Thursday, November 21, 2013

cerita



Nama        :           Raihanatun   Nisa
Lok/Smt   : G  /  IV
M. Kuliah :           Pengelolaan   Kelas

Guruku, Insinyurku

Akulah Tono, anak dari kampung asli Betawi. Aku hanyalah anak biasa, terlahir dari keluarga sederhana. Namun sama seperti halnya anak lainnya, akupun ingin mengapai cita-cita setinggi mungkin. Cita-citaku adalah menjadi seseorang yang mampu membuat desain dan denah-denah rumah. Karena aku yakin itu adalah pekerjaan yang selalu dibutuhkan oleh orang-orang dalam membangun rumah atau gedung. Untuk itu, orang tuaku rela menjual tanah milik mereka hanya untuk menggapai cita-citaku. Maklum aku adalah anak tunggal.
Kini aku telah menamatkan kuliahku di sebuah perguruan tinggi swasta yang ada di Jakarta. Aku pun berusaha melamarpekerjaan di perusahaan swasta. Namun tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerima aku bekerja. Akhirnya aku frustasi dan kembali ke kampung.
  Saat berjalan-jalan di perpustakaan kota, aku tertarik pada buku tentang pembuatan ondel-ondel. Ya, ondel-ondel adalah kesenian Betawi yang kini makin punah. Manun, saat aku ingin mengambil buku itu, ternyata ada orang lain yang menginginkan buku itu. Dia seorang wanita cantik, yang bernama Della. Akhirnya kami berkenalan dan aku pun mengetahui bahwa dia adalah lulusan komunikasi di Universitas Negeri yang mengajar anak-anak di kampung sebelah. Dalam benakku dia mengajar di sekolah formal. Aku pun mulai tertarik dan ingin berkunjung ke sekolahnya. Dellapun mempersilahkan akan niat baikku itu.
Dua hari kemudian, aku datang ke sekolahnya. Berbekal alamat yang diberikan Della waktu dulu, akhirnya aku menemukan sekolah tersebut. Ternyata aku salah besar. Sekolah yang aku sangka seperti sekolah pada umumnya, ternyata hanyalah bangunan kecil yang terdiri atas 2 tempat, yakni kantor dan ruang kelas. Ruang kelas itu pun tidaklah besar, hanya terdiri dari sepuluh anak. Aku pun berbincang-bincang dengan kepala sekolah yang bernama Bang Jo. Entah kenapa aku sedikit tertarik untuk menjadi guru di sana, walau pun aku meragu karena tak tau bagaimana cara mengajar, sebab aku bukan dari latar belakang jurusan pendidikan. Mungkin ini dikarenakan aku telah frustasi mencari kerja dan melampiaskannya dengan mengajar, toh ketimbang aku menganggur di rumah.
Besoknya aku mulai mengajar, ternyata mengajar bukanlah hal yang gampang untuk aku lakukan. Di dalam kelas kulihat anak-anak dengan berbagai macam sikap. Pagi ini ku awali dengan perkenalan sebelum memulai pelajaran. Ternyata mereka anak dari keluarga kurang mampu, ada yang pekerjaannya memulung sampah, mengemis, bahkan meminta-minta di Jakarta. Setelah perkenalan, ku buka pelajaran dengan IPS, khususnya tentang kota Jakarta. Aku menulis di papan tulis sambil menjelaskan, namun anak-anak begitu ribut. Ku coba untuk menenangkannya dan berhasil, naamun itu tidak berlangsung lama. Saat aku kembali melanjutkan menulis, mereka kembali ribut, ada yang bermain, ada yang kejar-kejaran, dan lain-lain. Akhirnya dengan kesabaran yang hampir hilang, ku pukul papan tulis itu dengan tanganku. Semua anak terdiam, terpaku dan terkejut. Mungkin Della dan kepala sekolah tidak pernah melakukan hal ini. Akhirnya anak-anak diam, menulis dan mendengarkan penjelasanku.
Hari selanjutnya aku kembali mengajar. Kali ini aku mengajar pelajaran Matematika. Namun ternyata banyak anak yang tak mampu berhitung. Itu dibuktikan dengan sedikitnya anak yang mampu menjawab pertanyaanku, selebihnya mereka hanya bermain dengan teman sebelahnya, atau asyik sendiri. Aku menjadi bingung bagaimana cara ku harus mengajarkan mereka, sedangkan untuk berhenti aku malu, apalagi terhadap Della. Masa belum sampai satu minggu aku langsung mengundurkan diri ?
Aku jalani kegiatan mengajarku dengan keadaan seadanya, sampai kepala sekolah memanggilku dan menanyakan mengapa anak yang paling pintar di kelas nilainya menurun. Aku hanya terdiam, bingung untuk menjawab pertanyaan beliau.
Sepulang sekolah aku pun masih bingung memikirkan tentang semua ini. Bagaimana caranya agar aku berhasil mengajar. Aku tahu cara mengajarku salah, tak menarik perhatian anak-anak tersebut. Karena terlalu melamun di jalan, hampir saja aku menabrak penjual buah. Dan entah kerasukan makhluk mana, aku mendapat ide baru untuk mengajarku.
Keesokan harinya, aku ajak mereka keluar ruangan. Sambil duduk di bawah kenaungan pohon yang lumayan besar di depan sekolah, aku ajak mereka untuk belajar matematika sambil memandangi buah dan sayur yang tergantung di dahan pohon tersebut.
“Anak-anak siapa yang tau jumlah harganya. Mangga satunya harganya 1000, kalau mangganya ada tiga, berapa harga semuanya ? Hayo tebak. Siapa yang bisa menebak, bapak kasih mangga.”
Semua anak sibuk berhitung, ada yang menggunakan jari-jarinya, ada yang menghitung dikertas, ada yang nunjuk-nunjuk ke buah mangga sambil membayangkan hitungannya. Dalam waktu kurang dua menit, ternyata ada beberapa anak yang mengacungkan jarinya ke atas, berusaha menjawab pertanyaan dengan harapan dapat membawa pulang buah mangga. Kan lumayan dapat mangga gratis hanya bermodal akal dan suara.. hehehe
“Jumlahnya tiga ribu, Pak.” Jawab Riska, anak yang paling cerds di kelas.
Riska pun akhirnya mendapatkan buah mangga tersebut. Wajahnya begitu berseri-seri setelah mendapatkan buah mangga tersebut. Anak-anak lain pun bersemangat untuk menyimak soal berikutnya dengan harapan mendapat buah atau sayur lainnya. Terkadang ada anak yang salah menjawab, terkadang ada yang benar. Hari ini pun ku lalui kelas dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Aku mulai tertarik dan senang bersama mereka.
Hari-hari berikutnya aku pun mengajar dengan cara yang bermacam-macam, kadang dengan benda-benda sekitar, dengan bermain, atau tebak hal. Seakan tidak ada pembatas antara aku dengan mereka, namun mereka tetap menghormati aku sebagai guru mereka.
Siang itu, saat sesampainya aku di rumah, kulihat wajah orang tuaku tersenyum bahagia. Aku sedikit  heran melihat tingkah mereka yang tidak seperti biasanya. Ternyata ada surat dari perusahaan yang mana mereka menerima aku bekerja di perusahaan mereka. Oh tidak !!! aku telah jatuh cinta pada pekerjaanku saat ini, tapi aku juga tidak tega bila harus menghapus kebahagiaan orang tuaku. Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan bahwa aku akan ke kota untuk mendatangi perusahaan itu, walau sebenarnya hatiku bimbang.
Keesokan harinya, sebelum aku ke kota, aku singgah ke sekolah. Ku lihat Della dan kepala sekolah tampak murung. Ternyata Riska, tidak bersekolah, karena dilarang orang tuanya. Akhirnya  aku dan Della mendatangi tempat tinggal Riska dan orang tuanya. Ternyata tempat tinggalnya hanyalah gubuk reot. Riska yang belajar di teras terkejut melihat kedatangan kami. Dia kemudian lari menjauhi kami. Kami pun mengejarnya. Karena kurang hati-hati, akhirnya dia tersandung dan jatuh. Kami menghampirinya. Kulihat dia begitu takut dan menangis. Della pun mencoba menenangkannya. Tiba-tiba ayah Riska dan muncul dan menjelaskan bahwa Riska harus membantu ayahnya menjadi pemulung karena ibunya sedang sakit. Kami pun mencoba meyakinkan ayahnya bahwa pendidikan itu sangat penting bagi anak seusia Riska. Tentunya dia tak ingin anaknya menjadi pemulung dan hidup miskin. Hanya dengan ilmulah, keluarga mereka dapat terangkat derajatnya. Ayah Riska pun luluh hatinya dan menangis. Akhirnya dia mengizinkan Riska kembali bersekolah dan membantu orang tuanya pada siang dan sore hari saja.
Karena kejadian tadi, akhirnya aku tak sempat berangkat ke kota. Sepulang ke rumah, orang tuaku bertanya tentang pekerjaan baruku. Aku hanya bisa menjawab menyenangkan, padahal aku telah berbohong dengan mereka, aku takut mereka tahu dan marah.
Entah siapa yang memberitahu kebenaran itu. Akhirnya aku ketahuan telah berbohong. Mereka marah, karena telah banyak bekorban untuk mengkuliahkan aku, ternyata aku hanya mengajar saja. Bahkan aku telah menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk bekerja kantoran.
Seminggu kemudian, kulihat kepala sekolah dan Della tampak ceria saat menyambut kedatanganku di kantor. Mereka pun memberikan selembaran kertas yang berisi lomba pawai antar sekolah se kecamatan. Kepala sekolah mengusulkan mengangkat tema Betawi khususnya ondel-ondel. Aku pun menyetujuinya. Akhirnya kami sepakat untuk ikut lomba tersebut. Ada waktu 2 minggu untuk membuatnya. Kemudian Dellla memberikan selembaran kertas lagi kepadaku. Ternyata itu lomba membuat desain bangunan sekolah terbagus dengan waktu satu bulan. Della pun menyarankan aku untuk ikut, tapi aku kurang yakin mampu menyelesaikannya dalam waktu sesempit itu. Namun mereka berdua mencoba meyakinkanku, dan akan membantu aku dalam proses pembuatannya. Akhirnya aku pun mengiyakannya.
Waktu terus berlalu, mulai dari kepala sekolah, Della, dan anak-anak ikut berperan serta dalam pembuatan ondel-ondel untuk lomba sekolah. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka juga dapat berkarya sama baiknya dengan sekolah Dasar walau dalam keterbatasan. Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba, kami dapat menampilkan ondel-ondel hasil karya kami. Kami bangga dengan penampilan kami.
Satu bulan kemudian, kepala sekolah membawa kabar gembira kepada kami semua. Ternyata sekolah kami menang sebagai juara satu serta aku pun berhasil menang lomba membuat desain sekolah terbagus. Aku pun sangat senang akan kedua hal itu, apalagi aku mendapatkan uang 75 juta. Tentu ini akan membuat orang tuaku senang. Namun kabar buruknya, aku diterima di perusahaan yang mensponsori lomba yang ku ikuti tersebut. Dengan kata lain, aku akan berpisah dengan sekolah ini. Akan-anak yang mendengar langsung menangis dan berhamburan memeluk tubuhku. Aku sangat menyayangi mereka, seakan mereka keluargaku sendiri. Namun dengan berat hati, aku akan berpisah dengan mereka.
Besok harinya aku bekerja di perusahaan itu. Hari-hari ku lalui terasa hampa. Tak ada canda tawa dari anak-anak yang lugu. Semuanya terasa kaku dan hambar di kantor. Aturan begitu mengikat sehingga aku tak betah disana. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke sekolah itu dan berhenti bekerja di perusahaan. Ku coba beranikan diri untuk mengatakan kepada orang tuaku. Karena aku tak ingin membuat mereka marah untuk kedua kalinya. Kujelaskan bahwa aku lebih senang mengajar, ketimbang kerja kantoran. Lagian aku dapat membuat desain rumah sambil mengajar. Akhirnya orang tuaku pun menerima dan yakin bahwa menjadi guru itu mulia karena mencerdaskan anak-anaknya.
Aku pun kembali kesekolah itu secara dadakan. Begitu senang hati mereka saat tahu akku kembali ke sekolah itu.

T A M A T


Sumber :
Cerita bioskop Indonesia Trans TV tahun 2011

No comments:

Post a Comment