oleh : Nurul Muallifah dkk.
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, menyangkut upaya memfasilitasi
peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan
potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek
fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual)[1]. Dan sudah menjadi keniscayaan apabila
dijumpai problematika yang mewarnai proses pelaksanaan yang melibatkan banyak
hal. Akan tetapi dalam hal ini hanya akan dibahas problematika atau
permasalahan yang menyangkut: kelembagaan/bimbingan dan konseling itu sendiri,
peserta didik (konseli/lee) dan konselor.
A. KESALAHPAHAMAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING[2]
Bidang
bimbingan dan konseling yang ada selama ini telah banyak digeluti oleh berbagai
pihak dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Sebagian besar diantara
mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang bimbingan dan konseling.
Di samping itu, literature yang memberikan wawasan, pengertian, dan berbagai
seluk beluk teori dan praktek bimbingan dan konseling yang dapat memperluas dan
mengarahkan pemahaman mereka itu juga masih sangat terbatas.
Melihat
hal tersebut diatas, maka tak heran bila dalam kenyataannya masih banyak
terjadi kesalahpahaman tentang bimbingan dan konseling. Kesalahpahaman yang
sering diumpai di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
- Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada dua pendapat yang berbeda kaitannya dengan pelaksanaan
bimbingan dan konseling.
- Bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Jadi dengan sendirinya sudah termasuk ke dalam usaha sekolah yang menyelenggararakan pendidikan. Sekolah tidak perlu bersusah payah menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Pendapat ini cenderung mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan dan sama sekali tidak melihat pentingnya bimbingan dan konseling.
- Bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga ahli dengan perlengkapan yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan ini harus secara nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.
Kedua pendapat tersebut diatas adalah pandangan-pandangan
ekstrem yang perlu dievaluasi. Memang secara umum bimbingan dan konseling di
sekolah termasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan, namun bukan berarti
pengajaran (yang baik) saja akan menjangkau seluruh misi pendidikan di sekolah.
Sekolah juga harus memperhatikan kepentingan peserta didik untuk bisa membuat
mereka berkembang secara optimal. Maka dalam hal ini, peran bimbingan dan
konseling adalah menunjang seluruh usaha sekolah demi keberhasilan peserta
didik.
- Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah
adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata
tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan ”barangsiapa
diantara siswa-siswa melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan
dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut
perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah
dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah
itu. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa
mengakua bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang
ajar, atau merugikan. Misalnya konselor ditugasi mengungkapkan agar siswa
mengakui bahwa ia mengisap ganja dan sebagainya. Dalam hubungan ini pengertian
konselor sebagai mata-mata yang mengintip segenap gerak-gerik siswa agar dapat
berkembang dengan pesat.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak
mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada
konselor berarti menunjukkan aib, ia telah berbuat salah, atau
predikat-predikat negative lainnya. Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan
yang merugikan itu, di sekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan
siswa. Disamping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi
tempat pencurahan kepentingan siswa, apa yang terasa di hati dan terpikirkan
oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanla pengawas ataupun polisi
yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas
bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring petunjuk jalan, pembangun
kekuatan, dan Pembina tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan
dankonseling hendaknya bisa menjadi si tawar si dingin bagi siapaupun yang
dating kepadanya. Dengan pandangan, sikap, ketrampilan, dan penampilan konselor
siswa aatau siapapun yang berhubungan dengan konsellor akan memperoleh suasana
sejuk dan memberi harapan.
- Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat
Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh
kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
Disamping memerlukan pemberian nasehat, pada umumnya klien sesuai dengan
problem yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pembrian
informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih
tangan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua
siswa dan masayarakat, dan sebagainya.
Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut
serta mensinkronisasikan upaya yang satiu dan upaya lainnya sehingga
keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.
- Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat incidental
Pada hakikatnya pelayan itu sendiri menjangkau dimensi waktu
yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping
itu konselor seyogyanya tidak hanya menunggu klien datang dan mengungkapkan
masalahnya.
Maka petugas bimbingan dan konseling harus terus
memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling, serta mampu
melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah ditanggulangi, diarahkan,
dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenap individu.
- Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-kliean tertentu saja.
Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolonan
siswa-siswa atas dasar mana golongan siswa tertentu dalam memperoleh palayanan
yang lebih dari golongan yang lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan
yang sama untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan konseling, kapan, bagimana,
dan di mana pelayanan itu diberikan. Pertimbangannya semata-mata didasarkan
atas sifat dan jenis masalah yang dihadapi serta ciri-ciri keseorangan siswa
yang bersangkutan.
Petugas bimbingan dan konseling membuka pintu yang
selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan
pelayanan bimbingan dan konseling.
Kalaupun ada penggolongan, maka penggolongan didasarkan atas
klasifikasi masalah (seperti bimbingan konseling pendidikan, jabatan/
pekerjaan, keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien (misalnya jenis
kelamin, kelasa social/ekonomi, agama, suku, dan sebagainya). Lebih jauh
klasifikasi masala itu akan mengarah pada spesialisasi keahlian konseling
tertentu sesuai dengan permasalahan yang ada.
- Bimbingan dan konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”
Ada asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani
orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap
fungsi yang ada pada diri seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, dia
akan dapat menjalin kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini
pasti menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang
sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tetap sehingga
memerlukan bantuan konselor demi lebih lancar dan lebih terarahnya kegiatan
fungsi-fungsi tersebut.
Jika seseorang ternyata mengalami keabnormalan tertentu,
apalagi kalau sudah bersifat sakit jiwa, maka orang tersebut sudah seyogianya
menjadi klien psikeater. Masalahnya ialah masih banyak konselor yang terlalu
cepat menggolongkan atau setidak-tidaknya menyangka seseorang mengalami
keabnormalan mental atau ketidaknormalan jiwa, sehingga terlalu cepat pula
menghentikan pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling dan menyarankan klien
agar pergi saja ke psikeater. Hal ini tentu saja tidak pada tempatnya atau
bahkan berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi oleh konselor
dikirim ke dokter atau psikeater, pertama-tama akan menganggap bahwa
konselor tersebut sebenarnya ahli; keahlianya adalah semua atau
setidak-tidaknya diragukan. Sebagai akibatnya, klien tidak lagi mempercayainya.
Konselor-konselor yang demikian itu akan memudarkan citra profesi bimbingan dan
konseling. Kedua, klien berkemungkinan akan mempersepsi masalah yang
dialaminya secara salah. Atau mungkin akan memprotes pengiriman yang salah
alamat itu dan memeberikan reaksi-reaksi lain yang justru memperberat masalah
yang dialaminya.
Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi, akan mampu
mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya
fungsi-fungsi yang ada pada klien, sehingga kliennya perlu dikirim kepada
dokter atau psikiater atau tidak. Penanganan masalah oleh ahlinya secara tepat
akan memberikan jasmani yang lebih kuat bagi keberhasilan pelayanan.
- Bimbingan dan konseling bekerja sendiri
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang
terisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan
unsur-unsur budaya, social dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan
dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerjasama dengan
orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi
oleh klien.
Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh
siswa tidak berdiri sendiri. Masalah itu seringkali terkait dengan orangtua
siswa, guru dan pihak-pihak lain; terkait pila dengan berbagai unsure
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu,
penanggulangan tidak dilakukan sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini
peranan guru, orang tua danpihak-pihak llain sering kali sangat menentukan.
Konselor harus pandai menjalin hubungan kerjasama yang saling mengerti dan
saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah. Disamping itu.
Konselor harus pula memanfaatkan berbagi sumber daya yang ada dan dapat
diadakanuntuk kepentingan pemecahan masalah siswa.
- Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Sesuai asas kegiatan, disamping kinselor bertindak sebagai
pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lainpun, terutama klien, harus
secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak
lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka
hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan. Pada dasarnya pelayanan
bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak
semata-mata ditimpakannpada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya
bersifat usaha itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini
konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak
berjalan sama sekali.
- Bbimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan
melihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun
demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan,
seringkali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan
lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu. Bahkan kadang– kadang
masalah yang sebenarnya, sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan
itu. Usaha pelayanan seharusnya dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu.
Konselor tidak boleh terpukau oleh keluahan atau masalah yang pertama
disampaikan oleh kien. Konselor harus mampu menyelami sedala-dalamnya masalah
klien yang sebenarnya.
- Meneanggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakuka oleh siapa saja.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa
saja, jika dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara
amatiran saja. Tapi jika pekerjaan bimbingan dan konseling dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prisip keilmuan (mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan
asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara professional, maka
pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Salah satu ciri profesionalnya adalah pelayanan itu
dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup.
- Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater
Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara
pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pkerjaan dokter atau pskiater, yaitu
sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang
dialaminya. Di samping itu, baik konselor maupun dokter atau psikiater, memakai
teknik-teknik yang sudah teruji pada bidang pelayananya masing-masing untuk
mengungkapkan masalah klin/pasien, untuk melakukan pragnosis dan diagnosis, dan
akhirnya menetapkan cara-cara pengentasan masalah atau penyembuhannya. Namun
demikian, pkerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan
pekerjaan dokter atau psikiater. Baik dokter atau psikiater bekerja dengan
orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami
masalah.
Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah
dengan memakai obat dan resep serta teknik pengobatan dokter atau psikiater
lainnya, sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah
melalui jalan pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, penguatan
tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta teknik-teknik
bimbingan dan konseling lainnya, sedangkan bimbingan dan konseling memberikan
jalan pemecahan masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan
mental/psikis, penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya
perbaikan, serta upaya-upaya perbaikan, serta tehnik-tehnik bimbingan dan
konseling lainnya.
- Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat
Usaha-usaha bimbingan dan konseling bukanlah hal yang
instant, tapi menyangkut aspek-aspek psikologi/mental dan tingkah laku yang
kompleks. Maka proses ini tidak bisa didesak-desakkan agar cepat matang dan
selesai. Pendekatan ingin mencapai hasil segera justeru dapat melemahkan
proses itu sendiri. Ini bukan berarti bahwa usaha bimbingan dan konseling boleh
santai-santai saja menghadapi masalah klien, karena proses bimbingan dan
konseling adalah hal yang serius dan penuh dinamika, maka harus wajar dan penuh
tanggung jawab.
Petugas bimbingan dan konseling harus berusaha sebaik dan
seoptimal mungkin dalam menghadapi masalah klien.
- Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Segala cara yang dipakai untuk mengatasi masalah harus
disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak
semua masalah bisa diselesaikan dengan cara yang sama, bahkan masalah yang sama
sekalipun.
Pada dasarnya, pemakaian suatu cara tergantung pada pribadi
klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas
bimbingan konseling, dan sarana yang tersedia.
- Memusatkan usaha bimbibingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya)
Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang
pasti ada dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah ketrampilan
pribadi. Dengan kata lain koselor tidak seharusnya terganggu dengan ada
atau tiadanya instrument-instrumen pembantu (tes, inventori, angket, dan
sebagainya). Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan
apa yang dimiliki secar optimal sambil terus berusaha mengembangkan
sarana-sarana penunjang yang diperlukan.
- Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja
Berat atau ringannya sebuah masalah bukanlah hal yang mudah
untuk ditetapkan. Oleh karena itu, memberikan sifat ringan atau berat
pada masalah yang dihadapi klien tidaklah perlu, karena hal itu tidak akan
membantu meringankan usaha pemecahan masalah. Yang terpenting adalah bagaimana
menanganinya dengan cermat dan tuntas.
Apabila seluruh kemampuan konselor tidak bisa mengatasi
masalah klien, maka diperlukan pengalihtanganan. Pengalihtanganan tidak harus
sekaligus kepada psikiater atau ahli-ahli lain diluar bidang bimbingan dan
konseling. Alih tangan pada tahap pertama hendaknya dilakukan kepada sesame
konelor sendiri yang memiliki keahlian yang lebih tinggi. Dan bila ternyata
ditemukan gejala-gejala kelainan kejiwaan misalnya, maka ahli tangan sebaiknya
diserahkan kepada psikiater.
B. MASALAH SISWA di SEKOLAH dan MADRASAH[3]
Sebagai manusia, bisa dipastikan bahwa siswa juga memiliki
permasalahan yang kompleks, yang tentu saja permasalahan tersebut berbeda
antara satu dan yang lainnya. Masalah yang dialami oleh siswa di madrasah dan
sekolah berkenaan dengan hal-hal berikut:
1.
Perkembangan individu
2.
Perbedaan individu, dalam hal: kecerdasan, kecakapan, hasil belajar, bakat,
sikap, kebiasaan, pengetahuan, kepribadian, cita-cita, kebutuhan, minat,
pola-pola dan tempo perkembangan, cirri-ciri jasmaniyah dan latar belakang
lingkungan.
3.
Kebutuhan individu, dalam hal: memperoleh kasih sayang, harga diri, penghargaan
yang sama, prestasi dan posisi, ingin dikenal, untuk dibutuhkan orang lain,
merasa bagian dari kelompok, rasa aman dan perlindungan, dan unruk memperoleh
kemerdekaan diri.
4.
Penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku.
5. Masalah
belajar.
M. Hamdan Bakran Adz-Dzaky (2004) mengklasifikasikan masalah
individu, termasuk siswa, sebagai berikut:
1.
Masalah individu yang berhubungan dengan Tuhannya
Ialah
kegagalan individu dalam melakukan hubungan vertical dengan Tuhannya. Seperti
sulit menghadirkan rasa takut, memiliki rasa tidak bersalah atas dosa yang
dilakukan, merasa selalu diawasi oleh Tuhan, sehingga ia merasa tidak memiliki
kebebasan. Dampak dari semua itu adalah timbulnya rasa malas atau enggan
melaksanakan ibadahdan sulit untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
dilarang Tuhan.
2.
Masalah individu yang berhubungan dengan dirinya sendiri
Adalah
kegagalan bersikap disiplin dan bersahabat dengan hati nurani yang selalu
mengajak atau menyeru dan membimbing pada kebaikan dan kebenaran Tuhannya.
Dampaknya adalah muncul sikap was-was, ragu-ragu, berprasangka buruk (su’udlon),
rendah motivasi, dan dalam hal tidak mampu bersikap mandiri.
3.
Masalah individu yang berhubungan dengan lingkungan keluarga
Dalam
hal ini, seseorang mengalami kesulitan atau ketidakmampuan mewujudkan hubungan
yang harmonis antara anggota keluarga, seperti antara anak dan orang tua, adik
dengan kakak dan saudara-saudara lainnya. Kondisi ketidakharmonisan dalam
keluarga menyebabkan anak merasa tertekan, kurang kasih sayang, dan kurangnya
ketauladanan dari kedua orang tua itu sendiri.
4.
Masalah individu yang berhubungan dengan lingkungan kerja
Masalah
yang terjadi misalnya kegagalan individu memilih pekrjaan yang sesuai dengan
karakteristik pribadinya, kegagalan dalam meningkatkan prestasi kerja,
ketidakmampuan berkomunikasi dengan atasan, rekan kerja dan kegagalan
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Khusus
siswa, masalah yang berhubungan dengan karir misalnya ketidakmampuan memahami
tentang karier, kegagalan memilih karier yang sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan karakteristik pribadinya.
5.
Masalah individu yang berhubungan dengan lingkungan sosial
Dalam
hal ini yan terjadi biasanya adalah ketidakmampuan melakukan penyesuaian diri
(adaptasi), baik dengan lingkungan tetangga, sekolah dan masyarakat, atau
kegagalan bergaul dengan lingkungan yang beraneka ragam watak, sifat, dan
perilaku.
Semua masalah di atas harus diidentifikasi oleh guru
pembimbing di sekolah dan madrasah, sehingga bisa ditetapakan skala prioritas,
masalah mana yang harus dibicarakan terlebih dahulu dalam pelayanan bimbingan
dan konseling. Masalah-masalah diatas juga harus menjadi bahan pertimbangan
bagi guru pembimbing di sekolah dan madrasah dalam menyusun program bimbingan
dan konseling.
C. PETUGAS BIMBINGAN dan KONSELING di SEKOLAH dan MADRASAH[4]
Secara umum, ada dua tipe petugas bimbingan dan konseling di
sekolah dan madrasah, yaitu:
1.
Profesional
Petugas
bimbingan dan konseling professional adalah mereka yang secara khusus dididik
dan dipersiapkan untuk melaksanakan tugas khusus sebaga guru BK dan tidak
dibebani tugas mengajar. Mereka diangkat sesuai klasifikasi keilmuannya dan
latar belakang sarjana S1, S2 dan atau S3 jurusan bimbingan dan konseling.
Mereka mencurahkan semua waktunya pada pelayanan bimbingan dan konseling atau
disebut juga full time guidance and counseling.
Tenaga
BK di sekolah dan madrasah bisa lebih dari satu orang. Apabila sekolah da
madrasah berpegang pada pola spesialis, tenaga professional menjadi tenaga inti
dan memegang peranan kunci dalam pelayanan BK di sekolah dan madrasah yang
bersangkutan.
Beberapa
kelebihan[5] dalam tipe ini adalah:
a.
Petugas BK dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya dalam pelayanannya. Dan
secara umum ini lebih efektif dan efisien.
b.
Peserta didik yang mempunyai masalah-masalah tertentu bisa lebih mudah untuk
terbuka kepada petugas BK, karena tidak terkait dengan proses penilaian
akademik.
Adapun diantara kelemahannya[6] adalah:
a.
Petugas bisa mengalami kesulitan untuk mengetahui secara detail masalah yang
dialami peserta didik.
b.
Terkadang petugas mengalami komunikasi yang kaku dengan klien karena frekuensi
pertemuan dan komunikasi yang kurang intensif sebagaimana teacher counselor.
2.
Non Profesional
Petugas
BK non professional adalah mereka yang dipilih dan diangkat tidak berdasarkan
keilmuan atau latar belakan gpendidikan profesi. Yang termasuk ke dalam peugas
Bk non professional di sekolah dan madrasah adalah:
a.
Guru wali kelas yang juga diserahi tugas dan tanggung jawab Sebagai petugas
atau guru BK. Maka di sini dia mempunya tugas rangkap. Adapun alasan yang
digunakan untuk mengangkatnya sebagai petugas BK adalah karena wali kelas
dianggap dekat dengan siswanya sehingga wali kelas dapat dengan mudah
mengetahui berbagai persoalan siswanya.
b.
Guru pembimbing, yaitu seorang guru yang selain memegang mata pelajaran
tertentu, terlibat juga dalam pelayanan bimbingan dan konseling, yang disebut
juga part time teacher and part time counselor. Guru BK yang seperti ini
juga memiliki tugas rangkap. Guru mata pelajaran yang diserahi tugas dan
tanggung jawab sebagai guru BK misalnya guru agama, guru PPKN, dan guru-guru
lain terutama yang tidak memiliki jam pelajaran.
c.
Guru mata pelajaran tertentu yang diserahi tugas khusus menjadi petugas BK.
Petugas BK ini tidak merangkap tugas. Tugas dan tanggung jawab pokoknya adalah
memberikan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
d.
Kepala sekolah/madrasah yang bertanggung jawab atas sekurang-kurangnya 40 orang
siswa. Pertimbangan penetapan tenaga bimbingan pola ini di sekolah dan madrasah
adalah kepala sekolah/madrasah berasal dari jabatan fungsional (guru),
sedangkan jabatan kepala sekolah/madrasah adalah structural. Agar fungsinya
sebagai pejabat fungsional tidak tanggal, maka kepala sekolah/madrasah biasanya
diserahi tugas dan tanggung jawab membimbing 40 siswa.
Menjadi Konselor[7]
Ada satu hal tetap perlu diingat bahwa untuk
menjadi seorang konselor seseorang harus memahami cara dan metode konseling
yang benar. ”Metode ini penting, supaya ndak sama dengan curhat-curhatan itu”
Kata Pak Sri Mulyono, Psikolog dan pembicara.
Seorang konselor sekolah hendaklah profesional dalam
menjalankan tugas. Pelayanan BK di sekolah lebih menekankan pada cinta kasih.
Dengan cinta kasih seorang konselor akan lebih empatik kepada siswanya. Relasi
yang baik, hangat dan penuh penerimaan antara siswa dengan konselor sekolah
akan memudahkan siswa untuk lebih memahami diri dan kondisi lingkungan dirinya
dan lebih mudah mengambil keputusan dalam hidupnya demi kebaikan dirinya
sendiri. Para siswa harus ditangani oleh konselor yang sungguh profesional
dalam bidangnya karena di dalam konseling memiliki asas kerahasiaan, asas
kesukarelaan, asas keterbukaan, asas kenormatifan, dll. Konselor sekolah
hendaknya mentaati aturan-aturan dalam memberikan pelayanan bimbingan dan
konseling yang terdapat dalam kode etik keprofesian[8] sebagai seorang guru BK.
Masalah Konselor
Konselor juga manusia. Ini berarti bahwa konselor juga bisa
mengalami masalah yang dialami oleh orang lain. Masalah tersebut bisa berupa
masalah manusiawi, seperti jenuh, stress, bosan dll. Oleh karena itu,
sebaiknya konselor tidak menangani masalah lebih dari tiga kasus dalam satu
hari. Masalah lain yang biasanya dialami oleh konselor berkaitan dengan
kompetensi diri menjadi seorang konselor. Tidak sedikit petugas BK di
sekolah/madrasah yang tidak memenuhi kualifikasi[9] seorang petugas BK, dan hal inilah yang
terkadang justeru menambah masalah. Oleh karena itu seorang konselor sudah
selayaknya untuk semakin menggali dan meningkatkan kemampuannya, dan bukan
sekedar menjalani tugasnya hanya dengan apa adanya.
Ada beberapa hal yang harus dihindari oleh konselor[10], diantaranya adalah:
1.
Bicara satu arah dari konselor/mendominasi konseling sibuk dengan penggalian
masalah/peristiwa traumatis lee
2.
Tidak menunjukkan empati&kepedulian
3.
Terkesan menasehati, menggurui, mengarahkan lee.
4.
Terkesan menyalahkan dan menyudutkan lee
5.
Menentukan jalan keluar pada permasalah lee
6.
Mengambil jarak dan memperlakukan lee seperti pasienmenggunakan bahasa yang
sulit dimengerti
7.
Menampilkan sikap/gerak tubuh yang membuat lee tidak nyaman, seperti cemberut,
ngantuk, jaga jarak, acuh tak acuh dll.
8.
Menganggap lee sebagai individu yang tidak berdaya
9.
Menciptakan ketergantungan lee pada konselor, dll.
KESIMPULAN
Bimbingan dan konseling yang melibatkan lembaga konseling,
konselor dan konselee ini, tentu tidak lepas dari pengaruh dinamisasi ruang dan
waktu kehidupan yang senantiasa menawarkan perubahan. Oleh karenanya, agar
bimbingan dan konseling ini senantiasa efektif dan berkembang lebih baik, maka
ke tiga unsure yang ada dalam konseling tersebut harus senantiasa ditinjau
ulang, baik secara teori maupun praktik. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalisir kesalahpahaman pemaknaan yang tentu saja akan berdampak pada
praktiknya.
Banyaknya problem yang terjadi dalam konseling, problematika
konselor dan konselee kebanyakan lahir dari ketidakpahaman yang mendalam
tentang konseling. Oleh karena itu, image ketiga unsure konseling harus
benar-benar dibangun kembali menjadi lembaga yang benar-benar nyaman untuk sharing
yang solutif berbagai macam masalah yang dihadapi peserta didik.
Ketiga unsure di atas bukanlah hal yang berjalan
sendiri-sendiri, melainkan saling terkait antara satu dan yang lain. Maka,
semuanya harus dipahami secara utuh agar pelaksanaanya bisa optimal.
PENUTUP
Demikian pemaparan kami tentang Problematika Bimbingan Dan
Konseling dengan penuh keterbatasan. Meski demikian, semoga bermanfaat bagi
kehidupan kita, amiin.
Tanggapan, kritik dan saran dari Anda akan sangat berarti
bagi kebaikan kita bersama ke depan. Terima kasih.
REFERENSI
1. Drs. Tohirin, M.Pd, Bimbingan dan Konseling di Sekolah
dan Madrasah, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2007.
2. Prof. Dr. H. Prayitno, M.SC.Ed&Drs. Erman Amti, Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. PT. Rineka Cipta, Jakarta 2004.
4. Materi pelatihan konseling.FKJ.PMII. Jepara, 6 April 2008
5. Materi konseling dalam pelatihan advokasi. Bandungan, 7-8
Maret 2008
6.
http;//akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/14/tujuan-bimbingan-dan-konseling/
[2] Materi diambil dari Prof. Dr. H. Prayitno, M.SC.Ed&Drs.
Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Hlm. 120
[9] Kualifikasi termasuk ketrampilan yang harus dimiliki
konselor, diantaranya yaitu: komunikasi,mendengarkan, memperhatikan, observasi,
eksplorasi, dll.(Anna HW, Psi. dalam pelatihan konseling.FKJ.PMII.Jepara, 6
April 2008)
No comments:
Post a Comment