Thursday, November 21, 2013

filsafat



BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan (the mother of sciences) pada dasarnya bermaksud untuk menjawab seluruh problematika yang ada maupun yang mungkin ada. Masalah yang berkaitan dengan trilogi metafisika, yaitu manusia, Tuhan dan alam beserta problematikanya menjadi issu utama yang yang menjadi kajian filsafat. Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat, ternyata ada banyak berbagai masalah kemanusiaan yang tidak mampu dijawab oleh filsafat. Maka lahirnya ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan jawaban atas kegagalan filsafat dalam menjawab problem kemanusiaan universal.
Sejarah membuktikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan menunjukkan filsafat tidak lagi menjadi unsur dominan dalam penyelesaian berbagai masalah yang muncul, meskipun filsafat tetap memberikan kontribusi besar bagi lahir dan perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak hal yang semula menjadi obyek kajian filsafat, tetapi dalam perkembanganya kini telah menjadi topik pokok perhatian dari ilmu pengetahuan. Lahirnya ilmu-ilmu kealaman (astronomi, fisika, matematika), ilmu kemanusiaan (biologi, kedokteran, fisiologi, psikologi, antropologi, sosiologi, bahkan sampai pendidikan) dan lain-lain adalah sederet contoh yang dapat kita sebut betapa eratnya pertalian antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu tersebut memiliki obyek sasaran dan spesialisasi bidang yang berbeda-beda. Akibatnya terjadi pemisahan antar berbagai macam disiplin ilmu tersebut dan ilmu pengetahuan semakin kehilangan relevansinya dan dalam kehidupan masyarakat dan umat manusia dengan berbagai macam problematikanya. Padahal hidup dan kehidupan manusia itu pada hakekatnya adalah merupakan satu sistem yang komponen-komponennya saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Dengan demikian untuk menghadapi problem hidup dan kehidupan tersebut diperlukan pendekatan yang bersifat sistematis, utuh dan universal.
Filsafat dengan cara kerjanya yang sistematis, universal, dan radikal yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan segala problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu dengan yang lain. Dengan demikian filsafat nampaknya telah berkembang dan berubah dari mother of science menjadi analisa dan memecahkan permasalahan filosofis dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia yang nyata (philosophical analysis). Pada gilirannya sesuai dengan kajian pada makalah ini, filsafat memiliki implikasi pada pengembangan kurikulum pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Berdasarkan tipologi-tipologi filsafat pendidikan yang dikomparasikan dengan tipologi pemikiran Islam, maka kurikulum pendidikan Islam dapat dikembangkan dengan perspektif filsafat.

BAB II
PEMBAHASAN

Filsafat adalah berfiksir radikal. Berfikir radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/ menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu pendidikan itu digelar.
A. Tipologi Filsafat Pendidikan
Konstruksi filsafat pendidikan, pada dasarnya tidak bisa lepas dari kajian tentang filsafat pada umumnya. Karena studi ini sesungguhnya merupakan studi filsafat yang diaplikasikan dalam pendidikan. Dengan kata lain filsafat pendidikan adalah kajian pendidikan dengan menggunakan sudut pandang filsafat.
Adanya berbagai macam aliran-aliran dalam pemikiran filsafat, maka implikasinya dalam kajian filsafat pendidikan juga melahirkan tipologi-tipologi sebagai akibat dari ajaran filsafat pada umumnya. Aliran-aliran dalam pemikiran filsafat pendidikan pada mulanya muncul di Amerika Serikat yang terdiri dari dua kelompok yaitu aliran tradisional (Perenialism dan Essentialism), dan kontemporer ( Progressivism, Reconstructionism, dan Existensialism).
1. Essentialism
Dalam pemikiran filsafat pendidikan aliran ini, menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi. Bagi esensialisme pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kesetabilan dan arah yang jelas.
2. Perennialism
Filsafat Perennialisme (Philosophia Perennis) adalah termasuk pendukung kuat filsafat Essentialism. Atas pengaruh pemikiran filsafat Plato filsafat ini didirikan Aristoteles yang kemudian didukung dan dikembangkan oleh St. Thomas Aquinas. Pandangan perenialism, ia menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional.
3. Progessivism
Menurut progressivism, ia menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungannya.
4. Reconstructionism
Konsep pendidikan reconstructionism menghendaki agar peserta didik dapat membangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.
5. Existensialism
Existensialism menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.


B. Tipologi Pemikiran Islam
Filsafat Pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu cabang dari filsafat memiliki tipologi-tipologi tertentu sebagaimana terjadi pada Filsafat Pendidikan maupun pada Filsafat pada umumnya. Hal ini terjadi karena perbedaan sudut pandang para ahli yang mengakibatkan adanya model atau corak pemikiran yang berbeda dan tidak bisa disatukan antara satu dan lainya. Untuk mengetahui tipologi Filsafat Pendidikan Islam, pada pokok bahasan ini terlebih dahulu kita akan melakukan pemetaan tipologi pemikiran Islam. Hal ini menjadi penting, karena menganalisa filsafat pendidikan dari sudut pandang Islam, kita harus mengetahui secara pasti adanya berbagai model dan tipologi Pemikiran Islam. Setiap pemikiran baik dalam arti sebuah proses maupun hasil dapat dinilai dan dirumuskan dalam beberapa tipologi sesuai dengan watak dan sifatnya.
Para ahli mengkategorikan tipologi pemikiran Islam berbeda - beda, diantaranya Dr. Zamakhsari Dhofier membagi tipologi pemikiran Islam menjadi dua kelompok besar, yaitu pemikiran tradisional dan modern. Pemikiran tradisional dalam Islam adalah suatu pemikiran yang sangat terikat secara leterlijk kepada pemikiran-pemikiran para ulama’ ahli fiqh, hadits, tasawuf, tafsir dan tauhid yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13. Sedangkan yang dimaksud pemikiran modern adalah suatu pemikiran yang mencoba merelevansikan agama dan pengetahuan modern dengan cara menafsirkan ajaran-ajaran agama sesuai dengan pengetahuan modern.
Adapun A. Syafi’i Ma’arif mengklasifikasikan peta intelektual Islam menjadi empat kelompok.
Pertama, Kelompok Modernis dan penerusnya Neo Modernis Muslim. Kedua, Kelompok Neo Tradisionalis. Ketiga, Kelompok Eksklusif Islam. Keempat, Kelompok Modernis Sekularis Muslim. Dalam pandangan yang hampir serupa M. Amin Abdullah membagi tipologi pemikiran Islam menjadi empat bagian , yaitu:
1. Tekstualis Salafi
Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain.
Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.
2. Tradisionalis Mazhabi
Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.
Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Modernis
Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.
4. Neo Modernis
Bagi Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

C. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam
Berdasarkan Tipologi Filsafat Pendidikan dan Tipologi Pemikiran Islam sebagainana penulis uraikan di atas, pada pokok bahasan ini kita akan memformulasikan Tipologi Filsafat Pendidikan Islam. Formulasi tersebut sesungguhnya hanya mendasarkan pada studi komparasi antara Tipologi Filsafat Pendidikan dan Tipologi Pemikiran Islam sesuai dengan sifat dan kharakteristiknya yang hampir serupa dengan menyandarkan pada pendapat para ahli. Dalam perspektif ini Prof. Dr. Muhaimin mengklasifikasikan tipologi filsafat pendidikan Islam menjadi lima bagian ,yaitu:
1. Perenial-Esensialis Salafi
Konstruksi tipologi tekstual salafi dilihat dari wataknya yang bersifat regresif dan konservatif, maka lebih dekat dengan perenialism dan essensialism. Hanya saja perenialism menghendaki agar kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, sedangkan model tekstual salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat). Namun pada intinya keduanya lebih berwatak regresif. Adapun essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.
Model pemikiran tekstualis salafi juga beranggapan bahwa nilai-nilai kehidupan pada masyarakat salaf perlu dijunjung tinggi dan dilestarikan keberadaannya hingga sekarang, baik nilai-nilai insaniyah maupun nilai-nilai Illahiyah, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang ideal. Karena itu keduanya juga berwatak konservatif, dalam arti sama-sama hendak mempertahankan nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat terdahulu.
Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perennial tekstual salafi dan sekaligus essensial tekstual salafi. Parameter dari perennial –tekstual salafi adalah watak regresifnya yang ingin kembali ke masa salaf sebagai masyarakat ideal yang dipahaminya secara tekstual. Sedangkan parameter essensial–tekstual salafi adalah watak konservatifnya untuk mempertahankan dan melestarikana nilai-nilai Illahiyah dan insaniyah yang dipraktikkan pada masa salaf yang juga dipahami secara tekstual tanpa adanya verifikasi dan kontekstualisasi. Untuk menyederhanakan istilah pada model filsafat pendidikan Islam pad tipologi ini kita pakai istilah perennial-essensial salafi.
2. Perenial-Esensialis Mazhabi
Konstruksi tipologi tradisional mazhabi dilihat dari wataknya lebih menonjolkan sifatnya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan,
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, tipologi ini berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah pemikiran pendidikan Islam karya para ulama’ pada periode terdahulu, baik dalam bangunan tujuan pendidikannya, kurikulum atau program pendidikan, hubungan pendidik dan peserta didik, metode pendidikan, maupun lingkungan pendidikan (konteks belajar) yang dirumuskannya. Bahkan ia juga merujuk atau mengadopsi produk-produk pemikiran pendidikan dari para cendikiawan non muslim terdahulu tanpa dibarengi dengan daya kritis yang memadai.
Dengan demikian tipologi filsafat pendidikan Islam ini lebih dekat dengan perenialism dan essensialism, terutama dari wataknya yang regresif dan konservatif. Maka berdasarkan tipologi tersebut tersusunlah tipologi filsafat pendidikan yang disebut dengan perennial-esensial mazhabi.
3. Modernis
Tipologi filsafat pendidikan Islam medel ini lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Perenial-Esensialis Kontekstual Falsifikatif
Model pemikiran filsafat pendidikan Islam ini berupaya mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (Illahiyah dan insaniyah) dan sekaligus menumbuh kembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
5. Reconstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam model rekonstruksi sosial, ia lebih menonjolkan sikap proaktif dan antisipatif, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Illahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.

D. Tiga Paradigma Utama Pendidikan
Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) Dalam menjawab pertanyaantersebut ada tiga jawaban yang lazimnya muncul . Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/ perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
Ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya, berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan.. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya.
Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya).
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya.
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada.

E. Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili). Manusia nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training ke-karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok.
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya. Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.

F. Implementasi Dalam Pengembangan Kurikulum
Berangkat dari tipologi-tipologi Filsafat Pendidikan Islam tersebut di atas, maka implikasinya dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat dilihat dalam komponen-komponen kurikulumnya yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran dan evaluasinya dengan menggunakan sudut pandang tipologi di atas .
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Pada tipologi ini, pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran - mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) tipologi ini ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa pasca salaf.
3. Tipologi Modernis
Dalam pandangan modernis, pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektifr ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Menurut tipologi ini, pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di samping ditekankan pada pelestarian doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama yang dipandang mapan sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf dan pasca salaf, juga ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya secara kritis dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Dalam perpektif ini, pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih menekankan pemusatan perhatian pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi pandangan aliran interaksional, kurikulum rekonstruksi sosial mengharapkan peserta didik dapat berinteraksi, bekerja sama dengan Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI), peserta didik lainnya maupun sumber-sumber belajar yang tersedia untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.

BAB III
PENUTUP


Tipologi pemikiran filsafat pendidikan Perenialism dan Essentialism lebih dekat dengan tipologi pemikiran Islam tekstualis salafi, maka berdasarkan tipologi tersebut dalam filsafat pendidikan Islam dapat dikonstruksikan menjadi tipologi Perenian-Essensial Salafi.
Berdasarkan wataknya yang regresif dan konservatif, tipologi pemikiran filsafat pendidikan Perenialism dan Essentialism masih lebih dekat juga dengan tipologi pemikiran Islam tradisional mazhabi, maka berdasarkan tipologi tersebut dalam filsafat pendidikan Islam dapat dikonstruksikan menjadi tipologi Perenian-Essensial mazhabi. Tipologi pemikiran filsafat pendidikan Progresivism lebih dekat dengan tipologi pemikiran Islam dan tipologi filsafat pendidikan Modernis.
Tipologi pemikiran filsafat pendidikan Reconstrucsionism melakukan uji falsifikatif secara kontekstual terhadap Perenialism dan essentialism, maka dalam filsafat pendidikan Islam dapat diformulasikan tipologi Perennial-Essensialis Kontekstual-Falsifikatif
Tipologi pemikiran filsafat pendidikan reconstrucsionism dan existensialism lebih dekat dengan tipologi pemikiran Islam Neo Modernis atau Post Modernis yang dalam filsafat pendidikan Islam dikenal dengan tipologi Rekonstruksi Sosial. Untuk melihan implikasi dari tipologi-tipologi pemikiran filsafat pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat dilihat dalam komponen-komponen kurikulumnya yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran dan evaluasinya.

Wallahu alamu.


DAFTAR PUSTAKA


Ali, Fachri dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Mizan, Bandung, 1986.
Ali, Hamdani, Filsafat Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta, 1990.
Bahri, Abdul Malik, Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Lembaga Studi Iqra, 2000).
Hal 78
Freire, Paulo, Pedagogy of The Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.),LP3S, Jakarta, 1989.
Jusuf, Nursyamsiyah, Diktat Ilmu Pendidikan, Pusat Penerbitan dan Publikasi STAIN Tulungagung, Tulungagung, 2000
Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam, Sebuah Refleksi Autobiografis, Mizan, Bandung, 2005.
Ma’arif, A.Syafi’i, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1993.
Munir, Baderel, Dinamika Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruann Tinggi, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.

Said, Busthami M., Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, pent. Mahsun al-Mundzir, PSIA, Ponorogo, 1992.
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Perspektif, PT Gramedia, Jakarta, 1982.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Remaja Rosdakarya, Jakarta, 2005.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

No comments:

Post a Comment