Saturday, December 5, 2015

Film Horor

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Di tengah maraknya tayangan
reality show
, film-film dan sinetron dengan
tema remaja dan cinta masih ada film dengan tema alam gaib muncul di televisi.
Ini merupakan indikasi bahwa tayangan televisi dengan tema alam gaib masih
diminati oleh masyarakat indonesia termasuk didalamnya masyarakat Pucungrejo
Muntilan sebagai objek penelitian ini. Meski era tayangan televisi dengan tema
alam gaib telah lewat sekitar tahun 2003 yang lalu. Namun masih ada stasiun
televisi yang menyajikan tayangan dengan tema alam gaib. Sebagai contohnya
program ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” yang ditayangkan oleh stasiun Trans
TV setiap hari Selasa dan Kamis jam 19.00WIB.
Dalam penelitian ini lokasi penelitian dipilih Kelurahan Pucungrejo
Muntilan yang berada didaerah antara pedesaan dan perkotaan dimana masih
banyak warganya menganut keyakinan Jawa atau yang biasa disebut
kejawen
dan
melakukan hal-hal yang berbau klenik. Program tayangan ”Bioskop Indonesia
Spesial Horor” di Trans TV diplih sebagai objek penelitian karena tayangan ini
merupakan program yang ditayangkan secara rutin yaitu dua kali dalam satu
minggu dan menyajikan film-film horor yang menceritakan tentang dunia gaib
termasuk didalamnya hal-hal yang berbau klenik
1


2
Film horor adalah genre utama dalam film sedangkan genre adalah
sekumpulan pakem dalam unsur- unsur naratif. Dalam film, unsur- unsur naratif
yang terpola itu tentu mencakup unsur-unsur visual. Genre film horor kurang
lebih adalah sekumpulan film yang dimaksudkan untuk memancing atau
menerbitkan rasa takut pada penonton.
Menurut Wikipedia oleh Darmawan Hikmat dalam Redaktur
Rumahfilm.org, film horor adalah film yang dirancang untuk menerbitkan rasa
ngeri, takut, teror, jijik atau horor dari penontonya. Dalam plot-plot film horor,
berbagai kekuatan, kejadian atau karakter jahat kadang semua itu berasal dari
dunia supranatural, memasuki dunia keseharian kita. Dalam pengertian ini film
horor memusatkan diri pada tema kejahatan dalam berbagai ragam bentuknya.
Rasa takut, jijik, teror atau horor adalah efek yang diinginkan.
Menurut artikel oleh Wicaksono Adi dan Nurruddin Asyhadie di
filmsite.org, film horor adalah film-film ”mengganggu” yang dirancang untuk
menakuti atau membuat panik, menimbulkan rasa ngeri, waspada dan untuk
memancing berbagai ketakutan terburuk kita yang tersembunyi. Seringkali
pancingan itu ada dalam sebuah akhir kisah yang mengerikan dan membuat
shock
, sekaligus menghibur kita dengan memberikan sebuah pengalaman.
Banyak dari anggota masyarakat yang masih berpola pikir dan percaya
pada hal-hal gaib seperti hantu, setan dan sejenisnya. Menurut koentjaraningrat,
manusia dituntut untuk mengimani adanya makhluk gaib termasuk didalamnya


3
setan dan iblis dimana mereka tinggal di alam gaib yang berbeda dengan dunia
nyata.
”Segala manusia sadar akan adanya suatu dunia yang tidak tampak yang
ada di luar panca indranya dan di luar batas-batas akalnya, yaitu dunia
gaib atau dunia lain atau dunia supranatural. Dinyatakan pula bahwa dunia
gaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang tidak dapat
dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, termasuk di dalamnya
makhluk-makhluk halus seperti roh leluhur, roh yang baik atau jahat serta
kekuatan-kekuatan sakti yang bisa berguna atau bisa menyebabkan
bencana” (Koentjaraningrat 1981 : 229)
Tayangan-tayangan yang berbau misteri sedikit banyak membawa
pengaruh bagi khalayak penontonnya karena pada dasarnya sifat media televisi
yang dalam penyampaiannya pesannya selalu menimbulkan efek bagi audisinya
sebagai komunikan.
”Efek media bermacam-macam, ada efek kognitif, efektif dan behavior.
Efek kognitif merupakan efek media massa yang menyentuh aspek
pengetahuan audiens. Dengan menonton tayangan di televisi, audiens
kemudian mempunyai persepsi tentang sesuatu yang ditontonya. Dilihat
dari sisi efeksi, media massa berpengaruh terhadap aspek emosi audiens.
Banyak audiens yang mempunyai tendensi merasa ketakutan setelah
menonton tayangan misteri. Pada aspek behavior, adanya pengaruh media
massa ditandai dengan adanya perubahan perilaku nyata.” (Rakhmat,
2000:218).
Sebagai contoh atas efek yang ditimbulkan oleh televisi dalam majalah
Posmo diceritakan ada pengakuan seoran g karyawati sebuah Bank Swasta di
Yogyakarta menceritakan bahwa dirinya menjadi lebih berhati-hati dan waspada
kepada orang yang baru dikenalnya. Dia menjadi orang yang tak mudah percaya
dengan orang lain. Hal ini disebabkan setelah menonton ”Situs Ki Joko Bodo”
episode Ilmu Gendam sebuah acara di Trans 7 (Posmo, 18 Desember 2007).


4
Fenomena serupa juga dialami seorang ibu yang menyatakan bahwa setelah
menonton ”Percaya Nggak Percaya”, ia merasa takut dan takut diganggu makhluk
halus. Kemudian ia menjadi rajin sholat dan mendekatkan diri pada Allah agar
dijauhkan dari gangguan makhluk gaib itu. (Gatra, 15 Maret 2003:23).
Ditambah dengan fenomena nyata yang dimuat di Majalah Tempo.
Sumanto, seorang kanobal ternama disinyalir memiliki ilmu pesugihan dan
kesaktian (kekebalan tubuh). Tindakan irasional yang dilakukannya dengan
memakan daging mayat manusia dimaksudkan untuk ilmu hitam yang
diyakininya akan membawa kebahagiaan dan kesenangan hidup. Obsesi-obsesi
manusia sakti, kebal, hidup bergemilang harta yang demikian tersalurkan lewat
tayangan misteri atau sajian misteri lainnya.
Suatu penelitian berkenaan dengan keyakinan terhadap hal-hal gaib
pernah dilakukan oleh Dean I Radin dan Janinne M Rebman dari
Consciousness
Research Laboratory di University of Nevada, Amerika Serikat,
Mereka menemukan bahwa ”melihat makhluk lain” tidak lain merupakan
masalah yang subyektif yang secara mudah dipicu oleh kondisi stimulus
yang dramatis. Dalam penelitian ini, subyek penelitian dikondisikan pada
situasi ”seram” dan hampir semua subyek melaporkan merasa melihat
”makhluk lain” yang hadir. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
keberadaan hantu hanya ada dalam persepsi orang yang mempercayai
melihatnya. Hantu itu tidak ada secara obyektif (Gatra, 15 Maret 2003:23).
Dari hasil penelitian tersebut, dibarengi dengan fenomena nyata yang ada
di dalam masyarakat Indonesia, terdapat kontradiksi. Setiap individu tentunya
memiliki  persepsi yang berbeda dalam menyikapi hal itu karena setiap individu
memiliki latar belakang yang berbeda pula.


5
”Persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Dalam mempersepsi sesuatu, seorang memberikan
makna pada stimulasi indrawi. Sedangkan perbedaan persepsi setiap orang
didasarkan pada faktor-faktor personal yang mempengaruhi kecermatan
persepsi, yaitu pengalaman, motivasi dan kepribadian. Ini berarti bahwa
persepsi seseorang terhadap sesuatu harus dipengaruhi oleh peristiwa-
peristiwa tertentu yang pernah dihadapinya, dorongan internal dari
individu dan sifat-sifat internal yang ada pada diri individu. (Rakhmat,
2001:51).
Dalam kaitannya dengan dunia lain, orang mungkin mempunyai persepsi
yang berbeda karena faktor pengalaman, motivasi dan kepribadian dari masing-
masing individu pada dasarnya adalah berbeda. Orang yang pernah melihat
makhluk halus, apapun bentuknya, mempunyai tendensi yang lebih besar untuk
mempersiapkan bahwa makhluk halus itu memang ada. Begitu juga, orang yang
mempunyai dorongan (keyakinan) terhadap keberadaan makhluk-makhluk
haluspun akan memiliki kecenderungan yang sama. Sifat internal individu juga
demikian. Orang yang merasa takut setelah menonton tayangan misteri misalnya,
menunjukkan baik secara sadar maupun tidak telah mempercayai adanya
eksistensi dunia lain.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana  persepsi masyarakat Kelurahan
Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesialu Horor” di
Trans TV dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi masyarakat


6
Kelurahan Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial
Horor” di Trans TV
C.  Tujuan Penelitian
Dengan melihat perumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini
untuk :
1.  Untuk  mengetahui  bagaimana  persepsi  masyarakat  Kelurahan  Pucungrejo
Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di Trans TV
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat Kelurahan
Pucungrejo Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di
Trans TV
D. Manfaat Penelitian
1.  Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis pada penelitian ini adalah untuk memperkaya kajian di
bidang ilmu komunikasi.
2.  Manfaat Praktis
Manfaat praktis pada penelitian ini adalah untuk menambah informasi serta
sebagai masukan bagi penonton tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor”
di Trans TV terutama mengenai persepsi masyarakat Kelurahan Pucungrejo
Muntilan terhadap tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di Trans TV
serta masukan bagi pengelola televisi dalam menyajikan tayangan bagi
penontonnya.


7
E.  Kerangka Teori
1. Komunikasi
Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia.
Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian
manusia. Komunikasi amat erat kaitanya dengan perilaku dan pengalaman
kesadaran manusia.
a. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan
simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu khalayak membangkitkan
makna atau respon dari pikiranya yang serupa dengan yang dimaksudkan
komunikator. (Mulyana, 2001 : 62)
Komunikasi secara umumnya adalah interaksi sosial yang
didalamnya terdapat pesan-pesan yang harus disampaikan pada komunikan
lewat suatu midia tertentu dan menghasilkan dampak baik pada komunikan
ataupun komunikator.
Dalam hal ini, komunikasi memainkan peran penting dalam
menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh komunikan. Komunikasi yang
efektif bisa menghasilkan dampak seperti yang diinginkan oleh komunikator.
Jika kita lihat dari definisi yang diberikan oleh Dedy Mulyana,
komunikasi merupakan proses menyortir atau memilah isi-isi pesan yang
terdiri dari simbol-simbol baik verbal maupun non verbal yang diciptakan
sedemikian rupa, sehingga bisa membantu khalayak untuk merespon isi-isi


8
pesan yang dikomunikasikan itu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
komunikator.
Penelitian ini mendasarkan pada proses komunikasi dalam perspektif
mekanitis, yaitu proses yang berlangsung ketika komunikator memberikan
atau mengoper pesan baik lewat bibir jika lisan atau lewat tangan jika tulisan
sehingga pesannya bisa ditangkap oleh komunikan.
Penangkapan pesan ini bisa dilakukan dengan indera mata, telinga atau
indera-indera lainya.
b. Model Proses Komunikasi
Bisa dikatakan setiap hari manusia melakukan interaksi sosial atau
yang dikenal sebagai komunikasi . Untuk memahami pengertian komunikasi,
kita sering mengutip paradigma yang telah diketengahkan oleh Harold
Laswell. Menurut Laswell, komunikasi yang baik harus bisa menjawab
pertanyaan sebagai berikut:
who say what in which channel to whom with
what effects ?
Paradigma ini menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur
sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
(1) Komunikator
(communicator, source, sender)
(2) Pesan
(Message)
(3) Media
(Channel, media)
(4) Komunikan
(Communicant, receiver, receipent)
(5) Efek
(Effect, impact, influence)


9
Jadi, berdasarkan paradigma Laswell tersebut,
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. (Uchjana,
1993 : 3)
2.  Persepsi
Efek media massa dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada diri khalayak
kemunikasi massa sebagai publik yang terpengaruh. Adapun efek-efek
tersebut dibagi menjadi tiga yaitu efek kognitif, efek afektif, dan efek
behavior. (Rakhmat, 2000 : 219).
Telah dikatakan bahwa media massa, begitupun televisi, dapat
menciptakan, efek kognitif, efektif dan behavior. Dalam tataran kognitif,
dirumuskan bahwa media massa mempengaruhi aspek pengetahuan
pemahaman dan persepsi seseorang.
Bahwa persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpan dan
menafsirkan pesan. Dikatakan pula bahwa persepsi adalah
memberikan makna pada stimulasi indrawi (sensory indrawi).
(Rakhmat, 2001 : 129).
Persepsi sebagai proses dengan nama kita menjadi sadar akan
banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Persepsi
mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan yang akan kita serap
dan makna apa yang akan kita berikan kepada mereka ketika mereka
mencapai kesadaran. (De Vito 1997:75).
Persepsi sebagai  proses menginterpretasian, pengorganisasian
terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu
sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas
yang terintegrasi. (Rakhmat 2001:93-98).
Persepsi sebagai proses kognitif yang dialami setiap orang di dalam
mengalami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan,
pendengaran, penghayatan dan penciuman. (Toha 1990:53).


10
Persepsi merupakan proses aktif dengan memegang peran bukan
hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu secara
keseluruhan dengan pengalaman, motivasi dan sikapnya yang relevan,
dengan rangsangan tersebut. (Sadli, 1977 : 72).
Dalam menafsirkan sesuatu, persepsi seseorang dipengaruhi oleh
faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Setiap individu memiliki
persepsi yang berbeda dalam menyikapi sesuatu karena setiap individu
mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Dalam (Rakhmat, 2001:89)
dijelaskan mengenai faktor-faktor personal yang mendasari perbedaan
kecermatan persepsi setiap orang yaitu :
a.  Pengalaman
Pengalaman ini membantu seseorang untuk lebih cermat dalam melakukan
persepsi. Pengalaman tidak harus diperoleh melalui proses belajar formal
tapi juga dapat diperoleh  melalui serangkaian peristiwa yang pernah
dihadapi.
b.  Motivasi
Dalam hal ini, motivasi merupakan unsur yang melekat pada proses
konstruktif yang mencakup motif biologis, ganjaran dan hukuman
karakteristik kepribadian dan perasaan terancam karena personal
stimulasi. Dorongan dari dalam individu ini pun memiliki pengaruh
terhadap persepsinya.


11
c.  Kepribadian
Disini dikenal istilah proyeksi yaitu mengiteralisasikan pengalaman
subyektif secara tidak sadar. Orang mengena pada orang lain sifat-sifat
yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Jelaslah bahwa orang
yang banyak melakukan proyeksi akan lebih cermat menanggapi stimulasi
sehingga tafsirannya menjadi salah.
Faktor yang menimbulkan persepsi seseorang terhadap sesuatu :
Pertama, Pengalaman masa lalu.
Seseorang mempunyai opini tentang orang lain yang baru dikenalnya
berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu.
Kedua, Latar Belakang Budaya.
Misalnya, persepsi tentang warna orang Indonesia mempersepsi
warna hijau identik dengan partai politik, orang Malaysia
mempersepsi warna hijau identik dengan kematian.
Ketiga, Nilai-nilai yang dianut :
Contohnya, seseorang merayakan hari raya Idul Fitri, di Indonesia
berbeda dengan di Saudi Arabia.
Keempat, Berita-berita yang berkembang.
Seseorang membentuk pengetahuan tentang sesuatu yang
menentukan persepsinya. (Rakhmat 1997:93-98).
Dalil-dalil mengenai persepsi :
Pertama, persepsi bersifat selektif fungsional.
Obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya
adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan
persepsi. Contohnya, pengaruh kebutuhan, latar belakang budaya,
suasana emosional dan kesiapan mental.
Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan
diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat
konteksnya, walaupun stimuli yang diterima tidak lengkap, kita akan
mengisinya dengan interprestasi yang konsisten dengan rangkaian
stimuli yang kita persepsi.
Ketiga, sifat-sifat perseptal dan kognitif dari substruktural ditentukan
pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut
dalil ini jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua
sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan


12
dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya dengan efek yang
berupa asimulasi atau kontras.
Keempat, obyek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan
waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung ditanggapi sebagai
bagian dari struktur yang sama. Generalisasi seseorang terhadap
suatu periwtiwa menyebabkan banyaknya persepsi  seseorang
terhadap suatu obyek. (Rakhmat 1996:55-61).
Media massa bukanlah sebagai ”
agent of conversion
” (media sebagai
pengubah perilaku), namun lebih berfungsi untuk memperteguh
keyakinan yang ada. Berkaitan dengan penemuan tersebut juga
dinyatakan bahwa khalayak bukan lagi merupakan tubuh pasif yang
menerima apa saja yang disuntikkan media ke dalamnya. Khalayak
melakukan seleksi informasi melalui proses terpaan selektif
(selective
exposure)
dan persepsi selektif
(selective perception)
. (Rakhmat,
2000 : 198).
Dalam
selective exposure
terdapat 4 prinsip utama, yaitu :
Selective Attention
, dimana khalayak memilih dan
memperhatikan pesan tertentu.
Selective Perception,
dimana khalayak memilih dan mempersepsi
pesan tertentu.
Selective Recail
, dimana khalayak memilih dan mengingat pesan
tertentu.
Selective Action,
dimana individu memilih membuat tindakan
tertentu.
Prinsip tentang
Selective Perception
dibahas lebih mendalam dalam
Teori Konsistensi bahwa individu berusaha menghindari perasaan
tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang
cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi
yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Teori
Konsistensi memiliki 3 konsep dasar, yakni :
Selective Perception
,
yang merupakan pernyataan reaktif (spontan) khalayak terhadap


13
informasi yang selaras dengan sikapnya;
Selective Exposure
, yang
merupakan pernyataan khalayak memilih irnformasi berdasarkan
pilihan medoum;
Selective Retention
, yang merupakan pilihan
informasi khalayak berdasarkan bentuk media sejenis. (Rakhmat,
2000 : 110).
2.2.  Proses Persepsi.
Pada proses persepsi banyak rangsangan sampai kepada setiap
individu melalui panca indra, namun mereka tidak mempersepsi semua
itu secara acak. Umumnya mereka hanya dapat memperhatikan suatu
rangsangan saja secara penuh. Alasannya karena persepsi adalah proses
aktif yang menuntut suatu tatanan dan makna atas berbagai rangsangan
yang diterima.
Persepsi bersifat kompleks, apa yang terjadi di dunia luar dapat
sangat berbeda dengan apa yang mencapai otak setiap individu (Werner
J. Sevrin, James W. Tankard, JR, 1992 : 88). Mempelajari bagaimana
dan mengapa pesan-pesan ini berbeda sangat penting untuk memahami
komunikasinya.
Gambaran dari bagaimana persepsi bekerja dapat dijelaskan
dengan tiga langkah yang terlibat dalam proses ini. Langkah-langkah ini
tidak saling terpisah, karena dalam prosesnya bersifat kontinyu,
bercampur-campur dan tumpang tindih satu sama lainnya. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut : (Devito, 1997 : 75-76).


14
a.  Terjadinya Stimulus Alat Indra
(Sensory Stimulation).
Pada langkah pertama alat-alat indra distimulasi (dirangsang).
Meskipun setiap individu memiliki kemampuan pengindaraan untuk
merasakan stimulus (rangsangan), namun tidak selamanya
digunakan. Artinya ada kecenderungan bahwa setiap individu akan
menangkap tidak bermakna.
b.  Stimulasi Terhadap Alat Indra Diatur.
Langkah kedua, rangsangan terhadap indra diatur menurut berbagai
prinsip, salah satu prinsip yang sering digunakan adalah prinsip
proksimitas
(proximity)
atau kedekatan. Orang atau pesan yang
secara fisik mirip satu sama lain dipersepsikan bersama-sama sebagai
satu unit (satu pasangan). Demikian pula, dalam mempersiapkan
pesan yang datang segera setelah pesan yang lain sebagai satu unit
dan menanggapi bahwa keduanya tentu saling berkaitan. Prinsip yang
lain adalah kelengkapan
(closer).
Setiap orang memandang atau
mempersiapkan suatu gambar atau pesan yang dalam kenyataan tidak
lengkap sebagai gambar atau pesan yang lengkap. Gambar prinsip
tersebut mengingatkan bahwa yang dipersiapkan akan didata ke
dalam suatu pola yang bermakna bagi setiap diri individu. Pola ini
belum tentu benar atau logis dari suatu segi objektif tertentu.
c.  Stimulasi Alat Indra Ditafsirkan-Dievaluasi.


15
Langkah ketiga dalam proses perseptual adalah penafsiran-evaluasi.
Gambaran kedua istilah ini untuk menegaskan bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan. Langkah ini merupakan proses subjektif yang
melibatkan evaluasi (penilaian) dipihak penerima. Penafsiran-
evaluasi tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan luar,
melainkan sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu,
kebutuhan, keinginan, sistem nilai, kepercayaan, keadaan fisik dan
emosi pada saat itu , serta sebagian ayang ada dalam diri individu.
Setiap individu menerima satu buah pesan, cara masing-masing
individu menafsirkan-mengevaluasinya tidaklah sama. Penafsiran-
evaluasi ini akan berbeda bagi satu individu yang sama dari waktu ke
waktu. Perbedaan ini jangan sampai menyamarkan akan validitas
beberapa generalisasi tentang persepsi, meskipun generalisasinya ini
belum tentu berlaku untuk individu tertentu, tetapi dimungkinkan ini
berlaku untuk sebagian cukup besar orang.
3.  Media
1)  Media Massa
Sejak berabad-abad dahulu, kegiatan berkomunikasi sudah dimulai.
Kegiatan ini awalnya hanya bermula dari percakapan biasa secara tatap
muka, hingga kini berenovasi menjadi satu kegiatan yang sangat penting
dalam bersosialisasi di masyarakat. Bahkan ini kegiatan berkomunikasi
telah didukung dengan adanya peralatan modern seperti surat kabar, film,


16
radio, televisi, hingga media-media elektronik baru seperti komputer,
faximile, videoteks, videodisk
dan lain-lain.
Ilmu-ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan
secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan
pendapat dan sikap (Houvland , 1989 : 1).
A systematic to formulation pigorous fashion the principles by which
information is transmitted and attitudes are formed
(Ross 1989 : 1).
Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa,
kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berati bahwa
khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca
atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini berarti bahwa
khalayak itu besar dan pada umumnya agak suka untuk didefinisikan.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-
pemancar yang
audio
dan
visual
. Komunikasi massa barangkali akan leih
mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya : televisi,
radio, surat kabar, majalah film, buku dan pita  (Devito, 1993 : 21).
2)  Televisi sebagai Media Massa.
Televisi sebagai media massa memainkan peran penting dalam
mempengaruhi perilaku-perilaku individu. Ini disebabkan sifat dari media
itu sendiri yang mampu menarik perhatian dan selanjutnya pemahaman
individu terhadap pesan yang disampaikan lewat media-media tertentu.
Televisi sebagai media massa terlihat paling populer diantara berbagai
teknologi komunikasi yang ada. Kepopuleran televisi disebabkan televisi
tidak hanya dapat menyentuh ruang psikologis pemirsanya, tapi lebih dari
itu, televisi benar-benar hadir secara riil dalam bentuk materialnya dalam
setiap rumah. Kenyataan ini dibuktikan lewat fakta bahwa hampir
sebagian besar masyarakat menyimpan televisi dalam rumahnya. Ini
menunjukkan bahwa televisi benar-benar telah menjadi bagian yang tidak


17
terpisahkan dalam perjalanan hidup manusia abad ini. Fenomena ini oleh
Martin Esslin. Seorang analisis televisi terkemuka disebut sebagai
”The
Age of Television”
.
Kehadiran televisi telah menggiring umat manusia untuk memahami
“realitas” menjadi “dunia khayalan” dan sebaliknya dunia khayalan
seakan menjadi realitas (Fahmi, 1997 : 162).
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi melalui televisi, dengan
sendirinya dibutuhkan berbagai perangkat dasar yang menggerakkannya,
salah satunya adalah program siaran. Program siaran di dalam media
televisi berkaitan erat dengan jurnalistik televisi sebagai ketrampilan
praktis seseorang dalam melakukan proses komunikasi mulai dari mencari
mengumpulkan, mengelola dan menyajikan informasi kepada khalayak.
Dalam perkembangannya, program siaran televisi tidak lagi hanya
merujuk pada pengemasan berita tapi mulai bergerak ke arah penyajian
hiburan kepada khalayak. Hal ini berkaitan dengan makin ketatnya
kompetensi media-media televisi yang ada dalam meraih tingkat
kepemirsaan yaitu dengan berlomba menyajikan prohram siaran (acara)
yang dianggap sesuai dengan selera khalayak. Ketatnya kompetensi antar
media televisi memotivasi mereka saling bersaing untuk menciptakan
produk-produk program siaran yang sekreatif mungkin. Karena jatuh
bangunnya penyelenggaraan siaran televisi selain dipengaruhi oleh tingkat
kepemirsaan juga bergantung pada kreativitas pengelolaan dalam
mengembangkan kreativitas penciptaan program siaran televisi. Dengan


18
kondisi semacam itu, saat ini, muncul beragam tayangan-tayangan baik itu
yang bersifat  informatif maupun hiburan. Mulai dari siaran-siaran berita
umum, berita-berita khusus seperti berita kriminal, siaran infotaiment,
film layar lebar, sinetron, acara-acara musik, talk show, film animasi dan
lain sebagainya. Program-program siaran televisi ini dikemas semenarik
mungkin untuk dapat menarik perhatian khalayak pemirsanya.
3)  Keunggulan Televisi.
Menurut dr. A Alatas Fahmi dalam bukunya
”Bersama Televisi
Merenda Wajah Bangsa”
(1997 : 30-31), televisi sebagai media
komunikasi modern memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu :
a.  Keunggulan pragmatis.
Keunggulan ini lebih menyangkut aspek isi yang disajikan oleh
televisi yakni meliputi :
-  Menyangkut isi dan bentuk, media televisi meskipun direkayasa
mampu membedakan fakta dan fiksi, realistis dan tidak terbatas.
-  Menyangkut hubungan dengan khalayaknya, media televisi
mempunyai khalayak yang tetap, memerlukan keterlibatan tanpa
perhatian sepenuhnya dan intim.
-  Media televisi memiliki tokoh berwatak sedang media lain
memiliki bintang yang direkayasa.


19
b.  Keunggulan teknologis.
Keunggulan ini menyangkut aspek kemampuan teknologi komunikasi
meliputi :
-  Mampu menjangkau wilayah yang sangat luas dalam waktu
bersamaan, sehingga dapat menghantarkan secara langsung suatu
peristiwa di suatu tempat ke berbagai tempat lain yang berjarak
sangat jauh.
-  Mampu menciptakan suasana yang bersamaan di berbagai wilayah
jangkauannya dan mendorong khalayaknya memperoleh informasi
dan melakukan interaksi secara langsung.
Televisi juga mempunyai keunggulan untuk menghidupkan
imajinasi khalayak keluar ke dunia nyata. Melalui program-
program siaran yang ditayangkan, media televisi mampu
memunculkan fantasi dari angan-angan khalayak secara nyata
dan kontekstual. Ini membuktikan bahwa sebagai salah satu
bentuk media massa, televisi mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap pemirsanya  (Bungin, 2001:53).
Efek media massa dapat dilihat dari perubahan yang terjadi
pada diri khalayak komunikasi massa sebagai publik yang
terpengaruh. Adapun efek-efek tersebut dibagi menjadi tiga,
yaitu efek konitif, efek afektif, efek behavior (Rakhmat,
2000:219).
Efek-efek yang ditimbulkan oleh televisi :
a.  Efek Kognitif.
Efek ini terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami
atau dipersepsi khalayak. Efek kognitif berkaitan dengan transmisi
pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan atau informasi.


20
b.  Efek Afektif.
Efek ini timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi
atau dibenci oleh khalayak. Efek afektif ada hubungannya dengan
emosi, sikap atau nilai. Efek afektif juga dapat dilihat dari adanya
perubahan sikap dan pendapat khalayak.
c.  Efek Behavior.
Efek ini merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang
meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku. Efek
behavior dapat dilihat pada tindakan dan gerakan yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari. Efek ini muncul berkaitan dengan adanya gejala
peniruan atau peneladanan.
Melalui kontak dengan televisi (dan media lain), kita belajar
tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya.
Teori kultivasi ini memperkirakan suatu keadaan yang berbeda dalam
realitas sosial antara pencandu berat televisi dnegan penonton yang
biasa-biasa saja. Teori ini membedakan antara penonton berat dan
penonton ringan televisi.
Televisi dipercaya dapat membuat budaya homogen. Yang terpenting
adalah mengenai totalitas pola yang dikomunikasikan secara komulatif
oleh televisi dalam jangka waktu penghidupan yang panjang. Teori ini
lebih menekankan pada pertumbuhan diri dalam acara-acara tanpa
pemilihan tayangan, tapi citra umum yang melampui segalanya yang
ditayangkan di televisi akan merasuk ke dalam setiap kelompok sosial
dan sub budaya dan mempengaruhi semuanya. Teori ini disebut
cultivation
(Little John, 1996 : 339-440).


21
Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai
sikap stereotip tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit, atau tokoh-
tokoh lain yang biasa muncul dalam serial TV …. Dalam dunia
mereka, ibu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai orang yang
paling mengurusi kebersihan ”kamar kacil” Suami adalah orang yang
selalu menajdi korban dalam kisah lucu. Perwira polisi menjalani hari-
hari yang menyenangkan. Orang ”mati” tanpa mengalami sekarat, dan
semua bandit berwajah seram  (De Vito, 1997 : 527).
Tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara sama. Beberapa
lebih mudah dipengaruhi telvisi daripada yang lain. Pengaruh ini akan
bergantung bukan saja pada seberapa banyak seseorang memirsa
televisi melainkan juga pada pendiidkan, penghasilan, dan jenis
kelamin si pemirsa. Artinya, ada faktor-faktor lain di luar tingkat
keseringan memirsa televisi yang mempengaruhi persepsi kita tentang
dunia serta kesiapan kita untuk menerima gambaran dunia di televisi
sebagai dunia yang sebenarnya  (De Vito, 1997 : 527).
Analisa pertumbuhan juga menemukan bahwa efek
sampingnya yang umum dari televisi pada kebudayaan secara
keseluruhan sehingga kebudayaan menjadi homogen atau
konvensional mellaui televisi. Pengaruh penumbuhan akan berbeda
antara kelompok yang satu dengan yang lain karena kecenderungan
menerima realita televisi juga dipengaruhi oleh interaksi seseorang
dengan orang lain. Tapi yang menarik adalah orang yang menonton
lebih banyak suatu acara di televisi cenderung memperlihatkan
pengaruh yang lebih besar dibanding orang yang tidak menonton
sebanyak itu.


22
4.  Masyarakat
Salah satu kehidupan manusia yang bersifat umum bahwa manusia
pada dasarnya mempunyai sifat egois dan mempunyai sifat bebas dan sangat
luas oleh. Oleh sebab itu manusia baru dapat dikatakan manusia apabila ia
dapat hidup bersama dengan manusia sekelilingnya sebagai mkhluk hidup
yang mempunyai perasaan sosial dengan sifat-sifat yang dapat dibentuk sejak
ia mulai bergaul dengan manusia lain, inilah yang disebut sebagai makhluk
hidup bermasyarakat (Mansyur, 1993 : 22).
Yang dimaksud dengan hidup bermasyarakat adalah dimana
sekelompok orang atau manusia yang hidup bersama yang mempunyai tempat
atau daerah tertentu untuk jangka waktu yang lama dimana masing-masing
anggotanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan yang
dimaksudkan adalah dapat berbentuk sikap, tingkah laku maupun perbuatan.
Dan segala tingkah laku atau perbuatan itu diatur dalam suatu tata tertib atau
undang-undang atau peraturan tertentu yang biasa disebut atau dikenal dengan
hukum adat.
Kehidupan bermasyarakat pada umumnya sangat berbeda antara
masyarakat satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena
struktur masyarakat tersebut dan faktor tempat tinnggal. Dari faktor tempat
(tinggal) masyarakat tersebut, dapat digolongkan kedalam masyarakat
golongan tinggi, menengah,kota, pedesaan dan lain-lain. Sedangkan
pengertian masyarakat sendiri menurut kesimpulan (Mansyur, 1993 : 26)


23
adalah perkumpulan manusia yang banyak dan bersatu dengan cara tertentu
karena adanya hasrat-hasrat kemasyarakatan yang sama / bersamaan.
Menurut Soerjono Soekanto (1988 : 214), dalam kehidupan
masyarakat ada sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, maka hal ini tersebut
menimbulkan bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis
dalam masyarakat yang bersangkutan. Barang sesuatu yang dihargai dalam
masyarakat mungkin berupa uang atu harta, tanah, kekuasaan, ilmu
pengetahuan dan lain-lain. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga
tadi dalam jumlahnya yang banyak, akan dianggap oleh masyarakat sebagai
orang yang menduduki laoisan atas, sebaliknya mereka yang hanya memiliki
sedikit, dalam pandangan masyarakat hanya memiliki kedudukan yang
rendah.
Sedangkan ukuran atu kriteria yang biasanya dipakai untuk
menggolongkan anggota-anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan tersebut
adalah sebagai berikut:
a.  Ukutan kekayaan. Ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan suatu
ukuran, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk
dalam lap[isan teratas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari
bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara berpakaian,
kebiasaan berbelanja barang mahal dan lain-lain.


24
b.  Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan tertinggi dalam
masyarakat.
c.  Ukuran kehormatan. Ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini banyak terdapat atau
dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka
adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa besar kepada
masyarakat.
d.  Ukuran ilmu pengetahuan. Hal ini sebagai ukuran dipakai oleh
masyarakat-masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi
ukuran tersebut kadang menyebabkan terjadinyaakibat-akibat yang
negatif. Oleh karena itu kemudianternyata bukan mutu ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kerjasamanya. Hal tersebut
menimbulkan usaha untuk mendapatkan gelar kerjasama tersebut dengan
cara-cara yang tidak halal.
Ukuran tersebut diatas tidaklah bersifat limitatif, oleh karena itu masih
ada ukuran-ukuran lain yang dapat dipergunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran
tersebut yang sangat menonjol sebagai dasar timbulnya lapisan-lapisan dalam
masyarakat.


25
F.  Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian studi kasus, yaitu salah satu Jenis penelitian ilmu-ilmu sosial yang
menjelaskan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu
kelompok, suatu organisasi, suatu program atau situasi sosial (Mulyana, 2001
: 201).
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif, yaitu tidak
menjelaskan hubungan antar
variabel,
tidak menguji hipotesis atau melakukan
prediksi (Rakhmat, 1995 : 24).
Jumlah informan yang diambil dalam penelitian ini ada 5 orang yang merupakan
penonton tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di Trans TV.
2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Pucungrejo Kecamatan
Muntilan Kabupaten Magelang.
3. Metode Pengambilan Informan
Teknik pengambilan sampel ini dilakukan dengan cara
aksidental
yaitu dengan memilih responden yang kebetulan ditemui oleh peneliti.
Beberapa pertimbangan biasanya sangat diperlukan dalam sampel ini. Seperti
keterbatasan waktu, tenaga dan dana yang akan mengakibatkan tidak dapatnya
mengambil sampel (informan) yang besar dan jauh. Walaupun peneliti dapat


26
menentukan informan,  tetapi ada berbagai syarat yang harus dilakukan syarat
tersebut adalah:
a.  Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau
karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b.  Subjek yang diambil sebagai informan benar-benar merupakan
subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat
pada populasi
(key subject).
c.  Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat didalam
studi pendahuluan. ( Arikunto, 1996 : 127-128).
Dalam penelitian ini, informan ditentukan secara
aksidental
. Hal ini
dikarenakan informan yang dipilih sudah memenuhi kriteria yang dimaksud
dan mampu memberikan informasi yang lengkap dan mendalam. Adapun
kriteria informan adalah sebagai berikut:
a.  Berdomisili di Kelurahan Pucungrejo Muntilan.
b.  Menonton tayangan ”Bioskop Indonesia Spesial Horor” di Trans
TV  sekurang-kurangnya sekali dalam satu minggu.
4. Metode Pengumpulan Data.
a. Wawancara
(Interview)
Adalah suatu proses percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(Interviewer)
yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai
(Interviewee)
yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. (Lincoln dan Guba 1985 : 266). Menurut Sudjiono,


27
wawancara yaitu segala kegiatan menghimpun data dengan jalan melakukan
tanya jawab secara lisan dan tatap muka dengan siapa saja yang diperlukan
mengenai pendapat pesan pribadi, dengan menggunakan
instrument
yaitu
interview guide
dan
tape recorder,
agar memperoleh dan memperlancar
proses wawancara (Sudjiono, 1982 : 24).
Wawancara menurut Soetrisno Hadi yaitu cara pengumpulan data dengan
cara tanya jawab dengan responden yang telah ditentukan untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian (Hadi, 1997 : 224). Teknik
wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara
In- depth
(mendalam),
karena dalam waawancara dapat dicapai secara maksimal dan akan
memudahkan diperolehnya data secara mendalam. Menurut Michael Quinn
Patton, wawancara mendalam yaitu meliputi menanyakan pertanyaan dengan
format terbuka, mendengarkan dan merekamnya dan kemudian menindak
lanjuti dengan pertanyaan tambahan yang terkait (Patton, 1991 :182).
Wawancara atau
interview
adalah metode pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden
serta jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (Soeharto,
1995 : 67). Menurut Deddy Mulyana tujuan wawancara mendalam adalah
memperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua informan, tetapi
susunan pertanyaanya serta susunan kata dalam setiap pertanyaan dapat
diubah pada saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya (agama,


28
suku, gender, usia, tingkat pendididkan, pekerjaan dsb) informan yang
dihadapi.
Sedangkan wawancara mendalam menurut Masri Singarimbun dan
Soffyan Effendi adalah percakapan yang dilakukan oleh pewawancara dengan
cara menyampaikan pertanyaan kepada responden, merangsang responden
untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki dan
mencatatnya. Untuk itu dibutuhkan ketrampilan mewawancarai, motivasi
yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan takut menyampaikan
pertanyaan (Singarimbun dan Effendi, 1989 : 192). Wawancara ini dapat
dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat, guna memperoleh
data yang rinci dan mendalam, serta dapat dilakukan berkali-kali sesuai
dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan masalah yang
sedang diteliti. Meskipun peneliti merancang beberapa pertanyaan
wawancara, fungsinya tak lebih hanya sebagai pemandu peneliti dalam
wawancara itu, bahkan ada kemungkinan peneliti tidak membutuhkan
panduan tertulis pada saat melakukan wawancara artinya peneliti memiliki
panduan wawancara (
interview guide
), namun pertanyaan dapat
berkembangsesuai dengan jawaban responden. Dengan model wawancara ini
peneliti mampu memperoleh informasi-informasi penting berkaitan dengan
permasalahan yang dirumuskan.


29
b. Studi Pustaka
Studi pustaka pendukung yang berkaitan dengan konsep, teori, data
atau temuan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti dan yang mendasari penelitian yang sedang dijalankan.
Studi pustaka pendukung yang berkaitan dengan konsep, teori, data
atau temuan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti dan mendasari penelitiian yang sedang dijalankan. Studi kepustakaan
adalah cara pengumpulan data dan teori yang diperoleh melalui literatur-
literatur, kamus, buku-buku dan jurnal-jurnal yang mendukung dan relevan
untuk digunakan dalam penelitian ini (Nawawi, 2003 : 133). Masri
Singarimbun dan Soffyan Effendi menjelaskan bahwa pengumpulan data
melalui studi pustaka dalam hal ini membaca, mengkaji, mempelajari buku
atau literatur, catatan kepustakaan, dokumen yang erat kaitannya dengan
masalah yang diteliti. Selain itu juga mencari data pendukung lain yang
diperlukan seperti bacaan, literatur,
booklet
, majalah, koran dsb yang terkait
dengan masalah penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1989 : 70-79).
5. Teknik Analisis Data.
Dalam penelitian ini data yang digunakan bersifat kualitatif, yaitu penelitian
yang mengacu pada sejumlah metodologi yang berdasar pada beragam prinsip
teoritis dan menggunakan metode pengumpulan dan analisis data non
kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian ini menunjukkan kualitas dari sesuatu


30
yang berupa kedalam atau proses kejadian, peristiwa dan lain-lain yang
dinyatakan dalam bentuk kata-kata (Moleong, J. Laxy, 200:50).
6` . Validitas Data.
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Triangulasi menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai pendekatan
dalam penelitiannya, melakukan varifikasi temuan risetnya dengan hasil
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif atau sebaliknya
(Sarwono, 2007:267-268).

No comments:

Post a Comment