Saturday, December 5, 2015

Sejarah Singkat Ejaan Bahasa Indonesia




Kalau kita melihat perkembangan bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang, tidak terlepas dari perkembangan ejaannya. Kita ketahui bahwa beberapa ratus tahun yang lalu bahasa Indonesia belum disebut bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu. Nama Indonesia itu baru datang kemudian.

Kita masih ingat pada masa kerajaan Sriwijaya, ada beberapa prasasti yang bertuliskan bahasa Melayu Kuno dengan memakai huruf  Pallawa (India) yang banyak di pengaruhi bahasa Sanskerta, seperti juga halnya bahasa Jawa Kuno. Jadi bahasa pada waktu itu belum menggunakan huruf Latin. Bahasa Melayu Kuno ini kemudian berkembang pada berbagai tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan masa awal kedatangan Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkekeliling di Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca , yakni bahasa komunikasi dalam perdagangan, pengajaran agama, serta hubungan antarnegara dalam bidang ekonomi dan politik.

Lingua franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan. Banyak pedagang asing yang berusaha untuk mengetahui bahasa Melayu untuk kepentingan mereka. Bahasa Melayu ini mengalami pula penulisannya dengan huruf Arab yang juga berkembang menjadi huruf Arab-Melayu. Banyak karya sastra dan buku agama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Huruf ini juga dijadikan sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum mulai digunakannya huruf Latin atau huruf Romawi untuk penulisan bahasa Melayu, walaupun masih secara sangat terbatas.

Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri. Seperti  ejaan latin untuk bahasa Melayu yang mulai di tulis oleh Pigafetta, selanjutnya oleh de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan Joannes Roman. Sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan.

Setelah tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat perhatian. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang di mengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang





terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.

Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
a.    Huruf  j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b.   Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c.    Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamai’.
d.   Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa. Huruf  hidup yang di beri titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini.

Sedikit mengkilas balik, Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, Van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.

Keinginan untuk menyempurnakan ejaan Van Ophuijsen terdengar dalam Kongres Bahasa Indonesia I, tahun 1938 di Solo. Selama Kongres Bahasa Indonesia tersebut, telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Suwandi,  Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (SK No. 264/Bag.A tanggal 19 Maret 1947) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi. Ejaan yang juga sering disebut dengan Ejaan republik  ini adalah upaya penyederhanaan dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada, yaitu ejaan Van Ophuysen.










Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
 Huruf oe diganti dengan u, seperti pada goeroeguru, itu, umur.
a.    Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
b.   Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
c.    Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

Perubahan Ejaan bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada tahun 1947. Waktu perubahan ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang berjuang menentang kembalinya penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan 1947 ini yang lebih dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik, sebenarnya memancing reaksi yang muncul setelah pemulihan kedaulatan (1949). Reaksi ini kemudian melahirkan ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan.

Gagasan mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Mr. Muh. Yamin. Dalam kongres itu dihasilkan keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :
1.  Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.
2.  Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang kompeten.
3.  Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.

Sesuai dengan usul Kongres, pemerintah kemudian membentuk sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956.  Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru dan menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan  pada tahun 1957. Namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu dan adanya beberapa huruf  baru yang tidak praktis,yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia.

Terilhami oleh Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan pula kongres bahasa Indonesia di Singapura  (1956) yang menghasilkan suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan selanjutnya dihasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo merupakan ejaan yang diputuskan oleh sidang perutusan Indonesia dan Malaysia yang diketuai oleh Slamet







Muljana dari Indonesia dan Syed Nasir bin Ismail dari Malaysia pada tahun 1959. Namun, rencana untuk meresmikan ejaan ini pada tahun 1962 mengalami kegagalan karena adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia  dan perkembangan politik pada beberapa tahun kemudian.

Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Akhirnya, berdasarkan komunikasi bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mashuri Saleh) dan Menteri Pelajaran Malaysia (Hussein Onn), rancangan tersebut di setujui untuk dijadikan bahan dalam upaya bersama bagi pengembagan bahasa nasional kedua negara. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 062/67 tanggal 19 September 1967, disahkan sebuah Panitia Ejaan bahasa Indonesia. Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu.  Moeliono mengusulkan konsep baru sebagai ganti konsep Melindo.

Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, beberapa kali seminar, dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972 No.03/A.I/72, serta berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972, akhirnya konsep LBK menjadi konsep bersama Indonesia-Malaysia yang seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mencopot nama jalan yang melintas di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Ejaan tersebut kemudian lebih disempurnakan lagi (direvisi) pada tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/u/1987 tanggal 9 September 1987  tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD edisi 1975.





Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

Kalau kita beranalogi dengan Ejaan Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut Ejaan Mashuri, karena pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan memperjuangkan EYD sampai diresmikan oleh presiden.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.

1.  Perubahan Huruf
Ejaan Soewandi
Ejaan yang Disempurnakan
dj
djalan, djauh
j
jalan, jauh
j
pajung, laju
y
payung, layu
nj
njonja, bunji
ny
nyonya, bunyi
sj
isjarat, masjarakat
sy
isyarat, masyarakat
tj
tjukup, tjutji
c
cukup, cuci
ch
tarich, achir
kh
tarikh, akhir

2.  Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f
maaf, fakir
v
valuta, universitas
z
zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai

a : b = p : q
Sinar-X

4.  Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.











di- (awalan)
di (kata depan)
ditulis
di kampus
dibakar
di rumah
dilempar
di jalan
dipikirkan
di sini
ketua
ke kampus
kekasih
ke luar negeri
kehendak
ke atas

5.  Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan dikeluarkannya peraturan menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Jadi, ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :
1.  Ejaan Van Ophuijsen (1901)
2.  Ejaan Soewandi (1947)
3.  Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
4.  Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)
5.  Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah adalah :
1.  Ejaan Pembaharuan (1957)
2.  Ejaan Melindo (1959)
3.  Ejaan LBK (1966)

No comments:

Post a Comment