BAB I
|
PENDAHULUAN
|
A. Latar
Belakang Masalah
|
Di tengah maraknya tayangan
|
reality show
|
, film-film dan sinetron dengan
|
tema remaja dan cinta masih ada film dengan tema alam
gaib muncul di televisi.
|
Ini merupakan indikasi bahwa tayangan televisi dengan
tema alam gaib masih
|
diminati oleh masyarakat indonesia termasuk didalamnya
masyarakat Pucungrejo
|
Muntilan sebagai objek penelitian ini. Meski era
tayangan televisi dengan tema
|
alam gaib telah lewat sekitar tahun 2003 yang lalu.
Namun masih ada stasiun
|
televisi yang menyajikan tayangan dengan tema alam
gaib. Sebagai contohnya
|
program ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” yang
ditayangkan oleh stasiun Trans
|
TV setiap hari Selasa dan Kamis jam 19.00WIB.
|
Dalam penelitian ini lokasi penelitian dipilih
Kelurahan Pucungrejo
|
Muntilan yang berada didaerah antara pedesaan dan
perkotaan dimana masih
|
banyak warganya menganut keyakinan Jawa atau yang
biasa disebut
|
kejawen
|
dan
|
melakukan hal-hal yang berbau klenik. Program tayangan
”Bioskop Indonesia
|
Spesial Horor” di Trans TV diplih sebagai objek
penelitian karena tayangan ini
|
merupakan program yang ditayangkan secara rutin yaitu
dua kali dalam satu
|
minggu dan menyajikan film-film horor yang
menceritakan tentang dunia gaib
|
termasuk didalamnya hal-hal yang berbau klenik
|
1
|
2
|
Film horor adalah genre utama dalam film sedangkan
genre adalah
|
sekumpulan pakem dalam unsur- unsur naratif. Dalam
film, unsur- unsur naratif
|
yang terpola itu tentu mencakup unsur-unsur visual.
Genre film horor kurang
|
lebih adalah sekumpulan film yang dimaksudkan untuk
memancing atau
|
menerbitkan rasa takut pada penonton.
|
Menurut Wikipedia oleh Darmawan Hikmat dalam Redaktur
|
Rumahfilm.org, film horor adalah film yang dirancang
untuk menerbitkan rasa
|
ngeri, takut, teror, jijik atau horor dari penontonya.
Dalam plot-plot film horor,
|
berbagai kekuatan, kejadian atau karakter jahat kadang
semua itu berasal dari
|
dunia supranatural, memasuki dunia keseharian kita.
Dalam pengertian ini film
|
horor memusatkan diri pada tema kejahatan dalam
berbagai ragam bentuknya.
|
Rasa takut, jijik, teror atau horor adalah efek yang
diinginkan.
|
Menurut artikel oleh Wicaksono Adi dan Nurruddin
Asyhadie di
|
filmsite.org, film horor adalah film-film ”mengganggu”
yang dirancang untuk
|
menakuti atau membuat panik, menimbulkan rasa ngeri,
waspada dan untuk
|
memancing berbagai ketakutan terburuk kita yang
tersembunyi. Seringkali
|
pancingan itu ada dalam sebuah akhir kisah yang
mengerikan dan membuat
|
shock
|
, sekaligus menghibur kita dengan memberikan sebuah
pengalaman.
|
Banyak dari anggota masyarakat yang masih berpola
pikir dan percaya
|
pada hal-hal gaib seperti hantu, setan dan sejenisnya.
Menurut koentjaraningrat,
|
manusia dituntut untuk mengimani adanya makhluk gaib
termasuk didalamnya
|
3
|
setan dan iblis dimana mereka tinggal di alam gaib
yang berbeda dengan dunia
|
nyata.
|
”Segala manusia sadar akan adanya suatu dunia yang
tidak tampak yang
|
ada di luar panca indranya dan di luar batas-batas
akalnya, yaitu dunia
|
gaib atau dunia lain atau dunia supranatural.
Dinyatakan pula bahwa dunia
|
gaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang
tidak dapat
|
dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, termasuk
di dalamnya
|
makhluk-makhluk halus seperti roh leluhur, roh yang
baik atau jahat serta
|
kekuatan-kekuatan sakti yang bisa berguna atau bisa
menyebabkan
|
bencana” (Koentjaraningrat 1981 : 229)
|
Tayangan-tayangan yang berbau misteri sedikit banyak
membawa
|
pengaruh bagi khalayak penontonnya karena pada
dasarnya sifat media televisi
|
yang dalam penyampaiannya pesannya selalu menimbulkan
efek bagi audisinya
|
sebagai komunikan.
|
”Efek media bermacam-macam, ada efek kognitif, efektif
dan behavior.
|
Efek kognitif merupakan efek media massa yang
menyentuh aspek
|
pengetahuan audiens. Dengan menonton tayangan di
televisi, audiens
|
kemudian mempunyai persepsi tentang sesuatu yang
ditontonya. Dilihat
|
dari sisi efeksi, media massa berpengaruh terhadap
aspek emosi audiens.
|
Banyak audiens yang mempunyai tendensi merasa
ketakutan setelah
|
menonton tayangan misteri. Pada aspek behavior, adanya
pengaruh media
|
massa ditandai dengan adanya perubahan perilaku
nyata.” (Rakhmat,
|
2000:218).
|
Sebagai contoh atas efek yang ditimbulkan oleh
televisi dalam majalah
|
Posmo diceritakan ada pengakuan seoran g karyawati
sebuah Bank Swasta di
|
Yogyakarta menceritakan bahwa dirinya menjadi lebih
berhati-hati dan waspada
|
kepada orang yang baru dikenalnya. Dia menjadi orang
yang tak mudah percaya
|
dengan orang lain. Hal ini disebabkan setelah menonton
”Situs Ki Joko Bodo”
|
episode Ilmu Gendam sebuah acara di Trans 7 (Posmo, 18
Desember 2007).
|
4
|
Fenomena serupa juga dialami seorang ibu yang
menyatakan bahwa setelah
|
menonton ”Percaya Nggak Percaya”, ia merasa takut dan
takut diganggu makhluk
|
halus. Kemudian ia menjadi rajin sholat dan
mendekatkan diri pada Allah agar
|
dijauhkan dari gangguan makhluk gaib itu. (Gatra, 15
Maret 2003:23).
|
Ditambah dengan fenomena nyata yang dimuat di Majalah
Tempo.
|
Sumanto, seorang kanobal ternama disinyalir memiliki
ilmu pesugihan dan
|
kesaktian (kekebalan tubuh). Tindakan irasional yang
dilakukannya dengan
|
memakan daging mayat manusia dimaksudkan untuk ilmu
hitam yang
|
diyakininya akan membawa kebahagiaan dan kesenangan
hidup. Obsesi-obsesi
|
manusia sakti, kebal, hidup bergemilang harta yang
demikian tersalurkan lewat
|
tayangan misteri atau sajian misteri lainnya.
|
Suatu penelitian berkenaan dengan keyakinan terhadap
hal-hal gaib
|
pernah dilakukan oleh Dean I Radin dan Janinne M
Rebman dari
|
Consciousness
|
Research Laboratory di University of Nevada, Amerika
Serikat,
|
Mereka menemukan bahwa ”melihat makhluk lain” tidak
lain merupakan
|
masalah yang subyektif yang secara mudah dipicu oleh
kondisi stimulus
|
yang dramatis. Dalam penelitian ini, subyek penelitian
dikondisikan pada
|
situasi ”seram” dan hampir semua subyek melaporkan
merasa melihat
|
”makhluk lain” yang hadir. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa
|
keberadaan hantu hanya ada dalam persepsi orang yang
mempercayai
|
melihatnya. Hantu itu tidak ada secara obyektif
(Gatra, 15 Maret 2003:23).
|
Dari hasil penelitian tersebut, dibarengi dengan
fenomena nyata yang ada
|
di dalam masyarakat Indonesia, terdapat kontradiksi.
Setiap individu tentunya
|
memiliki
persepsi yang berbeda dalam menyikapi hal itu karena setiap individu
|
memiliki latar belakang yang berbeda pula.
|
5
|
”Persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa
atau hubungan-
|
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan
|
menafsirkan pesan. Dalam mempersepsi sesuatu, seorang
memberikan
|
makna pada stimulasi indrawi. Sedangkan perbedaan
persepsi setiap orang
|
didasarkan pada faktor-faktor personal yang
mempengaruhi kecermatan
|
persepsi, yaitu pengalaman, motivasi dan kepribadian.
Ini berarti bahwa
|
persepsi seseorang terhadap sesuatu harus dipengaruhi
oleh peristiwa-
|
peristiwa tertentu yang pernah dihadapinya, dorongan
internal dari
|
individu dan sifat-sifat internal yang ada pada diri
individu. (Rakhmat,
|
2001:51).
|
Dalam kaitannya dengan dunia lain, orang mungkin
mempunyai persepsi
|
yang berbeda karena faktor pengalaman, motivasi dan
kepribadian dari masing-
|
masing individu pada dasarnya adalah berbeda. Orang
yang pernah melihat
|
makhluk halus, apapun bentuknya, mempunyai tendensi
yang lebih besar untuk
|
mempersiapkan bahwa makhluk halus itu memang ada.
Begitu juga, orang yang
|
mempunyai dorongan (keyakinan) terhadap keberadaan
makhluk-makhluk
|
haluspun akan memiliki kecenderungan yang sama. Sifat
internal individu juga
|
demikian. Orang yang merasa takut setelah menonton
tayangan misteri misalnya,
|
menunjukkan baik secara sadar maupun tidak telah
mempercayai adanya
|
eksistensi dunia lain.
|
B. Rumusan
Masalah
|
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di
atas maka rumusan
|
masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan
|
Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop
Indonesia Spesialu Horor” di
|
Trans TV dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
persepsi masyarakat
|
6
|
Kelurahan Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan
”Bioskop Indonesia Spesial
|
Horor” di Trans TV
|
C. Tujuan
Penelitian
|
Dengan melihat perumusan masalah diatas, maka tujuan
dalam penelitian ini
|
untuk :
|
1. Untuk mengetahui
bagaimana persepsi masyarakat
Kelurahan Pucungrejo
|
Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial
Horor” di Trans TV
|
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
masyarakat Kelurahan
|
Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop
Indonesia Spesial Horor” di
|
Trans TV
|
D. Manfaat Penelitian
|
1. Manfaat
Teoritis
|
Manfaat teoritis pada penelitian ini adalah untuk
memperkaya kajian di
|
bidang ilmu komunikasi.
|
2. Manfaat
Praktis
|
Manfaat praktis pada penelitian ini adalah untuk
menambah informasi serta
|
sebagai masukan bagi penonton tayangan ”Bioskop
Indonesia Spesial Horor”
|
di Trans TV terutama mengenai persepsi masyarakat
Kelurahan Pucungrejo
|
Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial
Horor” di Trans TV
|
serta masukan bagi pengelola televisi dalam menyajikan
tayangan bagi
|
penontonnya.
|
7
|
E. Kerangka
Teori
|
1. Komunikasi
|
Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan
kepribadian manusia.
|
Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan
kepribadian
|
manusia. Komunikasi amat erat kaitanya dengan perilaku
dan pengalaman
|
kesadaran manusia.
|
a. Pengertian Komunikasi
|
Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih dan
mengirimkan
|
simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu
khalayak membangkitkan
|
makna atau respon dari pikiranya yang serupa dengan
yang dimaksudkan
|
komunikator. (Mulyana, 2001 : 62)
|
Komunikasi secara umumnya adalah interaksi sosial yang
|
didalamnya terdapat pesan-pesan yang harus disampaikan
pada komunikan
|
lewat suatu midia tertentu dan menghasilkan dampak
baik pada komunikan
|
ataupun komunikator.
|
Dalam hal ini, komunikasi memainkan peran penting
dalam
|
menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh komunikan.
Komunikasi yang
|
efektif bisa menghasilkan dampak seperti yang
diinginkan oleh komunikator.
|
Jika kita lihat dari definisi yang diberikan oleh Dedy
Mulyana,
|
komunikasi merupakan proses menyortir atau memilah
isi-isi pesan yang
|
terdiri dari simbol-simbol baik verbal maupun non
verbal yang diciptakan
|
sedemikian rupa, sehingga bisa membantu khalayak untuk
merespon isi-isi
|
8
|
pesan yang dikomunikasikan itu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh
|
komunikator.
|
Penelitian ini mendasarkan pada proses komunikasi
dalam perspektif
|
mekanitis, yaitu proses yang berlangsung ketika
komunikator memberikan
|
atau mengoper pesan baik lewat bibir jika lisan atau
lewat tangan jika tulisan
|
sehingga pesannya bisa ditangkap oleh komunikan.
|
Penangkapan pesan ini bisa dilakukan dengan indera
mata, telinga atau
|
indera-indera lainya.
|
b. Model Proses Komunikasi
|
Bisa dikatakan setiap hari manusia melakukan interaksi
sosial atau
|
yang dikenal sebagai komunikasi . Untuk memahami
pengertian komunikasi,
|
kita sering mengutip paradigma yang telah
diketengahkan oleh Harold
|
Laswell. Menurut Laswell, komunikasi yang baik harus
bisa menjawab
|
pertanyaan sebagai berikut:
|
who say what in which channel to whom with
|
what effects ?
|
Paradigma ini menunjukkan bahwa komunikasi meliputi
lima unsur
|
sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,
yakni:
|
(1) Komunikator
|
(communicator, source, sender)
|
(2) Pesan
|
(Message)
|
(3) Media
|
(Channel, media)
|
(4) Komunikan
|
(Communicant, receiver, receipent)
|
(5) Efek
|
(Effect, impact, influence)
|
9
|
Jadi, berdasarkan paradigma Laswell tersebut,
|
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada
|
komunikan melalui media yang menimbulkan efek
tertentu. (Uchjana,
|
1993 : 3)
|
2. Persepsi
|
Efek media massa dapat dilihat dari perubahan yang
terjadi pada diri khalayak
|
kemunikasi massa sebagai publik yang terpengaruh.
Adapun efek-efek
|
tersebut dibagi menjadi tiga yaitu efek kognitif, efek
afektif, dan efek
|
behavior. (Rakhmat, 2000 : 219).
|
Telah dikatakan bahwa media massa, begitupun televisi,
dapat
|
menciptakan, efek kognitif, efektif dan behavior.
Dalam tataran kognitif,
|
dirumuskan bahwa media massa mempengaruhi aspek
pengetahuan
|
pemahaman dan persepsi seseorang.
|
Bahwa persepsi merupakan pengalaman tentang objek,
peristiwa atau
|
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpan dan
|
menafsirkan pesan. Dikatakan pula bahwa persepsi
adalah
|
memberikan makna pada stimulasi indrawi (sensory
indrawi).
|
(Rakhmat, 2001 : 129).
|
Persepsi sebagai proses dengan nama kita menjadi sadar
akan
|
banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.
Persepsi
|
mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan yang
akan kita serap
|
dan makna apa yang akan kita berikan kepada mereka
ketika mereka
|
mencapai kesadaran. (De Vito 1997:75).
|
Persepsi sebagai
proses menginterpretasian, pengorganisasian
|
terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau
individu
|
sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan
aktivitas
|
yang terintegrasi. (Rakhmat 2001:93-98).
|
Persepsi sebagai proses kognitif yang dialami setiap
orang di dalam
|
mengalami informasi tentang lingkungan, baik lewat
penglihatan,
|
pendengaran, penghayatan dan penciuman. (Toha
1990:53).
|
10
|
Persepsi merupakan proses aktif dengan memegang peran
bukan
|
hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu
secara
|
keseluruhan dengan pengalaman, motivasi dan sikapnya
yang relevan,
|
dengan rangsangan tersebut. (Sadli, 1977 : 72).
|
Dalam menafsirkan sesuatu, persepsi seseorang
dipengaruhi oleh
|
faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal.
Setiap individu memiliki
|
persepsi yang berbeda dalam menyikapi sesuatu karena
setiap individu
|
mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Dalam
(Rakhmat, 2001:89)
|
dijelaskan mengenai faktor-faktor personal yang
mendasari perbedaan
|
kecermatan persepsi setiap orang yaitu :
|
a. Pengalaman
|
Pengalaman ini membantu seseorang untuk lebih cermat
dalam melakukan
|
persepsi. Pengalaman tidak harus diperoleh melalui
proses belajar formal
|
tapi juga dapat diperoleh melalui serangkaian peristiwa yang pernah
|
dihadapi.
|
b. Motivasi
|
Dalam hal ini, motivasi merupakan unsur yang melekat
pada proses
|
konstruktif yang mencakup motif biologis, ganjaran dan
hukuman
|
karakteristik kepribadian dan perasaan terancam karena
personal
|
stimulasi. Dorongan dari dalam individu ini pun
memiliki pengaruh
|
terhadap persepsinya.
|
11
|
c. Kepribadian
|
Disini dikenal istilah proyeksi yaitu
mengiteralisasikan pengalaman
|
subyektif secara tidak sadar. Orang mengena pada orang
lain sifat-sifat
|
yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya.
Jelaslah bahwa orang
|
yang banyak melakukan proyeksi akan lebih cermat
menanggapi stimulasi
|
sehingga tafsirannya menjadi salah.
|
Faktor yang menimbulkan persepsi seseorang terhadap
sesuatu :
|
Pertama, Pengalaman masa lalu.
|
Seseorang mempunyai opini tentang orang lain yang baru
dikenalnya
|
berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh pengalaman
masa lalu.
|
Kedua, Latar Belakang Budaya.
|
Misalnya, persepsi tentang warna orang Indonesia
mempersepsi
|
warna hijau identik dengan partai politik, orang
Malaysia
|
mempersepsi warna hijau identik dengan kematian.
|
Ketiga, Nilai-nilai yang dianut :
|
Contohnya, seseorang merayakan hari raya Idul Fitri,
di Indonesia
|
berbeda dengan di Saudi Arabia.
|
Keempat, Berita-berita yang berkembang.
|
Seseorang membentuk pengetahuan tentang sesuatu yang
|
menentukan persepsinya. (Rakhmat 1997:93-98).
|
Dalil-dalil mengenai persepsi :
|
Pertama, persepsi bersifat selektif fungsional.
|
Obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita
biasanya
|
adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang
melakukan
|
persepsi. Contohnya, pengaruh kebutuhan, latar
belakang budaya,
|
suasana emosional dan kesiapan mental.
|
Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu
diorganisasikan dan
|
diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan
melihat
|
konteksnya, walaupun stimuli yang diterima tidak
lengkap, kita akan
|
mengisinya dengan interprestasi yang konsisten dengan
rangkaian
|
stimuli yang kita persepsi.
|
Ketiga, sifat-sifat perseptal dan kognitif dari
substruktural ditentukan
|
pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara
keseluruhan. Menurut
|
dalil ini jika individu dianggap sebagai anggota
kelompok, semua
|
sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok
akan
|
12
|
dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya dengan efek
yang
|
berupa asimulasi atau kontras.
|
Keempat, obyek atau peristiwa yang berdekatan dalam
ruang dan
|
waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung
ditanggapi sebagai
|
bagian dari struktur yang sama. Generalisasi seseorang
terhadap
|
suatu periwtiwa menyebabkan banyaknya persepsi seseorang
|
terhadap suatu obyek. (Rakhmat 1996:55-61).
|
Media massa bukanlah sebagai ”
|
agent of conversion
|
” (media sebagai
|
pengubah perilaku), namun lebih berfungsi untuk
memperteguh
|
keyakinan yang ada. Berkaitan dengan penemuan tersebut
juga
|
dinyatakan bahwa khalayak bukan lagi merupakan tubuh
pasif yang
|
menerima apa saja yang disuntikkan media ke dalamnya.
Khalayak
|
melakukan seleksi informasi melalui proses terpaan
selektif
|
(selective
|
exposure)
|
dan persepsi selektif
|
(selective perception)
|
. (Rakhmat,
|
2000 : 198).
|
Dalam
|
selective exposure
|
terdapat 4 prinsip utama, yaitu :
|
•
|
Selective Attention
|
, dimana khalayak memilih dan
|
memperhatikan pesan tertentu.
|
•
|
Selective Perception,
|
dimana khalayak memilih dan mempersepsi
|
pesan tertentu.
|
•
|
Selective Recail
|
, dimana khalayak memilih dan mengingat pesan
|
tertentu.
|
•
|
Selective Action,
|
dimana individu memilih membuat tindakan
|
tertentu.
|
Prinsip tentang
|
Selective Perception
|
dibahas lebih mendalam dalam
|
Teori Konsistensi bahwa individu berusaha menghindari
perasaan
|
tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih
informasi yang
|
cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak
informasi
|
yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya.
Teori
|
Konsistensi memiliki 3 konsep dasar, yakni :
|
Selective Perception
|
,
|
yang merupakan pernyataan reaktif (spontan) khalayak
terhadap
|
13
|
informasi yang selaras dengan sikapnya;
|
Selective Exposure
|
, yang
|
merupakan pernyataan khalayak memilih irnformasi
berdasarkan
|
pilihan medoum;
|
Selective Retention
|
, yang merupakan pilihan
|
informasi khalayak berdasarkan bentuk media sejenis.
(Rakhmat,
|
2000 : 110).
|
2.2. Proses
Persepsi.
|
Pada proses persepsi banyak rangsangan sampai kepada
setiap
|
individu melalui panca indra, namun mereka tidak
mempersepsi semua
|
itu secara acak. Umumnya mereka hanya dapat
memperhatikan suatu
|
rangsangan saja secara penuh. Alasannya karena
persepsi adalah proses
|
aktif yang menuntut suatu tatanan dan makna atas
berbagai rangsangan
|
yang diterima.
|
Persepsi bersifat kompleks, apa yang terjadi di dunia
luar dapat
|
sangat berbeda dengan apa yang mencapai otak setiap
individu (Werner
|
J. Sevrin, James W. Tankard, JR, 1992 : 88).
Mempelajari bagaimana
|
dan mengapa pesan-pesan ini berbeda sangat penting
untuk memahami
|
komunikasinya.
|
Gambaran dari bagaimana persepsi bekerja dapat
dijelaskan
|
dengan tiga langkah yang terlibat dalam proses ini.
Langkah-langkah ini
|
tidak saling terpisah, karena dalam prosesnya bersifat
kontinyu,
|
bercampur-campur dan tumpang tindih satu sama lainnya.
Adapun
|
langkah-langkahnya sebagai berikut : (Devito, 1997 :
75-76).
|
14
|
a. Terjadinya
Stimulus Alat Indra
|
(Sensory Stimulation).
|
Pada langkah pertama alat-alat indra distimulasi
(dirangsang).
|
Meskipun setiap individu memiliki kemampuan
pengindaraan untuk
|
merasakan stimulus (rangsangan), namun tidak selamanya
|
digunakan. Artinya ada kecenderungan bahwa setiap
individu akan
|
menangkap tidak bermakna.
|
b. Stimulasi
Terhadap Alat Indra Diatur.
|
Langkah kedua, rangsangan terhadap indra diatur
menurut berbagai
|
prinsip, salah satu prinsip yang sering digunakan
adalah prinsip
|
proksimitas
|
(proximity)
|
atau kedekatan. Orang atau pesan yang
|
secara fisik mirip satu sama lain dipersepsikan
bersama-sama sebagai
|
satu unit (satu pasangan). Demikian pula, dalam
mempersiapkan
|
pesan yang datang segera setelah pesan yang lain
sebagai satu unit
|
dan menanggapi bahwa keduanya tentu saling berkaitan.
Prinsip yang
|
lain adalah kelengkapan
|
(closer).
|
Setiap orang memandang atau
|
mempersiapkan suatu gambar atau pesan yang dalam
kenyataan tidak
|
lengkap sebagai gambar atau pesan yang lengkap. Gambar
prinsip
|
tersebut mengingatkan bahwa yang dipersiapkan akan
didata ke
|
dalam suatu pola yang bermakna bagi setiap diri
individu. Pola ini
|
belum tentu benar atau logis dari suatu segi objektif
tertentu.
|
c. Stimulasi
Alat Indra Ditafsirkan-Dievaluasi.
|
15
|
Langkah ketiga dalam proses perseptual adalah
penafsiran-evaluasi.
|
Gambaran kedua istilah ini untuk menegaskan bahwa
keduanya tidak
|
dapat dipisahkan. Langkah ini merupakan proses
subjektif yang
|
melibatkan evaluasi (penilaian) dipihak penerima.
Penafsiran-
|
evaluasi tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan
luar,
|
melainkan sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa
lalu,
|
kebutuhan, keinginan, sistem nilai, kepercayaan,
keadaan fisik dan
|
emosi pada saat itu , serta sebagian ayang ada dalam
diri individu.
|
Setiap individu menerima satu buah pesan, cara
masing-masing
|
individu menafsirkan-mengevaluasinya tidaklah sama.
Penafsiran-
|
evaluasi ini akan berbeda bagi satu individu yang sama
dari waktu ke
|
waktu. Perbedaan ini jangan sampai menyamarkan akan
validitas
|
beberapa generalisasi tentang persepsi, meskipun
generalisasinya ini
|
belum tentu berlaku untuk individu tertentu, tetapi
dimungkinkan ini
|
berlaku untuk sebagian cukup besar orang.
|
3. Media
|
1) Media Massa
|
Sejak berabad-abad dahulu, kegiatan berkomunikasi
sudah dimulai.
|
Kegiatan ini awalnya hanya bermula dari percakapan
biasa secara tatap
|
muka, hingga kini berenovasi menjadi satu kegiatan
yang sangat penting
|
dalam bersosialisasi di masyarakat. Bahkan ini
kegiatan berkomunikasi
|
telah didukung dengan adanya peralatan modern seperti
surat kabar, film,
|
16
|
radio, televisi, hingga media-media elektronik baru
seperti komputer,
|
faximile, videoteks, videodisk
|
dan lain-lain.
|
Ilmu-ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis
untuk merumuskan
|
secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta
pembentukan
|
pendapat dan sikap (Houvland , 1989 : 1).
|
A systematic to formulation pigorous fashion the
principles by which
|
information is transmitted and attitudes are formed
|
(Ross 1989 : 1).
|
Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan
kepada massa,
|
kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak
berati bahwa
|
khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang
yang membaca
|
atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini
berarti bahwa
|
khalayak itu besar dan pada umumnya agak suka untuk
didefinisikan.
|
Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan
oleh pemancar-
|
pemancar yang
|
audio
|
dan
|
visual
|
. Komunikasi massa barangkali akan leih
|
mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut
bentuknya : televisi,
|
radio, surat kabar, majalah film, buku dan pita (Devito, 1993 : 21).
|
2) Televisi
sebagai Media Massa.
|
Televisi sebagai media massa memainkan peran penting
dalam
|
mempengaruhi perilaku-perilaku individu. Ini
disebabkan sifat dari media
|
itu sendiri yang mampu menarik perhatian dan
selanjutnya pemahaman
|
individu terhadap pesan yang disampaikan lewat
media-media tertentu.
|
Televisi sebagai media massa terlihat paling populer
diantara berbagai
|
teknologi komunikasi yang ada. Kepopuleran televisi
disebabkan televisi
|
tidak hanya dapat menyentuh ruang psikologis
pemirsanya, tapi lebih dari
|
itu, televisi benar-benar hadir secara riil dalam
bentuk materialnya dalam
|
setiap rumah. Kenyataan ini dibuktikan lewat fakta
bahwa hampir
|
sebagian besar masyarakat menyimpan televisi dalam
rumahnya. Ini
|
menunjukkan bahwa televisi benar-benar telah menjadi
bagian yang tidak
|
17
|
terpisahkan dalam perjalanan hidup manusia abad ini.
Fenomena ini oleh
|
Martin Esslin. Seorang analisis televisi terkemuka
disebut sebagai
|
”The
|
Age of Television”
|
.
|
Kehadiran televisi telah menggiring umat manusia untuk
memahami
|
“realitas” menjadi “dunia khayalan” dan sebaliknya
dunia khayalan
|
seakan menjadi realitas (Fahmi, 1997 : 162).
|
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi melalui
televisi, dengan
|
sendirinya dibutuhkan berbagai perangkat dasar yang
menggerakkannya,
|
salah satunya adalah program siaran. Program siaran di
dalam media
|
televisi berkaitan erat dengan jurnalistik televisi
sebagai ketrampilan
|
praktis seseorang dalam melakukan proses komunikasi
mulai dari mencari
|
mengumpulkan, mengelola dan menyajikan informasi kepada
khalayak.
|
Dalam perkembangannya, program siaran televisi tidak
lagi hanya
|
merujuk pada pengemasan berita tapi mulai bergerak ke
arah penyajian
|
hiburan kepada khalayak. Hal ini berkaitan dengan
makin ketatnya
|
kompetensi media-media televisi yang ada dalam meraih
tingkat
|
kepemirsaan yaitu dengan berlomba menyajikan prohram
siaran (acara)
|
yang dianggap sesuai dengan selera khalayak. Ketatnya
kompetensi antar
|
media televisi memotivasi mereka saling bersaing untuk
menciptakan
|
produk-produk program siaran yang sekreatif mungkin.
Karena jatuh
|
bangunnya penyelenggaraan siaran televisi selain
dipengaruhi oleh tingkat
|
kepemirsaan juga bergantung pada kreativitas
pengelolaan dalam
|
mengembangkan kreativitas penciptaan program siaran
televisi. Dengan
|
18
|
kondisi semacam itu, saat ini, muncul beragam
tayangan-tayangan baik itu
|
yang bersifat
informatif maupun hiburan. Mulai dari siaran-siaran berita
|
umum, berita-berita khusus seperti berita kriminal,
siaran infotaiment,
|
film layar lebar, sinetron, acara-acara musik, talk
show, film animasi dan
|
lain sebagainya. Program-program siaran televisi ini
dikemas semenarik
|
mungkin untuk dapat menarik perhatian khalayak
pemirsanya.
|
3) Keunggulan
Televisi.
|
Menurut dr. A Alatas Fahmi dalam bukunya
|
”Bersama Televisi
|
Merenda Wajah Bangsa”
|
(1997 : 30-31), televisi sebagai media
|
komunikasi modern memiliki keunggulan-keunggulan yang
dapat dilihat
|
dari dua sisi, yaitu :
|
a. Keunggulan
pragmatis.
|
Keunggulan ini lebih menyangkut aspek isi yang
disajikan oleh
|
televisi yakni meliputi :
|
- Menyangkut
isi dan bentuk, media televisi meskipun direkayasa
|
mampu membedakan fakta dan fiksi, realistis dan tidak
terbatas.
|
- Menyangkut
hubungan dengan khalayaknya, media televisi
|
mempunyai khalayak yang tetap, memerlukan keterlibatan
tanpa
|
perhatian sepenuhnya dan intim.
|
- Media
televisi memiliki tokoh berwatak sedang media lain
|
memiliki bintang yang direkayasa.
|
19
|
b. Keunggulan
teknologis.
|
Keunggulan ini menyangkut aspek kemampuan teknologi
komunikasi
|
meliputi :
|
- Mampu
menjangkau wilayah yang sangat luas dalam waktu
|
bersamaan, sehingga dapat menghantarkan secara
langsung suatu
|
peristiwa di suatu tempat ke berbagai tempat lain yang
berjarak
|
sangat jauh.
|
- Mampu
menciptakan suasana yang bersamaan di berbagai wilayah
|
jangkauannya dan mendorong khalayaknya memperoleh
informasi
|
dan melakukan interaksi secara langsung.
|
Televisi juga mempunyai keunggulan untuk menghidupkan
|
imajinasi khalayak keluar ke dunia nyata. Melalui
program-
|
program siaran yang ditayangkan, media televisi mampu
|
memunculkan fantasi dari angan-angan khalayak secara
nyata
|
dan kontekstual. Ini membuktikan bahwa sebagai salah
satu
|
bentuk media massa, televisi mempunyai pengaruh yang
kuat
|
terhadap pemirsanya
(Bungin, 2001:53).
|
Efek media massa dapat dilihat dari perubahan yang
terjadi
|
pada diri khalayak komunikasi massa sebagai publik
yang
|
terpengaruh. Adapun efek-efek tersebut dibagi menjadi
tiga,
|
yaitu efek konitif, efek afektif, efek behavior
(Rakhmat,
|
2000:219).
|
Efek-efek yang ditimbulkan oleh televisi :
|
a. Efek
Kognitif.
|
Efek ini terjadi bila ada perubahan pada apa yang
diketahui, dipahami
|
atau dipersepsi khalayak. Efek kognitif berkaitan
dengan transmisi
|
pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan atau informasi.
|
20
|
b. Efek
Afektif.
|
Efek ini timbul bila ada perubahan pada apa yang
dirasakan, disenangi
|
atau dibenci oleh khalayak. Efek afektif ada
hubungannya dengan
|
emosi, sikap atau nilai. Efek afektif juga dapat
dilihat dari adanya
|
perubahan sikap dan pendapat khalayak.
|
c. Efek
Behavior.
|
Efek ini merujuk pada perilaku nyata yang dapat
diamati; yang
|
meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan
berperilaku. Efek
|
behavior dapat dilihat pada tindakan dan gerakan yang
tampak dalam
|
kehidupan sehari-hari. Efek ini muncul berkaitan
dengan adanya gejala
|
peniruan atau peneladanan.
|
Melalui kontak dengan televisi (dan media lain), kita
belajar
|
tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta
adat kebiasaannya.
|
Teori kultivasi ini memperkirakan suatu keadaan yang
berbeda dalam
|
realitas sosial antara pencandu berat televisi dnegan
penonton yang
|
biasa-biasa saja. Teori ini membedakan antara penonton
berat dan
|
penonton ringan televisi.
|
Televisi dipercaya dapat membuat budaya homogen. Yang
terpenting
|
adalah mengenai totalitas pola yang dikomunikasikan
secara komulatif
|
oleh televisi dalam jangka waktu penghidupan yang
panjang. Teori ini
|
lebih menekankan pada pertumbuhan diri dalam
acara-acara tanpa
|
pemilihan tayangan, tapi citra umum yang melampui
segalanya yang
|
ditayangkan di televisi akan merasuk ke dalam setiap
kelompok sosial
|
dan sub budaya dan mempengaruhi semuanya. Teori ini
disebut
|
cultivation
|
(Little John, 1996 : 339-440).
|
21
|
Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali
mempunyai
|
sikap stereotip tentang peran jenis kelamin, dokter,
bandit, atau tokoh-
|
tokoh lain yang biasa muncul dalam serial TV …. Dalam
dunia
|
mereka, ibu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai
orang yang
|
paling mengurusi kebersihan ”kamar kacil” Suami adalah
orang yang
|
selalu menajdi korban dalam kisah lucu. Perwira polisi
menjalani hari-
|
hari yang menyenangkan. Orang ”mati” tanpa mengalami
sekarat, dan
|
semua bandit berwajah seram (De Vito, 1997 : 527).
|
Tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara
sama. Beberapa
|
lebih mudah dipengaruhi telvisi daripada yang lain.
Pengaruh ini akan
|
bergantung bukan saja pada seberapa banyak seseorang
memirsa
|
televisi melainkan juga pada pendiidkan, penghasilan,
dan jenis
|
kelamin si pemirsa. Artinya, ada faktor-faktor lain di
luar tingkat
|
keseringan memirsa televisi yang mempengaruhi persepsi
kita tentang
|
dunia serta kesiapan kita untuk menerima gambaran
dunia di televisi
|
sebagai dunia yang sebenarnya (De Vito, 1997 : 527).
|
Analisa pertumbuhan juga menemukan bahwa efek
|
sampingnya yang umum dari televisi pada kebudayaan
secara
|
keseluruhan sehingga kebudayaan menjadi homogen atau
|
konvensional mellaui televisi. Pengaruh penumbuhan
akan berbeda
|
antara kelompok yang satu dengan yang lain karena
kecenderungan
|
menerima realita televisi juga dipengaruhi oleh
interaksi seseorang
|
dengan orang lain. Tapi yang menarik adalah orang yang
menonton
|
lebih banyak suatu acara di televisi cenderung
memperlihatkan
|
pengaruh yang lebih besar dibanding orang yang tidak
menonton
|
sebanyak itu.
|
22
|
4. Masyarakat
|
Salah satu kehidupan manusia yang bersifat umum bahwa
manusia
|
pada dasarnya mempunyai sifat egois dan mempunyai
sifat bebas dan sangat
|
luas oleh. Oleh sebab itu manusia baru dapat dikatakan
manusia apabila ia
|
dapat hidup bersama dengan manusia sekelilingnya
sebagai mkhluk hidup
|
yang mempunyai perasaan sosial dengan sifat-sifat yang
dapat dibentuk sejak
|
ia mulai bergaul dengan manusia lain, inilah yang
disebut sebagai makhluk
|
hidup bermasyarakat (Mansyur, 1993 : 22).
|
Yang dimaksud dengan hidup bermasyarakat adalah dimana
|
sekelompok orang atau manusia yang hidup bersama yang
mempunyai tempat
|
atau daerah tertentu untuk jangka waktu yang lama
dimana masing-masing
|
anggotanya saling berhubungan satu dengan yang lain.
Hubungan yang
|
dimaksudkan adalah dapat berbentuk sikap, tingkah laku
maupun perbuatan.
|
Dan segala tingkah laku atau perbuatan itu diatur
dalam suatu tata tertib atau
|
undang-undang atau peraturan tertentu yang biasa
disebut atau dikenal dengan
|
hukum adat.
|
Kehidupan bermasyarakat pada umumnya sangat berbeda
antara
|
masyarakat satu dengan yang lainnya. Perbedaan
tersebut disebabkan karena
|
struktur masyarakat tersebut dan faktor tempat
tinnggal. Dari faktor tempat
|
(tinggal) masyarakat tersebut, dapat digolongkan
kedalam masyarakat
|
golongan tinggi, menengah,kota, pedesaan dan
lain-lain. Sedangkan
|
pengertian masyarakat sendiri menurut kesimpulan
(Mansyur, 1993 : 26)
|
23
|
adalah perkumpulan manusia yang banyak dan bersatu
dengan cara tertentu
|
karena adanya hasrat-hasrat kemasyarakatan yang sama /
bersamaan.
|
Menurut Soerjono Soekanto (1988 : 214), dalam
kehidupan
|
masyarakat ada sesuatu yang dihargai oleh masyarakat,
maka hal ini tersebut
|
menimbulkan bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem
berlapis-lapis
|
dalam masyarakat yang bersangkutan. Barang sesuatu
yang dihargai dalam
|
masyarakat mungkin berupa uang atu harta, tanah,
kekuasaan, ilmu
|
pengetahuan dan lain-lain. Barang siapa yang memiliki
sesuatu yang berharga
|
tadi dalam jumlahnya yang banyak, akan dianggap oleh
masyarakat sebagai
|
orang yang menduduki laoisan atas, sebaliknya mereka
yang hanya memiliki
|
sedikit, dalam pandangan masyarakat hanya memiliki
kedudukan yang
|
rendah.
|
Sedangkan ukuran atu kriteria yang biasanya dipakai
untuk
|
menggolongkan anggota-anggota masyarakat kedalam
lapisan-lapisan tersebut
|
adalah sebagai berikut:
|
a. Ukutan
kekayaan. Ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan suatu
|
ukuran, barang siapa yang memiliki kekayaan paling
banyak termasuk
|
dalam lap[isan teratas. Kekayaan tersebut misalnya
dapat dilihat dari
|
bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara
berpakaian,
|
kebiasaan berbelanja barang mahal dan lain-lain.
|
24
|
b. Ukuran
kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau
|
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan
tertinggi dalam
|
masyarakat.
|
c. Ukuran
kehormatan. Ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
|
kekayaan dan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani
dan dihormati,
|
mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini banyak
terdapat atau
|
dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional.
Biasanya mereka
|
adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa
besar kepada
|
masyarakat.
|
d. Ukuran ilmu
pengetahuan. Hal ini sebagai ukuran dipakai oleh
|
masyarakat-masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Akan tetapi
|
ukuran tersebut kadang menyebabkan
terjadinyaakibat-akibat yang
|
negatif. Oleh karena itu kemudianternyata bukan mutu
ilmu pengetahuan
|
yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kerjasamanya.
Hal tersebut
|
menimbulkan usaha untuk mendapatkan gelar kerjasama
tersebut dengan
|
cara-cara yang tidak halal.
|
Ukuran tersebut diatas tidaklah bersifat limitatif,
oleh karena itu masih
|
ada ukuran-ukuran lain yang dapat dipergunakan. Akan
tetapi ukuran-ukuran
|
tersebut yang sangat menonjol sebagai dasar timbulnya
lapisan-lapisan dalam
|
masyarakat.
|
25
|
F. Metode
Penelitian
|
1.Jenis Penelitian.
|
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis
|
penelitian studi kasus, yaitu salah satu Jenis
penelitian ilmu-ilmu sosial yang
|
menjelaskan komprehensif mengenai berbagai aspek
seorang individu, suatu
|
kelompok, suatu organisasi, suatu program atau situasi
sosial (Mulyana, 2001
|
: 201).
|
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif, yaitu
tidak
|
menjelaskan hubungan antar
|
variabel,
|
tidak menguji hipotesis atau melakukan
|
prediksi (Rakhmat, 1995 : 24).
|
Jumlah informan yang diambil dalam penelitian ini ada
5 orang yang merupakan
|
penonton tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di
Trans TV.
|
2. Lokasi penelitian
|
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Pucungrejo
Kecamatan
|
Muntilan Kabupaten Magelang.
|
3. Metode Pengambilan Informan
|
Teknik pengambilan sampel ini dilakukan dengan cara
|
aksidental
|
yaitu dengan memilih responden yang kebetulan ditemui
oleh peneliti.
|
Beberapa pertimbangan biasanya sangat diperlukan dalam
sampel ini. Seperti
|
keterbatasan waktu, tenaga dan dana yang akan
mengakibatkan tidak dapatnya
|
mengambil sampel (informan) yang besar dan jauh.
Walaupun peneliti dapat
|
26
|
menentukan informan,
tetapi ada berbagai syarat yang harus dilakukan syarat
|
tersebut adalah:
|
a. Pengambilan
sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau
|
karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok
populasi.
|
b. Subjek yang
diambil sebagai informan benar-benar merupakan
|
subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang
terdapat
|
pada populasi
|
(key subject).
|
c. Penentuan
karakteristik populasi dilakukan dengan cermat didalam
|
studi pendahuluan. ( Arikunto, 1996 : 127-128).
|
Dalam penelitian ini, informan ditentukan secara
|
aksidental
|
. Hal ini
|
dikarenakan informan yang dipilih sudah memenuhi
kriteria yang dimaksud
|
dan mampu memberikan informasi yang lengkap dan
mendalam. Adapun
|
kriteria informan adalah sebagai berikut:
|
a. Berdomisili
di Kelurahan Pucungrejo Muntilan.
|
b. Menonton
tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di Trans
|
TV
sekurang-kurangnya sekali dalam satu minggu.
|
4. Metode Pengumpulan Data.
|
a. Wawancara
|
(Interview)
|
Adalah suatu proses percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu
|
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
|
(Interviewer)
|
yang mengajukan
|
pertanyaan dan yang diwawancarai
|
(Interviewee)
|
yang memberikan jawaban
|
atas pertanyaan itu. (Lincoln dan Guba 1985 : 266).
Menurut Sudjiono,
|
27
|
wawancara yaitu segala kegiatan menghimpun data dengan
jalan melakukan
|
tanya jawab secara lisan dan tatap muka dengan siapa
saja yang diperlukan
|
mengenai pendapat pesan pribadi, dengan menggunakan
|
instrument
|
yaitu
|
interview guide
|
dan
|
tape recorder,
|
agar memperoleh dan memperlancar
|
proses wawancara (Sudjiono, 1982 : 24).
|
Wawancara menurut Soetrisno Hadi yaitu cara
pengumpulan data dengan
|
cara tanya jawab dengan responden yang telah
ditentukan untuk memperoleh
|
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian (Hadi, 1997
: 224). Teknik
|
wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara
|
In- depth
|
(mendalam),
|
karena dalam waawancara dapat dicapai secara maksimal
dan akan
|
memudahkan diperolehnya data secara mendalam. Menurut
Michael Quinn
|
Patton, wawancara mendalam yaitu meliputi menanyakan
pertanyaan dengan
|
format terbuka, mendengarkan dan merekamnya dan
kemudian menindak
|
lanjuti dengan pertanyaan tambahan yang terkait
(Patton, 1991 :182).
|
Wawancara atau
|
interview
|
adalah metode pengumpulan data dengan
|
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara
kepada responden
|
serta jawaban responden dicatat atau direkam dengan
alat perekam (Soeharto,
|
1995 : 67). Menurut Deddy Mulyana tujuan wawancara
mendalam adalah
|
memperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua
informan, tetapi
|
susunan pertanyaanya serta susunan kata dalam setiap
pertanyaan dapat
|
diubah pada saat wawancara, termasuk karakteristik
sosial budaya (agama,
|
28
|
suku, gender, usia, tingkat pendididkan, pekerjaan
dsb) informan yang
|
dihadapi.
|
Sedangkan wawancara mendalam menurut Masri Singarimbun
dan
|
Soffyan Effendi adalah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara dengan
|
cara menyampaikan pertanyaan kepada responden,
merangsang responden
|
untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila
dikehendaki dan
|
mencatatnya. Untuk itu dibutuhkan ketrampilan
mewawancarai, motivasi
|
yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan
takut menyampaikan
|
pertanyaan (Singarimbun dan Effendi, 1989 : 192).
Wawancara ini dapat
|
dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat,
guna memperoleh
|
data yang rinci dan mendalam, serta dapat dilakukan
berkali-kali sesuai
|
dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan
kejelasan masalah yang
|
sedang diteliti. Meskipun peneliti merancang beberapa
pertanyaan
|
wawancara, fungsinya tak lebih hanya sebagai pemandu
peneliti dalam
|
wawancara itu, bahkan ada kemungkinan peneliti tidak
membutuhkan
|
panduan tertulis pada saat melakukan wawancara artinya
peneliti memiliki
|
panduan wawancara (
|
interview guide
|
), namun pertanyaan dapat
|
berkembangsesuai dengan jawaban responden. Dengan
model wawancara ini
|
peneliti mampu memperoleh informasi-informasi penting
berkaitan dengan
|
permasalahan yang dirumuskan.
|
29
|
b. Studi Pustaka
|
Studi pustaka pendukung yang berkaitan dengan konsep,
teori, data
|
atau temuan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan masalah yang
|
diteliti dan yang mendasari penelitian yang sedang
dijalankan.
|
Studi pustaka pendukung yang berkaitan dengan konsep,
teori, data
|
atau temuan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan masalah yang
|
diteliti dan mendasari penelitiian yang sedang dijalankan.
Studi kepustakaan
|
adalah cara pengumpulan data dan teori yang diperoleh
melalui literatur-
|
literatur, kamus, buku-buku dan jurnal-jurnal yang
mendukung dan relevan
|
untuk digunakan dalam penelitian ini (Nawawi, 2003 :
133). Masri
|
Singarimbun dan Soffyan Effendi menjelaskan bahwa
pengumpulan data
|
melalui studi pustaka dalam hal ini membaca, mengkaji,
mempelajari buku
|
atau literatur, catatan kepustakaan, dokumen yang erat
kaitannya dengan
|
masalah yang diteliti. Selain itu juga mencari data
pendukung lain yang
|
diperlukan seperti bacaan, literatur,
|
booklet
|
, majalah, koran dsb yang terkait
|
dengan masalah penelitian (Singarimbun dan Effendi,
1989 : 70-79).
|
5. Teknik Analisis Data.
|
Dalam penelitian ini data yang digunakan bersifat
kualitatif, yaitu penelitian
|
yang mengacu pada sejumlah metodologi yang berdasar
pada beragam prinsip
|
teoritis dan menggunakan metode pengumpulan dan
analisis data non
|
kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian ini
menunjukkan kualitas dari sesuatu
|
30
|
yang berupa kedalam atau proses kejadian, peristiwa
dan lain-lain yang
|
dinyatakan dalam bentuk kata-kata (Moleong, J. Laxy,
200:50).
|
6` . Validitas Data.
|
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, yaitu
teknik
|
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar
|
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data
|
itu. Triangulasi menggunakan pendekatan kuantitatif
sebagai pendekatan
|
dalam penelitiannya, melakukan varifikasi temuan
risetnya dengan hasil
|
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif atau
sebaliknya
|
(Sarwono, 2007:267-268).
|
No comments:
Post a Comment