Thursday, November 21, 2013

as-sunnah



BAB  I
PENDAHULUAN

A.    LATAR  BELAKANG
Kehidupan manusia tidaak lepas dari adanya agama. Agama menjadi penuntun bagi manusia dalam melakukan segala tindakan dan perbuatannya. Tanpa adanyaagama, kehidupan manusia tidak ada beda dengan perbuatan hewan. Dimana perbuatannya didasarkan pada hawa nafsu.
Maka dari itu diperlukan agama sebagai pengontrol manusia. Salah satunya agama Islam. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, yang mana dibawa atau diemban oleh Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan rasul terakhir. Tentunya agama Islam memiliki dasar atau sumber ajarannya. Sumber tersebut selain Al-Qur'an, adalah sunnah. Sunnah ini menjadi sumber agama Islam yang kedua, yang mana tidak boleh ditinggalkan oleh umat Islam.
Namun, apakah itu sunnah ? bagaimana kedudukannya dalam Islam ? bagaimana sejarahnya ? Itu semua akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya.   

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan sebagai pokok bahasan dalam penulisan makalah ini, diantaranya :
1.      Apa pengertian as-sunnah ?
2.      Apa dasar as-sunnah sebagai sumber hukum Islam ?
3.      Bagaimana kedudukan dan fungsi as-sunnah terhadap al-qur'an ? 
4.      Apa saja istilah-istilah dalam ilmu hadits ?
5.      Apa saja macam-macam hadits ?
6.       Bagaimana pembentukan dan sejarah hadits ?

C.       TUJUAN  PENULISAN
Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yakni :
1.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pengertian as-sunnah.
2.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang dasar as-sunnah sebagai sumber hukum islam.
3.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang kedudukan dan fungsi as-sunnah terhadap al-qur'an. 
4.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang istilah-istilah dalam ilmu hadits.
5.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang macam-macam hadits.
6.     Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pembentukan dan sejarah hadits.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN AS-SUNNAH
As-Sunnah menurut bahasa الطريقة berarti adalah kebiasaan atau jalan atau dijalani. Sunah menurut bahasa juga mengandung arti : jalan yang ditempuh; cara atau jalan yang sudah terbiasa; serta sebagai lawan dari kata bid’ah.
Dapat pula diartikan sebagai suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :
من سن فى الا سلام سنة حسنة فله اجره واجر من عمل بها من بعده
Artinya :“Barang siapa yang membiasakan suatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.” (HR. Muslim)
Secara terminologi, pengertian As- Sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu, yakni :
1.      Ilmu Hadist, para ahli hadist mengidentikkan Sunnah dengan hadist yakni segala sesuatu yang berasal (disandarkan) kepada Rasulullah saw., baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyyah), maupun penetapan pengakuan (taqririyyah). Jadi, jelas bahwa semua yang ada pada diri Rasulullah saw., adalah sebagai suri teladan bagi umatnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah swt :
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah swt.” (QS. Al-Ahzab : 21)
2.      Ilmu Ushul Fiqih, menurut ulama ahli Ushul Fiqih, Sunnah adalah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3.      Ilmu Fiqih, pengertian Sunnah menurut ahli Fiqih hampir sama dengan pengertian ahli ushul fiqih. Akan tetapi, istilah Sunnah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Yang dimaksud dengan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam ialah bahwa  selain terhadap Al-Qur’an, seluruh umat  Islam wajib menjadikan As-Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup, menyandarkan segala permasalahan hidupnya kepada As-Sunnah.
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mengatakan bahwa “Al-Qur'an dan As-Sunnah merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang saling terkait, seseorang muslim tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam tanpa kembali kepada kedua sumber hukum tersebut. Mujtahid atau orang ‘alim memerlukan keduanya.”

B.       DASAR AS-SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Banyak ayat Al-Qur'an atau Al-Hadist menjelaskan bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam, selain Al-Qur'an yang wajib diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur'an baik yang bersifat perintah maupun larangan.
Untuk mengetahui dasar-dasar bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini :
1.          Dalil Al-Qur'an
Banyak ayat Al-Qur'an menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup, antara lain : Qs. Ali Imran  : 179 dan Qs. An-Nisa :136
ما كان الله ليذر المؤمنين على ما انثم عليه حتى يميز الخبيث من الطيب وما كان الله ليطلعكم على الغيب ولكن الله يجتبي من رسله من يشاء فامنوا بالله ورسله وان تؤمنوا وتتقوا فلكم اجر عظيم
Artinya : “Allah swt sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). dan Allah swt sekali-kali tidak akan memperhatikan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah swt memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah swt dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”
يا ايها الذين امنوا امنوا بالله ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله والكتاب الذي انزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخرفقد ضل ضلا لا بعيدا    
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah swt turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” 
Dari ayat-ayat tersebut, dapat dikaitkan dengan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dapat ditarik pemahaman bahwa :
a.       Selain mempercayai Allah swt, umat Islam wajib mempercayai Rasul-Nya.
b.      Umat Islam wajib menaati semua yang bersumber dari Rasul, baik berupa perintah (harus dilaksanakan) maupun larangannya (wajibb ditinggalkan).
c.       Allah swt mengancam kepada orang-orang yang tidak mempercayai dan menaati Rasul-rasul Allah swt.   
2.         Dalil Al-Hadist
Selain Al-Qur'an, Al-Hadist juga menjelaskan tetang kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, antara lain :
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
Artinya :“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada keduanya (yaitu) kitab Allah swt (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul-Nya.”
Hadist tersebut menjelaskan kepada kita bahwa umat Islam wajib berpegang teguh kepada As-Sunnah dan menjadikannya sebagai pedoman hidup dan sumber hukum dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapinya, sebagaimana mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya.
3.         Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan As-Sunnah sebagai salah satu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah swt dan Rasul-Nya. Mereka menerima As-Sunnah seperti halnya mereka menerima Al-Qur'an. Keduanya dijadikan sumber hukum Islam. Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai dan menerima serta mengamalkan segala ketentuan yang terkandung  dalam As-Sunnah terus berlanjut sejak masa Rasul masih hudup, sepeninggal beliau, mulai zaman khulafa Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya.
4.         Sesuai Dengan Petunjuk Akal
Selain Al-Qur'an, Al-Hadist dan Ijma’ ulama mengatakan bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, akal pun menyatakan bahwa konsekuensi mempercayai Muhammad sebagai Rasulullah mengharuskan menerima dan menaati segala yang beliau perintahkan dan meninggalkan yang beliau larang. Suatu kepercayaan tanpa dibarengi oleh penerimaan dan ketaatan terhadap apa yang dipercayai adalah bohong.

C.      KEDUDUKAN DAN FUNGSI AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR'AN
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, jelaslah bahwa kedudukan As-Sunnah sangat kuat dan siapa yang mengingkarinya tergolong kafir. Hal ini tidak berarti mengurangi kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, sebab di dalam Al-Qur'an masih banyak ayat yang bersifat umum dan global yang memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasul, yaitu berupa sunahnya. Tanpa penjelasan dari As-Sunnah, banyak ketentuan Al-Qur'an yang belum bisa dilaksanakan. Maka dari itu, peran Sunah terhadap Al-Qur'an, sebagai berikut :
1.      Sunah Sebagai Penjelas (Bayanu Tasyri’)
بالبينات والزبر وانزلنا اليك الذ كر لتبين للناس ما نزل اليهم و لعلهم يتفكرون
Artinya : “Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Qs. An-Nahl : 44)
Diakui bahwa sebagiaan umat Islam tidak mau menerima Sunnah padahal dari mana mereka mengetahui bahwa shalat Zhuhur itu empat rakaat, maghrib tiga rakaat, dan sebagainya kalau bukan dari Sunnah.
Maka jelaslah bahwa Sunnah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur'an, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur'an. Penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur'an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yakni :
a.        Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur'an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal ini dijelaskan oleh Sunnah sebagaimana sabda Rasulullah :
صلوا كما رايتمونى اصلى
 Artinya : “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.”
b.      Penguat secara mutlaq, Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur'an.
c.       Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur'an yang masih umum.
2.      Sunah Membawa Hukum (Musyar’i)
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur'an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunatkannya aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat :
a.       Sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur'an.
b.      Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur'an,tetapi  hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur'an.
3.      Sunah Memperkuat Ketentuan yang Telah Ditetapkan dalam Nash Al-Qur'an.
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak heran kalau banyak sekali Sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakaat, puas, larangan musyrik, dan lain-lain.

D.       ISTILAH- ISTILAH DALAM ILMU HADITS
Dalam hadits, ada terdapat istilah dan struktur hadits. Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad, matan dan rawi.
Contoh hadits : Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
1.   Sanad
Kata sanad menurut bahasa berasal dari kata sanada-yasnudu yang berarti sandaran atau tempat bersandar, tempat berpegang yang dipercaya atau sah.
Sanad ialah rangkaian periwayat yang menukilkan hadits secara berkesinambung dari yang satu kepada yang lain sehingga sampai kepada periwayat terakhir. Dapat pula diartikan sebagai rantai penutur atau perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya, maka sanad hadits yang bersangkutan adalah : Al Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad saw.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah : keutuhan sanadnya, jumlahnya dan perawi akhirnya. 
2.      Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi (tanah yang meninggi). Secara terminologis, matan adalah isi yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Atau dengan kata lain matan ialah redaksi dari hadits. Contoh matan dari hadits sebelumnya ialah : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri.”
Terkait dengan matan, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadits ialah :
a.       Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad saw atau bukan.
b.      Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat Al-Qur'an apakah ada yang bertolak belakang.
3.      Rawi
Kata rawi atau arawi, berarti orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits. Sedangkan secara terminologis rawi adalah orang yang menerima suatu hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqahnya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya. Namun, yang membedakan kedua istilah di atas, jika dilihat dari 2 hal yaitu :
a.       Dalam Hal Pembukuaan Hadits
Orang yang menerima hadits kemudian mengumpulkannya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwir. Kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya menyampaikan kepada orang lain tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap thabaqahnya, tetapi tidak semua perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung membukukan.
b.      Dalam Penyebutan Silsilah Hadits
Untuk susunan sanah berbeda dengan penyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimannya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasulullah saw. dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalaah rawi hadits.
              
E.     MACAM-MACAM HADITS
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (pewirayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
1.      Berdasarkan Ujung Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu’ :
a.       Hadits Marfu’ ialah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad.
b.      Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat Nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh : Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan : “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat “Kami dperintahkan…”, “Kami dilarang untuk …”, “Kami terbiasa … jika sedang bersama Rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
c.       Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in (penerus). Contohnya : Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan : “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”. Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada bebberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah saw dari ucapan para sahabat maupun tabi’in dimana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Science of Hadits).
2.      Berdasarkan Keutuhan Rantai atau Lapisan Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati’, Mu’allaq, Mu’dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat hadits > penutur 4 > penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) > penutur 1 (para sahabat) > Rasulullah saw.
a.       Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
b.      Hadits Mursal adalah bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah saw. Contoh : seorang tabi’in (penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya.
c.       Hadits Munqati’, bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3.
d.      Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
e.       Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1. Contoh : “Seorang pencatat hadits mengaatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw mengatakan ….” Tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
3.      Berdasarkan Jumlah Penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
a.       Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits Mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terhadap perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat).
b.      Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits Ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
1)      Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur).
2)      Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan).
3)      Manshur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai deraajat mutawatir.
4.      Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasiyang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni :
a.       Hadits Shahih ialah tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)      Sanadnya bersambung.
2)      Diriwayatkan oleh penutur atau perawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga kehormatannya, dan kuat ingatannya.
3)      Matannya tidak mengandung kejanggalan atau bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits.
b.      Hadits Hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
c.       Hadits Dhaif (lemah) ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
d.      Hadits Maudu ialah hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinaan berdusta. dapat pula diartikan sebagai suatu perkataan orang yang dikatakan sebagai sabda Nabi atau suatu perbuatan tertentu yang disebutkan sebagai perbuatan nabi, padahal nabi tidak pernah mengerjakannya. Motif-motif pembuatan hadits palsu ini, yakni :
1)      Politik dan kepemimpinan.
2)      Fanatisme golongan dan bahasa.
3)      Kejahatan untuk sengaja mengotori agama Islam.
4)      Dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama.
5)      Soal-soal fikih dan pendapat dalam ilmu kalam.
6)      Kesehatan-kesehatan sejarah, dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri hadits maudhu antara lain :
1)      Pengakuan pembuatnya.
2)      Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits palsu.
3)       Bertentangan dengan akal pikiran dan ketentuan aqidah Islam serta ketentuan agama yang sudah qath’i.
4)      Mengandung obral pahala dengan amal yang sangat sederhana.
5)      Mengandung kultus-kultus individu.
6)      Bertentangan dengan fakta sejarah.

F.     PEMBENTUKAN DAN SEJARAH HADITS
Hadits sebagai kitab berisi tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad saw sebagai Rasul. Berita tersebut di dapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.
1.      Masa Pembentukan Hadits
Masa pembentukan hadits tidak lain masa kerasulan Nabi Muhammad saw itu sendiri, lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad saw sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al-Qur'an, namun setelah beberapa waktu, Nabi saw membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain. Periode ini dimulai sejak Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M – 632 M).
2.      Masa Penggalian
Masa ini adalah masa para sahabat besar dan tabi’in, di mulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sabahat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber umatnya.
3.      Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedy perebutan kedudukan kekhallifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengaan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenai betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan. Penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu’ dan mana yang mauquf’, dan mana yang maqthu’.
4.      Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad saw, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi Muhammad saw), mana yang mauquf (berisi perilaku sahabat) dan mana yang maqthu’ (berisi perilaku tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain dikelompokkan, juga dilakukan penelitian sanad dan rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi atau vertifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad 4 H.



BAB III
PENUTUP

A.       KESIMPULAN
As-Sunnah menurut bahasa الطريقة berarti adalah kebiasaan atau jalan atau dijalani. Sunah menurut bahasa juga mengandung arti : jalan yang ditempuh; cara atau jalan yang sudah terbiasa; serta sebagai lawan dari kata bid’ah.
Secara terminologi, pengertian As- Sunnah yakni segala sesuatu yang berasal (disandarkan) kepada Rasulullah saw., baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyyah), maupun penetapan pengakuan (taqririyyah).
Kedudukan  Sunah terhadap Al-Qur'an, sebagai berikut : a) sunah sebagai penjelas (bayanu tasyri’); sunah membawa hukum (musyar’i); serta sunah memperkuat ketentuan yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur'an.
Dalam hadits, ada terdapat istilah dan struktur hadits. Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad, matan dan rawi.
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (pewirayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
Hadits sebagai kitab berisi tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad saw sebagai Rasul. Berita tersebut di dapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.
Sejarah masa pembentukan As-sunnah yaitu masa pembentukan hadits, masa penggalian, masa penghimpunan, serta masa pendiwanan dan penyusunan.

B.     SARAN-SARAN
1.      Sebagai umat Islam, wajib bagi kita mempelajari As-sunnah atau hadits.
2.      Kita pun harus menghormati ahlul bait atau keturunan Nabi Muhammad saw, karena mereka merupakan warisan nabi yang masih tetap ada sampai saat ini.
3.      Kita harus mampu mengetahui mana hadits yang asli mana yang palsu.


DAFTAR  PUSTAKA

Suparta, Mundzier dan Djedjen Zainuddin. 2007. Pendidikan Agama Islam Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. PT Karya Toha Putra : Semarang.
Syafe’I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. PT Pustaka Setia : Bandung.

No comments:

Post a Comment