, kata Hamid Algadri, mereka berperan bersama di antara para pemimping Aceh dalam perang dahsyat itu.
Nama yang disebut Snouck Hurgronje antara lain adalah Habib Tengku Teupin Wan, salah seorang organisator perang suci itu. Nama-nama lain keturunan Arab yang disebutnya adalah Habib Long, Habib Samalanga dan sebagainya. Tetapi, kata Snouck, yang paling terkenal diantara pemimpin Perang Aceh keturunan Arab adalah Habib Abdurrahman Azzahir yang lahir di Teupin Wan, sebuah desa di Aceh, dekat Lamjong.
Diantara semua gejala ini, maasih kata Snouck, munculnya Habib Abdurrahman adalah yang paling mengkhawatirkan pihak kolonial Belanda. Maksudnya di antara tokoh-tokoh Aceh dan para habib yang terlibat di dalam perang itu, Habib ini yang sering dipanggil Habib Itam atau Abdurrahman Teupian Wan, diakui oleh umum sebagai pemimpin tertinggi orang Aceh. Orang terpenting yang bekerja di bawah pimpinannya adalah Engku Id, Tengku Abas, Tjot Rang, Imeum Saidi dari Lambaro dan banyak lagi, seperti Tengku Soepi, putera Tengku di Langget yang masyhur.
Terhadap pendapat bahwa Habib Abdurrahman Al-Zahir (Al-Zahir adalah cabang dari Shahab) hanya merupakan pemimpin bayangan Perang Sabil, Snocuk tegas-tegas membantahnya. Pendapat Snocuk ini berdasarkan kenyataan yang ada dan berdasarkan apa yang masih diingat oleh jenderal-jenderal Belanda sendiri mengenai aksi-aksi Habib.
Selain Snouck, seorang penulis Australia, Anthony Reid juga menulis tentang Habib Abdurrahman Azzahir. Digambarkan bahwa waktu munculnya sang Habib di sekitar tahun 1870, kesultanan Aceh sudah merupakan pemerintahan yang tidak berarti, karena antara lain munculnya curiga-mencurigai diantara para hulubalang sehingga membatasi kemampuan sultan untuk memerintah secara efektif. Tetapi seorang pemimpin agama seperti Habib Abdurrahman dapat menghimbau rakyat berdasarkan loyalitas yang lebih tinggi dengan menonjolkan kewajiban agama, untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk usaha diplomatik dan perang. Ia, setelah berhasil menghimpun dana besar, juga berhasil mendamaikan para hulubalang dan sultan yang berada dalam permusuhan selama puluhan tahun. Habib juga berhasil membangun kekuatan militer sendiri untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdurrahman-az-zahir/


Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Assaqqaf (Tarim)

Wali Yang Bertabur Karamah
Salah seorang wali dan ulama dari Ahlil Bait Ba’alawi yang bertabur karamah adalah Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf. Beliau mendapat julukan As-Saqqaf, yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya
Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail.
“Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak auliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.
Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.”
Itulah beberapa karamah yang ditujukan kepada ulama yang bernama lengkap Habib Abdurrahman As-Saqqaf Al-Muqaddam Ats-Tsani bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahibud Dark bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya.
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz dan Al-Muharror.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-putrinya.
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416 M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zanbal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri.
Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abdurrahman-bin-muhammad-assaqqaf-tarim/


Al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali Al-Jufri

Assalamu’alaikum wr wb
Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan
tahun 1938 di Semarang. Ayahanda beliau seorang ulama’ yang terkenal
dengan ketinggian akhlaqnya, keluasan ilmunya, kesederhanaan hidupnya,
yaitu Sayyidy al-Habib Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri, Ibunda beliau adalah
wanita sholehah Sayyidah Hababah Sidah binti Muhdlor Assegaf.
Ketika usia beliau 8 tahun, beliau diantar oleh ayahanda beliau ke kota Tarim
di Hadromaut (Yaman) untuk belajar pada Sayyidy al-Habib Abdulloh bin
Umar as-Syatiri. Beberapa guru beliau di sana adalah Sayyidy al-Habib Alwiy
bin Abdulloh bin Shihab, Sayyidy al-Habib Ali bin Hafidz bin Syeh Abubakar,
Sayyidy al-Habib Ali bin Toha al-Haddad dll. Di Hadromaut, beliau mendapat
ijazah pembacaan Maulid al-Ahzab secara langsung dari Syekh Muhammad
al-Ahzab.
Setelah 8 tahun di Hadromaut, beliau kembali ke Indonesia, beliau belajar
pada Sayyidy al-Habib Ahmad bin Umar Assegaf (Semarang), Sayyidy al-
Habib Toha bin Umar Assegaf (Semarang), Sayyidy al-Habib Ali bin Ahmad
(Pekalongan), Sayyidy al-Habib Ali bin Ahmad al-’Atthos (Pekalongan),
Sayyidy al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Sayyidy al-Habib Ali bin
Abdurrohman as-Syatiri (Jakarta) dll.
Beliau mengatakan jika sedang di Jakarta, beliau tidak lupa mengunjungi salah
satu dua Habib Ali, yaitu Sayyidy al-Habib Ali bin Abdurrohman al-Habsyi
dan Sayyidy al-Habib Ali bin Husein al-’Atthos.
Beliau selalu mengajarkan pada murid-murid beliau untuk menuntut ilmu, untuk
menghadiri majlis-majlis ta’lim, majlis-majlis yang rutin dihadiri beliau adalah
majlis pembacaan Maulid Nabi, peringatan Haul, majlis pembacaan shohih
Bukhori. Dalam satu kesempatan ketika berada di majlis rohah di kediaman
Sayyidy al-Habib Abubakar Assegaf (Gresik), beliau berkata, “Seandainya
keberkahan majlis ini ditebus dengan uang 1 miliar sekalipun maka tetap tidak
akan menggantikan keberkahan majlis tersebut.”
Di Semarang, beliau mengasuh beberapa majlis ta’lim, diantaranya adalah
pengajian ahad pagi di kediaman ayahanda beliau di Jl. Pethek 55 Semarang,
pembacaan Maulid di Mushola Nurul Iman di kampung Pranakan (kampung
beliau), pembacaan manaqib as-Syeh Abdul Qodir al-Jilani tiap malam Jum’at
di kediaman beliau, pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin tiap Sabtu pagi.
Salah satu amanat beliau, beliau mengajak untuk hidup sederhana dan beliau
mengajak istiqomah ikut dalam majlis-majlis beliau. Bahkan ketika hujan dan
banjir sekalipun, beliau tetap menghadiri majlis-majlis beliau, meski hanya
diboncengkan sepeda motor. Ketika terjadi banjir besar di Semarang tahun
1991, beliau berjalan dari kediaman beliau menengok keadaan kabar murid
murid beliau. Beliau pun ketika hadir di majlis beliau di Sragen, beliau hadir
berangkat dengan murid-murid beliau naik angkutan umum.
Ada satu hal menarik, ketika beliau menyanggupi untuk mengisi acara tahlil di
sebuah rumah, kebetulan rumah shohibul bayt kebanjiran. Beliau meminta agar
disediakan kursi, “Mari kita mulai di tempat ini, karena banjir tidak boleh
menyebabkan terganggunya hal-hal yang baik.” Tidak ada kebaikan yang
ringan, semua kebaikan itu berat, begitu nasehat beliau.
Nasehat-nasehat beliau adalah menghormati orang tua, beliau pernah berkata
bahwa kunci hidup beliau adalah Ibu ; beliau menganggap murid-murid
kecintaan beliau sebagai anak beliau sendiri ; kita harus senantiasa bersabar
karena sabar tidak ada batasnya ; kita harus senantiasa bermusyawarah dalam
semua hal, kalau ada sesuatu mintalah pendapat pada yang lebih tua ;
datanglah ke majlis-majlis kebaikan, majlis ta’lim, ambil yang baik buang
yang tidak baik. Tapi kalau majlis-majlis itu sudah mengajarkan untuk
bergolong-golongan maka tinggalkanlah majlis-majlis itu karena pasti tidak ada
kebaikan di dalamnya.
Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri berpulang
ke rahmatulloh pada tanggal 26 Juli 1997 / 21 Robi’ul Awwal 1417, tepat satu
minggu setelah beliau memandikan Sayyidy al-Habib Syeh bin Abubakar
Assegaf di Solo. Menjelang beliau berpulang ke rahmatulloh, beliau masih
mengisi acara, memberi nasehat ke murid-murid beliau. Nasehat terakhir
beliau adalah agar memperhatikan sholat 5 waktu.
Insya Alloh dengan mengikuti langkah-langkah beliau, maka kita akan sampai
ke langkah-langkah datuk-datuk beliau dan insya Alloh akan sampai ke
langkah-langkah Sayyidina Rosulillah Muhammad Saw.
Subhaanaka-lloohumma wa bihamdika, Asyhadu an-laailaahailla anta,
Astaghfiruka wa atuubu ilaika…
Wallohu a’lam bishshowab
Wassalamu’alaikum wr wb
Oleh : Sayyidy al-Ustadz Mukhlis
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/habib-abdurrohman-bin-zein-bin-ali-al-jufri/



Al-Habib Abu Bakar Al-Aidrus

Al-Habib Abu Bakar Al-Aidrus
Abu Bakar Al-Aidrus adalah seorang wali besar jarang yang dapat menyamai beliau di masanya. Beliau termasuk salah seorang imam dan tokoh tasawuf yang terkemuka. Beliau belajar tasawuf dari ayahnya dan dari para imam tasawuf yang terkemuka. Selain itu beliau juga pernah belajar hadis Nabi dari Muhaddis Imam Shakawi.
Sebahagian dari karamahnya pernah diceritakan bahawa ketika beliau pulang dari perjalanan hajinya beliau mampir di Kota Zaila’ yang waktu itu wali kotanya bernama Muhammad bin Atiq. Kebetulan waktu itu beliau berkunjung kepada wali kota yang katanya kematian isteri yang dicintainya. Syeikh Abu Bakar menyatakan ikut berdukacita dan menyuruhnya untuk tetap bersabar atas musibah yang dihadapinya itu. Rupanya nasihat Syeikh itu rupanya tidak dapat menenangkan hati wali kota itu. Bahkan ia makin menangis sejadi-jadinya sambil menciumi telapak kaki Syeikh Abu Bakar minta doa padanya. Melihat kejadian itu Syeikh Abu Bakar segera menyingkap tutup kain dari wajah wanita yang telah mati itu. Kemudian beliau memanggil mayat itu dengan namanya sendiri. Dengan izin Allah, wanita itu hidup kembali.
Syeikh Ahmad bin Salim Bafadhal pernah menceritakan pengalamannya bersama Syeikh Abu Bakar: “Pernah aku disuruh Muhammad bin Isa Banajar untuk membawakan hadiah buat Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus. Ketika aku beri salam padanya ia telah memberitahukan dahulu apa yang kubawa sebelum kukatakan kepadanya tentang isi hadiah itu. Kemudian Syeikh Abu Bakar berkata: “Berikan kepada si fulan besar ini, berikan pada si fulan demikian dan seterusnya. Ketika Syeikh Umar bin Ahmad Al-Amudi datang berkunjung padanya waktu itu beliau menghormatinya dan mengeluarkan semua makanan yang dimilikinya. Melihat hal itu, Syeikh Umar berkata dalam hatinya: “Perbuatan semacam ini adalah membazir”. Dengan segera Syeikh Abu Bakar berkata dengan sindiran: “Mereka itu kami jamu tapi mereka katakan perbuatan itu adalah membazir. Mendengar sindiran itu Syeikh Umar Amudi segera minta maaf.
Termasuk karamahnya jika seorang dalam keadaan bahaya kemudian ia menyebut nama Syeikh Abu Bakar memohon bantuannya. Dengan segera Allah akan menolongnya.
Kejadian semacam itu pernah dialami oleh seorang penguasa bernama Marjan bin Abdullah. Ia termasuk bawahannya bernama Amir bin Abdul Wahab. Katanya: “Ketika aku sampai di tempat pemberhentian utama di kota San’a, tiba-tiba kami diserang oleh sekelompok musuh. Kawan-kawanku berlarian meninggalkan aku. Melihat aku sendirian, musuh mula menyerang aku dari segala penjuru. Di saat itulah aku ingat pada Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus dan kupanggil namanya beberapa kali. Demi Allah di saat itu kulihat Syeikh Abu Bakar datang dan memegang tali kudaku dan menghantarkan aku sampai ke tempat tinggal. Setelah aku sampai di rumahku, kudaku yang penuh luka ditubuhnya mati”.
Syeikh Dawud bin Husin Alhabani pernah bercerita: “Ada seorang penguasa di suatu daerah yang hendak menganiaya aku. Waktu sedang membaca surah Yaasin selama beberapa hari untuk memohon perlindungan dari Allah, tiba-tiba aku bermimpi seolah-olah ada orang berkata: “Sebutlah nama Abu Bakar Al-Aidrus”. Tanyaku: “Abu Bakar Al-Aidrus yang manakah, aku belum pernah mengenalnya”. Jelas orang itu: “Ia berada di Kota Aden (Hadhramaut).” setelah kuucapkan nama itu, Allah menyelamatkan aku dari gangguan penguasa itu. Waktu aku berkunjung ke tempat beliau, kudapati beliau memberitahu kejadian yang kualami itu padaku sebelum aku menceritakan cerita pada beliau”.
Sayid Muhammad bin Ahmad Wathab juga bercerita tentangnya: “Pernah aku pergi ke negeri Habasya (Ethiopia). Di sana aku dikeronok oleh gerombolan dan dirampas kudaku serta hartaku. Hampir mereka membunuhku. Kemudian aku menyebut nama Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus mohon pertolongan sebanyak sebanyak tiga kali. Tiba-tiba kulihat ada seorang lelaki besar tubuhnya, datang menolongku dan mengembalikan kuda beserta hartaku yang dirampas. Orang itu berkata: “Pergilah ke tempat yang kami inginkan”.
Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abu-bakar-al-aidrus/


Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman As-Seggaf (As-Sakran)

Beliau adalah seorang wali Allah yang mempunyai berbagai macam karamah yang luar biasa. Beliau berasal dari keturunan Al-Ba’alawi. Sebahagian dari karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pernah ada dua orang yang datang ke kota Tarim (Hadhramaut) dengan maksud mengunjungi setiap orang terkemuka dari keluarga Al-Ba’alawi yang berada di kota tersebut. Setibanya di suatu masjid jami’ keduanya dapati Syeikh Abu Bakar sedang bersolat di masjid tersebut. Setelah solat Jumaat selesai keduanya menunggu keluarnya Syeikh Abu Bakar dari masjid. Namun beliau tetap duduk beribadat dalam masjid sampai hampir matahari terbenam. Kedua orang itu merasa lapar, tapi keduanya tidak berani beranjak dari masjid sebelum bertemu dengan Syeikh Abu Bakar. Tidak lama kemudian, Syeikh Abu Bakar Asseggaf menoleh kepada mereka berdua sambil berkata: “Ambillah apa yang ada dalam baju ini”. Keduanya mendapati dalam baju Syeikh itu sepotong roti panas. Roti tersebut cukup mengenyangkan perut kedua orang tersebut. Bahkan masih ada sisanya. Kemudian sisa roti itu barulah dimakan oleh Syeikh Abu Bakar”.
Ada seorang diceritakan telah meminang seorang gadis. Syeikh Abu Bakar ketika mendengar berita tersebut telah memberikan komentarnya: “Pemuda itu tidak akan mengahwini gadis itu, ia akan kahwin dengan ibu gadis tersebut”. Apa yang diceritakan oleh Syeikh Abu Bakar ersebut ternyata benar, kerana tidak lama kemudian ibu gadis itu diceraikan oleh suaminya. Kemudian pemuda itu membatalkan niatuntuk mengahwini gadis tersebut. Bahkan sebagai gantinya ia meminang ibu gadis tersebut.
Diceritakan pula bahwa ada serombongan tetamu yang berkunjung di Kota Tarim tempat kediaman Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Tetamu itu tergerak di hatinya masing-masing ingin makan bubur gandum dan daging. Tepat waktu rombongan tetamu itu masuk ke rumah Syeikh Abu Bakar, beliau segera menjamu bubur gandum yang dimasak dengan daging.Kemudian sebahagian dari rombongan tersebut ada yang berkata: “Kami ingin minum air hujan”. Syeikh Abu Bakar berkata kepada pembantunya: “Ambillah bejana itu dan penuhilah dengan air yang ada di mata air keluarga Bahsin”. Pelayan itu segera keluar membawa bejana untuk mengambil air yang dimaksud oleh saudagarnya. Ternyata air yang diambil ari mata air keluarga Bahsin itu rasanya tawar seperti air hujan.
Pernah diceritakan bahawasanya ada seorang Qadhi dari keluarga Baya’qub yang mengumpat Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Ketika Syeikh Abu Bakar mendengar umpatan itu, beliau hanya berkata: “Insya-Allah Qadhi Baya’qub itu akan buta kedua matanya dan rumahnya akan dirampas jika ia telah meninggal dunia”. Apa yang dikatakan oleh Syeikh Abu Bakar tersebut terlaksana sama seperti yang dikatakan.
Ada seorang penguasa yang merampas harta kekayaan seorang pelayan dari keluarga Bani Syawiah. Pelayan itu minta tolong kepada Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Pada keesokkan harinya penguasa tersebut tiba-tiba datang kepada pelayan itu dengan mengembalikan semua harta kekayaannya yang dirampas dan dia pun meminta maaf atas segala kesalahannya. Penguasa itu bercerita: “Alu telah didatangi oleh seorang yang sifatnya demikian, demikian, sambil mengancamku jika aku tidak mengembalikan barangmu yang kurampas ini”. Segala sifat yang disebutkan oleh penguasa tersebut sama seperti yang terdapat pada diri Syeikh Abu Bakar.
Diceritakan pula oleh sebagian kawannya bahawasanya pernah ada seorang ketika dalam suatu perjalanan di padang pasir bersama keluarganya tiba-tiba ia merasa haus tidak mendapatkan air. Sampai hampir mati rasanya mencari air untuk diminum. Akhirnya ia teringat pada Syeikh Abu Bakar Asseggaf dan menyebut namanya minta pertolongan. Waktu orang itu tertidur ia bermimpi melihat seorang penunggang kuda berkata padanya: “Telah kami dengar permintaan tolongmu, apakah kamu mengira kami akan mengabaikan kamu?” Waktu orang itu terbangun dari tidurnya, ia dapati ada seorang Badwi sedang membawa tempat air berdiri di depannya. Badwi itu memberinya minum sampai puas dan menunjukkannya jalan keluar hingga dapat selamat sampai ke tempat tujuan.Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abu-bakar-bin-abdurrahman-as-seggaf/


Al-Habib Abu Bakar bin Husen Assegaf Bangil

Mutiara Bersinar dari Bani Alawy
Beliau mempunyai garis keturunan suci yang terus bersambung dan bermuara pada penghulu manusia generasi dahulu dan sekarang hingga akhir nanti, al-Habibul A’dhom Muhammad SAW. Beliau adalah putra dari pasangan al-Habib Husein bin Abdullah Assegaf dan Syarifah Syifa binti Abdul Qodir al-Bahr yang dilahirkan di kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1309 H.
Salah satu maha guru beliau adalah Alhabib al-Quthb Abu Bakar bin Muhammad bin Umar Assegaf Gresik. Banyak dari kitab-kitab salaf yang beliau pelajari dari Habib Abu Bakar Assegaf terutama kitab karangan al-Imam Ghozali Ihya Ulumuddin. Tidak hanya sekedar belajar, Habib Abu Bakar Assegaf Gresik juga mengijazahkan dan memberi titah kepada beliau Habib Abu Bakar bin Husein untuk membaca sekaligus mengajarkannya setiap hari di kediamannya sendiri. Tercatat di kediamannya sediri, beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya sebanyak 40 kali. Tiap t a hunnya beliau membuat jamuan yang istimewa dalam rangka acara khataman kitab Ihya tersebut. Beliau r.a adalah figur yang berakhlak mulia. Terbukti bahwa beliau adalah sosok yang luwes dalam bergaul. Beliau menatap setiap orang dengan tatapan yang berseri-seri, baik itu kecil atau besar, tua atau muda beliau tatap dengan muka manis penuh penghormatan. Beliau r.a juga senang berkumpul dan mencintai para fakir miskin dengan membantu memenuhi keperluan mereka, khususnya kaum janda dan anak-anak yatim. Meski p un demikian beliau belum pernah merasa kurang hartanya karena beliau bagi-bagikan, sebaliknya beliau mendapat balasan harta dan jasa dari orang-orang kaya pecinta kebajikan. Sungguh beliau r.a mencurahkan segenap umurnya untuk membantu kaum fakir miskin, orang-orang yang kesusahan, menjamu para tamu, mendamaikan 2 belah pihak yang saling berseteru dan mencarikan jodoh para gadis muslimat. Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf selalu dan senantiasa memberikan motivasi untuk menapaki jejak para aslafunas sholihin, meniru dan berhias diri dengan akhlakul karimah. Bahkan beliau senantiasa mengingatkan akan mutiara kalam Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (shohibur ratib):
“Berpegang tegunglah pada Al-Qur an da n ikutilah sunnah Rasul, dan ikutilah jejak para aslaf niscaya Allah akan memberimu hidayah.”
Selain itu beliau juga mengingatkan akan pesan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul maulid) di kala berpesan pada putra-putranya:
“Diantara yang bisa membuat hatiku senang adalah dengan berpegang teguhnya kalian dengan thoriqoh para datuk, keluarga dan leluhurku.”
Legitimasi beliau di mata kaum sholihin pada zamannya tidak perlu diragukan lagi. Alhabib Al- Arifbillah Habib Husein bin Muhammad al-Haddad Tegal berkata.
“Kepada seorang habib yang bersinar, yang telah masuk padanya huruf jar hingga ia menjadi _majrur (tertarik ke hadirat Allah) dan mabrur (baik) dan akan menjadi terpuji penghujungnya pada hari kebangkitan dan pengumpulan. Seorang yang indah dan ayah nya-Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Semoga Allah menjaganya sebagaimana memelihara kitab sucinya yang mulia._
Dalam surat beliau yang lain, beliau berkata:
“Segala puji bagi Allah zat yang maha berkehendak. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapat kebaikan pasti Ia akan menggunakannya pada jalan kebaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah keharibaan pemimpin dan kekasih kita Muhammad SAW yang telah mengajak kita pada segala kebajikan, beserta para sahabat dan kerabatnya serta kepada seorang anak yang telah diberkahi dan mendapat pertolongan Alhabib Abu Bakar bin Husein Assegaf, yang telah dijadikan oleh Allah sebagai tempat penampakan segala kebajikan, dan semoga dilimpahkan bagi beliau salam yang melimpah.”
Salamun Qoulan Min Rabbir Rahiim
Pada akhir hayatnya beliau sekitar lima belas menit sebelumnya, beliau meminta putranya Habib Husein bin Abu Bakar Assegaf untuk membacakan bait qosidah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad:
“Tiada satupun makhluk di muka bumi ini, melainkan ia membutuhkan keutamaan dari Tuhannya yang Maha Satu dan Esa.”
Sampai akhir qasidah ini beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menghadap Sang Kholik yang Maha Suci.
Beliau wafat pada hari Senin 27 Muharram 1384 H waktu subuh dan dikebumikan di Bangil pada hari Selasa waktu dhuha. Sepeninggal beliau ditemukan beberapa bait syair di bawah bantalnya yang artinya,
“Aku telah menjadi tamu Allah di alam baka dan bagi dzat yang mulia pasti akan memuliakan tamunya. Para penguasa dapat memberi maaf bagi orang yang mengunjungi istananya, lalu bagaimanakah dengan orang yang berkunjung ke hadirat Tuhannya yang Maha Rahman.”
Selamat jalan wahai kekasih Allah, sejarah telah mengabadikan namamu dengan tinta emas. Semoga kita dapat meneladani akhlak dan kebaikannya, amin.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abu-bakar-bin-husen-assegaf-bangil/


Al-Habib Abu Muhammad Al-Haddad Al-Yamani

Tentang karamahnya besar sekali. Pada suatu hari beliau memegang besi yang menyala. Narnun tidak dapat melukai tubuhnya walaupun digoreskan pada tubuh beliau. Sebabnya ialah pada suatu hari ketika beliau masih muda beliau pernah merayu seorang wanita cantik. Narnun wanita itu selalu menolaknya. Abu Muhammad dikenal sebagai seorang kaya yang banyak menolong orang. Pada suatu waktu ketika wanita itu ditimpah musibah ia memerlukan wang dan bantuan. Kerana itulah ia teringat pada Abu Muhammad yang dulu merayunya. la segera mengundang Abu Muhammad ke rumahnya. Ketika Abu Muhammad bertemu padanya beliau bertanya: “Apakah yang menyebabkan anda mengajakku berbuat sedemikian ini?” Jawabnya: “Aku tertimpa suatu musibah, aku memerlukan wang dan pertolongan dan aku tidak tahu jalan lain selain ingat padamu, sebenarnya aku tidak terbiasa dengan mengajak orang laki ke suatu jalan yang tidak baik”. Mendengar ucapan itu Abu Muhammad segera sedar akan dirinya. Dengan segera beliau berikan semua harta yang ada padanya. Kemudian beliau segera mening galkan wanita itu dan beliau pun bertaubat kepada Allah. Ketika wanita itu melihat Abu Muhammad meninggalkannya dan memberikan semua harta yang dimilikinya itu ia berdoa kepada Allah: “Semoga Allah menjauhkan engkau dari api neraka sebagaimana engkau menjauhkan diri dari perbuatan jahat yang akan menyebabkan aku terjerumus ke dalam api neraka”. Ternyata doa wanita itu dikabulkan oleh Allah sehingga Abu Muhammad mendapat darjat kewalian dan diberi karamah tidak akan terbakar oleh api yang nyala. Sejak saat itu Abu Muhammad terus beribadat dan selalu berkumpul dengan orang-orang yang soleh. Dan karamah beliau pun banyak.
Abu Muhammad wafat di tahun 668 H.Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-abu-muhammad-al-haddad-al-yamani/


Al-Habib Abubakar bin Ali Shahab

Salah Satu Pendiri Jamiat Kheir
Ia merupakan salah satu pendiri Jamiat Kheir. Kegiatan organisasi ini menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan sosial
Tahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern. Berkat revolusi industri berbagai teknologi dperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir.
Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.
Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.
Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.
Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yangn mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.
Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.
Aktif Sejak Muda
Habib Abubakar dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1287 H/ 24 Oktober 1870 M, dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahabuddin al-Alawy, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.
Di zaman Gubernur Ali Sadikim di tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.
Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. di Hadramaut, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.
Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia yang masih muda itu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.
Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 beliau kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.
Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau bersama dengan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”. Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, beliau memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan beliau membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.
Almarhum tidak pernah jemu dan lelah berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin, bahkan juga tidak segan-segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri dengan baik. Beliau juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.
Pada 27 Syawwal 1354 H beliau sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama.
Pada awal Muharram 1355 H beliau kembali ke Damun, Tarim. Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M beliau berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, beliau disambut oleh shahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Keesokan harinya beliau disambut di sekolah Jamiat Kheir, sekolah yang didirikannya. Baik di Kwitang maupun di Tanah Abang, sejumlah tokoh habaib yang ada memberikan kata-kata sambutan dan pujian kepadanya. Ketika diterima di Jamiat Kheir, sekolah ini dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.
Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya selama berada di Indonesia, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Bahkan pada 14 November 1940 beliau menghadiri pembukaan madrasah/ma’had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan masih banyak lagi.
Berjuang untuk Islam dan masyarakat, Habib Abubakar tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, beliau sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas.
Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab di tahun 1913 bersama sejumlah pemuda. Al Shahab ini, menghadap hadirat Allah SWT pada hari Sabtu 18 Maret 1944 M yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awwal 1363 H. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya. Yang memandikan dan mengkafani almarhum adalah Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Aththas dan Syeikh Ahmad bin Umar Al-Azab.
Ketika pemakaman dipindahkan ke Jeruk Purut, tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Beliau meninggalkan tujuh orang putra-putri. Putra tertua Abdurrahman, disusul Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya, Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Patah tumbuh hilang berganti.
disarikan dari Rihlatul Asfar: sebuah otobiografi Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin, yang diterjemahkan oleh Drs Ali Yahya, Spsi, tahun 2000


Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff

Penulis Sejarah dan Sastrawan Hebat
Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.
Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.
Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.
Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.
Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.
Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.
Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.
Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.
Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.
Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.
Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.
Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.
Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.
Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.
Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.
Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.
Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut. Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.
Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-abdullah-bin-muhsin-assegaff/


Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas

Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas dilahirkan di kota Hajeriem, Hadramaut, pada tahun 1255 H. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari ayah beliau Al-Habib Abdullah bin Thalib Alatas. Setelah dirasakan cukup menimba ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu kepada para ulama besar yang ada di Hadramaut. Diantara para guru beliau adalah :
Al-Habib Hasan bin Ali Alkaff
Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas
Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas
Al-Habib Al-Qutub Thahir bin Umar Alhaddad
Al-Habib Al-Qutub Idrus bin Umar Alhabsyi
Al-Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh Al-Bahar
Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Balfagih
Setelah ditempa oleh para ulama besar bahkan para Qutub yang ada di Hadramaut saat itu, keinginan beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus. Hasrat beliau untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga untuk itu beliau kemudian melakukan perjalanan ke kota Makkah. Beliau banyak menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di kota Makkah saat itu. Kesempatan baik ini tak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada mereka. Diantara ulama-ulama besar yang menjadi guru beliau disana adalah :
As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Makkah saat itu)
Al-Habib Abdullah bin Muhammad Alhabsyi
Asy-Syaikh Muhammad bin Said Babsail
Al-Habib Salim bin Ahmad Alatas
Beliau Al-Habib Ahmad dengan giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka. Sehingga tak terasa sudah 12 tahun beliau jalani untuk menimba ilmu disana. Beliau terus mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama diakui oleh para ulama kota Makkah saat itu.
Beliau kemudian dianjurkan oleh guru beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah. Mula-mula beliau berdakwah di pinggiran kota Makkah. Beliau tinggal disana selama 7 tahun. Dalam kurun waktu itu, kegiatan dakwah selalu aktif beliau lakukan disana.
Kemudian beliau berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan dakwah beliau ke Indonesia. Beliau sampai disini diperkirakan sekitar tahun 1295-1300 H. Setibanya beliau di Indonesia, beliau menuju ke kota Pekalongan dan menetap disana.
Di kota Pekalongan beliau selalu aktif meneruskan kegiatan-kegiatan dakwahnya. Beliau tidak ambil pusing dengan urusan-urusan duniawi. Semua fikrah beliau semata ditujukan untuk kepentingan dakwah. Waktu beliau selalu terisi dengan dakwah, ibadah, dzikir kepada Allah dan rajin membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Selain itu, ilmu beliau selalu tampak bercahaya, terpancar melalui akhlak beliau yang mulia. Beliau selalu berperilaku baik, penyayang dan lemah lembut terhadap sesama.
Akan tetapi itupun tidak meniadakan sikap beliau yang selalu ber-nahi mungkar. Jika beliau melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran, beliau tidak segan-segan untuk menegurnya. Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut beliau, selalu beliau ucapkan dengan shidq. Beliau tidak perduli terhadap siapapun jika ada hak-hak Allah yang dilanggar di hadapan beliau. Sehingga berkat beliau, izzul Islam wal Muslimin tampak terang benderang, menyinari kota Pekalongan.
Disamping itu, dari sebagian jasa-jasa baik beliau, beliau membangun beberapa masjid dan madrasah Salafiyah, yang berjalan pada thariqah para salaf beliau yang shaleh. Rumah beliau selalu penuh dengan tamu dan beliau sambut dengan ramah-tamah. Inilah akhlak beliau yang mensuri-tauladani akhlak dan perilaku datuk-datuk beliau.
Sampai akhirnya beliau dipangil ke hadratillah, pergi menuju keridhaan Allah. Beliau wafat pada tanggal 24 Rajab 1347 H di kota Pekalongan dan dimakamkan disana. Masyarakat berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah. Derai keharuan sangat terasa, membawa suasana syahdu…
Selang setahun kepergian beliau, untuk menghidupkan kembali kesuri-tauladan dan mengenang jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di kota tersebut diadakan Haul beliau. Haul tersebut banyak dihadiri oleh berbagai kalangan umat Islam. Mereka berduyun-duyun dari berbagai kota hadir disana, demi mengenang kehidupan beliau…demi menjemput datangnya nafaahat dan imdaadat.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, M. Syamsu Ass. dan dari berbagai sumber lainnya]
—————————————————————————————–
Subject: Menengok Perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah
From: Muhammad Lutfi

Tiba-tiba saja Kotamadya Pekalongan menjadi lebih semarak pada 21-23 November lalu. Ratusan bus dan mobil dari berbagai daerah memasuki kota ‘batik’, ini dengan membawa ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di Jawa. Belum lagi mereka yang datang dengan kereta api. Bahkan ada jamaah dari luar Jawa yang datang dengan pesawat atau kapal laut melalui Semarang. Akibatnya, sejumlah losmen di kota ini menjadi kewalahan hingga tidak dapat lagi menerima para tamu, termasuk Hotel Nirwana, hotel paling bergengsi di kota itu. Padahal, bagian terbesar dari para tamu itu menginap di rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan tempat khaul seorang ulama besar Pekalongan.
Membanjirnya umat Islam ke Pekalongan, yang waktunya bersamaan dengan Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, adalah untuk menghadiri khaul atau peringatan wafatnya ke-73 Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Dari jumlah umat Islam yang datang dari berbagai tempat untuk menghadiri khaul itu menunjukkan, bahwa sekalipun ia telah meninggal dunia hampir tiga perempat abad lalu, tapi hingga kini kiprah perjuangannya masih tetap dikenang. Memperingati khaul untuk mengenang seorang tokoh agama dengan berbagai acara, di Indonesia merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh warga Nahdliyin dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum.
Khaul ke-73 Habib Ahmad sendiri berlangsung pada hari Senin (22/11) atau bertepatan dengan 14 Sya’ban 1420 Hijriah dengan mengadakan ziarah ke makam almarhum. Berbagai acara yang digelar dalam rangkaian khaul ini ialah, pada hari Ahad (21/12), diadakan pembacaan Dala’il al-Khaerat, berisi shalawat puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu dibawakan oleh almarhum di dalam majelis-majelisnya semasa ia hidup.
Ribuan santri dan jamaah yang berdatangan dari kodya dan kabupaten Pekalongan serta berbagai tempat lainnya, duduk mengitari makam Habib Ahmad di ruang khusus berukuran sekitar 10×20 meter, di pemakaman umum Sapuro, Pekalongan. Mereka seolah-olah larut dalam kesahduan ketika dengan suara keras menggeleng-gelengkan kepala bershalawat dan berzikir kepada Allah SWT.
Menurut seorang penjaga makam di Sapuro, tiga hari sebelum acara khaul telah berdatangan kaum Muslimin dan Muslimat dengan menggunakan sembilan bus dari Purwokerto, Bogor, Sukaraja, Semarang, dan Demak. Mereka berziarah hingga larut malam. Sebagaimana terjadi tiap tahun, penjaga makam ini meyakini, bahwa sampai dua hari setelah acara khaul tempat ini masih terus didatangi para penziarah.
Seperti dituturkan oleh Haji Wagio, 40, sehari sebelum acara khaul, ia dan rombongannya datang dari Surabaya ke Pekalongan dengan 23 buah bus patas. Tiap bus memuat 70 orang. Menurut Wagio, kunjungannya ke Pekalongan ini dalam rangka ‘Tour Ziarah Walisongo dan Khaul Akbar’. Mengingat para jamaah bukan saja dari Surabaya, tapi juga dari berbagai tempat di Jatim, menurut Wagio, ini menunjukkan bahwa Habib Ahmad dikenal cukup luas di Jawa Timur.
Rombongan yang berjumlah hampir 1.500 orang ini, bermalam di sekitar rumah-rumah penduduk yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk mereka. Sedangkan untuk makam dan minum, disediakan oleh tuan rumah, yang dipimpin oleh Habib Abdullah Bagir Alatas, cicit almarhum. Rumah almarhum sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib Bagir sendiri merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad (19/12), seminggu sebelum acara khaul.
Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari, salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada murid-muridnya selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama 16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya. Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.
Amar ma’ruf nahi munkar
Pada puncak acara khaul, yang berlangsung Senin (22/11), dibacakan manakib atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Ia dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya.
Kemudian, ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan. Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19.
Di antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.
Setelah tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.
Setibanya di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun dan memperluas masjid tersebut.
Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba’i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Ia juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran).
Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian berkembang di kota-kota lain.
Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.
Kendati demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ”Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama.” Seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.
Sebagai contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang di depan kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan, setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.
Keberaniannya dalam menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. ”Saya heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,” kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.
Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan pengajian.
Penderitaan ini berlanjut hingga meninggalnya pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kodya Pekalongan. Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri ribuan orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ketika ia meninggal dunia, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan dan sekitarnya mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir. ”Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti ketika wafatnya Habib Ahmad,” kata Habib Alwi Alatas, 70, salah seorang kerabatnya.
Karena itulah, setiap khaulnya selalu dihadiri oleh ulama terkemuka, termasuk almarhum KH Abdullah Syafe’i, dan kini putranya KH Abdul Rasyid AS, serta KH Abdurrahman Nawi, dari Jakarta.
(AS, Republika 25 Nov 99)
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-abdullah-bin-thalib-alatas/


Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman As-Seggaf

Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman As-Seggaf
Beliau termasuk salah seorang wali yang digolongkan dalam tingkatan Al-Autad dan termasuk ulama besar yang hidupnya secara zuhud.
Pernah diceritakan tentang karamahnya bahawa beliau pernah mengutus pelayannya ke rumah seorang kawannya yang bernama Mujbin Ali Bajarasy untuk menagih apa yang dijanjikan dalam hatinya. Dengan hairan Musa terpaksa memberikan apa yang dijanjikannya walaupun masih baru tergerak dalam hatinya.
Diceritakan juga bahawasanya pada suatu hari salah seorang anak perempuannya yang masih kecil meminta padanya untuk menangkapkan burung yang ada di atas pohon. Beliau menyuruh pelayannya untuk segera mengambil burung yang ada di atas pohon tersebut. Anehnya burung itu dengan patuh tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya untuk terbang.
Ketika beliau sakit banyak orang yang menanyakannya bagaimanakah keadaannya? Jawab beliau: “Orang yang soleh itu senang dengan musibah ataupun penderitaan yang dihadapinya, sebagaimana orang-orang yang condong pada duniawi sangat senang dengan segala macam kemewahan hidup”. Kemudian beliau mengambil air wudhu’ dan solat Zohor. Setelah itu beliau berbaring miring ke kanan menghadap kiblat sambil mengucapkan zikir kepada Allah terus-menerus sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Beliau wafat di tahun 829 H dimakamkan di kota kelahirannya sendiri di Hadramaut.
Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-abdurrahman-as-seggaf/


Al-Habib Ahmad bin Alwi Bahjadab

Al-Habib Ahmad bin Alwi Bahjadab
Tentang karamahnya pernah diceritakan bahawa anak lelaki salah seorang kawannya meninggal dunia. Kawannya itu sangat susah sekali. Seolah-olah kehidupannya terganggu oleh kematiannya. Ketika dibawa kehadapan Sayid Ahmad Bahjadab ia berkata: “Hai Sayid, doakan agar Allah menghidupkan puteraku kembali atau supaya aku dimatikan saja”. Sayid itu bertanya kepada Al-Qadhi Muhammad bin Husin: “Apakah boleh mendoakan semacam itu?” Jawab Al-Qadhi Muhammad bin Husin: “Mendoa semacam itu tetap boleh asalkan untuk mendatangkan kebaikan dan menjauhkan kerugian”. Kemudian Sayid Ahmad berkata: “Kemudian pada pertama kalinya aku akan doakan kamu agar tetap sabar dan redha menerima apa yang telah ditetapkan oleh Allah”. Setelah beliau berdoa, orang itu segera berkata: “Sekarang aku tetap rela apa yang telah ditetapkan oleh Allah”.
Diceritakan pula bahawa beliau sering bertemu dengan Khidir a.s. Pada suatu hari salah seorang muridnya yang bernama Awadh Ba Muhtar minta padanya agar ia dapat bertemu dengan Khidir. Jawab Sayid Ahmad: “Insya-Allah kamu akan menemuinya tapi kamu tak dapat”. Yang diucapkan oleh Sayid Ahmad itu ternyata benar, iaitu di suatu hari ketika Awadh Ba Muhtar sedang berada di atas gunung yang dikenal dengan nama Al Mu’jaz ia berjumpa dengan Khidir yang berlakon sebagai seorang Badwi sedangkan ia tidak pula mengenalnya. Ketika Badwi itu telah jauh ia berteriak dari jauh: “Hai Awadh Ba Muhtar, Assalamu Alaikum, segala hajatmu akan dikabulkan oleh Allah dan sampaikan salamku pada Sayid Ahmad”. Dengan terkejut Awadh berseru: “Datanglah ke mari, aku akan menanyakan sesuatu padamu”. jawab Khidir dari jauh: “Tidakkah telah dikatakan kepadamu oleh Sayid Ahmad bahawa kamu tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadapku?” Kemudian Khidir segera lenyap dari pandangannya.
Selain itu, beliau juga dikenal sebagai seorang mustajab segala doanya. Kerana itu setiap saat rumahnya selalu dipenuhi orang untuk mohon doa. Terutama bagi mereka yang sedang kena musibah. Sehubungan dengan itu pernah diceritakan bahawa pernah salah seorang muridnya bernama Umar bin Ali bin Mansur datang dari desanya mengeluh bahawa seluruh penduduk desanya sedang dalam kesulitan disebabkan musim kering yang terlalu lama. Ia datang mohon doa agar didoakan agar segera turun hujan. Jawab beliau: “Insya-Allah akan turun hujan di desamu pada hari Rabu mendatang. Ia segera pulang memberi berita gembira pada seluruh penduduk desanya. Apa yang diucapkan oleh beliau itu ternyata benar. Tepat di hari Rabu, Allah menurunkan hujan di desa muridnya itu. Sehingga tanahpun dapat hidup kembali.
Sayid Ahmad bin Alwi ini wafat di kota Tarim di tahun 973 H dan dikuburkan di tanah Zanbal. Kuburnya banyak diziarahi orang.
Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-alwi-bahjadab/


Al-Habib Ahmad Bin Alwi Bin Ahmad Alhaddad (Habib Kuncung)

Lahir di Ghurfah dekat Hawi, Hadramaut pada tanggal 26 Sya’ban 1254 Hijriyah. Guru utama beliau adalah ayahnya sendiri, disamping itu beliau berguru kepada Habib Ali bin Husin Al-Haddad, Hadramaut. Sedangkan gurunya di Indonesia : Habib Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi dan Habib Abdullah bin Muchsin Al-Atthas.
Tidak diketahui tanggal yang pasti kedatangannya di Indonesia. Beliau mula-mula tiba di Timor, Kupang. Di sini ia tinggal sementara dan kawin dengan puteri di kota itu yang bernama Syarifah Raguan Al-Habsyi. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Muhammad. Setelah lebih kurang 6 tahun ia tinggal dikota itu lalu ia berangkat ke Jawa. Tiba di Jakarta dan menetap di Kali Bata kira-kira 10 tahun. Beliau terkenal dengan julukan “ Habib Kuncung “. Juga pernah tinggal di Bogor di rumah Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad. Habib Kuncung ini selama di Jakarta dan di Bogor tidak pernah kawin. Habib Kuncung wafat dan dimakamkan di Kali Bata pada umur 93 tahun yaitu pada tanggal 29 Sya’ban 1345 Hijriyah/1926 M. Muhammad, anaknya datang ke Jakarta dan kemudian tinggal dan kawin di Pengadegan, Jakarta Selatan. Walaupun demikian di tidak punya keturunan.
Habib Kuncung ini adalah ahli darkah, artinya saat-saat orang dalam kesulitan atau sangat memerlukan beliau muncul dengan tiba-tiba. Ia seorang wali yang mempunyai perilaku yang ganjil.
Sumber dari buku Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi – Idrus Alwi Almasyhur
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-alwi-bin-ahmad-alhaddad/


Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas

Beliau adalah seorang diantara sejumlah waliyullah asal Hadramaut, beliau seorang ulama besar yang memiliki karamah luar biasa, beliau di lahirkan di Huraidhah, Hadramaut pada hari Selasa pada tanggal 19 Ramadhan 1257 H/1837 M. Karamahnya yang sangat terkenal beliau mampu melihat secara batiniah, sementara pengelihatan lahiriahnya tidak dapat melihat sejak masih dalam penyusuan ibundanya, beliau terserang penyakit mata yang sangat ganas sehingga buta.
Kemampuan itu beliau miliki sejak masih kecil hingga berusia lanjut, suatu hari beliau memenuhi undangan salah seorang santrinya di Mesir, ketika sedang duduk bersama tuan rumah, tiba-tiba beliau meminta salah seorang hadirin membuka salah satu jendela karena semua jendela tertutup.”Angin di luar sangat kencang,” kata orang itu, akan tetapi Al-Habib Ahmad mendesak agar jendela di buka. Ternyata di bawah jendela itu anak sang tuan rumah tengah berjuang melawan maut, tercebur ke dalam kolam persis di bawah jendela. Tentu saja seluruh hadirin terutama tuan rumah panik, kontan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas berseru agar orang-orang segera menyelamatkannya, dan alhamdulillah akhirnya anak itu selamat. Itulah salah satu karamah beliau, mampu melihat sesuatu yang terjadi dengan mata bathin yang justru tidak terlihat oleh orang biasa.
Ketika masih dalam penyusuan ibundanya beliau menderita sakit mata yang sangat ganas hingga buta, ibundanya sangat sedih, lalu membawa anaknya kepada Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas salah seorang ulama besar di zamannya. Sang ibu meletakkan bayi mungil itu di depannya, lalu menangis,” apa yang dapat kami perbuat dengan anak buta ini ? ” jerit ibunya.
Al-Habib Sholeh pun segera menggendong bayi itu lalu memandanginya dengan tajam, setelah berdoa tak lama kemudian ia pun berkata, ” anak ini akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya, ia akan mencapai maqam kakeknya Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.”
Mendengar kata-kata menyejukan itu sang ibu terhibur, maka sejak itu Al-Habib Ahmad yang masih bayi mendapat perhatian khusus dari Al-Habib Sholeh. Manakala melihat si kecil berjalan menghampirinya Al-Habib Sholeh pun berkata dengan lembut, “ selamat datang pewaris sirr (hikmah kebijaksanaan) Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.” (Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas kakeknya adalah ulama besar dan waliyullah penyusun Ratib Al-Atthas yang sangat termasyhur). Lalu Al-Habib Sholeh mengangkat anak kecil itu untuk diboncengkan di kuda tunggangannya.
Sejak berusia lima tahun Al-Habib Ahmad sudah belajar mengaji kepada kakeknya yang lain Al-Habib Abdullah, setelah itu beliau belajar ilmu agama kepada Faraj bin Umar Sabbah, salah seorang murid Al-Habib Hadun bin Ali bin Hasan Al-‘Atthas dan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas yang juga termasyhur sebagai ulama.
Seperti kebanyakan para ulama asal Timur Tengah, beliau juga memiliki daya ingat luar biasa, beliau mampu menghafal sesuatu dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke Huraidhah beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka. ”Aku selalu menghormati dan mengagungkan para ulama salaf yang datang ke kotaku, ” katanya.
Semua makhluk memang memiliki mata yang mampu melihat, memandang, mengamati, tapi hanya hamba Allah yang dipersiapkan oleh Allah SWT untuk dekat dengan-Nya yang mendapat anugerah mata hati (bashirah). Cerita Al-Habib Umar bin Muhammad Al-‘Atthas mengenai karamah Al-Habib Ahmad sangat menarik, “ketika masih kecil, aku suka bermain dengan Al-Habib Ahmad dijalanan, usia kami sebaya, ketika itu aku sering mendengar orang-orang memperbincangkan kewalian dan mukasyafah (kata benda untuk kasyaf, kemampuan untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata) Al-Habib Ahmad. Namun aku belum pernah membuktikannya,” katanya.
Suatu hari aku berusaha membuktikan cerita orang-orang itu. Jika ia seorang wali aku akan membenarkannya, tapi jika hanya kabar bohong aku akan membuatnya menderita. Kami menggali lubang lalu kami tutup dengan tikar, setelah tiba saat bermain aku mengajak Al-Habib Ahmad berlomba lari. Ia kami tempatkan di tengah tepat ke arah lubang itu, ajaib ketika sudah dekat dengan lubang itu ia melompat seperti seekor kijang. Awalnya kami kira kejadian itu hanya kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba kembali, tetapi ketika sampai di depan lubang ia melompat kembali ketika itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa,” katanya lagi.
Ketika berusia 17 tahun beliau menunaikan ibadah haji, kedatangannya di Makkah di sambut oleh Al-‘Allamah Mufti Haramain, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang menganjurkannya untuk menuntut ilmu Al-Qur’an kepada seorang ulama besar di Makkah, Syaikh Ali bin Ibrahim As-Samanudi, setelah hafal Al-Qur’an Al-Habib Ahmad mempelajari berbagai gaya qiraat Al-Qur’an.
Ketika membuka talim di Masjidil Haram, Sayyid Zaini Dahlan memberi kesempatan kepada beliau untuk membacakan hafalan Al-Qur’an-nya. Mereka memang sangat akrab, sering bertadarus bersama. Mereka juga sering berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Makkah dan Madinah. Pada 1279 H/sekitar 1859 M, ketika usianya 22 tahun beliau pulang dan mengajar serta berdakwah di Hadramaut.
Berkhalwat di Huraidhah
Guru yang berjasa mendidik beliau antara lain, Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al-Muchdlar, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf dan Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sementara guru-gurunya dari Makkah dan Madinah adalah Al-Habib Muhammad bin Muhammad Assegaf, Al-Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Muala Dawilah dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan kitab yang beliau pelajari (lewat pendengaran) dengan bimbingan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, antara lain, Idhahu Asrari Ulumil Muqarrabin, Ar-Risalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh, dan Mukhtashar al-Adzkar karya Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq. Sejak berguru kepada Al-Habib Sholeh beliau tidak pernah meninggalkan majelis itu, hingga sang guru wafat pada 1279 H/sekitar 1859 M.
Pada tahun 1308 H/kurang lebih 1888 M,ketika berusia 51 tahun beliau berkunjung ke Mesir, di temani oleh empat muridnya : Syaikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, Abdullah bin Sholeh bin Ali Nahdi, Ubaid Ba Flai’ dan Sayyid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi. Beliau disambut oleh ulama terkemuka Umar bin Muhammad Ba Junaid. Selama 20 hari di Mesir beliau sempat mengunjungi Syaikhul Islam Muhammad Al-Inbabiy dan bebeapa ulama termasyhur lainnya di kairo.
Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah SAW, beribadah umrah ke Makkah, lalu menuju Jeddah, Aden, Mukalla, kemudian pulang. Pada 1321 H/sekitar 1901 M, ketika berusia 64 tahun beliau berkunjung ke Tarim dan singgah di Seiwun untuk bertemu dengan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun maulid Simthud Durrar. Ketika itu Al-Habib Ali meminta agar Al-Habib Ahmad memberikan ijazah kepada hadirin.
Pada usia 68 tahun sekali lagi beliau menunaikan ibadah haji, sekalian berziarah ke makam Rasulullah SAW. Pulang dari tanah suci beliau lebih banyak berkhalwat di Huraidhah, menghabiskan sisa usia untuk beribadah dan berdakwah. Beliau wafat pada hari senin malam 6 Rajab 1334 H/kurang lebih 1914 M dalam usia 77 tahun.
Banyak murid beliau yang di kemudian hari berdakwah di Indonesia, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang,Jakarta), Al-Habib Syekh bin Salim Al-‘Atthas (Sukabumi, Jawa Barat), Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik, Jawa Timur), Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy (Malang, Jawa Timur) dan lain-lain.
Disarikan dari buku sekilas tentang Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, putera Riyadi, Solo, 2003.
http://www.habaib.org/index.php?hb=pp2&id=16&d=2
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-bin-hasan-al-%E2%80%98atthas/


Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad

Baqiyyatus Salaf wa Sayyidul Khalaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad adalah seorang ulama, wali dan da`i dari keturunan Habib ‘Umar bin ‘Alawi al-Haddad yang merupakan adik bongsu kepada Habib Abdullah al-Haddad. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1325H di Qaydun oleh seorang hababah sholehah lagi hafaz al-Quran iaitu Hababah Shofiyyah binti Thohir bin ‘Umar al-Haddad.
Habib Ahmad Masyhur telah mendapat didikan dan asuhan agama sedari kecil lagi. Beliau menimba ilmunya dari ibunya dan lain-lain ulama termasuklah belajar kepada pendiri Rubath Qaydun dua bersaudara iaitu Habib ‘Abdullah bin Thohir al-Haddad dan saudaranya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad. Di bawah dua ulama ini, Habib Ahmad mendalami lagi pengetahuan agamanya dalam bidang fiqh, tawhid, tasawwuf, tafsir dan hadis. Dalam usia muda, beliau telah hafal al-Quran dan menguasai berbagai lapangan ilmu agama sehingga diberi kepercayaan untuk mengajar pula di rubath tersebut. Habib Ahmad yang tidak pernah jemu menuntut ilmu turut menangguk ilmu di Rubath Tarim dengan para ulama yang mengajar di sana.
Tatkala berusia awal 20-an, Habib Ahmad telah dibawa oleh gurunya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad ke Indonesia. Di sana selain berdakwah, beliau meneruskan pengajian dengan ramai lagi ulama di sana, antaranya dengan Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-’Aththas, Habib ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar.
Sekitar tahun 1350H, Habib Ahmad berhijrah ke Afrika Timur untuk berdakwah dan menyebar risalah nendanya yang mulia, Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menetap di Mombasa, Kenya, dan dari situlah beliau melancarkan dakwahnya ke seluruh pelosok benua Afrika. Pada tahun 1375H, beliau berhijrah pula ke Kampala, Uganda dan menetap di situ sekitar 13 tahun. Habib Ahmad dengan sungguh-sungguh dan gigih telah menghabiskan masanya untuk berdakwah menyeru umat kepada agama yang diredhai sehingga dikatakan sepanjang beliau berada di Afrika, puluhan ribu penduduk di sana, bahkan setengah mengatakan jumlah tersebut menjangkau ratusan ribu, yang memeluk agama Islam ditangannya. Di samping itu beliau turut mengorbankan harta bendanya untuk agama dengan membangunkan banyak masjid dan madrasah dalam rangka dakwahnya di sana.
Hari Rabu, 14 Rajab 1416H bersamaan 6 Disember 1995M, Habib Ahmad telah dipanggil kembali ke rahmatUllah di Jeddah. Setelah disembahyangkan di Jeddah dengan diimamkan oleh almarhum Habib Dr. Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dengan kehadiran Habib ‘Abdul Qadir as-Saqqaf, jenazahnya yang mulia telah dibawa ke Makkah dan disholatkan sekali lagi di hadapan Ka’bah al-Musyarrafah sebelum dimakamkan di Jannatul Ma’la. Selain meninggalkan ribuan murid, Habib Ahmad turut meninggalkan beberapa karangan antaranya:
1. Miftahul Jannah;
2. Majmu` Fatawa;
3. Syarh Nadzam Sa`id bin Nabhan;
4. ad-Durratun Nafi`ah; dan
5. as-Sabhatuts Tsaminah.
Di samping itu, beliau turut meninggalkan beberapa rangkaian ucapan sholawat yang indah dan penuh asrar dan keberkatan. Antara sholawat gubahan Habib Ahmad adalah satu sholawat yang menyebut penciptaan Junjungan Nabi s.a.w. daripada nur kepunyaan Allah, yang berbunyi:-
Wahai Allah, Tuhan sumber cahaya alam semesta
Limpahkan sholawat atas Junjungan yang Engkau cipta
Dari nur milikMu ciptaan indah tiada tara
Dan ampunilah aku serta sinarilah hatiku yang alpa
Dengan makrifatMu terang bercahaya
Juga dengan makrifatnya akan diriMu yang Maha Mulia
Atas keluarga serta sahabat baginda limpahkanlah sama
Limpahan sholawat dan salam sejahtera
Akhirul kalam, cuplikan ceramah Sidi Yahya Rhodus yang, antara lain, menceritakan bahawa Habib Ahmad Masyhur al-Haddad telah mengIslamkan 300,000 orang selama dakwahnya di Afrika Timur…Allahu ..Allah. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan keredhaanNya ke atas Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad serta para leluhurnya. Allahumma aamiin .. al-Fatihah.
http://bahrusshofa.blogspot.com/search/label/Manaqib
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-ahmad-masyhur-bin-thaha-al-haddad/


Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi (Simtud Duror)

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi (Simtud Duror)
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.
Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.
Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.
Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).
Dipetik dari: Untaian Mutiara – Terjemahan Simtud Duror oleh Hb Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-al-imam-al-allamah-ali-bin-muhammad-bin-husin-al-habsyi-simtud-duror/


Al-Habib Al-Qutub Abubakar Bin Muhammad Assegaf

Al-Habib Al-Qutub Abubakar Bin Muhammad Assegaf
Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Semenjak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayahnya yang wafat di kota Gresik. Pada tahun 1293 H, Habib Abubakar kemudian berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan nenek beliau, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan.
Beliau berangkat kesana ditemani dengan Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Sesampainya disana, beliau disambut oleh paman, sekaligus juga gurunya, yaitu Abdullah bin Umar Assegaf, beserta keluarganya. Kemudian beliau tinggal di kediaman Al-Arif Billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Saggaf Assegaf.
Di kota Seiwun beliau belajar ilmu figih dan tasawuf kepada pamannya Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Hiduplah beliau dibawah bimbingan gurunya itu. Bahkan beliau dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat tahajud meskipun usia beliau masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama besar yang ada disana. Diantara guru-guru beliau disana antara lain :
Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi
Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf
Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi
Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas
Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (Mufti Hadramaut saat itu).
Al-Habib Syeikh bin Idrus Alaydrus
Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi sungguh telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Al-Habib Ali Alhabsyi berkata kepada seorang muridnya, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alaydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas. Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu”.
Ketika usia murid tersebut sudah menginjak usia senja, ia bermimpi melihat Nabi SAW 5 kali dalam waktu 5 malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi SAW berkata kepadanya, “(terdapat kebenaran) bagi yang melihatku di setiap kali melihat. Kami telah hadapkan kepadamu cucu yang sholeh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf. Perhatikanlah ia”.
Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali di mimpinya itu. Setelah itu ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali Alhabsyi, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah…”. Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, ia pun meninggal dunia, persis sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bahwa ia akan melihat Habib Abubakar di akhir umurnya.
Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1302 H beliau pun akhirnya kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf Assegaf, dan menuju kota Besuki. Disinilah beliau mulai mensyiarkan dakwah Islamiyyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H, disaat usia beliau masih 20 tahun, beliau pindah menuju kota Gresik.
Di pulau Jawa, beliaupun masih aktif mengambil ilmu dan manfaat dari ulama-ulama yang ada disana saat itu, diantaranya yaitu :
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor)
Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang)
Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan)
Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya)
Pada suatu hari disaat menunaikan shalat Jum’at, datanglah ilhaamat rabbaniyyah kepada diri beliau untuk ber- uzlah dan mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya, menghadap kebesaran Ilahiah, ber-tawajjuh kepada Sang Pencipta Alam, dan menyebut keagungan nama-Nya di dalam keheningan. Hal tersebut beliau lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Waktu pun berjalan demi waktu, sehingga tak terasa sudah sampai 15 tahun lamanya. Beliau pun akhirnya mendapatkan ijin untuk keluar dari uzlahnya, melalui isyarat dari guru beliau, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi. Berkata Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, “Kami memohon dan ber-tawajjuh kepada Allah selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf dari uzlahnya”. Setelah keluar dari uzlahnya, beliau ditemani dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berziarah kepada Al-Imam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.
Sehabis ziarah, beliau dengan gurunya itu langsung menuju ke kota Surabaya dan singgah di kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau di rumah tersebut. Tak lama kemudian, Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk kepada Habib Abubakar, “Beliau adalah suatu khazanah daripada khazanah keluarga Ba’alawi. Kami membukakannya untuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum”.
Semenjak itu Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan begitu antusias. Dakwah beliau tersebar luas…dakwah yang penuh ilmu dan ikhlas, semata-mata mencari ridhallah. Dalam majlisnya, beliau setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya Ulumiddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan beliau, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, beliau mengundang jamuan kepada masyarakat luas.
Beliau adalah seorang yang ghirahnya begitu tinggi dalam mengikuti jalan, atribut dan akhlak keluarga dan Salafnya Saadah Bani Alawi. Majlis beliau senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad menuju jalan para pendahulunya. Majlis beliau tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Inilah perhatian beliau untuk tetap menjaga thoriqah salafnya dan berusaha berjalan diatas… qadaman ala qadamin bi jiddin auza’i.
Itulah yang beliau lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu dimana Allah memanggilnya. Disaat terakhir dari akhir hayatnya, beliau melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu beliau pun menghadap ke haribaan Ilahi. Beliau wafat pada tahun 1376 H pada usia 91 tahun. Jasad beliau disemayamkan di sebelah masjid Jami, Gresik.
Walaupun beliau sudah berpulang ke rahmatillah, kalam-kalam beliau masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlak beliau masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya. Hal-ihwal beliau masih mengukir keindahan iman di kehidupan para pecintanya.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
REFERENSI
Manaqib Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf.
Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf.
——————————————————————————————-
Sebuah perjalanan religius seorang kekasih Allah hingga maqom Shiddiqiyyah Kubro
Beliau adalah Al-Imam al-Quthbul Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf (seorang imam di lembah Al-Ahqof). Garis keturunan beliau yang suci ini terus bersambung kepada ulama dari sesamanya hingga bermuara kepada pemuka orang-orang terdahulu, sekarang dan yang akan datang, seorang kekasih nan mulia Nabi Muhammad S.A.W. Beliau terlahir di kampung Besuki (salah satu wilayah di kawasan Jawa Timur) tahun 1285 H. Ayahanda beliau ra. wafat di kota Gresik, sementara beliau masih berumur kanak-kanak.
Sungguh al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf tumbuh besar dalam asuhan dan penjagaan yang sempurna. Cahaya kebaikan dan kewalian telah tampak dan terpancar dari kerut-kerut wajahnya, sampai-sampai beliau R.a di usianya ke-3 tahun mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu tak lain karena power (kekuatan) dan kejernihan rohani beliau, serta kesiapannya untuk menerima curahan anugerah dan Fath (pembuka tabir hati) darinya.
Pada tahun 1293 H, atas permintaan nenek beliau yang sholehah Fatimah binti Abdullah (Ibunda ayah beliau), beliau merantau ditemani oleh al-Mukaram Muhammad Bazamul ke Hadramaut meninggalkan tanah kelahirannya Jawa. Di kala al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf akan sampai di kota Sewun, beliau di sambut di perbatasan kota oleh paman sekaligus guru beliau al-Allamah Abdullah bin Umar berikut para kerabat. Dan yang pertama kali dilantunkan oleh sang paman bait qosidah al-Habib al-Arifbillah Syeh bin Umar bin Segaf seorang yang paling alim di kala itu dan menjadi kebanggaan pada jamannya. Dan ketika telah sampai beliau dicium dan dipeluk oleh pamannya. Tak elak menahan kegembiraan atas kedatangan sang keponakan dan melihat raut wajahnya yang memancarkan cahaya kewalian dan kebaikan berderailah air mata kebahagiaan sang paman membasahi pipinya.
Hati para kaum arifin memiliki ketajaman pandang
Mampu melihat apa yang tak kuasa dilihat oleh pemandang.
Sungguh perhatian dan didikan sang paman telah membuahkan hasil yang baik pada diri sang keponakan. Beliau belajar kepada sang paman al-Habib Abdullah bin Umar ilmu fiqh dan tasawuf, sang paman pun suka membangunkannya pada akhir malam ketika beliau masih berusia kanak-kanak guna menunaikan shalat tahajjud bersama-sama, al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam menimba ilmu dari para ulama dan pemuka kota Hadramaut. Sungguh mereka (para ulama) telah mencurahkan perhatiannya pada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Maka beliau ra. Banyak menerima dan memparoleh ijazah dari mereka. Diantara para ulama terkemuka Hadramaut yang mencurahkan perhatiannya kepada beliau, adalah al-Imam al-Arifbillah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, (seorang guru yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf).
Sungguh Habib Ali telah menaruh perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf semenjak beliau masih berdomisili di Jawa sebelum meninggalkannya menuju Hadramaut.
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang murid seniornya “Perhatikanlah! Mereka bertiga adalah para wali, nama, haliyah, dan maqom (kedudukan) mereka sama. Yang pertama adalah penuntunku nanti di alam barzakh, beliau adalah Quthbul Mala al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus, yang kedua, aku melihatnya ketika engkau masih kecil beliau adalah al-Habib al-Ghoust Abu Bakar bin Abdullah al-Atthos, dan yang ketiga engkau akan melihat sendiri nanti di akhir dari umurmu”.
Maka tatkala memasuki tahun terakhir dari umurnya, ia bermimpi melihat Rosulullah SAW sebanyak lima kali berturut-turut selama lima malam, sementara setiap kali dalam mimpi Beliau SAW mengatakan kepadanya (orang yang bermimpi) ” Lihatlah di sampingmu, ada cucuku yang sholeh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf”! Sebelumnya orang yang bermimpi tersebut tidak mengenal al-Habib Abu Bakar Assegaf kecuali setelah dikenalkan oleh Baginda Rosul al-Musthofa SAW didalam mimpinya. Lantas ia teringat akan ucapan al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dimana beliau pernah berkata “Mereka bertiga adalah para wali, nama dan kedudukan mereka sama”. Setelah itu ia (orang yang bermimpi) menceritakan mimpinya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.
Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari gurunya al Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan beliu dan sekaligus menikahkannya. Selanjutnya (diantara para masyayikhnya) adalah al Allamah al Habib Abdullah bin Umar Assegaf sebagai syaikhut tarbiyah, al Imam al Quthb al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi sebagai syaikhut taslik, juga al Mukasyif al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban sebagai syaikhul fath. Guru yang terakhir ini sering memberi berita gembira kepada beliau “Engkau adalah pewaris haliyah kakekmu al Habib Umar bin Segaf”. Sekian banyak para ulama para wali dan para kaum sholihin Hadramaut baik itu yang berasal dari Sewun, Tarim dan lain-lain yang menjadi guru al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, seperti al Habib Muhammad bin Ali Assegaf, al Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, al Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, al Habib Abdurrahman al-Masyhur, juga putera beliau al Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, dan juga al Habib Syekh bin Idrus al-Idrus dan masih banyak lagi guru beliau yang lainnya.
Pada tahun 1302 H, ditemani oleh al Habib Alwi bin Segaf Assegaf al Habib Abu Bakar Assegaf pulang ketanah kelahirannya (Jawa) tepatnya di kampung Besuki. Selanjutnya pada tahun 1305 H, ketika itu beliau berumur 20 tahun beliau pindah ke kota Gresik sambil terus menimba ilmu dan meminta ijazah dari para ulama yang menjadi sinar penerang negeri pertiwi Indonesia, sebut saja al Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas, al Habib Abdullah bin Ali al-Haddad, al Habib Ahmad bin Abdullah al-Atthas, al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlar, dan lain sebagainya.
Kemudian pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari jum’at ketika sang khatib berdiri diatas mimbar beliau r.a mendapat ilham dari Allah SWT bergeming dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia semuanya. Terbukalah hati beliau untuk melakukannya, seketika setelah bergeming beliau keluar dari masjid jami’ menuju rumah kediamannya. Beliau al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ber-uzlah atau khalwat (mengasingkan diri) dari manusia selama lima belas tahun bersimpuh dihadapan Ilahi Rabbi. Dan tatkala tiba saat Allah mengizinkan beliau untuk keluar dari khalwatnya, guru beliau al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi mendatanginya dan memberi isyarat kepada beliau untuk mengakhiri masa khalwatnya, al Habib Muhammad al-Habsyi berkata “selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya”, lantas beliau menggandeng al Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya. Kemudian masih ditemani al Habib Muhammad al-Habsyi beliau r.a menziarahi al Habib Alawi bin Muhammad Hasyim, sehabis itu meluncur ke kota Surabaya menuju ke kediaman al Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi memproklamirkan kepada para hadirin “Ini al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk murtiara berharga dari simpanan keluarga Ba ‘Alawi, kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia”.
Setelah itu beliau membuka majlis ta’lim dirumahnya, beliau menjadi pengayom bagi mereka yang berziarah juga sebagai sentral (tempat rujukan) bagi semua golongan diseluruh penjuru, siapa pun yang mempunyai maksud kepada beliau dengan dasar husnudz dzan niscaya ia akan meraih keinginannya dalam waktu yang relatif singkat. Di rumah beliau sendiri, al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf telah menghatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin lebih dari 40 kali. Pada setiap kali hatam beliau selalu menghidangkan jamuan yang istimewa. al Habib Abu Bakar Assegaf betul-betul memiliki ghirah (antusias) yang besar dalam menapaki aktivitas dan akhlaq para aslaf (pendahulunya), terbukti dengan dibacanya dalam majlis beliau sejarah dan kitab-kitab buah karya para aslafnya.
Adapun maqom (kedudukan) al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, beliau telah mencapai tingkat Shiddiqiyah Kubro. Hal itu telah diakui dan mendapat legitimasi dari mereka yang hidup sezaman dengan beliau. Berikut ini beberapa komentar dari mereka.
al Imam al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar berkata,
“Demi fajar dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil. Sungguh al Akh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah mutiara keluarga Segaf yang terus menggelinding (maqomnya) bahkan membumbung tinggi menyusul maqom-maqom para aslafnya”.
Al Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad berkata,
“Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang Quthb al Ghaust juga sebagai tempat turunnya pandangan (rahmat) Allah SWT”.
Al Arif billah al Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pernah berkata di rumah al Habib Abu Bakar Assegaf dikala beliau membubuhkan tali ukhuwah antara beliau dengan al Habib Abu Bakar Assegaf, pertemuan yang diwarnai dengan derai air mata. Habib Ali berkata kepada para hadirin ketika itu,
“Lihatlah kepada saudaraku fillah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Lihatlah ia..! Maka melihat kepadanya termasuk ibadah”
Al Habib Husein bin Muhammad al-Haddad berkata,
“Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah. Beliau adalah penguasa saat ini, belia telah berada pada Maqom as Syuhud yang mampu menyaksikan (mengetahui) hakekat dari segala sesuatu. Beliau berhak untuk dikatakan “Dia hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya (sebagai nikmat)”.
http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/al-habib-al-qutub-abubakar-bin-muhammad-assegaf/

No comments:

Post a Comment