Nama : Raihanatun Nisa
Lok/Smt : G / IV
M.
Kuliah : Pengelolaan Kelas
Guruku, Insinyurku
Akulah Tono, anak dari kampung asli Betawi. Aku hanyalah anak
biasa, terlahir dari keluarga sederhana. Namun sama seperti halnya anak
lainnya, akupun ingin mengapai cita-cita setinggi mungkin. Cita-citaku adalah
menjadi seseorang yang mampu membuat desain dan denah-denah rumah. Karena aku
yakin itu adalah pekerjaan yang selalu dibutuhkan oleh orang-orang dalam membangun
rumah atau gedung. Untuk itu, orang tuaku rela menjual tanah milik mereka hanya
untuk menggapai cita-citaku. Maklum aku adalah anak tunggal.
Kini aku telah menamatkan kuliahku di sebuah perguruan tinggi
swasta yang ada di Jakarta. Aku pun berusaha melamarpekerjaan di perusahaan
swasta. Namun tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerima aku bekerja.
Akhirnya aku frustasi dan kembali ke kampung.
Saat berjalan-jalan di perpustakaan kota, aku
tertarik pada buku tentang pembuatan ondel-ondel. Ya, ondel-ondel adalah
kesenian Betawi yang kini makin punah. Manun, saat aku ingin mengambil buku
itu, ternyata ada orang lain yang menginginkan buku itu. Dia seorang wanita
cantik, yang bernama Della. Akhirnya kami berkenalan dan aku pun mengetahui
bahwa dia adalah lulusan komunikasi di Universitas Negeri yang mengajar
anak-anak di kampung sebelah. Dalam benakku dia mengajar di sekolah formal. Aku
pun mulai tertarik dan ingin berkunjung ke sekolahnya. Dellapun mempersilahkan
akan niat baikku itu.
Dua hari kemudian, aku datang ke sekolahnya. Berbekal alamat yang
diberikan Della waktu dulu, akhirnya aku menemukan sekolah tersebut. Ternyata
aku salah besar. Sekolah yang aku sangka seperti sekolah pada umumnya, ternyata
hanyalah bangunan kecil yang terdiri atas 2 tempat, yakni kantor dan ruang
kelas. Ruang kelas itu pun tidaklah besar, hanya terdiri dari sepuluh anak. Aku
pun berbincang-bincang dengan kepala sekolah yang bernama Bang Jo. Entah kenapa
aku sedikit tertarik untuk menjadi guru di sana, walau pun aku meragu karena
tak tau bagaimana cara mengajar, sebab aku bukan dari latar belakang jurusan
pendidikan. Mungkin ini dikarenakan aku telah frustasi mencari kerja dan
melampiaskannya dengan mengajar, toh ketimbang aku menganggur di rumah.
Besoknya aku mulai mengajar, ternyata mengajar bukanlah hal yang
gampang untuk aku lakukan. Di dalam kelas kulihat anak-anak dengan berbagai
macam sikap. Pagi ini ku awali dengan perkenalan sebelum memulai pelajaran.
Ternyata mereka anak dari keluarga kurang mampu, ada yang pekerjaannya memulung
sampah, mengemis, bahkan meminta-minta di Jakarta. Setelah perkenalan, ku buka
pelajaran dengan IPS, khususnya tentang kota Jakarta. Aku menulis di papan
tulis sambil menjelaskan, namun anak-anak begitu ribut. Ku coba untuk
menenangkannya dan berhasil, naamun itu tidak berlangsung lama. Saat aku
kembali melanjutkan menulis, mereka kembali ribut, ada yang bermain, ada yang
kejar-kejaran, dan lain-lain. Akhirnya dengan kesabaran yang hampir hilang, ku
pukul papan tulis itu dengan tanganku. Semua anak terdiam, terpaku dan
terkejut. Mungkin Della dan kepala sekolah tidak pernah melakukan hal ini.
Akhirnya anak-anak diam, menulis dan mendengarkan penjelasanku.
Hari selanjutnya aku kembali mengajar. Kali ini aku mengajar
pelajaran Matematika. Namun ternyata banyak anak yang tak mampu berhitung. Itu
dibuktikan dengan sedikitnya anak yang mampu menjawab pertanyaanku, selebihnya
mereka hanya bermain dengan teman sebelahnya, atau asyik sendiri. Aku menjadi
bingung bagaimana cara ku harus mengajarkan mereka, sedangkan untuk berhenti
aku malu, apalagi terhadap Della. Masa belum sampai satu minggu aku langsung
mengundurkan diri ?
Aku jalani kegiatan mengajarku dengan keadaan seadanya, sampai
kepala sekolah memanggilku dan menanyakan mengapa anak yang paling pintar di
kelas nilainya menurun. Aku hanya terdiam, bingung untuk menjawab pertanyaan
beliau.
Sepulang sekolah aku pun masih bingung memikirkan tentang semua
ini. Bagaimana caranya agar aku berhasil mengajar. Aku tahu cara mengajarku
salah, tak menarik perhatian anak-anak tersebut. Karena terlalu melamun di
jalan, hampir saja aku menabrak penjual buah. Dan entah kerasukan makhluk mana,
aku mendapat ide baru untuk mengajarku.
Keesokan harinya, aku ajak mereka keluar ruangan. Sambil duduk di
bawah kenaungan pohon yang lumayan besar di depan sekolah, aku ajak mereka
untuk belajar matematika sambil memandangi buah dan sayur yang tergantung di
dahan pohon tersebut.
“Anak-anak siapa yang tau jumlah harganya. Mangga satunya harganya
1000, kalau mangganya ada tiga, berapa harga semuanya ? Hayo tebak. Siapa yang
bisa menebak, bapak kasih mangga.”
Semua anak sibuk berhitung, ada yang menggunakan jari-jarinya, ada
yang menghitung dikertas, ada yang nunjuk-nunjuk ke buah mangga sambil
membayangkan hitungannya. Dalam waktu kurang dua menit, ternyata ada beberapa
anak yang mengacungkan jarinya ke atas, berusaha menjawab pertanyaan dengan
harapan dapat membawa pulang buah mangga. Kan lumayan dapat mangga gratis hanya
bermodal akal dan suara.. hehehe
“Jumlahnya tiga ribu, Pak.” Jawab Riska, anak yang paling cerds di
kelas.
Riska pun akhirnya mendapatkan buah mangga tersebut. Wajahnya
begitu berseri-seri setelah mendapatkan buah mangga tersebut. Anak-anak lain
pun bersemangat untuk menyimak soal berikutnya dengan harapan mendapat buah
atau sayur lainnya. Terkadang ada anak yang salah menjawab, terkadang ada yang
benar. Hari ini pun ku lalui kelas dengan suasana yang berbeda dari biasanya.
Aku mulai tertarik dan senang bersama mereka.
Hari-hari berikutnya aku pun mengajar dengan cara yang
bermacam-macam, kadang dengan benda-benda sekitar, dengan bermain, atau tebak
hal. Seakan tidak ada pembatas antara aku dengan mereka, namun mereka tetap
menghormati aku sebagai guru mereka.
Siang itu, saat sesampainya aku di rumah, kulihat wajah orang tuaku
tersenyum bahagia. Aku sedikit heran
melihat tingkah mereka yang tidak seperti biasanya. Ternyata ada surat dari
perusahaan yang mana mereka menerima aku bekerja di perusahaan mereka. Oh tidak
!!! aku telah jatuh cinta pada pekerjaanku saat ini, tapi aku juga tidak tega
bila harus menghapus kebahagiaan orang tuaku. Akhirnya aku hanya bisa
mengiyakan bahwa aku akan ke kota untuk mendatangi perusahaan itu, walau
sebenarnya hatiku bimbang.
Keesokan harinya, sebelum aku ke kota, aku singgah ke sekolah. Ku
lihat Della dan kepala sekolah tampak murung. Ternyata Riska, tidak bersekolah,
karena dilarang orang tuanya. Akhirnya
aku dan Della mendatangi tempat tinggal Riska dan orang tuanya. Ternyata
tempat tinggalnya hanyalah gubuk reot. Riska yang belajar di teras terkejut
melihat kedatangan kami. Dia kemudian lari menjauhi kami. Kami pun mengejarnya.
Karena kurang hati-hati, akhirnya dia tersandung dan jatuh. Kami
menghampirinya. Kulihat dia begitu takut dan menangis. Della pun mencoba
menenangkannya. Tiba-tiba ayah Riska dan muncul dan menjelaskan bahwa Riska
harus membantu ayahnya menjadi pemulung karena ibunya sedang sakit. Kami pun
mencoba meyakinkan ayahnya bahwa pendidikan itu sangat penting bagi anak seusia
Riska. Tentunya dia tak ingin anaknya menjadi pemulung dan hidup miskin. Hanya
dengan ilmulah, keluarga mereka dapat terangkat derajatnya. Ayah Riska pun
luluh hatinya dan menangis. Akhirnya dia mengizinkan Riska kembali bersekolah
dan membantu orang tuanya pada siang dan sore hari saja.
Karena kejadian tadi, akhirnya aku tak sempat berangkat ke kota.
Sepulang ke rumah, orang tuaku bertanya tentang pekerjaan baruku. Aku hanya
bisa menjawab menyenangkan, padahal aku telah berbohong dengan mereka, aku
takut mereka tahu dan marah.
Entah siapa yang memberitahu kebenaran itu. Akhirnya aku ketahuan
telah berbohong. Mereka marah, karena telah banyak bekorban untuk mengkuliahkan
aku, ternyata aku hanya mengajar saja. Bahkan aku telah menyia-nyiakan
kesempatan bagus untuk bekerja kantoran.
Seminggu kemudian, kulihat kepala sekolah dan Della tampak ceria
saat menyambut kedatanganku di kantor. Mereka pun memberikan selembaran kertas
yang berisi lomba pawai antar sekolah se kecamatan. Kepala sekolah mengusulkan
mengangkat tema Betawi khususnya ondel-ondel. Aku pun menyetujuinya. Akhirnya
kami sepakat untuk ikut lomba tersebut. Ada waktu 2 minggu untuk membuatnya.
Kemudian Dellla memberikan selembaran kertas lagi kepadaku. Ternyata itu lomba
membuat desain bangunan sekolah terbagus dengan waktu satu bulan. Della pun
menyarankan aku untuk ikut, tapi aku kurang yakin mampu menyelesaikannya dalam
waktu sesempit itu. Namun mereka berdua mencoba meyakinkanku, dan akan membantu
aku dalam proses pembuatannya. Akhirnya aku pun mengiyakannya.
Waktu terus berlalu, mulai dari kepala sekolah, Della, dan
anak-anak ikut berperan serta dalam pembuatan ondel-ondel untuk lomba sekolah.
Mereka ingin membuktikan bahwa mereka juga dapat berkarya sama baiknya dengan
sekolah Dasar walau dalam keterbatasan. Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba,
kami dapat menampilkan ondel-ondel hasil karya kami. Kami bangga dengan
penampilan kami.
Satu bulan kemudian, kepala sekolah membawa kabar gembira kepada
kami semua. Ternyata sekolah kami menang sebagai juara satu serta aku pun
berhasil menang lomba membuat desain sekolah terbagus. Aku pun sangat senang
akan kedua hal itu, apalagi aku mendapatkan uang 75 juta. Tentu ini akan
membuat orang tuaku senang. Namun kabar buruknya, aku diterima di perusahaan
yang mensponsori lomba yang ku ikuti tersebut. Dengan kata lain, aku akan
berpisah dengan sekolah ini. Akan-anak yang mendengar langsung menangis dan
berhamburan memeluk tubuhku. Aku sangat menyayangi mereka, seakan mereka
keluargaku sendiri. Namun dengan berat hati, aku akan berpisah dengan mereka.
Besok harinya aku bekerja di perusahaan itu. Hari-hari ku lalui
terasa hampa. Tak ada canda tawa dari anak-anak yang lugu. Semuanya terasa kaku
dan hambar di kantor. Aturan begitu mengikat sehingga aku tak betah disana.
Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke sekolah itu dan berhenti bekerja di
perusahaan. Ku coba beranikan diri untuk mengatakan kepada orang tuaku. Karena
aku tak ingin membuat mereka marah untuk kedua kalinya. Kujelaskan bahwa aku
lebih senang mengajar, ketimbang kerja kantoran. Lagian aku dapat membuat
desain rumah sambil mengajar. Akhirnya orang tuaku pun menerima dan yakin bahwa
menjadi guru itu mulia karena mencerdaskan anak-anaknya.
Aku pun kembali kesekolah itu secara dadakan. Begitu senang hati mereka
saat tahu akku kembali ke sekolah itu.
T A M A T
Sumber :
Cerita bioskop
Indonesia Trans TV tahun 2011
No comments:
Post a Comment