BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah yang memiliki sifat kasih dan sayang
kepada umatnya. Beliau selalu menerangkan perkara-perkara yang sangat
dibutuhkan oleh umatnya, baik untuk umatnya saat beliau hidup, sampai umat beliau
di akhir zaman. Karena kehadiran Rasulullah di muka bumi, maka begitu banyak hadits yang memberikan petunjuk
dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah
satunya adalah tentang sifat hasad dan dengki, pola hidup, serta timbangan amal
seseorang di akhirat nanti.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
hadits tentang sifat hasad dan dengki?
2.
Bagaimana
hadits tentang pola hidup dalam Islam?
3.
Bagaimana
hadits tentang timbangan amal seseorang di akhirat nanti?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Sifat Hasad dan Dengki
عن ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ اْلقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ
وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ
النَّهَارِ
Artinya:
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di dalam dua hal, yaitu seseorang
yang dianugrahi alqur’an oleh Allah lalu ia tegak dengannya di sepanjang malam
dan siang dan seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia
menginfakkannya di sepanjang siang dan malam”. [HR al-Bukhoriy: 5025, 7529,
Muslim: 815, at-Turmudziy: 1936, Ibnu Majah: 4209 dan Ahmad: II/ 9. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 2108, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 1580, Shahih Sunan Ibni Majah: 3392 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 7487 ].
Dalam
hadits ini menjelaskan bahwa tidak semua sifat dengki atau hasad itu tercela,
jika ia hanya ingin berada di atas orang lain dari beberapa karunia atau ingin
memiliki karunia sebagaimana orang lain telah memilikinya. Sebab sifat ini
adalah merupakan sebagian dari tabiat manusia.
Berkata
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaiminrahimahullah, “Hasad itu ada beberapa
tingkatan, [Lihat Syar-h al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 372]
1.
Seseorang berkeinginan untuk berada diatas
selainnya. Sifat ini boleh dan bukan hasad.
2.
Ia tidak menyukai nikmat Allah Azza wa Jalla
yang diberikan kepada selainnya. Tetapi ia tidak berusaha untuk menurunkan
martabat orang yang Allah Azza wa Jalla berikan kenikmatan itu kepadanya namun
ia tidak dapat menolak sifat hasad itu. Hal ini tidak membahayakannya tetapi
orang selainnya itu lebih mulia darinya.
3.
Sifat dengki itu ada di dalam hatinya dan ia
berusaha untuk menurunkan martabat orang yang didengkikannya itu. Maka ini
adalah hasad yang diharamkan yang manusia akan dihukum karenanya”.
Dari
penjelasan itu dapat dipahami bahwa sifat iri dan dengki yang merupakan salah
satu dari tabiat manusia itu tidaklah tercela seluruhnya, jika diletakkan dalam
kebaikan yakni ia ingin mendapatkan kebahagiaan atau karunia sebagaimana
saudaranya telah mendapatkannya. Atau hanya sekedar ingin mempunyai karunia
yang lebih dari orang lain dan keinginannya tersebut tidak membawa bahaya atau
kemudlaratan bagi orang lain. Sebagaimana dalil berikut ini yang menunjukkan
tentang pengecualian dari sifat hasad,
عن
ابن مسعود رضي الله عنه عَنِ النِّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ
إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكَتِهِ
فىِ اْلحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ
يُعَلِّمُهَا
Dari Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada hasad kecuali di dalam dua perkara, yakni seseorang yang dianugrahi
harta oleh Allah lalu ia berkuasa untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan
seseorang yang dianugrahi hikmah (alqur’an) oleh Allah lalu ia membuat keputusan
dengannya dan mengajarkannya”. [HR al-Bukhoriy: 73, 1409, 7141, 7316, Muslim:
816, Ibnu Majah: 4208 dan Ahmad: I/ 382. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih,
lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 3393 dan al-Jami’ ash-Shaghir: 7488].
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hasad (dengki) itu adalah
penyakit berbahaya yang wajib menjauhkan diri darinya dan berhati-hati darinya.
Dengki terhadap kebahagiaan itu terpuji jika berada pada jalur kebaikan”.
[Bahjah an-Nazhirin: I/ 602].
Maka
tidak mengapa seorang muslim merasa iri dengan harta, ilmu atau kelebihannya
yang lain dari saudaranya yang mempergunakan semuanya itu untuk berjuang
meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla. Ia menginginkan semuanya itu atau
bahkan lebih dari itu untuk tujuan yang sama dengan saudaranya tersebut. Hal
ini akan memicu dan mendorongnya untuk berusaha mendapatkan keinginannya itu
dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.
Tetapi
jika rasa iri atau dengki kepada kelebihan saudaranya itu memicu dan mendorong
dirinya untuk merusak dan menghilangkan semua atau sebahagian kelebihannya itu
dengan cara-cara yang dilarang, misalnya berupa menebarkan ghibah, fitnah dan
sejenisnya maka perbuatan ini jelas diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa
besar.
B.
Pola Hidup Seorang Mukmin
حدثنا
سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن عدي بن ثابت عن أبي حازم عن أبي هريرة أن رجلا كان
يأكل أكلا كثيرا فأسلم, فكان يأكل أكلا قليلا فذكر ذلك للنبي ص فقال: إن المؤمن
يأكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء- رواه البخاري فى كتاب الأطعمة باب
المؤمن يأكل فى معى واحد.
Artinya:
Hadits diterima dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang terbiasa
makan banyak, tatkala dia masuk Islam, maka ia (mengurangi porsi) makan
sedikit, lalu hal itu diadukan kepada Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda, “
sesungguhnya orang mukmin itu makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan
dalam tujuh wadah.”
Hadits
dengan matan sebagaimana diatas direkam oleh Imam Bukhari dalam shohihnya kitab
al-ath’imah (makanan-makanan) Bab al-Mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin (orang
mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 5397 dari jalan periwayatan
sahabat Abu Hurairah r.a. beliau berkomentar, dalam sanad tersebut terdapat Abu
Hazm yaitu Salman (dengan disukunkan lam) al-Asyja’i, bukan Salamah bin Dinar
al-Zahid yang dia lebih muda dari al-Asyja’i dan tidak bertemu dengan Abu
Hurairah.
Imam
Muslim mencatatnya dalam kitab al-Asyribah (minuman-minuman) bab al-mu’min
ya’kulu fi mi’an wahidin wal kafiru ya’kulu fi sab’ati am’ain (orang mukmin
makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan pada tujuh wadah) dengan
nomor hadits 2060, 2061, 2062, 2063. Sunan Tirmidziy dalam Abwab al-ath’imah
(bab makanan-makanan) bab ma ja’a annal mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin
(tentang orang mukmin yang makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 1878 dan
1879. Hadits nomor 1878 beliau komentari dengan hasan shohih, sedangkan hadits
1879 beliau komentari dengan hasan ghorib. Matan kedua hadits riwayat Tirmidziy
diatas senada dengan riwayat Bukhari diatas.
Imam
Malik mencatat hadits tersebut dalam kitab sifat al-Nabi Saw (Pribadi Nabi Saw)
bab ma ja’a fi mi’al kafir (hal-hal yang berkenaan dengan wadah orang kafir)
dengan nomor hadits 9 dan 10. Imam al-Darimi mencatatnya dalam kitab Ath’imah
(makanan-makanan) bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan
dalam satu wadah) dengan hadits nomor 2040 dan 2043. hadits tersebut juga
tercatat dalam Musnad Abdur Razak pada bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin
(orang mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 19558 dan 19559.
Dalam
riwayat Muslim dari jalan Abu Sholih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi
kedatangan tamu orang kafir, lalu dihidangkan kepadanya air susu hasil perahan
dari satu ekor kambing, lalu tamu tersebut meminumnya, kemudian dia minum lagi
kemudian lagi hingga mencapai perahan tujuh ekor kambing. Tatkala pagi harinya
dan tamu tersebut masuk Islam lalu dihidangkan kembali satu perahan susu satu
ekor kambing, lalu dia meminumnya, kemudian dihidangkan kembali perahan yang
kedua tetapi dia tidak menyentuhnya. Orang tersebut adalah Tsumamah bin Atsal,
ada yang mengatakan Jahjah al-Ghifari, dan ada juga yang mengatakan Nadlrah bin
Abi Nadlrah al-Ghifari.
Dalam
konsep hidup seorang muslim, kehidupan di dunia bukan merupakan tujuan akhir
dari perjalanannya, melainkan sekedar transit untuk mempersiapkan bekal demi
perjalanan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat. Hal ini tercermin dari
cara pandang dan penyikapannya terhadap dunia itu sendiri. Bahkan Rasulullah
Saw berpesan agar seorang muslim harus memposisikan diri sebagai orang yang
asing atau hanya sekedar menjadi seorang penyeberang jalan, yang tidak pernah
terlena oleh gemerlapnya tempat persinggahan dan indahnya lampu jalanan. Imam
al-Ghazali mengibaratkan dunia ini tidak lebih dari sekedar tempat bercocok
tanam yang akan ditunai hasilnya di akhirat nanti. Alqur’an mendefenisikan
kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau belaka (Qs. Al-Ankabut
(29):64). Meskipun demikian, harus ada penyikapan yang proporsional, dalam
artian, tujuan akhir bukan berarti menafikan akan wasilah yang menjadi
penghubungnya (Qs. Al-Qashash (28): 77).
Hadits diatas yang menjadi pembahasan penulis mengisyaratkan akan adanya perbedaan antara orang muslim dan orang kafir dalam menyikapi kehidupan dunia, sehingga tampak dari cara makannya. Nabi Saw mencela seorang muslim yang memenuhi seluruh isi perutnya dengan makanan, hendaknya perut tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari makanan, air dan nafas (Hr. Tirmidziy dengan derajat hasan). Dalam haditsnya yang lain, Nabi bersabda bahwa “Kami adalah suatu kaum, yang tidak akan makan kecuali setelah merasa lapar dan berhenti sebelum kekenyangan”. Pola hidup seperti ini ternyata dapat kita teladani dari Nabi Saw sendiri dan keluarganya. Sayyidah Aisyah meriwayatkan,
Hadits diatas yang menjadi pembahasan penulis mengisyaratkan akan adanya perbedaan antara orang muslim dan orang kafir dalam menyikapi kehidupan dunia, sehingga tampak dari cara makannya. Nabi Saw mencela seorang muslim yang memenuhi seluruh isi perutnya dengan makanan, hendaknya perut tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari makanan, air dan nafas (Hr. Tirmidziy dengan derajat hasan). Dalam haditsnya yang lain, Nabi bersabda bahwa “Kami adalah suatu kaum, yang tidak akan makan kecuali setelah merasa lapar dan berhenti sebelum kekenyangan”. Pola hidup seperti ini ternyata dapat kita teladani dari Nabi Saw sendiri dan keluarganya. Sayyidah Aisyah meriwayatkan,
“Keluarga
Muhammad Saw tidak pernah dikenyangkan oleh roti yang terbuat dari gandum
(kualitas baik) selama dua hari berturut-turut hingga Rasulullah Saw wafat”
(Hr, Bukhari dan Muslim).
Bahkan
dalam riwayat lain, Nabi Saw wafat dengan baju besi yang tergadai di tangan orang
yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum (Hr. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar
memberikan beberapa kemungkinan tentang maksud hadits yang dijadikan materi
pokok makalah penulis, diantaranya adalah bahwa seorang muslim itu sangat
sedikit keinginannya akan makanan sehingga Allah memberikan berkah dari makanan
yang sedikit tersebut sehingga merasa kenyang dengannya,berbeda dengan orang
kafir yang sangat tamak terhadap makanan sehingga tidak pernah merasa cukup
dengan makanan yang sedikit.
Imam
Nawawi dalam kitabnya, Riyadhus sholihin bab keutamaan zuhud akan dunia serta
anjuran untuk sederhana, menyertakan satu hadits yang bersumber dari Abu Abbas
Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada
Rasulullah Saw dan bertanya, wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku akan suatu
amalan yang apabila aku mengerjakannya akan dicintai Allah dan juga sekaligus
dicintai oleh manusia. Nabi Menjawab,
ازهد فى الدنيا يحبك الله, وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
ازهد فى الدنيا يحبك الله, وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
“berlaku
zuhudlah akan dunia, Allah akan mencintaimu dan berlaku zuhudlah akan apa yang
dimiliki oleh manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia”. (Hr. Ibnu Majah
dengan derajat hasan dan beberapa jalan periwayatan lainnya dengan derajat yang
sama).
Zuhud
secara bahasa mempunyai pengertian meninggalkan/ berpaling dari sesuatu
dikarenakan kehinaannya atau karena sepele (tidak berarti bagi dirinya),
sehingga tatkala dikatakan, zuhud akan dunia artinya adalah meninggalkan yang
halal karena takut akan hisab-Nya serta meninggalkan yang haram karena takut
akan siksa-Nya (al-Mu’jam al-Wasith hal 418). Implementasi dari sikap zuhud ini
tercermin dari penyikapannya akan kehidupan dunia sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam Qs.al-Hadid ayat 23 diatas.
C.
Timbangan Amal Seseorang
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْل الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: يَأتِى
الرَّجُلُ التَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ القِيَا مَةٍ لًا
Artinya: Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Yang telah bersabda:
Sungguh kelak di hari kiamat akan datang seorang lelaki gendut, tetapi
timbangan (amal)nya di sisi Allah tidak menyamai berat sayap nyamuk pun. Lalu
Abu Hurairah berkata, “Bacalah oleh kamu ayat berikut jika kamu suka,” yaitu
firman-Nya: Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada
hari kiamat.
Hadits di
atas menjelaskan bahwa ada orang-orang gemuk namun tidak tercela. Dia menjadi gemuk
bukan karena malas-malasan, dan bukan karena terlalu banyak makan. Dia tetap
menjadi pahlawan bagi umat, dan berusaha melakukan aktivitas yang bermanfaat.
Sebagaimana yang dialami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
penghujung usia beliau dan beberapa sahabat lainnya.
Aisyah menceritakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- كَانَ يُوتِرُ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ فَلَمَّا بَدَّنَ وَلَحُمَ صَلَّى سَبْعَ
رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan witir 9 rakaat, setelah beliau mulai gemuk dan berdaging,
beliau shalat 7 rakaat. Kemudian shalat 2 rakaat sambil duduk. (HR. Ahmad 26651
dan Bukhari 4557).
Dari Hasan bin Ali Radhiyallahu
‘anhuma,
Saya bertanya kepada pamannya, Ibnu
Abi Halah tentang ciri fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
mengatakan,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
فخما مفخما
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam orang yang badannya besar. (as-Syamail al-Muhammadiyah Turmudzi,
1/34).
Sebagian menafsirkan kata: fakhman
mufakhaman dengan gemuk.
Mula Ali Qori mengatakan,
وَأَمَّا مَا وَرَدَ أَنَّ اللَّهَ
يُبْغِضُ السَّمِينَ ; فَمَحْمَلُهُ
إِذَا نَشَأَ عَنْ غَفْلَةٍ وَكَثْرَةِ نِعْمَةٍ حِسِّيَّةٍ كَمَا يَدُلُّ
عَلَيْهِ رِوَايَةُ يُبْغِضُ اللَّحَّامِينَ
Riwayat yang menunjukkan bahwa Allah
membenci orang gemuk, dipahami jika gemuk ini terjadi karena kelalaian, terlalu
banyak menikmati kenikmatan lahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat
tentang kebencian bagi orang gendut. (Jam’ul Wasail fi Syarh as-Syamail, 1/34).
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam hadits pertama menjelaskan bahwa tidak
semua sifat dengki atau hasad itu tercela, jika ia hanya ingin berada di atas
orang lain dari beberapa karunia atau ingin memiliki karunia sebagaimana orang
lain telah memilikinya. Sebab sifat ini adalah merupakan sebagian dari tabiat
manusia.
2.
Hadits kedua menjelaskan dalam konsep hidup seorang muslim, kehidupan di dunia bukan
merupakan tujuan akhir dari perjalanannya, melainkan sekedar transit untuk
mempersiapkan bekal demi perjalanan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat.
3.
Hadits
ketiga menjelaskan bahwa tidak semua orang-orang gemuk itu adalah tercela. Seseorang menjadi
gemuk bukan karena malas-malasan, dan bukan karena terlalu banyak makan. Dia
tetap menjadi pahlawan bagi umat, dan berusaha melakukan aktivitas yang
bermanfaat. Sebagaimana yang dialami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di penghujung usia beliau dan beberapa sahabat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/06/tafsir-surat-al-kahfi-ayat-103-106.html
http://asepidris.blogspot.co.id/
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/05/jauhi-sifat-hasad-dengki/
http://www.konsultasisyariah.com/allah-benci-orang-gendut/
No comments:
Post a Comment