BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan
manusia tidaak lepas dari adanya agama. Agama menjadi penuntun bagi manusia
dalam melakukan segala tindakan dan perbuatannya. Tanpa adanyaagama, kehidupan
manusia tidak ada beda dengan perbuatan hewan. Dimana perbuatannya didasarkan
pada hawa nafsu.
Maka dari itu
diperlukan agama sebagai pengontrol manusia. Salah satunya agama Islam. Islam
adalah agama rahmatan lil ‘alamin, yang mana dibawa atau diemban oleh Nabi
Muhammad saw sebagai Nabi dan rasul terakhir. Tentunya agama Islam memiliki
dasar atau sumber ajarannya. Sumber tersebut selain Al-Qur'an, adalah sunnah.
Sunnah ini menjadi sumber agama Islam yang kedua, yang mana tidak boleh
ditinggalkan oleh umat Islam.
Namun, apakah itu sunnah ? bagaimana kedudukannya dalam
Islam ? bagaimana sejarahnya ? Itu
semua akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan sebagai pokok bahasan dalam
penulisan makalah ini, diantaranya :
1. Apa pengertian
as-sunnah ?
2. Apa
dasar as-sunnah sebagai sumber
hukum Islam ?
3. Bagaimana
kedudukan dan fungsi as-sunnah
terhadap al-qur'an ?
4.
Apa saja istilah-istilah dalam ilmu hadits ?
5. Apa
saja macam-macam hadits
?
6.
Bagaimana pembentukan dan sejarah hadits ?
C.
TUJUAN PENULISAN
Makalah ini
adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini
yakni :
1.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pengertian
as-sunnah.
2.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang dasar as-sunnah
sebagai sumber hukum islam.
3.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang kedudukan dan
fungsi as-sunnah terhadap al-qur'an.
4.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang istilah-istilah
dalam ilmu hadits.
5.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang macam-macam hadits.
6.
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pembentukan dan
sejarah hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AS-SUNNAH
As-Sunnah menurut bahasa الطريقة berarti adalah kebiasaan atau jalan atau
dijalani. Sunah menurut bahasa juga mengandung arti : jalan yang ditempuh; cara
atau jalan yang sudah terbiasa; serta sebagai lawan dari kata bid’ah.
Dapat pula diartikan sebagai suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa
mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Arti tersebut bisa
ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :
من
سن فى الا سلام سنة حسنة فله اجره واجر من عمل بها من بعده
Artinya :“Barang siapa yang membiasakan
suatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala
orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.” (HR. Muslim)
Secara terminologi, pengertian As- Sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin
ilmu, yakni :
1. Ilmu Hadist, para ahli hadist mengidentikkan Sunnah dengan hadist yakni segala sesuatu
yang berasal (disandarkan) kepada Rasulullah saw., baik berupa perkataan
(qauliyah), perbuatan (fi’liyyah), maupun penetapan pengakuan (taqririyyah).
Jadi, jelas bahwa semua yang ada pada diri Rasulullah saw., adalah sebagai suri
teladan bagi umatnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah swt :
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الاخر وذكر
الله كثيرا
Artinya : “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah swt.” (QS. Al-Ahzab : 21)
2.
Ilmu
Ushul Fiqih, menurut ulama
ahli Ushul Fiqih, Sunnah adalah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang berkaitan dengan
hukum.
3. Ilmu Fiqih, pengertian Sunnah menurut ahli Fiqih hampir sama dengan pengertian ahli
ushul fiqih. Akan tetapi, istilah Sunnah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai
salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan
pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Yang dimaksud dengan As-Sunnah sebagai sumber
hukum Islam ialah bahwa selain terhadap
Al-Qur’an, seluruh umat Islam wajib
menjadikan As-Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup, menyandarkan segala
permasalahan hidupnya kepada As-Sunnah.
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mengatakan bahwa “Al-Qur'an dan As-Sunnah
merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang saling terkait, seseorang muslim
tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam tanpa kembali kepada kedua sumber
hukum tersebut. Mujtahid atau
orang ‘alim memerlukan keduanya.”
B.
DASAR AS-SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Banyak ayat Al-Qur'an atau Al-Hadist menjelaskan bahwa As-Sunnah
merupakan salah satu sumber hukum Islam, selain Al-Qur'an yang wajib diikuti
sebagaimana mengikuti Al-Qur'an baik yang bersifat perintah maupun larangan.
Untuk mengetahui dasar-dasar bahwa As-Sunnah
sebagai sumber hukum Islam, dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini :
1.
Dalil Al-Qur'an
Banyak ayat Al-Qur'an menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup, antara lain : Qs. Ali Imran
: 179 dan Qs. An-Nisa :136
ما كان الله ليذر المؤمنين على ما انثم عليه حتى يميز الخبيث من الطيب
وما كان الله ليطلعكم على الغيب ولكن الله يجتبي من رسله من يشاء فامنوا بالله
ورسله وان تؤمنوا وتتقوا فلكم اجر عظيم
Artinya : “Allah
swt sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mu’min). dan Allah swt sekali-kali tidak akan memperhatikan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah swt memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah swt dan
Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang
besar.”
يا ايها الذين امنوا امنوا بالله ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله
والكتاب الذي انزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخرفقد ضل
ضلا لا بعيدا
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah swt dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah swt turunkan
sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya.”
Dari ayat-ayat tersebut, dapat dikaitkan
dengan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dapat ditarik pemahaman bahwa :
a.
Selain
mempercayai Allah swt, umat Islam wajib mempercayai Rasul-Nya.
b.
Umat
Islam wajib menaati semua yang bersumber dari Rasul, baik berupa perintah
(harus dilaksanakan) maupun larangannya (wajibb ditinggalkan).
c. Allah swt mengancam kepada orang-orang yang tidak mempercayai dan menaati
Rasul-rasul Allah swt.
2.
Dalil Al-Hadist
Selain Al-Qur'an, Al-Hadist juga menjelaskan
tetang kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, antara lain :
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
Artinya :“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada
keduanya (yaitu) kitab Allah swt (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul-Nya.”
Hadist tersebut menjelaskan kepada kita bahwa umat Islam wajib
berpegang teguh kepada As-Sunnah dan menjadikannya sebagai pedoman hidup dan
sumber hukum dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapinya, sebagaimana
mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya.
3.
Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan As-Sunnah
sebagai salah satu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah
swt dan Rasul-Nya. Mereka menerima As-Sunnah seperti halnya mereka menerima
Al-Qur'an. Keduanya dijadikan sumber hukum Islam. Kesepakatan umat Islam dalam
mempercayai dan menerima serta mengamalkan segala ketentuan yang
terkandung dalam As-Sunnah terus
berlanjut sejak masa Rasul masih hudup, sepeninggal beliau, mulai zaman khulafa
Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya.
4.
Sesuai Dengan Petunjuk Akal
Selain Al-Qur'an, Al-Hadist dan Ijma’ ulama mengatakan bahwa
As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, akal pun menyatakan bahwa konsekuensi mempercayai
Muhammad sebagai Rasulullah mengharuskan menerima dan menaati segala yang
beliau perintahkan dan meninggalkan yang beliau larang. Suatu kepercayaan tanpa
dibarengi oleh penerimaan dan ketaatan terhadap apa yang dipercayai adalah
bohong.
C.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR'AN
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, jelaslah bahwa kedudukan
As-Sunnah sangat kuat dan siapa yang mengingkarinya tergolong kafir. Hal ini
tidak berarti mengurangi kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, sebab
di dalam Al-Qur'an masih banyak ayat yang bersifat umum dan global yang
memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasul, yaitu berupa
sunahnya. Tanpa penjelasan dari As-Sunnah, banyak ketentuan Al-Qur'an yang
belum bisa dilaksanakan. Maka dari itu, peran Sunah terhadap Al-Qur'an, sebagai
berikut :
1. Sunah Sebagai Penjelas (Bayanu Tasyri’)
بالبينات والزبر وانزلنا اليك الذ كر لتبين للناس ما نزل اليهم و
لعلهم يتفكرون
Artinya : “Keterangan-keterangan (mu’jizat)
dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (Qs. An-Nahl : 44)
Diakui bahwa sebagiaan umat Islam tidak mau menerima
Sunnah padahal dari mana mereka mengetahui bahwa shalat Zhuhur itu empat
rakaat, maghrib tiga rakaat, dan sebagainya kalau bukan dari Sunnah.
Maka jelaslah bahwa Sunnah itu berperan
penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur'an,
sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur'an. Penjelasan
Sunnah terhadap Al-Qur'an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yakni :
a.
Penjelasan terhadap hal yang global, seperti
diperintahkannya shalat dalam Al-Qur'an tidak diiringi penjelasan mengenai
rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal ini dijelaskan oleh Sunnah sebagaimana sabda Rasulullah :
صلوا
كما رايتمونى اصلى
Artinya
: “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.”
b. Penguat secara mutlaq, Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum
yang ada dalam Al-Qur'an.
c.
Sunah
sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur'an yang masih umum.
2.
Sunah Membawa Hukum (Musyar’i)
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak
ada dalam Al-Qur'an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunatkannya aqiqah,
dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat :
a. Sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur'an.
b.
Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak
dalam Al-Qur'an,tetapi hanya memuat
hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur'an.
3. Sunah Memperkuat Ketentuan yang Telah Ditetapkan dalam Nash Al-Qur'an.
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber,
yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak heran kalau banyak sekali Sunnah yang
menerangkan tentang kewajiban shalat, zakaat, puas, larangan musyrik, dan
lain-lain.
D.
ISTILAH- ISTILAH DALAM ILMU HADITS
Dalam hadits, ada terdapat istilah dan
struktur hadits. Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni
sanad, matan dan rawi.
Contoh hadits : Musaddad mengabari bahwa Yahya
sebagaimana diberitakan oleh syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah
saw bahwa beliau bersabda : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian
sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
1.
Sanad
Kata sanad menurut bahasa berasal dari kata
sanada-yasnudu yang berarti sandaran atau tempat bersandar, tempat berpegang
yang dipercaya atau sah.
Sanad ialah rangkaian periwayat yang menukilkan hadits
secara berkesinambung dari yang satu kepada yang lain sehingga sampai kepada
periwayat terakhir. Dapat pula diartikan sebagai rantai penutur atau perawi
(periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang
mencatat hadits dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh
sebelumnya, maka sanad hadits yang bersangkutan adalah : Al Bukhari >
Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad saw.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad
disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap
thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan
lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami
hadits terkait dengan sanadnya ialah : keutuhan sanadnya, jumlahnya dan perawi
akhirnya.
2.
Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa
berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi (tanah yang meninggi). Secara
terminologis, matan adalah isi yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Atau
dengan kata lain matan ialah redaksi dari hadits. Contoh matan dari hadits
sebelumnya ialah : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri.”
Terkait dengan matan, maka yang perlu
dicermati dalam memahami hadits ialah :
a. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad saw
atau bukan.
b.
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya
dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat Al-Qur'an apakah ada yang bertolak
belakang.
3.
Rawi
Kata rawi atau arawi, berarti orang yang meriwayatkan
atau yang memberitakan hadits. Sedangkan secara terminologis rawi adalah orang
yang menerima suatu hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua
istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau
tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap
thabaqahnya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya. Namun, yang membedakan
kedua istilah di atas, jika dilihat dari 2 hal yaitu :
a.
Dalam
Hal Pembukuaan Hadits
Orang yang menerima hadits kemudian
mengumpulkannya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian
perawi dapat disebutkan dengan mudawwir. Kemudian orang-orang yang menerima
hadits dan hanya menyampaikan kepada orang lain tanpa membukukannya disebut
sanad hadits. Berkaitan dengan ini disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi
pada setiap thabaqahnya, tetapi tidak semua perawi disebut sanad hadits karena
ada perawi yang langsung membukukan.
b.
Dalam
Penyebutan Silsilah Hadits
Untuk susunan sanah berbeda dengan penyebutan
silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah
orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimannya. Sedangkan
pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasulullah saw. dengan
demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalaah rawi
hadits.
E.
MACAM-MACAM HADITS
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni
bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (pewirayat) serta
tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
1.
Berdasarkan Ujung Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi
menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu’ :
a.
Hadits Marfu’ ialah hadits yang sanadnya berujung langsung
pada Nabi Muhammad.
b.
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para
sahabat Nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang
menunjukkan derajat marfu’. Contoh : Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum
waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan :
“Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan
sahabat “Kami dperintahkan…”, “Kami dilarang untuk …”, “Kami terbiasa … jika
sedang bersama Rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf
melainkan setara dengan marfu’.
c.
Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada
para Tabi’in (penerus). Contohnya : Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan
sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan : “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama,
maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”. Keaslian hadits
yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada bebberapa faktor lain
seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap
sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan
Rasulullah saw dari ucapan para sahabat maupun tabi’in dimana hal ini sangat
membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Science of Hadits).
2. Berdasarkan Keutuhan Rantai atau Lapisan Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi
beberapa golongan yakni Musnad, Munqati’, Mu’allaq, Mu’dal dan Mursal. Keutuhan
rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan
secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat hadits > penutur 4 > penutur 3
> penutur 2 (tabi’in) > penutur 1 (para sahabat) > Rasulullah saw.
a.
Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila
urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian
tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits
berdasarkan waktu dan kondisi.
b.
Hadits Mursal adalah bila penutur 1 tidak dijumpai atau
dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah saw.
Contoh : seorang tabi’in (penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa menjelaskan
adanya sahabat yang menuturkan kepadanya.
c.
Hadits Munqati’, bila sanad putus pada salah satu penutur
yakni penutur 4 atau 3.
d.
Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur
berturut-turut.
e.
Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga
penutur 1. Contoh : “Seorang pencatat hadits mengaatakan, telah sampai kepadaku
bahwa Rasulullah saw mengatakan ….” Tanpa
ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
3.
Berdasarkan Jumlah Penutur
Jumlah penutur
yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau
ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas
hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
a.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa
mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits Mutawatir
memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah)
berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits
mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits
mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy
(redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terhadap
perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat).
b.
Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits
Ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
1) Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan
terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur).
2) Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan).
3)
Manshur, bila terdapat lebih dari dua jalur
sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai
deraajat mutawatir.
4.
Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah
klasifikasiyang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat
penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni :
a.
Hadits Shahih ialah tingkatan tertinggi penerimaan pada
suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1)
Sanadnya
bersambung.
2)
Diriwayatkan
oleh penutur atau perawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik,
tidak fasik, terjaga kehormatannya, dan kuat ingatannya.
3)
Matannya tidak mengandung kejanggalan atau
bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang
mencacatkan hadits.
b.
Hadits Hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung,
diriwayatan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya
tidak syadz serta cacat.
c.
Hadits Dhaif (lemah) ialah hadits yang sanadnya tidak
bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung
kejanggalan atau cacat.
d.
Hadits Maudu ialah hadits dicurigai palsu atau buatan
karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinaan
berdusta. dapat pula diartikan sebagai suatu perkataan orang yang dikatakan
sebagai sabda Nabi atau suatu perbuatan tertentu yang disebutkan sebagai
perbuatan nabi, padahal nabi tidak pernah mengerjakannya. Motif-motif pembuatan hadits palsu ini, yakni :
1) Politik dan kepemimpinan.
2) Fanatisme golongan dan bahasa.
3)
Kejahatan untuk sengaja mengotori agama Islam.
4) Dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama.
5)
Soal-soal fikih dan pendapat dalam ilmu kalam.
6)
Kesehatan-kesehatan sejarah, dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri hadits maudhu antara lain
:
1)
Pengakuan
pembuatnya.
2) Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits palsu.
3) Bertentangan dengan akal pikiran dan
ketentuan aqidah Islam serta ketentuan agama yang sudah qath’i.
4) Mengandung obral pahala dengan amal yang sangat sederhana.
5)
Mengandung
kultus-kultus individu.
6)
Bertentangan
dengan fakta sejarah.
F.
PEMBENTUKAN DAN SEJARAH HADITS
Hadits sebagai kitab berisi tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi
Muhammad saw sebagai Rasul. Berita tersebut di dapat dari para sahabat pada
saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat
lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya
dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.
1.
Masa Pembentukan Hadits
Masa pembentukan hadits tidak lain masa kerasulan Nabi
Muhammad saw itu sendiri, lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum
ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode
ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad saw sempat
melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al-Qur'an,
namun setelah beberapa waktu, Nabi saw membolehkan penulisan hadits dari
beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar,
Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain. Periode ini dimulai sejak
Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M – 632 M).
2.
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa para sahabat besar dan tabi’in, di mulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits
belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat
seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, dan
lain-lain. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru
umat Islam yang mendorong para sabahat saling bertukar hadits dan menggali dari
sumber-sumber umatnya.
3.
Masa Penghimpunan
Masa ini
ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima
hadits baru, seiring terjadinya tragedy perebutan kedudukan kekhallifahan yang
bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengaan munculnya hadits palsu. Para
sahabat dan tabi’in ini sangat mengenai betul pihak-pihak yang melibatkan diri
dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang
belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang
menjadi sumber pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan.
Penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun
belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu’ dan mana yang mauquf’, dan
mana yang maqthu’.
4.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan
hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits
sebagai perilaku Nabi Muhammad saw, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits
dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi
Muhammad saw), mana yang mauquf (berisi perilaku sahabat) dan mana yang maqthu’
(berisi perilaku tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain
dikelompokkan, juga dilakukan penelitian sanad dan rawi-rawi pembawa beritanya
sebagai wujud tash-hih (koreksi atau vertifikasi) atas hadits yang ada maupun
yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus
dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan
pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa
memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau
menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab
hadits abad 4 H.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
As-Sunnah menurut bahasa الطريقة berarti adalah kebiasaan atau jalan atau
dijalani. Sunah menurut bahasa juga mengandung arti : jalan yang ditempuh; cara
atau jalan yang sudah terbiasa; serta sebagai lawan dari kata bid’ah.
Secara terminologi, pengertian As- Sunnah yakni segala sesuatu yang
berasal (disandarkan) kepada Rasulullah saw., baik berupa perkataan (qauliyah),
perbuatan (fi’liyyah), maupun penetapan pengakuan (taqririyyah).
Kedudukan Sunah terhadap
Al-Qur'an, sebagai berikut : a) sunah sebagai penjelas (bayanu tasyri’); sunah
membawa hukum (musyar’i); serta sunah memperkuat ketentuan yang telah
ditetapkan dalam nash Al-Qur'an.
Dalam hadits, ada terdapat istilah dan struktur hadits. Secara
struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad, matan dan rawi.
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni
bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (pewirayat) serta
tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
Hadits sebagai kitab berisi tentang
sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad saw sebagai Rasul. Berita tersebut di
dapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya
disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau
disampaikan kepada murid-muridnya dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku
hadits. Itulah pembentukan hadits.
Sejarah masa pembentukan As-sunnah
yaitu masa pembentukan hadits, masa penggalian, masa penghimpunan, serta masa
pendiwanan dan penyusunan.
B.
SARAN-SARAN
1.
Sebagai
umat Islam, wajib bagi kita mempelajari As-sunnah atau hadits.
2.
Kita
pun harus menghormati ahlul bait atau keturunan Nabi Muhammad saw, karena
mereka merupakan warisan nabi yang masih tetap ada sampai saat ini.
3.
Kita
harus mampu mengetahui mana hadits yang asli mana yang palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Mundzier dan Djedjen Zainuddin. 2007. Pendidikan Agama
Islam Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. PT Karya Toha Putra : Semarang.
Syafe’I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,
PTAIS. PT Pustaka Setia : Bandung.
No comments:
Post a Comment