| | Posted on 03:13:00
Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan
Mempelajari Tarikh Tasyri' A. Pengertian Tarikh artinya catatan tentang
perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana
diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan atau
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi
Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan
(aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik
dan buruk). Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Wajidi
Sayadi, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang
mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang
berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika
pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan
kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul
Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual
maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia
(at-Tasyri'ul Wad'iyah). Sedangkan pengertian tarikh tasyri' menurut Ali As
Sayis adalah Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya
dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas
ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum
itu. Dengan demikian secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan
hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang. Adapun pembahasannya
meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan
ciri-ciri spesifikasinya 3. Fuqoha dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid
serta sistem pemikiran yang dipakai atau sistem istinbath B. Ruang lingkup
Ruang lingkup tarikh tasyri' yakni terbatas pada keadaan perundang-undangan
Islam dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman
berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam,
termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi
sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya
menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh
at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada
sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran,
gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu. Diantara ruang
lingkup Tarikh Tasyri', adalah : 1. Ibadah Bagian ini membicarakan tentang
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan
lapangan ibadah bersumber pada nash-nash dari syara' tanpa tergantung pemahaman
maksudnya atau alasan-alasannya. Hukum-hukum tersebut bersifat abadi dengan
tidak terpengaruh oleh perbedaan lingkungan dan zaman. 2. Hukum Keluarga Hukum
Keluarga meliputi: pernikahan, warisan, wasiat dan wakaf. 3. Hukum Privaat
Hukum privaat disini adalah apa yang biasa disebut dikalangan fuqoha dengan
nama Fiqh Mu'amalat-kebendaan atau hukum sipil (al Qonunul-madani). Hukum ini
berisi pembicaraan tentang hak-hak manusia dalam hubungannya satu sama lain,
seperti haknya si penjual untuk menerima uang harga dari si pembeli dan haknya
si pembeli untuk menerima barang yang dibelinya, dan sebagainya. 4. Hukum
Pidana Hukum pidana Islam ialah kumpulan aturan yang mengatur cara melindungi
dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat (negara) dan
anggota-anggotanya dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan. Para fuqoha
Islam membicarakan lapangan hukum pidana dalam bab "Jinayat" atau
"Huud". 5. Siyasah Syar'iyyah Siyasah Syar'iyyah ialah hubungan
antara negara dan pemerintahan Islam, teori-teori tentang timbulnya negara dan
syarat-syarat diadakannya, serta kewajiban-kewajibannya. Hubungan antara rakyat
dengan penguasa dalam berbagai lapangan hidup. 6. Hukum Internasional Hukum ini
ada dua, yaitu pertama hukum perdata internasional ialah kumpulan aturan-aturan
yang menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum atau lebih, apabila
ada dua unsur orang asing dalam suatu persoalan hukum, seperti orang Indonesia
hendak menikah dengan orang Jepang dan perkawinan dilakukan di Amerika. Kedua
hukum publik internasional, lapangan hukum ini mengatur antara negara Islam dengan
negara lain atau antara negara Islam dengan warga negara lain, bukan dalam
lapangan keperdataan. C. Tujuan Mempelajari Tarikh Tasyri' Tujuannya adalah
untuk mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab
ditetapkannya suatu hukum syari'at, dalam hal ini penetapan hukum atas suatu
masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau
memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya, untuk
mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari periode
Rasulullah saw sampai sekarang, dalam rangka meningkatkan pengetahuan terhadap
hukum Islam, agar membangkitkan dan menghidupkan kembali semangat kita dalam
mempelajari tarikh tasyri' dan agar kita mampu memahami perkembangan syari'at
Islam. eee Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam Periode I (Pada Masa Rasul)
A. Situasi Masyarakat Arab Pra Islam Sebelum Nabi saw diutus, orang-orang Arab
adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban,
dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tak ada agama yang mengikat dan
undang-undang yang harus mereka patuhi. Hanya sedikit saja dari mereka yang
berjalan dengan aturan yang dapat menyelesaikan perselisihan mereka, adat yang
dianggap baik serta langkah yang mulia. Bangsa Atab pra Islam dikenal sebagai
bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab strategis,
membuat Islam mudah tersebar keberbagai wilayah. Hal lain yang mendorong
cepatnya laju perluasan wilayah adalah berbagai upaya yang dilakukan umat
Islam. Adapun ciri-ciri utama tatanan Arab pra Islam adalah sebagai berikut :
1. Menganut paham kesukuan (kafilah) 2. Memiliki tata sosial politik yang
tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas 3. Mengenal hirarki sosial yang
kuat 4. Kedudukan perempuan cenderug direndahkan. B. Kondisi Islam Pada Masa
Nabi Pada periode Rasulullah saw, ada dua fase yang masing-masing mempunyai
corak dan karakteristik tersendiri, yaitu : 1. Fase Makkiyah Pada fase ini umat
Islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya dan kapasitasnya
masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga
pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah saw pada fase ini
dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah dalam rangka proyek penanaman
tauhid kepada Allah swt dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala.
2. Fase Madaniyah Fase Madaniyah ialah sejak Rasulullah saw hijrah dari Mekkah
ke Madinah hingga wafatnya tahun II H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya.
Pada fase ini Islam sudah kuat, kuantitas umatnya sudah banyak dan telah
mempunyai tata pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsumg
dengan aman dan damai. Periode Madinah dikenal sebagai periode penataan dan
pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Karenanya, diperiode
Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut
turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Alasan beberapa produk
hukum itu berada dalam periode Madinah, antara lain : 1. Dalam periode ini
diperkirakan umat Islam sudah memiliki modal akhlak atau mental dan akidah yang
kuat sebagai landasan melaksanakan tugas-tugas lain. Hanya oarang yang
mempunyai kepercayaan yang tinggi kepada pembuat aturanlah yang dapat
melaksankan dan memelihara peraturan. 2. Hukum itu akan dapat terlaksana bila
dilindungi oleh kekuatan politik. Di periode ini, Rasulullah saw dipercaya oleh
masyarakatnya sebagai pemegang kekuasaan politik karena keberhasilannya
menyelesaikan perselisihan yang disebabkan oleh perebutan pengaruh masyarakat
Madinah karena primordialisme. Masyarakat Madinah yang kemudian terdiri atas
penduduk asli dan imigrasi dari Mekkah (Muhaijrin) tidak lagi merasakan
kesukuan sebagai ikatan solidaritas, tetapi kepercayaan agama. C. Sumber Hukum
Islam Pada Masa Rasulullah saw. Pada periode Rasulullah saw pada dasarnya hanya
ada 2 sumber hukum (perundang-undangan), yaitu wahyu Ilahi (Al qur'an) dan
Sunnah. Jika terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum,
karena terjadi perselisihan, ada kejadian peristiwa, ada pertanyaan atau
permintaan fatwa, maka Allah swt menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw satu
atau beberapa ayat al Qur'an yang menerangkan hukum-hukumnya. Kemudian
Rasulullah saw menyampaikan wahyu tersebut kepada umat Islam. Dan wahyu inilah yang
menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti. Kalau terjadi suatu
masalah yang memerlukan ketetapan hukum, sedang Allah swt tidak menurunkan
wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah saw berijtihad untuk menetapkan
hukum suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan
fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah saw ini menjadi hukum atau undang-undang
yang wajib diikuti. 1. Al Qur'an Sumber ini merupakan pokok agama dan asasnya.
Didalamnya Allah swt menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal
kebenaran dan kebatilan. Ia merupakan sumber hikmah, bukti kerasulan, cahaya
penglihatan dan orang yang megetahuinya secara benar-benar berarti ia
mengetahui keseluruhan syariat. Allah swt berfirman : Artinya : "Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu" (Q.S An
Nahl:89) 2. Sunnah Rasulullah saw Secara bahasa, Sunnah berarti
"jalan" baik atau buruk. Adapun Sunnah disini diartikan sebagai
"segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw baik itu berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan/ketetapan (taqrir). a. Kehujjahan Sunnah
Sunnah merupakan kunci bagi al Qur'an dan penerang yang memberi petunjuk
bagaimana mengungkap hakikat al Qur'an serta mengetahuinya dengan detail.
Sunnah wajib diikuti oleh orang-orang muslim. Berpegang dengan Sunnah dan
mengamalkannya adalah sama dengan mengamalkan al Qur'an. b. Kedudukan Sunnah
dalam hukum Yang dimaksud kedudukan disini adalah hubungannya dengan al Qur'an
dari segi kehujjahannya, diantaranya : 1. Validitas al Qur'an adalah Qoth'i
baik secara rinci, sedang validitas Sunnah adalah qoth'i secara global dan
zhanni secara rinci 2. Hadits Maudz bin Jabal yang menjelaskan urutan bagaimana
mengambil hukum ketika beliau ditanya Rasulullah: "Dengan apa engkau
memutuskan perkara? Muadz menjawab: "Dengan Kitab Allah" Nabi
berkata: "Apakah tidak engkau temukan? "Muadz: "Dengan Sunnah
Rasulullah." 3. Ijtihad Ijtihad secara bahasa adalah mencurahkan kemampuan
dan kesungguhan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan para ahli hukum
menggunakannya dalam arti mencurahkan kemampuan dalam mengeluarkan hukum syara'
(parsial) dari dalil-dalil (global) yang oleh Allah dianggap sebagai dalil,
yaitu al Qur'an dan Sunnah Rasulullah." D. Metode Tasyri' Pada Periode Rasulullah
saw. Adapun metode atau sistem yang ditempuh oleh Rasulullah saw dalam upaya
mengembalikan seluruh persoalan hukum kepada sumber-sumber tasyri', ialah jika
timbul persoalan yang memerlukan ketetapan hukum yang jelas, maka Rasulullah
saw menunggu turunnya wahyu berupa satu atau beberapa ayat yang memuat tentang
ketetapan hukum dari persoalan yang dimaksud. Kalau Nabi tidak mendapatkan
wahyu mengenai hal tersebut, maka beliu berpendapat bahwa Allah swt meyerahkan
penetapan hukum atas persoalan itu kepada ijtihad beliau sendiri. Lalu beliau
berijtihad berdasarkan pada tuntunan undang-undang Ilahi atau menurut jiwa
tasri' atau atas dasar kemaslahatan serta dengan permusyawaratan para
sahabatnya. Prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar dalam penetapan hukum pada
periode pembentukannya, antara lain : 1. Penetapan hukum secara bertahap, yaitu
hukum-hukum yang disyari'atkan Allah dan Rasul tidaklah ditetapkan secara
sekaligus dalam satu undang-undang, melainkan disyari'atkan dengan secara
terpisah-pisah dalam waktu 22 tahun beberapa bulan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan dan peristiwa-peristiwa hukum. Setiap penetapannya
mempunyai latar belakang historis dan sebab-sebab tertentu diundangkannya. 2.
Ada penyakit yang sudah mendarah daging 3. Undang-undangnya sedikit, maksudnya
disedikitkan aturannya adalah memudahkan atau tidak memberatkan seseorang.
Hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya adalah sekedar
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan peristiwa-peristiwa yang memang mengharuskan
adanya ketetapan hukum. Dan hukum-hukum itu disyari'atkan untuk menguraikan
persoalan-persoalan kewajiban atau untuk menyelesaikan persengketaan yang
terjadi. 4. Memudahkan dan meringankan beban. Prinsip ini sangat jelas tampak
dalam proses penetapan hukum Islam. Pada umumnya hukum-hukum itu disyari'atkan
menunjukkan bahwa hikmahnya adalah untuk memberi kemudahan dan dispensasi. 5.
Pemberlakuan undang-undang untuk kemaslahatan manusia. Sebagai bukti dari
prinsip ini adalah bahwa Allah swt banyak membuat ketetapan-ketetapan hukum itu
disertai sebab-sebab dan tujuan-tujuan hukum itu. Banyak dalil menunjukkan
bahwa hukum-hukum itu ditetapkan dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. 6. Azas persamaan dan azas keadilan eee Pemegang Kekuasaan Pada
Periode Kedua (II H - 40 M) Sebelum Rasulullah saw wafat sumber penetapan hukum
adalah al Qur'an dan as Sunnah. Dan Rasul merupakan rujukan tertinggi dalam
berfatwa dan memutuskan sesuatu hukum. Kemudian setelah Rasulullah wafat wahyu
tidak lagi turun kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama beralih ke
tangan khulafaurrasyidin dan para sahabat terkemuka. Dalam berijtihad para
sahabat berpegang kepada 4 hal yang merupakan sumber hukum fiqh ijtihad dimasa
itu, yaitu al Qur'an, as Sunnah, al Ijma' dan al Ra'yu dalam arti yang luas,
yaitu pendapat yang dikemukakan setelah berfikir, merenung dan mencari untuk
mengetahui pendapat yang benar dari petunjuk-petunjuk yang saling bertentangan.
Para sahabat telah menegakkan kewajiban tasyri' ini dengan cara menjelaskan dan
menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada
ketetapan hukumnya. Merekalah pemegang kekuasaan tasyri' pada periode ini
selaku pengganti Rasulullah saw. Dalam menangani dan menyelesaikan seluruh
problematika umat Islam. Mereka memperoleh hak kekuasaan tasyri' bukan
penunjukkan dan penentuan khalifah atau berdasarkan pemilihan oleh rakyat, akan
tetapi mereka memangkunya atas dasar keistimewaan dan kredibilitas pribadi yang
dimilikinya. A. Al-Khulafa Ar-Rasyidin 1. Abu Bakar Siddiq Beliau adalah ahli
hukum yang tertinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632-634 M. Sebelum masuk
Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif
mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dan karena hubungannya yang sangat dekat
dengan Nabi, ia memiliki pengertian yang dalam tentang Islam lebih dari yang
lain, karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah yang pertama tepat sekali.
2. Umar bin Khatab Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan
kedudukannya sebagai khalifah ke II. Pemerintahan Umar berlangsung selama
634-644 M. Sebagai sahabat Nabi, Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia
juga menetapkan tahun Islam yang dikenal dengan tahun hijriyah berdasarkan
peredaran bulan (Qomariyah). Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan Umar pada
tahu 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab pada waktu itu. Selain itu
penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam diseluruh dunia sampai sekarang
adalah shalat tarawih. 3. Utsman bin Affan Pemerintahan Utsman ini berlangsung
selama 644-656 M. Ketika dipilih, Utsman sudah tua (70 tahun) dengan
kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang
disekitarnya untuk megejar keuntungan pribadi , kemewahan dan kekayaan. Hal ini
dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayah. Adapun
jasa-jasa Utsman yang relevan adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat
al-Qur'an standar (kodifikasi al-Qur'an). Tujuan diadakannya kodifikasi
al-Qur'an, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan
didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak
sama. Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan dan
ucapan tentang ayat-ayat al-Qur'an yang disebarkan melalui hafalan-hafalan.
Berita tentang ini sampai pada Utsman. Ia lalu membentuk panitia yang dipimpin
oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah al-Qur'an yang telah dihimpun pada
masa khalifah Abu Bakar. 4. Ali bin Abi Thalib Setelah Utsman bin Affan
meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi athalib menjadi
khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 655-662 M. Sejak kecil ia diasuh
oleh Nabi dan karena itu hubungannya dekat sekali dengan Nabi saw. Semasa
pemerintahannya, Ali bin Abi Thalib tidak dapat banyak berbuat untuk
mengembangkan hukum Islam, karena keadaan Negara tidak stabil. Disana sini
timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara
pada perang saudara yang kemudian meimbulkan kelompok-kelompok. Perpecahan ini
dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah politik yakni siapa yang
berhak menjadi khalifah. B. Biografi Tokoh Tasyri' dari Kalangan Sahabat 1.
Zaid bin Tsabit (w. 45 H/666M) Nama lengkapnya adalah Zaid bin Tsabit al-Dahhak
al-Najjar al-Anshoriy. Ia berumur 11 tahun ketika Nabi saw tiba di Madinah dan
sudah menghafal 16 surat dalam al-Qur'an. Zaid bin Tsabit adalah sekretaris
wahyu dan banyak menulis surat-surat untuk keperluan Rasulullah saw, ia juga
termasuk sekretaris Abu Bakar dan Umar pada masa pemerintahannya. Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan, pengabdian Baitu al-Mal diserahkan kepada Zaid
bin Tsabit. Umar bin akhatab pernah mewakilkan kepada Zaid untuk menempati
posisinya di Madinah ketika menunaikan ibadah haji. Zaid bin Tsabit-lah yang
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an atas perintah Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Zaid bin Tsabit mempunyai kapasitas kemampuan menggali dan menetapkan
hukum-hukum suatu masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya yang jelas dalam
al-Qur'an dan as-Sunnah. Kemudian beliau seorang yang sangat terkenal dikalangan
sahabat Nabi sebagai orang yang mendalam ilmunya (rasikh) dan beliau juga ahli
faraidh, peradilan dan fatwa (hukum). 2. Abdullah bin Abbas ( 68 H/687 M) Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Abbas bin Abdu al-Muthalib al-Hasyim putra paman
Nabi saw. Ibnu Abbas dijuluki sebagai al-Habi wa al-Bahr (tinta dan lautan)
karena keluasan dan kedalaman ilmunya. Ia termasuk sahabat yang paling
memberikan pernyataan fatwa. Ibnu Abbas meriwayatkan 1660 hadits Nabi saw, 95
diantaranya disepakati Bukhari dan Muslim. Ia banyak meriwayatkan hadits dari
sahabat-sahabat senior, sebab Ibnu Abbas umurnya baru 13 tahun ketika Nabi saw
wafat. Ia sangat tekun dan optimis dalam aktifitas keilmuan periwayatan hadits.
Umar bin Khatab menghormati dan memperhatikan pendapat Ibnu Abbas padahal
umurnya masih sangat muda. Karena keluasan ilmunya, kekuatan hujjahnya dan
kejernihan wawasan pemikirannya. Ia banyak mengetahui tentang syair-syair,
nasab-nasab, sejarah peradaban dan peperangan bangsa Arab, seluk beluk
kandungan al-Qur'an beserta Asbabun Nuzulnya termasuk juga ilmu faraidh bahkan
mengetahui isi kandungan kitab-kitab lain seperti Taurat dan Injil. Sebagian
besar hidupnya dicurahkan dan disumbangkan pada aktifitas keilmuan, ia hanya
belajar dan mengajar. Ia tidak aktif dalam bidang politik pemerintahan kecuali
hanya sebentar asaja. Yaitu ketika menjabat Gubernur di Bashrah. Ibnu Abbas
wafat di Thaif pada tahun 68 H/687 M dala usia 7 tahun. Beliau merupakan
pelopor pembinaan dan pengembangan ilmu Tafsir dan Fiqh di Makkah. 3. Abdullah
bin Mas'ud (w. 32 H/653M) Nama lengkapnya Abu Abdu ar-Rahman Abdullah bin
Mas'ud bin Ghafil al-Hidzaliy. Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat Nabi
yang berwawasan luas dan berpandangan jauh kedepan dalam menyampaikan fatwa, ia
termasuk tokoh dan pemuka ahli tafsir al-Qur'an dan fiqh. Ia telah tinggal dan
menetap di Kufah. Para ahli hadits dan fiqh telah mengambil ilmu pengetahuan
darinya di Kufah. Ia seorang guru, hakim dan peletak dasar sistematika
pengajaran di Kufah. Diantara pendapatnya yang menonjol adalah menggunakan
kekuatan ijtihad, kalau tidak ada ketetapan nashnya. Ibnu Abbas pada akhir
hayatnya meninggalkan Kuffah menuju Madinah dan di Madinah beliau wafat pada
tahun 32 H/653 M. 4. Abdullah bin Amr bin al-Ash (w. 77 H/698 M) Beliau adalah
seorang ahli mengenai al-Qur'an dan juga tentang kitab-kitab samawi yang
terdahulu. Merupakan keistimewaan baginya ialah merasa tidak cukup dengan
menghafal saja apa yang didengar dari Nabi saw, tetapi ia menulisnya juga, ia
meminta izin kepada Nabi saw untuk menulis apa yang didengarnya dari Nabi dan
Nabi mengizinkannya. Abdullah bin Amr ikut berperang menaklukan Mesir bersama
ayahnya Amr bin 'Ash. Dia telah meletakkan garis (Kittah) pendapatnya di Mesir.
Penduduk Mesir telah meriwayatkan hadits dari beliau lebih dari 100 hadits.
Dialah merupakan acuan dan rujukan mereka dalam penetapan hukum, pemberi fatwa,
dan dalam pengajaran mereka. Paraq Mufti Mesir mengambil ilmu dari beliau,
seperti Yazid bin Nabib dan murid-muridnya. C. Sumber Hukum Islam Pada Periode
Sahabat Kita ketahui bahwa sumber penetapan hukum dimasa Nabi saw adalah
al-Qur'an dan as-Sunnah. Setelah Nabi wafat dan wahyu tidak turun lagi,
kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama beralih ke tangan Khulafa
ar-Rasyidin dan para Sahabat. Disebabkan al-Qur'an dan Sunnah tidak memuat
semua peristiwa yang terjadi dan bakal terjadi pada kaum muslimin sebagai
konsekuensinya, maka para sahabat dituntut untuk berijtihad dalam menetapkan
ketentuan-ketentuan umum yang sudah ditetepkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.
Mengenai peistiwa yang juz'iyah. Nabi memang telah mempersiapkan jalan ijtihad
bagi mereka dengan melatih dan melaksanakan untuk berijtihad, baik ijtihadnya
benar ataupun salah. Maka jelaslah, bahwa dalam berijtihad para sahabat
berpegang kepada 4 hal yang merupakan sumber fiqh ijtihad di masa itu, yaitu:
Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma',dan Ar-Ra'yu. D. Perbedaan pendapat dikalangan
Sahabat Perbedaan pendapat sudah terjadi sejak zaman sahabat Nabi saw. Sahabat
berbeda pendapat dalam meyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga
dari kekeliruan. Keputusan fiqh seseorang kadang-kadang berbeda dengan beberapa
hal, diantaranya : 1. Perbedaan persepsi dalam menjawab "Mengapa sebuah
keputusan hukum diambil. "Dalam ushul fiqh biasa disebut perbedaan menetapkan
"ilat hukum" 2. Perbedaan pendapat dapat juga terjadi karena sebuah
hadits diketahui atau dipakai oleh orang tertentu yang tidak diketahui atau
dipakai oleh orang lain 3. Hadits yang ada dipandang tidak kuat, sehingga harus
ditinggalkan 4. Keragaman pengetahuan tentang nasakh juga melahirkan perbedaan
pendapat 5. Nash-nash hukum dalam al Qur'an dan Hadits sangat banyak tidak
bersifat tegas dalam menentukan indikasinya 6. Sunnah Nabi saw yang telah
tersebar dikalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada konsensus untuk
menghimpun Sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama 7.
Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. E. Beberapa Peristiwa
yang Terjadi di Seputar Sumber Hukum Islam Pada Periode Sahabat Pada periode
ini mulai digerakkan kodifikasi ayat-ayat hukum bersamaan dengan pembukuan al
Qur'an dan penyebarluasannya dikalangan umat Islam. Pada tahun 20 H Khalifah
Usman bin Affan mengambil al Qur'an tersebut dari tangan Umm al Mu'minin Hafsah
binti Umar dan beliau menguasakan Zaid bin Tsabit serta beberapa sahabat
lainnya untuk menulis kembali naskah al Qur'an untuk disebarkan keberbagai
negeri agar mempermudah umat Islam untuk mempelajari dan terhindar dari
perbedaan pada seputar bacaan al Qur'an karena perbedaan dialek membacanya.
Adapun sumber kedua yaitu Hadits dan ketiga yaitu hasil Ijtihad, keduanya belum
terbukukan pada periode ini. F. Perkembangan Fatwa Sahabat Para
Khulafaurrasyidin dalam menetapkan suatu hukum yang mereka lakukan, adalah: 1.
Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat 2. Pembagian harta Rampasan 3.
Satu orang dibunuh oleh beberapa orang 4. Hukuman diyat karena pengampunan
salah seorang wali 5. Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam masa 'iddah
6. Bagian zakat orang mukallaf 7. Isteri yang dicerai oleh suami yang sedang
sakit 8. Peminum khamar, masalah ahli waris isteri dan tentang pernikahan. eee
Pengaruh Aliran-Aliran Politik (Syiah, Khawarij dan Sunny) terhadap
Perkembangan Hukum Islam Pada Waktu Itu A. Syiah Syiah berasal dari bahasa
Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah Syiya'un. Syiah
adalah kelompok muslim yang setia kepada Ali r.a dan keluarga serta
keturunannya. Mereka berpendapat bahwa kalifah itu sebenarnya hak Ali sebagai
penerima wasiat langsung dari Rasulullah saw untuk menggantikan kepemimpinan
beliau. Syiah akhirnya terpecah dalam berpuluh-puluh kelompok. Perpecahan itu
disebabkan oleh berbagai faktor, pertama karena perbedaan prinsif dan ajaran
yang berakibat timbulnya kelompok yang eksterem yang menganggap bahwa khalifah
itu suci dan barangsiapa yang menentangnya dianggap kufur, kedua karena
perbedaan pendirian tentang siapa yang harus menjadi imam sepeninggal Husein
bin Ali (imam ketiga) sesudah Ali Zainal Abidin (imam keempat), dan sesudah Ja'far
Shadiq (imam keenam). Adapun golongan-golongan dalam kaum Syiah adalah
Sabaiyah, Kaisaniah, Imamiyah, Ismailiyah, Zaidiyah dan Qaramithah. akan tetapi
yang besar pengikutnya adalah Zaidiyah, Imamiyah dan Itsna Asyariyah. Inti dari
faham atau pemikiran Syiah, adalah : 1. Imam seharusnya dari keturunan Ali bin
Abi Thalib Kw, yaitu saudara sepupu Nabi, menantu Nabi, pahlawan Islam yang
berani dan salah seorang dari sepuluh sahabat yang telah dikabarkan oleh Nabi
akan masuk syurga. Barangsiapa yang tidak menerima faham ini adalah orang
terkutuk karena tidak mau menuruti wasiat Nabi. 2. Imam" adalah pangkat
yang tertinggi dalam Islam dan bahkan salah satu rukun dan tiang Islam. 3.
"Imam" itu adalah "ma'shum", artinya tidak pernah membuat
dosa dan tidak boleh diganggu gugat dan dikritik, karena dia adalah pengganti
Nabi yang sama kedudukannya dengan Nabi. 4. "Imam" masih mendapat
wahyu dari Tuhan, walaupun tidak dengan perantaraan Jibril dan wahyu yang
dibawanya itu wajib ditaati. Imam-imam kaum Syiah mewarisi pangkat Nabi atau
jabatan Nabi walaupun ia bukan Nabi. B. Khawarij Kaum Khawarij menyebut diri
mereka Syurah, yang berasal dari kata Ysyriy yang artinya menjual atau
mengorbankan diri kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah
ayat 207. Kaum Khawarij adalah pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju dengan sikapnya menerima arbitrase sebagai
jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Muawiyah.
Mereka disebut Khawarij, karena mereka keluar dari barisan Ali serta bertekad
untuk membunuh para tokoh yang terlibat dalam arbitrase (tahkim) tersebut.
Selanjutnya mereka pergi menuju kampung Harura dan mengangkat pemimpin yang
bernama Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyiby dan golongan ini terbagi menjadi
beberapa kelompok antara lain: al muhakkimah, al azariqoh, al najdah dan al
ajaridah. Adapun ajaran golongan Khawarij dan pemikiran hukum Islam Khawarij 1.
Orang-orang yang melakukan dosa besar adalah kafir 2. Wajib tidak mengikuti
pemimpin yang zhalim 3. Kekhalifahan adalah hak orang yang terpilih kaum
muslimin meskipun bukan kaum Quraisy ataupun Arab 4. Perbuatan-perbuatan
seperti shalat, zakat, puasa adalah bagian dari iman, maka iman seseorang tidak
terealisasikan kecuali dengan pembenaran hati bukan pengakuan lisan saja. C.
Sunny Arti Ahlussunnah ialah penganut sunnah Nabi, sedangkan wal Jama'ah ialah
penganut i'tiqad Jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahlussunnah wal
Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad
saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat
Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij. Golongan ini tidak
berpendapat bahwa jabatan khalifah itu merupakan wasiat yang diberikan kepada
seseorang. Tetapi mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu dipilih dari
suku Quraisy yang cakap kalau ada. Golongan ini tidak mengutamakan
khalifah-khalifah dengan yang lain dari kalangan sahabat. Mereka menta'wilkan
persengketaan yang terjadi dikalangan sahabat dengan soal ijtihad dalam politik
pemerintahan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah iman dan kafir.
Termasuk prinsip yang diyakini oleh golongan ini adalah bahwa Din dan Iman
merupakan ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati,
lisan dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan
berkurang karena maksiat. Diantara pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal
jama'ah adalah : 1. Penolakan terhadap keabsahan nikah mut'ah. Bagi Jumhur,
nikah mut'ah haram dilakukan 2. Jumhur menggunakan konsep aul dalam pembagian
harta pusaka 3. Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta 4. Jumlah
perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran
terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim) 5. Persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka
bermaksiat 6. Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara
keseluruhan, dan mereka tidak kekal dalam neraka, dan masih tergolong beriman
atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak 7. Para sahabat itu
dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar
maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu
ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil. eee Perkembangan Hukum Islam Pada
Periode III A. Pemegang Kekuasaan Pada Periode Ketiga (41-100 H) Setelah masa
khalifah yang empat itu berakhir, maka tahap atau generasi selanjutnya adalah
zaman tabi'in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan ini
didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang sebelumnya menjadi gubernur di
Damaskus. Kemudian dalam berijtihad para tabi'in mengikuti langkah-langkah
penetapan hukum yang dilakukan oleh periode sebelumnya yakni sahabat. Adapun
sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi'in ini ialah : Al Qur'an, Sunnah,
Ijma' pendapat para sahabat dan Ijtihad dengan ra'yu. B. Kekuasaan Pemerintahan
Dan Syari'at Islam Pada era dinasti Umayyah, seorang khalifah pada umumnya
tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Maka persoalan agama diserahkan
kepada Ulama. Dan pada era ini juga ada pemisahan antara kedua kekuasaan.
Kekuasaan administrasi di Damaskus sementara Ulama yang ahli agama berpusat di
Madinah. Dalam menghadapi penguasa yang bukan ahli agama itu, para ulama
membangun kerangka hukum Islam di daerah masing-masing. Dengan otoritas
membangun kerangka hukum di daerah-daerah ini tampaknya kelompok-kelompok
kekuatan politik yang muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merasa
leluasa mengembangkan pengaruh mereka masing-masig untuk merebut kekuasaan dari
tangan Dinasti Umayah. C. Faktor-faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Pada masa ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa baru yang mendorong
perkembangan hukum Islam, yaitu : 1. Bidang politik Pada bidang ini timbul tiga
golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing
kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri. 2. Perluasan wilayah
Dalam hal ini Muawiyah telah menjalankan pemerintahannya, yaitu memindahkan ibu
kota Negara dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah kemudian melakukan ekspansi ke
Barat sehingga dapat menguasai Tunisia, al Jazair, Maroko sampai ke pantai
Samudra Atlantik. Banyak daerah-daerah baru yang dikuasai pada saat itu,
berarti banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan. Dengan demikian,
perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam. 3. Perbedaan
Penggunaan Ra'yu Pada zaman tabi'in ini, fuqoha dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu aliran ahli hadits dan aliran ra'yu. Aliran hadits adalah golongan yang
lebih banyak menggunakan riwayat hadits dan sangat hati-hati dalam penggunaan
ra'yu, sedangkan aliran ra'yu lebih banyak menggunakan ra'yu (akal)
dibandingkan dengan aliran hadits. D. Pengaruh Ahlu Hadits dan ahlu Ra'yu
Terhadap Hukum Islsm diZaman Tabi'in Adanya ahli hadits dan ahli ra'yu membawa
pengaruh terhadap hukum pada masa ini, karena pad zaman tabi'in ini ulama
terbagi menjadi dua aliran, yaitu ulama yang tetap tinggal di Madinah dan
akhirnya terbentuk aliran Madinah (aliran Hadits) dan sahabat yang keluar dari
Madinah dan kemudian menetap di Irak (Kuffah), mereka menyebarkan hukum Islam
yang pada akhirnya terbentuk hukum Islam corak Kuffah. Sedangkan ulama Kuffah
relatif lebih longgar dalam penggunaan Ra'yu. E. Sumber-sumber Hukum Islam
Zaman Sighorusshabah dan Tabi'in Secara umum mereka mengikuti langkah-langkah
penetapan dan penerapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam istimbat al
ahkam, langkah-langkah yang mereka lakukan adalah : 1. Mencari ketentuan dalam
al Qur'an 2. Apabila ketentuan itu tidak mereka temukan dalam al Qur'an maka
mereka akan ke Sunnah 3. Apabila tidak ditemukan dalam al Qur'an dan Sunnah
mereka kembali kepada pendapat sahabat (Ijma') 4. Apabila pendapat sahabat
tidak diperoleh maka mereka berijtihad. eee Perkembangan Hukum Islam Periode IV
atau Periode Kodifikasi Hukum Islam dan Munculnya Tokoh-Tokoh Imam Mujtahid A.
Kondisi Hukum Islam Pada Periode Keempat Periode keempat atau periode
kodifikasi ini berlangsung mulai awal abad II H dan berakhir pada pertengahan
abad IV H. Periode ini disebut periode tadwin atau pembukuan karena pada masa
inilah gerakan penulisan dan pembukuan hukum-hukum Islam mengalami kemajuan
yang sangat pesat Hadits-hadits Nabi, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat,
tabi'in, tafsir al Qur'an, fiqih para iamam mujtahid serta berbagai risalah
ilmu ushul fiqih telah dikodifikasi dalam bentuk pembukuan dan sumber
hukum-sumber hukum Islam pada periode kodifikasi (tadwin) ini ada empat yaitu :
al Qur'an, as Sunnah, Ijma' dan Ijtihad. Adapun yang melatarbelakangi pembukuan
hukum Islam pada masa ini adalah : 1. Pemerintahan Islam pada periode ini sudah
meluaskan didaerah kekuasaannya 2. Pada periode ini telah menguasai
sumber-sumber tasyri' dan mengetahui berbagai peristiwa yang pernah terjadi dan
kemusykilan yang sudah teratasi oleh ulama sebelumnya. 3. Umat Islam sngat
bersemangat dan antusias dalam seluruh aktifitasnya, baik dalam hal ibadah,
muamalah dan transaksi-transaksi sosial lainnya 4. Munculnya tokoh-tokoh yang
mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung. a. Penulisan Hadits Ada tiga
tahapan dalam penulisan hadits, yaitu : Tahap pertama : dimulai sekitar abad ke
II H, ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta Abu Bakar bin Muhammad bin
Hazm untuk merintis atau disusun menurut bab-bab tertentu, seperti bab-bab
shalat, bab jual beli dan lain-lain. Tahap kedua : dimulai dari akhir abad ke
II H. Pada tahap ini metodologi penulisan Hadits berdasarkan sanad atau dengan
kata lain hadits ditulis menurut sanad-sanad tertentu (sahabat yang meriwayatkan
hadits dari Nabi). Tahap ketiga : dimulai sekitar pertengahan abad Ke III H
hingga akhir periode ke IV dari sejarah perkembangan fiqih. Metodologi
penulisan hadits Fase (tahapan) ini seperti tahapan sebelumnya disusun menurut
bab-bab tertentu yang membedakan dari tahapan pertama adalah kumpulan hadits
yang ditulis pada tahapan ini terpisah dari qoul sahabat dan fatwa-fatwanya.
Termasuk dalam tahapan ketiga ini adalah kutubussittah yang ditulis oleh
ahli-ahli hadits yang diakui validitasnya hingga zaman kita sekarang ini. b.
Penulisan Tafsir Pada periode ini tafsir ditulis secara tematis dan menurut
kronologis surat dan ayat. metodologi penulisan hadits yang mucul pada periode
ini berkisar pada 2 hal, pertama metode tafsir berdasarkan kepada ayat , hadits
dan atsar sahabat. Dalam metode ini seseorang mufasir menafsirkan ayat dengan
ayat yang lain atau hadits dengan atsar seperti yang dikembangkan oleh beberapa
ulama tafsir abad pertengahan, seperti Sayuti, Syaukani dan Thabati, yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Tafsir bil Maktsur". Kedua metode
tafsir ini berdasarkan pemikiran dan ijtihad yang oleh sebagian ulama disebut
"Takwil'. c. Penulisan Fiqih Ada Empat Metode Penulisan Fiqih, yaitu :
Metode pertama : penulisan fiqih bercampur dengan hadits, fatwa sahabat dan
tabi'in, dari metode ini yang sampai kezaman kita adalah al Muwattha karya imam
Malik. Karya imam Malik ini memuat masalah-masalah fiqhiyah yang yang diambil
dari hadits, qoul sahabat dan ijma' tabi'in serta tradisi-tradisi orang-orang
Madinah. Metode kedua : fiqih ditulis secara terpisah dari hadits dan atsar.
Suatu metode penulisan fiqih yang banyak digunakan oleh ulama fuqoha Hanafiyah.
Metode ketiga : Penulisan fiqih Al Umm karya Imam Syafi'i. Imam Syafi'i
mengemukakan pendapatnya tentang berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalil
dan argumentasinya, kemudian didiskusikan pendapat ulama lain dalam persoalan
yang sama. Metode keempat : penulisan fiqih perbandingan (komparatif) karya
Ibnu Rusy. d. Peulisan Ushul Fiqih Pembukuan ilmu Ushul Fiqh pada periode ini
sudah dibukukan dan setiap imam Mujtahidlah yang meletakkan ilmu Ushul Fiqih
dan dasar-dasarnya yang merupakan landasan dan sandaran dalam melakukan
aktivitas ijtihad. Orang yang pertama kali menghimpun kaidah-kaidah ushul fiqh
secara sistematis yang dilengkapi dengan argumentasi setiap kaidah adalah Imam
Muhammad bin Idris al Syafi'i dalam kitabnya ar Risalah yang terkenal dalam
ilmu Ushul Fiqh. B. Pemegang Kekuasaan Tasyri' Para tabi'in ini selanjutnya
diikuti juga oleh generasi berikutnya, yaitu para tabi'it tabi'in, mereka
mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi'in sebagaimana halnya yang
mereka terima dari para sahabat. Selanjutnya sesudah masa tabi'it tabi'in maka
mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri' lainnya yang memegang kekuasaan
peran dan dalam mengembangkan hukum Islam. Para imam mujtahid yang empat itu
adalah: 1. Imam Abu Hanifah Namanya ialah Al-Nu'man bin Tsabit. Beliau lahir
pada tahun 80 H (687 M) di Kuffah dan wafat pada tahun 150 H (767 M) di Baghdad.
Adapun metodologi istimbat hukum-hukum fiqih yang ditempuh Abu Hanifah adalah
dengan mendasarkan pada al Qur'an, sunnah, ijtihad sahabat, qiyas dan istihsan.
2. Imam Malik Namanya ialah Malik bin Anas al Asbahi lahir di Madinah pada
tahun 93 H (712 M) dan wafat pada tahun 173 H / 792 M. Ia seorang ahli hadits
dan sekaligus seorang ahli fiqih. Adapun metodologi penetapan hukum yang beliau
tempuh adalah dengan berdasarkan pada al Qur'an kemudian as Sunnah. Setelah
Sunnah yang dijadikan dasar metodologi penetapan hukum, imam Malik juga merujuk
kepada Qiyas atau analogi. Selain itu juga banyak persoalan hukum dalam mazhab
Malik yang di bangun dengan menggunakan metode maslahah mursalah. 3. Imam
Syafi'i Namanya ialah Muhammad bin Idris Asy syafi'i al Qirasyi. Beliau
dilahirkan disebuah kota yang bernama Ghazzah pada tahun 150 H / 767 M dan
wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi'i belajar ilmu fiqih di Mekkah
kepada Muslim bin Khalid seorang Syeikh dan mufti di Masjidil Haram. Kemudian
dia pindah ke Madinah setelah hafal kitab Muwattha' karangan Imam malik dan
inilah guru Imam syafi'i yang kedua. Diantara kitab ajarannya yang diajarkan
kepada murid-muridnya adalah kitab "Al-Umm". 4. Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani Al Marwazi.
Dia dilahirkan disebuah kota yang terkenal di Persia bernama "Marw"
pada tahun 164 H dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 241 H. Adapun
langkah-langkah ijtihad imam Hanbal adalah : a. Menurut imam Hanbal sumber hukum
utama yaitu al Qur'an dan Hadits yang marfu' b. Sumber yang kedua adalah fatwa
para sahabat c. Apabila terdapat perbedaan para sahabat, maka imam Ahmad bin
Hanbal memilki pendapat yang lebih dekat kepada ajaran al Qur'an dan as Sunnah
d. Mengambil Hadits mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang
menghalanginya e. Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak
ada "senjata" yang disebut di atas. eee Perkembangan Hukum Islam
Periode V (350-656 H) dan Tokoh-Tokoh Fuqoha yang Berpengaruh A. Kondisi Hukum
Islam Pada Periode Murojikhin Pada periode ini wilayah Islam terbagi kepada
beberapa bagian yang masing-masing dipimpin oleh seorang wali (gubernur) yang
disebut "Amirul Mukminin" dengan pembagian ini umat Islam tertimpa
kelemahan dan kemerosotan karena negara-negara ini saling berbantah-bantahan
dan banyak terjadi fitnah serta permusuhan dan perpecahan menempati
persaudaraan dan persatuan. Masing-masing dari mereka komitmen dengan satu
mazhab tertentu dan mencurahkan kekuatannya untuk menyokong mazhab yang lain.
Pada periode ini, para Mujtahid hanya mempelajari buku-buku Imam tertentu dan
mempelajari cara-cara istinbat hukum yang dibukukan itu. Namun perlu diketahui
pada periode ini benih-benih taqlid sudah muncul atau gejala-gejala pintu
ijtihad mulai tertutup tapi mereka masih mengadakan istinbat hukum dengan cara
mentakhrij dan mentarjih. Jadi pada periode ini ijtihad tidak mati sekaligus,
tetapi sedikit demi sedikit dengan menjalarnya rasa ketakutan dan kelemahan
dalam jiwa, bertumpuknya bencana pada Islam dan banyaknya pembagian negara yang
menyebabkan kemunduran dan kemerosotan, maka ijtihad dianggap sudah tertutup.
B. Tertutupnya Pintu Ijtihad Dalam waktu yang bersamaan kegiatan-kegiatan dalam
bidang fiqh ditangani oleh orang-orang yang semata-mata mengincar jabatan hakim
(qadhi). Dan tidak mengherankan jika para ahli ilmu fiqh seperti itu mudah
sekali terbawa arus penguasa meskipun untuk itu harus mengorbankan
kepentingan-kepentingan fiqh dan hukum Syara'. Mereka mempersempit ruang
cakrawala pemikiran mereka pada lingkungan terbatas mengenai cabang-cabang
hukum dan Ushuliyah dari mazhab para imam mujtahid tersebut. Dan mereka hanya
mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan para
imam mujtahid mereka. Buruknya keadaan fiqh yang sedemikian rupa itu menjadi
pertimbangan para fuqoha dan ulama yang sepakat megeluarkan fatwa pintu ijtihad
telah tertutup. Meskipun keputusan tersebut disatu sisi membawa manfaat namun
sebenarnya disisi lain justru membawa suatu bencana yakni taqlid semakin
mengakar. C. Kinerja Ulama Pada Periode V (Murojikhin) Walaupun kondisi ulama
pada periode ini benar-benar dalam keterpakuan tekstual yang sangat mencekam,
tetapi jasa-jasa mereka dalam menghimpun pemikiran-pemikiran fiqh para imam
adalah sebagai suatu kekayaan khazanah fiqh dalam Islam, diantara kinerja yang
mereka lakukan, yaitu mereka menghimpun pemikiran-pemikiran fiqh itu dengan
mentarjih (memilih yang kuat) dari berbagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya,
kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan kaidah-kaidah ushuliyah yang
menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Dan sudah pasti selama
penghimpunan, pentarjihan dan perumusan itu sering terjadi muadzaroh, diskusi,
dialog dan perdebatan diantara para pengikut mazhab. Dari pemaparan diatas,
maka kinerja ulama pada periode ini dapat dirumuskan sebagai beikut : 1.
Pentarjihan berbagai pendapat dalam mazhab 2. Pembelaan mazhab 3. Perumusan
dasar-dasar mazhab D. Tokoh-tokoh Fuqoha Pada Periode Murajikhin Adapun
tokoh-tokoh fuqoha dalam peiode ini, diantaranya : 1. Ulama Hanafiyah a. Abul
Hasan Ubaidillah Al Hasan al Karkhi b. Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar Razi Al
Jashshash c. Abu Ja'far Muhammad bin Abdillah Al Balkhi Al Handawani d. Abu
Laits Nash bin Muhammad As Samarqandi e. Abu Abdullah Yusuf bin Muhammad Al
Jurjani 2. Tokoh-tokoh Fuqoha Malikiyah a. Muhammad bin Yahya bin Lubhah Al
Andalusia b. Bakar bin 'Ala Al Qusyairi c. Abu Isha Muhammad bin Qasim bin
Syu'ban Al 'Ansi d. Muhammad bin Harits bin Al Khasyani e. Abu Bakar Muhammad bin
Abdullah Al Mu'ithi Al Andalusi eee Perkembangan Hukum Islam Periode VI
(Mukhollidin) Periode ini mulai sekitar pertengahan abad IV H / X M. Pada masa
ini pula terdapat beberapa faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang
mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam
pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandegan. Mereka
tidak lagi menjadikan al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi
mereka sudah merasa puas dengan bertaqlid kepada imam-imam mujtahid terdahulu,
mereka mempersempit cakrawala pikiran mereka pada lingkungan terbatas mengenai
cabang-cabang hukum dan ushulnya dari mazhab para imam mujtahid. A. Sebab-sebab
Terjadinya Taqlid Faktor terpenting yang menyebabkan terhentinya gerakan
ijtihad dan suburnya kebiasaan bertaqlid kepada Imam terdahulu, yaitu : 1.
Terpecahnya daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dan
lainnya saling bermusuhan 2. Pada periode ini tokoh-tokoh fuqoha terpolarisasi
dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum
tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula 3. Umat Islam mengabaikan
sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara disisi lain mereka juga tidak
mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut
berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya 4. Para ulama dilanda krisis
moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang
yang melakukan ijtihad. Adapun dalam pandangan Muhammad 'Ali As Syyis, yang
menjadi penyebab taqlid adalah : 1. Munculnya ajakan yang kuat dari para
penerus mazhab untuk mengikuti mazhabnya sehingga yang tidak menganbil dan
menggunakan pendapat imam mazhabnya dianggap keluar dari mazhab dan melakukan
bid'ah 2. Adanya degradasi pemikiran para hakim 3. Berkembangnya pembentukan
aliran-aliran fiqh 4. Adanya ulama yang saling menghasud 5. Munculnya
perdebatan ahli hukum secara tidak sehat 6. Berkembangnya sikap berlebihan
dalam mengajarkan fiqh mazhab 7. Rusaknya sistem belajar 8. Banyaknya
kitab-kitab fiqh 9. Hilangnya kecerdasan individu 10. Munculnya kesenangan
masyarakat pada harta secara berlebihan (materialistik). B. Kesungguhan Ulama
dalam Pembentukan Hukum Islam Pada Periode Ini 1. Ahli ijtihad dalam mazhab
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari'at secara ijtihad mutlak. Mereka
hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar
ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka
adalah al hasan ibn Ziyad (204 H / 820 M), Ibn Al Qasim (191 H), Asyhab (204 H
/ 820 M), al Buwaihiy (231 H), Muzanniy (264 H). 2. Ahli Ijtihad mengenai
beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhabnya Mereka hanya
mengistimbatkan hukum-hukum megenai berbagai masalah yang tidak ada riwayatnya
sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan dengan mengqiyaskan
kepada cabang-cabang hukum mereka. Diantara mereka adalah al Khashashaf (261
H), al Thahawiy (230 H), al Karkhiy (340 H), al Lakhamiy (498 H), Ibn al Arabiy
(542 H), Ibnu Rusyd (1198 H), Abu Hamid al Ghazali (505 H / 1111 M) dan Abu
Ishak al Isfirayiniy (418 H). 3. Ahli Takhrij Mereka ini tidak berijtihad dalam
mengistimbatkan hukum mengenai berbagai masalah. Akan tetapi, karena
keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka
mreka tidak berusaha mengeluarkan 'ilat-'ilat hukum dan prinsip-prinsinya. Yang
termasuk pada level ini ialah al Jashshash (370 H) dan rekan-rekannya dari
penganut Hanafiyah. 4. Ahli Tarjih Mereka ini mampu membandingkan diantara
beberapa riwayat yang bermacam-macam yang bersumber dari para imam mazhab
mereka dan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu
riwayat dengan riwayat lain. Adapun yang termasuk pada level ini adalah : al
Qaduriy (428 H) dan rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi. 5. Ahli
Taqlid Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang
dikenal, riwayat yang sudah dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas.
Mereka membatasi diri mereka pada pembahasan mengenai pendapat-pendapat imam
mazhab mereka dan ilat-ilat yang mereka jadikan dasar pertimbangan dan mereka
mentarjih, menetapkan mana pendapat yang lebih kuat diantara pendapat mereka
yang kelihatan kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya 6. Ahli Ittiba'
Ittiba' ialah mengikuti pendapat seorang mujtahig dengan memahami atau mengerti
cara-cara maupun alasan-alasan yang menjadikan dasar yang bersangkutan
mengalirkan atau menetapkan garis-garis mengenai sesuatu hal tertentu. eee
Periode Hukum Islam Periode VII (Mustaqillin) Kebangkitan Hukum Islam dan
Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh A. Kebangkitan Hukum Islam Pada abad ke-14 telah
timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam
dunia pemikiran agama dan hukum. seorang mujtahid itu ialah Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim al Jauziah (1292-1356). Pola pemikiran
beliau dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787)
yang dikenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengatuhan pada gerakan Padri
di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin al
Afghani (1839-1897) terutama dilapangan politik (H. M. Rasjidi, 1976:20) dialah
yang memasyhurkan ayat al Qur'an (QS. 13:11) yang mengatakan bahwa "Allah
tidak akan mengubah nasib suatu bangsa itu sendiri terlebih dahulu berusaha
mengubah nasibnya sendiri" ayat ini dipakainya untuk menggerakan
kebangkitan uamt Islam. Dalam buku "Islam and Modernisme in egypt
(1933)" disebutkan beberapa pembaharuan pemikiran yang dilakukan oleh M.
Abduh diantaranya : 1. Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan
kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam 2. Mengadakan pembaharuan dalam sistem
pendidikan Islam terutama ditingkat perguruan tinggi 3. Merumuskan dan
menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern 4. Mempertahankan
membela ajaran Islam dan pengaruh Barat dari serangan agama lain 5. Membebaskan
negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan. Menurut
M. Abduh dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan kebodohan merupakan sumber
kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu kemiskinan dan kebodohan
harus diperangi melalui pendidikan. Beliau juga menganjurkan orang untuk
berijtihad dan menolak taqlid. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam
dikalangan orang-orang Islam sendiri terutama di masa akhir-akhir ini.
Perhatian dunia terhadap perkembangan hukum Islam menjadi bertambah. Banyak
faktor yang menyebabkan perhatian itu, diantaranya adalah seperti yang
dikemukakan oleh beberapa ahli hukum Islam tersebut di bawah ini : Menurut
Robert Jackson : 1. Negara-negara Barat yang gelisah itu telah menemukan dalam
dunia Islam sekutu melawan paham komunis 2. Pandangan dunia Barat kini lebih
obyektif terhadap dunia Islam , sejarah dan perbedaan agama 3. Perdagangan
dengan Timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang Barat
mempelajari hukum dan perundang-undangan Islam. B. Tokoh-tokoh yang Berpengaruh
Setelah berabad-abad lamanya umat Islam dicekam oleh taqlid dan kebekuan. Pada
pertengahan abad ke-18 M, timbullah usaha-usaha pembaharuan (reformasi) cara
berfikir untuk melepaskan diri dari rantai taqlid dan jumud. Tokoh-tokoh
dibawah ini mengumandangkan seruan kembali kepada al Qur'an dan as Sunnah.
Golongan ini dinamakan golongan salafiyyin. Diantara mereka adalah Imam Ibn
Taimiyah, Imam Ibn Qoyyim dari ulama abad ke-8 H kemudian M. Ibn Abdul Wahhab
dari ulama abad ke-18 H. Pembaharuan gerakan Wahahabiyah di semenanjung tanah
Arab, akhirnya bangunlah Jamaluddin al Afghani di akhir abad ke-13 H dan Imam
M. Abduh serta murid-muridnya, seperti Sayyid Rsyid Ridha. Golongan Salafiyyin
ini mengajak para ulama kepada : 1. Meninggalkan taqlid buta 2. Mempersatukan
mazhab 3. Kembali kepada sumber-sumber tasyri' yang asli 4. Membasmi bid'ah dan
khurafat Diantara tokoh-tokoh gerakan pembaharuan yang bertujuan membangun
kembali umat Islam, ialah : 1. Ibn Taimiyah Beliau adalah seorang tokoh pada
abad ke 14 , yang membagi ruang lingkup agama Islam kedalam dua bidang besar
yakni ibadah dan muamalah. Beliau juga mengajak umat Islam mempelajari fiqh
atau hukum Islam langsung dibawah sinaran al Qur'an dan as Sunnah dengan
kebutuhan masa dan masyarakat yang berkembang dengan pesatnya. 2. Muhammad bin
Abd Wahhab Muhammad bin Abdul Wahhab di Hijjaj yang melancarkan dakwah
pembasmian syirik dan bid'ah dengan kembali kepada al Qur'an dan Hadits Nabi
serta amalan-amalan ulama sahabat 3. Muhammad bin as Sanusi M. Sanusi di Libia
yang menitik beratkan pembersihan agama Islam dari infiltrasi musuh-musuh Islam
dan mengajak kembali kepada al Qur;an, sunnah dan amalan-amalan ulama-ulama
salaf 4. Al Mahdi Beliau tinggal di Syiria dan menyerukan untuk kembali kepada
hukum Allah dan Rasulnya 5. Jamaluddin al Afghani, M. Abduh dan M. Rasyid Ridha
di Mesir. Melalui majalah al Urwatul Mustaqa dan al Manar, mereka kumandangkan
terbukanya pintu berfikir, ditinggalkannya taqlid dan kembali kepada al Qur'an
dan as Sunah. al Afghani menyuarakan gagasan antara lain, yaitu Pan Islam
Reformis. M. Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid'ah ke dalam Islam
menyebabkan umat Islam melupakan ajaran yang sebenarnya. Maka M. Abduh mengajak
umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni dan harus diinterpretasikan
sesuai dengan keadaan modern untuk itulah pintu ijtihad perlu dibuka. Rasyid
Ridha ide-ide pembaharuannya yakni dalam bidang agama,sosial dan ekonomi
memberantas tahayul dan bid'ah yang masuk ke dalam ajaran Islam, menghilangkan
faham Fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam. 6. Di Indonesia
Gerakan pembaharuan ini tidak ketinggalan dengan tampilnya sejumlah ulama
terbuka melalui sejumlah organisasi Islam merekapun tidak sedikit mendapat
tantangan dan rintangan dari para Muqollidin, antara lain: Syekh A Hassan dari
Persis yang terkenal dengan hujjahnya yang tajam menentang taqlid, fanatisme
mazhab dan bid'ah. K.H M. Dahlan dari Muhammaduyah, Syekh A. Syurkati dari al
Irsyad dengan demikian K.H Hasyim Asy'ari dari NU yang salah satu fatwanya
menandakan penentangan terhadap taqlid. eee Sejarah Perkembangan dan
Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Istilah Hukum Islam merupakan terjemhan
dari al fiqh al Islamy atau dalam konteks lain dari al syari'ah al Islamiyah.
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan hukum Islam adalah koleksi daya upaya para
ahli hukum untuk menetapkan syari'at atas kebutuhan masyarakat. Hukum Islam
adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al Qur'an
maupun as Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal
relevan pada setiap zaman dan ruang manusia. Sebagai akibat logis dari sifat keuniversalan
hukum Islam adalah ketentuan hukumnya ada yang ditujukan khusus untuk
orang-orang Islam dan adapula yang ditujukan khusus untuk orang-orang
non-Islam. Pengkhususan ini dimaksudkan agar prinsip-prinsip hukum-hukum Islam
yang ingin ditegakkan haruslah senantiasa menghargai dan menghormati elemen
hukum yang ditegakkan oleh agama lain. Prinsip Islam adalah tidak ada paksaan
dalam beragama serta bagimu agamamu dan bagiku agamaku. A. Latar Belakang
Keberadaannya Secara universal, hukum Islam terbagi kepada dua aspek, pertama
fiqh ibadah yang meliputi shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya yang
bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua fiqh
muamalah yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya Mengenai sejarah
berlakunya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari dua periode, yaitu
pertama periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (reception in complexu)
adalah suatu eriode di mana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang
Islam, kedua periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (receptie) yaitu
bahwa hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh ukum adat.
B. Perkembangan Hukum Islam di Indoneia Untuk mengisi kekosongan hukum dan
adanya upaya dalam memutuskan suatu perkara, Departemen Agama cq. Biro
Peradilan Agama melalui Surat Edaran Nomor B/I/735 tanggal 8 Februari 1958 yang
ditujukan kepada seluruh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia agar dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman
kepada 13 kitab Fiqh yang sebagian besar kitab fiqh tersebut berlaku di
kalangan mazhab Syafi'i. Para pakar hukum Islam Indonesia telah berusaha
membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif agar hukum Islam tetap eksis
dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era
globalisasi saat ini. Menurut Neouruzzaman, Hasbi Ash-Shiddieqy adalah orang
pertama yang mengeluarkan gagasan agar fiqh yang diterapkan di Indonesia harus
berkepribadian Indonesia dan untuk mewujudkan hal ini maka perlu dibuat
kompilasi hukum Islam di Indonesia. Keperluan suatu kompilasi hukum atau
kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal yang wajar bagi ahli-ahli hukum. Gagasan
Hasbi tersebut mendapat sambutan positif dari berbagai pihak para pembaru hukum
Islam di Indonesia, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Di
Indonesia dikenal beberapa orang pembaru hukum Islam, diantaranya Hasan dari
Bangil, Muhammad Daud Beureuh, Muhammad Natsir, Harun Nasution, Hazairin,
Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Lukman Harun, Busthanul Arifin, dan masih
banyak lagi yang tidak begitu menonjol karena pemikirannya tidak sempat
dipublikasikan atau tidak ada institusi pendidikan yang mempopulerkannya.
Tokoh-tokoh pembaru ini telah banyak berjasa dalam erkembangan hukum Islam di
Indonesia terutama dalam hal memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam
legalisasi nasional dan juga ide lahirnya peraturan perundangan-undangan untuk
dipergunakan oleh umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada
umumnya. Disamping itu, organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Persatuan Islam (Persis), Jami'atul Wasliyah, Al Irsyad, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), telah banyak
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembaruan hukum Islam di
Indonesia dan telah berusaha semaksimal mungkin agar hukum Islam dapat masuk ke
dalam legalisasi hukum nasional. eee Sejarah Hukum Islam dalam
Perundang-Undangan Negara Indonesia A. Sejarah Singkat Hukum Islam di Indonesia
Dalam sejarahnya, hukum Islam di Indonesia lebih banyak didominasi oleh fiqh
Syafi'iyah, karena lebih dekat dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Namun,
lambat laun, pengaruh mazhab Hanafy mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan
hukum Islam ini dapat dilihat pada masa kerajaan Islam awal, bahkan hukum adat
setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Kenyataan semacam ini
diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. B. Sejarah Hukum Islam di
Indonesia dalam Perundang-Undangan Sejarah hukum pada zaman Hindia Belanda
mengenai hukum Islam dapat dibagi atas dua periode, Pertama, periode penerimaan
hukum Islam sepenuhnya yang disebut receptio in complexeu, yaitu periode
berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena memeluk agama Islam.
Apa yang telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman
VOC diakui oleh Belanda, bahkan Belanda sampai memberikan dasar hukum dalam
regering Reglemen (RR) tahun 1885 pasal 75 yang menyatakan bahwa: oleh hakim
Indonesia hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstiege Wetten).
Kedua, periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang kemudian disebut
teori receptie. Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku
apabila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar hukum
dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet
op de Staatsinrichting van Nederlands India. Selanjutnya pada tahun 1937,
pemerintah Hindia Belanda mengemukakan gagasan bahwa wewenang Pengadilan Agama
yang mengadili masalah kewarisan sejak tahun 1882 dialihkan menjadi wewenang
Pengadilan Negeri. Hal ini dengan alasan karena hukum waris belum diterima
sepenuhnya oleh hukum adat. Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam melewati dua
periode, yaitu: 1. Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
Sumber persuasif dalam konteks hukum konstitusi yaitu sumber hukum yang baru
diterima apabila diyakini. Piagam Jakarta sebagai hasil sidang BPUPKI merupakan
sumber persuasif. 2. Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif
Sumber autoritatif berarti sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum).
Hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif dalam ketatanegaraan yakni ketika
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli dikeluarkan yang mengakui bahwa Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945. Sejarah perjalanan hukum Indonesia, kehadiran hukum Islam
dan hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Melalui hasil ijtihad para
mujtahid, baik yang dilaksanakan secara perorangan maupun yang dilaksanakan
oleh organisasi Islam telah melahirkan beberapa peraturan dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 yang
telah diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 tentang Perkawinan, dan lain sebagainya. Mengenai permasalah
hukum yang belum ada dalam fiqh dan ksus-kasus yang diajukan ke Pengadilan
Agama, maka terpaksa Pengadilan Agama melaksanakan ijtihad. Hal ini berdasar
pada UU Nomor 14 tahun 1970 Pasal 22 AB dan Pasal 14 yang menyatakan bahwa
hakim tidak boleh menolak untuk memutus dan mengadili suatu perkara yang
diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Putusan lembaga Peradilan Agama
sudah banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembaruan hukum Islam
dan perundang-undangan di Indonesia, terutama putusan yang didasarkan pada
ijtihad hakim. Contoh ijtihad hakim dalam rangka pembaruan hukum Islam adalah
putusan Peradilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P1989 tanggal 10 April 1989
tentang Perkawinan Melalui Telepon, putusan Mahkamah Agung RI Nomor
51.K/AG/1999 tanggal 29 september 1999 yang memperbaiki putusan Pengadilan
Agama Yokyakarta Nomor 83/pdt/1997/PA tanggal 4 Desember 1997 tentang Penetapan
Ahli Waris yang Bukan Islam Berdasarkan Wasiat Wajibah
No comments:
Post a Comment