Thursday, November 21, 2013

Implikasi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Kurikulum PAI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR  BELAKANG
Membicarakan Filsafat Pendidikan Islam, tidak terlepas dari induk teori filsafat secara umum. Dengan gamblang orang berpendapat bahwa ber-filsafat adalah berpikir tentang sesuatu secara rasional, sistematis, radikal (sampai pada akar masalah), dan menyeluruh untuk mencari nilai kebenaran.
Dengan memahami Filsafat Pendidikan Islam diharap melahirkan cara pandang yang obyektif dan kritis terhadap berbagai persoalan yang mengemukan. Sedang dengan menggali perkembangan Filsafat Pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi cermin atas etos pikir yang semata-mata tidak berargumentasi dengan mengandalkan rasio disebabkan oleh interes keilmuan yang mengambang, tetapi lahir sikap rasional, sistematis, radikal, dan general sebagaimana para filosof melakukannya, dan cermin yang sangat penting adalah terpatrinya sikap filosof yang menjunjung tinggi egalitarianisme, humanisme, dan indevendesi.
Dalam upaya pengembangan pendidikan Islam sebagai proses pencerdasan umat, banyak variabel yang mendukung keberhasilan pendidikan yang dilakukan, salah satu di antaranya adalah kurikulum. Bahkan dapat dikatakan bahwa kurikulum menempati posisi yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan komponen pokok dari sistem pendidikan, maka ia merupakan salah satu alat yang membawa kepada tercapainya tujuan pendidikan. Pada tataran inilah dirasakan pentingnya pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, pada bahasan selanjutnya, penulis akan mengkonsentarsikan kajian pada masalah bagaimana implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap perkembangan kurikulum PAI, untuk lebih jelasnya penulis akan dibahasan pada pembahasan selanjutnya.

B.     RUMUSAN  MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan sebagai pokok bahasan dalam penulisan makalah ini, diantaranya :
1.      Bagaimana pengembangan kurikulum PAI menatap Inovasi Pendidikan ?
2.      Bagaimana implikasi tipologi filsafat pendidikan islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI ?

C.    TUJUAN  PENULISAN
Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yakni :
1.      Untuk mengetahui dan mempelajari tentang pengembangan kurikulum PAI menatap Inovasi Pendidikan.
2.      Untuk mengetahui dan mempelajari tentang implikasi tipologi filsafat pendidikan islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum PAI.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI MENATAP INOVASI PENDIDIKAN
Upaya ini memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi inovasi ini pada umumnya cenderung top-down innovation melalui strategis power coercive atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisien dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahanya tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Idris H.M.Nor (Balitbang Depdiknas, 2001), dalam makalahnya “Sebuah tinjauan teoritis tentang inovasi pendidikan di Indonesia” menyatakan bahwa banyak contoh inovasi yang telah dilakukan selama beberapa decade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Sistem Modul dalam pembelajaran, Contestual Teaching And Learning, Quatum Teaching And Learning, dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan itu tidak bertahan lama dan hilang dan tenggelam begitu saja. Model inovasi demikian akan bisa berjalan dengan baik pada waktu berstatus proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu pada saat diperkenalkan atau bahkan pada saat pelaksanaanya mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tetapi para juang pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep.
Sebagai kebalikan dari top-down innovation adalah model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreatif dan inisiatif dari sekolah, guru, atau masyarakat yang pada umumnya yang disebut Bottom Up Innovation. Model ini jarang dilakukan di Indonesia karena selama ini, karena sistem pendidikan bersifat cenderung sentralistis walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Inovasi kurikulum yang bersifat top-down ternyata banyak menghadapi kendala yaitu :
1.         Perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi
2.         Konflik dan motivasi yang kurang sehat
3.         Lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnnya inovasi yang dihasilkan
4.         Keuangan (financial) yang tidak terpenuhi
5.         Penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi
6.         Kurang adanya hubungan sosial dan publikasi.[1]


Di samping itu ada beberapa hal kenapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksanan dilapangan atau disekolah sebagai berikut:
1.         Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pencipta dan bahkan pelaksanan inovasi tersebut sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan milikinya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi sekolah
2.         Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena metode atau sistem tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Di samping itu, sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasaan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka.
3.         Inovasi baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan peserta didik.
4.         Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecederungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya diciptakan inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau financial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Sehingga, sekolah atau guru terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para innovator di pusat dan tidak berwewenang untuk mengubahnya.
Menurut Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001) untuk menghindari penolak seperti yang disebutkan diatas faktor-faktor utama yang yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum dan fasilitas dan program/tujuan.
1.         Guru
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa peserta didiknya kepada tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu ada hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain :
a.    Penguasaan materi yang diajarkan.
b.    Metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik.
c.    Hubungan antara individu, baik dengan peserta didik, maupun antara sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan, seperti administrator, kepala sekolah, tata usaha serta masyarakat sekitarnya.
d.   Memiliki pengalaman dan keterampilan.
Dengan demikian, dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini dikarenakan mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi mereka


menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, orang tua, teman, dokter, motivator.   
2.         Peserta didik
Sebagai objek utama dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar mengajar, peserta didik memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan inteligensia, daya motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya mengenalkan kepada mereka tujuan daripada perubahan mulai diperencanakan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi sebuah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan secara konsekuen. Peran peserta didik dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena peserta didik bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesame temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, peserta didik perlu dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi (penolakan).
3.         Kurikulum
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkat yang merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar disekolah, sehingga dalam pelaksanan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peran yang sama dengan unsur-unsur yang lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada didalamnya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya disesuaikan dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari keduanya akan berjalan searah.
4.         Fasilitas
Fasilitas, termasuk saran dan prasana pendidikan yang tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaharuan pendidikan tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar, merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaharuan pendidikan. Oleh karena itu dalam menerapkan inovasi pendidikan fasilitas perlu diperhatikan.
5.         Lingkungan  Sosial Masyarakat
Dalam menerapkan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak positif dan negatif dalam pelaksanaan pembaruan pendidikan. Masyarakat secara langsung maupun secara tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja tetap terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat dimana peserta didik itu berada atau berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitar, inovasi pendidikan akan terganggu bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksanaan inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.
Pendidikan agama Islam (PAI) ternyata mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan lainnya. Menurut Muhaimin (2004), bahwa :
1.         PAI berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apa pun.
2.         PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam.
3.         PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian.
4.         PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan social.
5.         PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan ipteks dan budaya serta aspek-aspek kehidupan lainnya.
6.         Substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra rasional.
7.         PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan (peradaban) Islam.
8.         Dalam beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat ukhuwah Islamiyah.
Dilihat dari karakteristik tersebut, PAI mengandung pesan-pesan pembelajaran yang berupaya membangun inner fonce dalam bentuk kekokohan akidah (keimanan) dan kedalaman spiritual, juga diperkuat dengan ilmu keagamaan Islam untuk diaktualisasikan dalam bentuk amal shaleh dalam setiap aspek kehidupannya. Pendidikan agama di sekolah, madrasah, pesantren ataupun di masyarakat berpotensi untuk mengarah pada sikap toleran atau intoleran, serta mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) atau disintegrasi (perpecahan) dalam kehidupan masyarakat. Fenomena ini banyak ditentukan oleh : pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; serta peranan dan pengaruh pemuka agama dalam mengarahkan pengikutnya.
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrem, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan skriptual, karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para pemuka agama yang bersifat doktriner, rigid (kaku), dan mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai factor disintegrative (pemecah).
Namun, dalam konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika, pengembangan pengembangan pendidikan agama diharapkan agar tidak sampai : menumbuhkan semangat fanatisme buta; menumbuhkan sikap intoleran di kalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Sebaliknya, pengembangan pendidikan agama diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan yang bersifat Islami), mampu membangun persaudaraan antarsesama, serta mampu membentuk kesalehan pribadi dan sosial.
Memperhatikan beberapa karakteristik PAI tersebut di atas dan gencarnya inovasi pendidikan yang pada gilirannya ditransfer begitu saja ke dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam, maka perlu didudukkan secara proporsional dalan kerangka landasan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.

B.     IMPLIKASI TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM PAI[2]
Bertolak dari karakteristik PAI tersebut, maka terdapat dimensi-dimensi yang bisa dikembangkan dalam perspektif tipologi perential-esensialis salafi, perennial-esensialis mazhabi, modernis, perennial-esensial kontekstual-falsifikatif. Namun demikian, ada pula dimensi-dimensi yang perlu dikembangkan dalam perspektif tipologi rekonstruksi social yang berlandaskan tauhid, terutama dalam membentuk dan mengembangkan keshalehan individu dan sosial sekaligus. Melalui implementasi tersebut, maka kekokohan akidah peserta didik, komitmen dan loyalitasnya terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam, serta konsistensi iman, ilmu dan amalnya akan dapat teruji dan lebih fungsional (untuk diri sendiri, masyarakat dan bangsa). Di samping itu, melalui teori tersebut akan dapat menumbuhkembangkan sikap dan nilai-nilai rasional-empiris, objektif-empiris, dan komitmen terhadap nilai-nilai amanah dan tanggung jawab individu dan sosial (kemasyarakatan), sikap solidaritas terhadap sesama dan makhluk lainnya, serta mampu mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya dihadapan Tuhannya.


Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran PAI dan evaluasinya.
1.         Tipologi Perenial Esensialis Salafi
Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan berfungsi sebagi upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah dan insyaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (erat kenabian dan sahabat) karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dengan demikian, tujuan pendidikan agama Islam diorentasikan pada upaya: 1) membantu perserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang.
Dengan tujuan-tujuan seperti itu maka pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab besar, kembali kepada hal-hal utama (dasar) dan esensial serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf. Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus (sholat, puasa, zakat, haji, nikah dan lainya) atau baca Al-Qur’an misalnya dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan amaliah para salaf al-shahih. Adanya penyelewengan pada bidang-bidang tersebut akan diketahui segera dengan tolak ukur mereka. Inilah antara lain yang dimaksud dengan tajdid (pembaharuan) agama, sebagai  I’adatul ad-din, ila ma kana ‘alaihi ‘ahdu al-salaf al shahih yakni mengembalikan pendidikan ajaran agama kepada keadaanya semula sebagaimana yang terjadi pada masa salaf al-shahih (zaman nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in)
Metode-metode pembelajaranya biasa dilakukan dengan ceramah, dialog, diskusi atau perdebatan dan pemberian tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan kepada pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tetap dan sesuai tatanan, dan teratur menjalankan tugas-tugas. Evaluasinya mengunakan ujian-ujian objektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi yang terstandarisasi dan tes kompetensi yang berbasis amaliah. Sedangkan peranan guru PAI sebagai figur yang memilki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran dan orang sarjana yang ahli dibidangnya.


2.         Tipologi Perennial-Esensialis Mazhab
Tipologi tersebut lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkencenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya serta mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahuluannya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
Bertolak dari karakteristik tipologi tersebut, maka tujuan pendidikan agama Islam beroreantasikan pada upaya (1) membantu peserta didik dalam menemukan dan menguak dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shahih  atau masa klasik dan pertengahan[3], (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran dan para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang.
Dalam kurikulum PAI, metode yang digunakan hampir sama dengan kurikulum PAI dan metode yang dikembangkan oleh tipologi perennial esensialis salafi, yang membedakannya adalah mereka lebih fanatic terhadap karya-karya imam mahzab baik pada masa klasik dan pertengahan.
3.         Tipologi Modernis
Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya untuk melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan  penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Atas dasar itu maka tujuan pendidikan  agama Islam diorientasikan pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyusuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).


Dalam perkembangan kurikulum PAI peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain. Masalah yang teridentifikasikan tersebut menjadi tema-tema pembelajaran PAI. Tema tersebut bersifat tentatif sehingga bagi peserta didik dikelas dan sekolah lainnya bisa jadi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
Asumsi yang perlu dipegangi dalam pembelajaran PAI adalah bahwa : (a) agama Islam adalah bahasanya seorang pelaku, maka peserta didik harus mampu menjadi pelaku beragama (Islam) yang baik dan benar; (b) membina sikap loyalitas dan komitmen (kesetiaan, keterikatan, emosional atau keberpihakan) terhadap kebenaran ajaran dan nilai-nilai agamanya; (c) membina semangat dedikasi. Hanya saja tampilannya bukan bersikap eksklusif yang bersifat apologis yang berlebihan, sehingga sulit diwujudkan sikap toleran. Sebaliknya justru membangun mentalitas beragama yang bersifat inklusif, memiliki semangat  persatuan dan toleransi antarsesama ditengah-tengah masyarakat yang bersifat plural. Sehingga peserta didik dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah-masalah yang terkait dengan tema tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakatnya.
Metode-metode pembelajaran yang dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning, metode project, dan scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut, merumuskan hipotesis dan melaksanakan penelitian dilapangan. Manajeman kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara  satu denganyang lainnya, sehingga perlu dikembangan kemampuannya tersebut. Juga menggunakan On-going feedback, yakni berusaha mencari dan menemukan feedback (umpan balik) secara terus menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan memimpin serta mengatur pembelajaran.
4.          Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Tipologi ini mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan IPTEK serta perubahan sosial yang ada.


Tujuan pendidikan pada tipologi ini ialah : (1) membantu peserta didik dalaam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; serta (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau pendahulunya yang dianggap mapan dalam ujian sejarah, karena penting diketahui semua orang.
Di lain pihak, tujuan pendidikan juga memberikan keterampilan-keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan IPTEK dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah). Singkatnya, tujuan pendidikan adalah melestarikan nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah serta menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan IPTEK dan perubahan sosial cultural yang ada.
Pengembangan kurikulum PAI pada tipologi ini adalah pelestarian doktrin dan nilai-nilai agama yang dipandang mapan pada kitab terdahulu, yang berisi hal-hal mendasar dan esensial, serta mata pelajaran kognitif pada masa salaf dan pasca salaf, juga menggali problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungan peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya secara  kritis dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
Dalam kurikulum PAI yang menyangkut doktrin ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah) atau nilai-nilai esensial Islam yang teruji  dalam sejarah (tawadhu, larangan hasud dan dendam, pentingnya jihad fi sabilillah), merupakan ajaran dan nilai-nilai yang harus dilestarikan, dipertahankan, dan disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, untuk diamalkannya dengan benar daalam kehidupan sehari-hari. adanya penyelewengan di bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolak ukurnya.
Namun dalam hal bersifat actual, peserta didik dilatih untuk menggali, menemu-kan dan mengidentifikasi masalah yang berkembang di lingkungannya yang berbeda konteksnya dengan yang dialami pendahulunya.  Sedangkan dalam hal yang bersifat doktriner, metode pembelajarannya menggunakan metode tipologi perenial-esensialis.
Dalam hal yang bersifat antisipasi terhadap masalah negatif yang actual di masyarakat, maka peserta didik dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai Islam dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakatnya. Maka metode yang dikembangkan seperti tipologi modernis.
Dengan demikian, dalam agama Islam terdapat hal yang bersifat doktrin, supra rasional, nilai-nilai esensial dan universal, yang menggunakan model perenial esensialis salafi dan mazhabi. Serta ada hal-hal yang berada dalam wilayah akal serta nilai-nilai yang bersifat instrumental dan lokal, yang menggunakan model modernis.  
5.          Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi ini sangat cocok untuk daerah yang berkeinginan dan berpotensi untuk maju, serta pada masyarakat yang bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit sosial. Sedangkan sekolah yang bisa menerapkannya adalah mereka yang telah mengembangkan pendekatan andragogis, dan guru PAI di dalamnya berobsesi sebagai muaddib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Sehingga guru PAI tersebut selain menjadi ustadz, mu’allim, mursyid, juga sebagai aktivis sosial (da’i) di masyarakat, yang melekat padanya aspek ideas, ketokohan dan keteladanan, serta siap melakukan gerakan sosial amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada tipologi ini, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkannya melalui da’wah bi al-hal, baik pada masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain, serta mengajarkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan semua masalah tersebut agar dapat berpartisipasi dalam melakukan ishlah (perbaikan) dan amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga dapat terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peserta didik perlu dibekali kemampuan-kemampuan : (1) mendeteksi masalah atau isu krusial yang berkembang di masyarakat untuk selanjutnya diangkat menjadi tema-tema proyek atau kaji tindak; (2) mulai berpikir kritis; (3) bagaimana strategi dan teknik berhubungan dengan masyarakat; (4) bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaborasi; (5) menghargai atau toleran terhadap yang lain; (6) cara kerja untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik. Karena itu, sekolah atau perguruan tinggi digunakan sebagai sarana atau wahana untuk melakukan perubahan sosial, dan sebagian besar waktu kegiatan belajar pendidikan agama Islam intra-kurikuler di sekolah sebanyak 3 jam pelajaran misalnya, maka dalam satu semester bisa digabung menjadi 3 jam X 20 kali tatap muka = 60 jam. Jika dalam sehari membutuhkan waktu belajar selama 4 jam efektif, maka dibutuhkan 15 hari para peserta didik diterjunkan ke masyarakat yang menghadapi masalah sesuai dengan tema atau proyek yang diangkat. Segala persiapan untuk terjun ke masyarakat dapat dilakukan pada kegiatan ekstrakurikuler.
Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah sosial budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalahtersebut  melalui pengetahuan dan konsop-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi pandangan aliran interaksional, kurikulum rekonstruksi sosial mengharapkan peserta
didik dapat berinteraksi, bekerja sama dengan GPAI (Guru PAI), peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang baik.
GPAI berperan sebagai project director, yang memimpin dan mengarahkan transformasi, serta menjadi agen perubahan, dan bersama dengan peserta didik berusaha membentuk masyarakat baru. Agar peranannya menjadi lebih efektif, maka GPAI harus menjadi da’i yang selalu mengajak orang lain tanpa bosan kepada kebaikan atau petunjuk Ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Metode yang digunakan adalah simulasi, bermain peranan, internship (menerjunkan peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek), serta belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen kelasnya diupayakan tidak terlalu terikat pada belajar di dalam kelas, tidak membedakan jenis kelamin dan ras, berusaha menciptakan suasana think-tank, serta memmbangun, masyarakat.
Interaksi guru dan peserta didik dalam pembelajaran PAI lebih bersifat dinamis, kritis, progresif, terbukaa, proaktif, antisipatif, yang juga mengembangkan nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia. Pada tataran operasionalnya, dapat menggunakan peace education, yakni model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi konfliknya sendiri dengan kkreatif dan tanpa kekerasan. Pelaksanaannya dapat berupa belajar kelompok, sehingga peserta didik terlatih memecahkan persoalan bersama, dengan berbagai model transaksi sosial-psikologisnya, serta peserta didik terlatih untuk menekan egoismenya dan mampu menghargai hak orang lain.
Evaluasi pembelajaran PAI menekankan pada evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih maju secara berkelanjutan, serta kemampuannya untuk membangun masyarakat yang lebih baik dalam memerankan ilmu untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan kemampuan, bakat, minat dan prestasi belajarnya secara terus menerus melalui pemberian umpan balik. Di samping itu, karena pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial lebih menekankan pada belajar kelompok yang dinamis, kooperatif dan kolaboratif, maka evaluasinya juga dilakukan secara kooperatif.


BAB III
PENUTUP

A.       KESIMPULAN
Implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum PAI sebagai berikut :
1.      Pengembangan kurikulum pai menatap inovasi pendidikan. Menurut Idris H.M.Noor (Balitbang Depdiknas 2001) untuk menghindari penolak seperti yang disebutkan diatas faktor-faktor utama yang yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum dan fasilitas dan program/tujuan.
2.      Implikasi tipologi filsafat pendidikan islam terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum pai
Untuk memperoleh gambaran secara terperinci tentang implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan komponen kurikulum PAI, maka kajian berikut difokuskan pada implikasinya terhadap komponen-komponen kurikulum PAI yang meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran PAI dan evaluasinya.
a.       Tipologi perenial esensialis salafi
b.      Tipologi perennial-esensialis mazhab
c.       Tipologi modernis
d.      Tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif
e.       Tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid

B.        SARAN – SARAN
1.      Sebagai seorang calon guru, kita harus mengenali berbagai tipologi kurikulum yang akan mempermudahkan kita dalam proses belajar mengajar.
2.      Kita harus mampu bekerja sama dengan peserta didik dalam menggunakan inovasi pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA
Hasan Fahmi, Asma. 1997. Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Garfindo Persada.
Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam: (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya). Bandung : Trigenda Karya.
         . 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
         . 2005. Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta : Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1983. Islam Dan Pendidikan Nasional. Jakarta : Lembaga Penelitian  IAIN.
Oemar Hamalik. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : Rosda Karya.
Subandijah. 1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.


[1] Subandijah, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum, (Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada 1992)
[2] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah,Madrasah, Dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), 125-129.
[3]  Harun Nasution, Islam Dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penelitian  IAIN Jakarta, 1983)

No comments:

Post a Comment