Kapita Selekta Pendidikan
Islam
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM
Kritik
atau keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid
selama ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu
mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya
dengan baik dan benar.
Sebagai contoh yang sering dikemukakan,
anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pendidikan
agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu
membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan
menerjemahkan isinya.
Demikian
pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain
kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif ) juga dalam hal pembentukan
prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan
agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam
pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidakberhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidakberhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
A.Pengertian Pendidikan Islam
Dalam menjelaskan
arti Pendidikan Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai
pengertian dari Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan
bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu
menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi sesuai ketentuan Allah dan
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alla1h. Secara
terperinci beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila
memiliki dua ciri khas yaitu :
1.
Tujuannya
membentuk individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2.
Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang
tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek
hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan
menurut Ahmad Marimba bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan
rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai
agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai
Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara
itu arti pendidikan Islam menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia
tanggal 7 s/d 11 Mei 2010 di Cipayung Bogor, adalah bimbingan terhadap
pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dari
beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan
Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan
menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju
terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah
merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari
sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu
individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya
sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
Terdapat dua istilah yang hampir sama
bentuknya,yakni; Paedagogie dan Paedagogiek. Paedagogie artinya Pendidikan,
sedangkan Paedagogiek artinya ilmu pendidikan. “Paedagogiek” sebelumnya berasal
dari kata “Paedagogia” dan berasal dari kata “Paedagogos”. Paedagogos berasal
dari kata Paedos (anak) dan Agoge (saya membimbing, memimpin).
Paedagogiek atau ilmu pendidikan ialah pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan
tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Sebelumnya paedagogiek
berasal dari kata paedagogia yang berarti pergaulan dengan
anak-anak. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada
zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan
dari sekolah. Termasuk hingga dirumahnya anak-anak tersebut mendapatkan
pengawasan dari para paedagogos itu.
Dalam kredo Islam, tidak dibedakan antara Iman
dan Amal Shaleh. Olehnya itu, pendidikan Islam sekaligus merupakan pendidikan
Iman dan pendidikan Amal. Karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah
laku pribadi dimasyarakat menuju kesejahteraan hidup perseorangan dan bersama,
maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.
Karakteristik Pendidikan Islam
- Pendidikan Islam selalu mempertimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya.
- Pendidikan Islam merujuk pada aturan-aturan yang sudah pasti.
- Pendidikan Islam bermisikan pembentukan akhlakul karimah.
- Pendidikan Islam diyakini sebagai tugas suci
- Pendidikan Islam bermotifkan ibadah.
B.Tujuan Pendidikan Islam.
Tujuan
adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang
melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran
yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan pendidikan
Islam.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Prof.Dr.H.Athiyah
al-Abrasy mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam, yakni: “Pendidikan dan
Pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang
belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa
fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan tinggi, mempersiapkan
mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur. Maka
tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti
dan pendidikan jiwa.
Adapun
pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak
mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang
mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di
dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan
kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos
ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.
Tujuan Pendidikan Islam dapat dibedakan dengan
melihat dua aspek, yakni Tujuan Teoritis dan Tujuan Proses.
Tujuan teoritis terdiri dari berbagai tingkat, diantaranya:
- Tujuan Intermedier, yaitu tujuan yang merupakan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu.
- Tujuan Insidental, merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tujuan intermedier.
- Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan bathin di dunia dan di akhirat.
C. Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam.
Menurut
Sardjito Marwan (1996:66-74) dalam berbagai kesepatan diskusi, seminar,
lokakarya, penataran dan lain-lain, telah sering dikemukakan kelemahan dan
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu
yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu,
sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan
agama.
Juga
dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut
anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat
melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh.
Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan
taat melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau
orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus
seperti ini, kiranya kurang adil kalau guru agama dituding sebagai kambing
hitam
.
Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak
dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata
pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama disekolah dasar dari tamatan PGAN
selain urang mendalami materi yang
diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa
memperhatikan
didaktik-metodik dan psikologianak.
D. Beberapa Tantangan Dalam Pendidikan Islam
Kiranya
perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar
pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk
kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat,
guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurang ajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurang ajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”
Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untu ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-ko\ta besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat
islam dalam masa dua atau tiga decade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan
mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun
masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan
hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan
generasi muda dan umat islam Indonesia.
Kesadaran masyarakat ntuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini
mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat
dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama” melaluai media masa,
munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasa diniyah, pesantren kilat,
taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan
Djamarah
& Zain Aswan (1996:123) berpendapat, jika ada guru yang mengatakan bahwa
dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang
sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru
tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu hadir kedalam dunia
pendidikan berdasarkan tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih
atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya.
Betapa
tingginya nilai suatu keberhasilan, sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat
tenaga dan fikiran mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan
sistematik. Namun terkadang keberhasilannya yang dicita-citakan, tetapi
kegagalan yang ditemui; disebabkan oleh beberapa factor sebagai penghambatnya.
Sebaliknya, jika keberhasilan itu menjadi kenyataan, maka berbagai factor itu
juga sebagai pendukungnya, Berbagai factor yang dimaksud adalah :
1. Tujuan.
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan
proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan
pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan pengajaran.
2. Guru. Guru
adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak
didik di sekolah. Guru adalah orang yang berpengalaman dalam bidang profesinya.
Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia menjadi anak didik menjadi orang yang
cerdas. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang
mempengaruhi kopetensi seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.
3. Anak
Didik. Anak didik adalah orang yang dengan sengaja
datang ke sekolah. Orang tuanyalah yang memasukkannya untuk dididik agar
menjadi orang yang berilmu pengetahuan dikemudian hari. Kepercayaan orang tua
anak diterima oleh guru dengan kesadaran dan penuh keikhlasan. Maka jadilah
guru sebagai pengemban tangung jawab yang diserahkan itu.
4. Kegiatan pengajaran. Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya interaksi antara
guru dengan anak didik dengan bahan sebagaiperantaranya. Guru yang mengajar.
Anak didik yang belajar. Maka guru adalah orang yang menciptakan lingkungan
belajar bagi kepentingan belajar anak didik. Anak didik adalah orang yang
digiring kedalam lingkungan belajar yang tlah diciptakan oleh guru. Gaya
mengajar guru berusaha mempengaruhi gaya belajar anak didik. Tetapi disini gaya mengajar guru lebih dominant
Mempengaruhi gaya belajar anak didik
5. Bahan
dan alat evaluasi. Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang
terdapat didalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna
kepentingan ulangan. Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah
diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai
bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi.
6. Suasana
Evaluasi. Selain faktor tujuan, guru, anak didik,
kegiatan pengajaran, serta bahan dan alat evaluasi, faktor evaluasi juga
merupakan fakor yang mempengaruhi kebersilan belajar mengajar.
7. Teknik-Teknik
Pendidikan. Sementara menurut Quthb Muhammad (1988:325),
memberi komentar, tetapi lebih dari itu, Islam belum pernah pula kehabisan persediaan
dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih banyak lagi persediaan anak-anak
panah didalam kantongnya. Ia melakukan pendidikan melalui teladan, melalui
teguran, melalui hukuman, melalui cerita-cerita, melalui pembiasaan, dan
melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.
a.
Pendidikan
melalui teladan. Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan
sukses. Mengarang buku mengenai pendidikan adalah mudah begitu juga menyusun
suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan ketelitian, keberanian
dan pendekatan yang menyeluruh. Namun hal itu masih tetap hanya akan merupakan
tulisan diatas kertas, tergantung diatas awang-awang, selama tidak tejamah
menjadi kenyataan yang hidup didunia nyata, bila tidak bisa menjamah manusia
yang menterjemahkannya, dengan tingkah laku, tindak-tanduk, ungkapan-ungkapan
rasa, dan ungkapan-ungkapan pikiran: menjadi dasar-dasar dan arti suatu
metodologi. Hanya bila demikianlah suatu metodologi akan berubah menjadi suatu
gerakan, akan menjadi suatu sejarah. Diperlukanlah teladan. Oleh karena itulah
Allah mengutus Muhammad s.a.w. untuk menjadi tauladan buat manusia.
b.
Pendidikan
Melalui Nasehat. Didalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh
kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena
itu kata-kata harus diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya
kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja
tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang
memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.
c.
Pendidikan
Melalui Hukuman. Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu
itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang
benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu,
memandang tidak layak disebut-sebut. Tetapi generasi muda yang ingin dibina
tanpa hukuman itu; di Amerika, adalah generasi muda yang sudah kedodoran,
meleleh, dan sudah tidak bisa dibina lagi eksistensinya. Tindakan tegas itu adalah
hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang
teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya.
Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu
dikerasi sekali-kali.
d.
Pendidikan
Melalui Cerita. Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan.
Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki
manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat
alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari [engaruhnya yang
besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk
dijadikan salah satu teknik pendidikan.
e. Pendidikan Melalui Kebiasaan. Kebiasaan,
sebagaimana sudah kita singgung , menduduki kedudukan yag sangant istimewa di dalam
kehidupan manusia. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan,
sehinga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa
kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.
f. Menyalurkan
Kekuatan. Diantara banyak teknik Islam dalam membina manusia dan uga dalam memperbaikinya adalah mengaktifkan
kekuatan-kekuatan yang tersimpan didalam jiwa dan tubuh dari diri dan tidak
memendamnya kecuali bila potensi-potensi itu memang terpuruk untuk lepas.
g. Mengisi Kekosongan. Bila Islam menyalurkan
kekuatan tubuh dan jiwa ketika sudah menumpuk, dan tidak menyimpannya, karena
penuh resiko. Maka Islam sekaligus juga tidak senang pada kekosongan. Kekosongan merusak
jiwa, seperti halnya kekuatan terpendam juga rusak, tanpa adanya suatu keadaan
istimewa. Kerusakan utama yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan
potensial itu untuk mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada
sikap buruk yang dilakukannya untuk
untuk mengeisi kekosongan itu.
F. KEMUNGKINAN
DAN KEHARUSAN PENDIDIKAN
MUNGKINKAH MANUSIA DIDIDIK?
1.
DASAR BIOLOGIS
Fakta biologis menunjukkan bahwa anak manusia ketika baru dilahirkan
dalam keadaan tidak berdaya tetapi
mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang karena:
v Kemampuan anak
bersifat fleksibel
v Anak manusia
mempunyai otak yang besar dan berpermukaan luas.
Mempunyai pusat
syaraf yang berfungsi untuk menerima pengaruh dari luar dirinya sehingga dapat
terjadi proses belajar.
2. DASAR
PSIKO-SOSIAL
v Anak manusia
ketika dilahirkan membawa -bermacam-macam kemampuan potensial, yang membutuhkan
stimuli dari lingkungan.
v Manusia
merupakan makhluk sosial. Kehidupan secara
bersama diperlukan
oleh-manusia. Dan dalam
kehidupan bersama ini ada proses
saling mempengaruhi.
3.
Kesimpulan : MANUSIA
DAPAT DIDIDIK
HARUSKAH
MANUSIA DIDIDIK?
1. DASAR
BIOLOGIS:
Untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, anak manusia
tidak memiliki instink yang sempurna sbgmana dimiliki oleh hewan.
Anak manusia
perlu masa belajar yang panjang
sebagai bekal menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara
konstruktif.
2. DASAR PSIKO-SOSIO-ANTROPOLOGIS
v Untuk
menghadapi kehidupan yang dilingkupi
tantangan, manusia harus memiliki berbagai pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Potensi untuk ini sudah ada tinggal pengembangannya.
v Kemampuan manusia
menyesuaikan diri de-ngan lingkungan
sosial bukan bawaan tetapi hanya dapat diperoleh melalui pendidikan.
v Kebudayaan
tidak terjadi dengan sendirinya melainkan hasil karya
dari orang-orang yang terdidik
3.KESIMPULAN :
MANUSIA HARUS DIDIDIK
PANDANGAN
DAN FAKTA BAHWA PENDIDIKAN MERUPAKAN KEHARUSAN BAGI MANUSIA
• Pendapat
IMMANUEL KANT: bahwa manusia hanya dapat menjadi manusia jika
dirinya memperoleh pendidikan.
• Pendapat Langevel :
– Animal educabile : manusia merupakan makhluk yang dapat
dididik.
– Animal educandum : manusia merupakan makhluk yang harus
dididik.
– Animal educandus : manusia merupakan makhluk yang harus dapat
mendidik.
Fakta : bahwa
pendidikan merupakan kebutuhan manusia
G.
Pendidikan Islam pada Sekolah Umum
Alas Fikir . .
.
• Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan
masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah
umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
• Sebagai contoh yang sering dikemukakan,
anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan
agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu
membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan
menerjemahkan isinya.
Demikian pula
kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan
dalam penguasaan materi (aspek kognitif) juga dalam hal pembentukan
prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses
pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang
nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.
* Berbagai
asumsi atas justifikasi masyarakat:
1. Tingginya frekwensi perkelahian/tawuran sesama pelajar
di kota-kota besar;
2. Kurangnya
rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas;
3. Akrabnya
sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika;
4. Semaraknya animo pelajar dan mahasiswa untuk
mengakses situs-situs pornografi;
5. Pergaulan
bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo”
dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda;
6. Balapan liar dan dugem dikalangan anak muda.
*Pertanyaan yang lalu muncul adalah: Di mana
letak kesalahannya?
Dugaan sementara, mungkin pada:
1.
Isi kurikulum
yang kurang tepat,
2.
System atau
metodologi,
3.
Alokasi waktu,
atau
4.
Ketidak-profesional-an
sebagian dari guru agama di sekolah-sekolah umum
*Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan yang
bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat
tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu,
yaitu ajaran Allah.
*Tujuan
Pendidikan Islam
Untuk membentuk
manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan
berguna bagi masyarakat.
Sedangkan
manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai
keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia
maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan
yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun
dalam kebaikan dan taqwa.
*Kelemahan dan
Kendala Pendidikan Islam
Dari kalangan
guru, keluhan yang sering dikemukakan diantaranya adalah:
1.
Alokasi waktu
yang kurang memadai;
2.
Isi kurikulum
yang terlalu penuh-syarat.
3.
Sarana dan
lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Dari kalangan
orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya
menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan
agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana
seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat -
melaksanakan perintah agama seperti shalat,
puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat
dan puasa.
Note:
Disamping itu,
dalam pelaksanaan pendidikan Agama di sekolah, juga terkendala dalam bidang
kemampuan pelaksanaan berbagai hal, diantaranya:
- Metode;
- Sarana fisik dan non-fisik;
Iklim
pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental-spritual dan
moral.
*Beberapa
faktor penghambat Pendidikan Islam di sekolah
1.
Faktor – faktor
eksternal
- Sikap apatis-fundamental sebagian
orang tua tentang urgensitas pendidikan
- Situasi lingkungan sekitar sekolah
yang kadang begitu menggoda
- Adanya gagasan baru dari para
ilmuwan yang kadang disalahtafsirkan
- Persepsi keliru dari sebagian
orangtua siswa ttg tingkat pendidikan
- Implikasi kemajuan IT dari luar
negeri
2. Faktor – faktor internal sekolah
- Guru kurang berkompeten untuk
menjadi tenaga pengajar profesional
- Manipulasi manajemen penempatan
guru agama ke bagian admin, dsb
- Motodologi pendekatan guru masih
bersifat tradisional
- Menipisnya
rasa solidaritas antara guru agama dengan guru bidang studi umum
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
- Masalah waktu (jam mengajar, dan
persiapan guru itu sendiri)
- Kurikulum yang terlalu padat dan
gemuk
- Relasi antara
guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
- Petugas
supervisi tak berfungsi maksimal sesuai harapan, diakibatkan terdiri
dari tenaga yang non-profesional.
dari tenaga yang non-profesional.
* Pola
Pemecahan Problem
1.
Reinterpretasi
ideologi
2.
Restrukturisasi
kelembagaan
3.
Reaktualisasi
Add.1: Reinterpretasi ideologi
Pemusatan
perhatian pada kemajuan pendidikan Islam. Suatu interpretasi baru yang
berorientasi pada tiga kemampuan dasar manusia, yaitu kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Atau dengan kata lain kemampuan yang bermukim di kepala (head),
dada (heart) dan tangan (hand).
Add.2: Restrukturisasi Kelembagaan
Perlunya sikap
lentur kelembagaan dari struktur pendidikan Islam seperti Pesantren atau
Madrasah. Bahkan lebih daripada itu, dituntut model lembaga pendidikan Islam
yang berfungsi ganda.
Maksud dari
fungsi ganda itu adalah:
Lembaga
Pendidikan Islam tidak hanya sebagai lembaga pendidikan formal agama namun
lebih berorientasi sosio-religion yang berfungsi sebagai pusat pembinaan mental
agama masyarakat lain (dalam artian sebagai pusat kebudayaan).
Add.3: Reaktualisasi
Teknis
operasional pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan umum memerlukan
perubahan yang lebih integral dengan pendidikan intelektual dan keterampilan.
Hal tersebut
diperlukan guna terwujudnya keserasian dan keselarasan dalam pencapaian tujuan
pendidikan nasional.
H. Pendidikan
Islam pada Madrasah
Alas
fikir . . .
Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara dalam
bentuk Madrasah lahir seiring denyut
penyebaran dan perkembangan agama Islam yang dibawa oleh para ulama.
Madrasah
sejatinya tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang
didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
generasi penerus. Tidak heran jika
madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Pada zaman
sebelum proklamasi, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi
semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi, sehingga posisinya jauh berbeda
dengan sistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang
hanya mengarahkan program-programnya kepada intelektualisasi anak didiknya guna
memenuhi tuntutan hidup sekuler.
Pada tahun
1976, pemerintah melalui tiga kementeriannya yakni ketika itu masih bernama:
- Kementerian Agama,
- Kementerian P&K Diknas;
- Kementerian Dalam Negeri.
lalu
menyepakati surat keputusan bersama (SKB) guna mengadakan perubahan pengelolaan
madrasah. Adapun substansi dari SKB tersebut ialah: lembaga pendidikan Islam
yang mengajarkan bidang studi agama Islam 30% dan mutu bidang studi pengetahuan
non-agama di madrasah sama dengan yang ada di sekolah umum menurut jenjangnya.
Sisi Plus
Madrasah dari lahirnya SKB 3 Menteri; “Terjadinya intermobilitas enrollment
dengan mudah dan kualitas kekuasaannya sama”
Sisi minusnya;
- Kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan lulusan input bagi mahasiswa IAIN (sekarang UIN), disamping kekurang kualitas lulusan untuk input universitas umum.
- Tenaga pengelola dan programmer di lembaga pendidikan madrasah pada semua jenjang rata-rata kurang berorientasi pada profesionalisme.
Madrasah
berasal dari kata “Darosa” yang berarti tempat untuk belajar. Istilah madrasah
hari ini telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam muncul pertama kali oleh penduduk “Nizapur”.
Namun baru berkembang pada zaman Perdana Menteri Saljuq, yakni Nizham al-Mulk
yang belakangan mendirikan madrasah Nizhamiyah yang terkenal itu
(sekitar tahun 1065 M).
Madrasah
kemudian berkembang pesat setelah Sultan Solahuddin al-Ayyubi melanjutkan
kepemimpinan di Dinasti Abbasiyah.
Latar Belakang
kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, diantaranya sbb:
- Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
- Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
- Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
Sebagai upaya
untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh
pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Madrasah atau (sekolah)
sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana pemenuhan elemen-elemen institusi
secara sempurna yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga lainnya. Adapun
elemen-elemen institusi madrasah/sekolah terdiri dari:
- Utility (kegunaan dan fungsi)
- Actor (pelaku)
- Organisasi
- Share in society (tersebar dalam masyarakat)
- Sanction (sangsi)
- Ceremony (upacara, ritus dan simbol)
- Resistence to change (menentang perubahan)
Diantara sekian
banyak tugas yang diemban oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, maka
berikut ini salah satunya;
Merealisasikan
pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip pikir, akidah dan tasyri’ yang
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan realisasi itu ialah agar
anak didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk dan patuh atas
perintah-Nya, serta syariat-Nya.
Memberikan
kepada anak didik seperangkat peradaban dan kebudayaan Islami, dengan cara
mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksakta, dengan
landasan ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik mampu melibatkan dirinya kepada
perkembangan IPTEK pada setiap jaman.
Guna dapat
memaksimalkan tugas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tersebut, maka
dibutuhkan adanya administrasi yang memadai, seperti:
- perencanaan,
- Pengawasan,
- Organisasi,
- Koordinasi,
- Evaluasi, dsb
Orientasi dari
tertib administrasi sebuah madrasah, adalah guna melancarkan proses pendidikan
yang dilaksanakan.
Berikut ini
sebuah gambar, yang mendeskripsikan komponen administrasi pendidikan:
URGENSI SKB 3 MENTERI
Alas
Fikir
Pendidikan
Islam tidak hanya ditujukan kepada pembentukan kemampuan akal saja, melainkan
tertuju kepada setiap bagian jiwa sehingga setiap bagian jiwa itu menjadi mampu
melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt.
Refleksi
Historis
Kelembagaan
pendidikan Islam di Nusantara pra-kemerdekaan, atau tepatnya dipenghujung abad
ke-19.., mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Hal tersebut
ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa pondok pesantren dan madrasah
se-antero Nusantara.
Pada era
kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat
reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia, yakni:
- Adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat.
- Adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat.
Pada sisi lain,
dominasi dan intervensi berlebihan yang diterapkan kolonial-belanda kepada para
pendidik (guru-kyai) dengan berbagai aturan yang muatan dan orientasinya
mengucilkan peran dan eksistensi madrasah ketika itu, seperti kebijakan Ordonansi
Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin
dari pemerintah kolonial.
Pemerintah
kolonial Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan
ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat
izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah
harus diberikan secara berkala.
Walhasil, dampak yang lahir dari kebijakan itu mencapai
puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap
melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
*Tahapan
Kebijakan Pemerintah pra-SKB 3 Menteri
Pada dasarnya, sejak awal masa kemerdakaan
tidak ada masalah yang prinsipil tentang pendidikan Islam dalam pengertian
eksistensial. Keberadaannya di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang sudah
berlangsung lama. Untuk kepentingan inipun pada tahun 1946 dibentuk Departemen
Agama antara lain mengurusi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta,
pengajaran umum madrasah, dan penyelenggaraan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta
Pendidikan Islam Hakim Negeri (PIHN). Pembentukan Departemen Agama dengan
beberapa tugas itupun sebetulnya sudah lebih dulu didirikan lembaga serupa pada
masa pemerintahan Jepang.
Masalah pendidikan Islam baru muncul pada segi
lingkup sejauhmana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada
pendidikan Islam dalam pengertian agama secara murni, atau pendidikan Islam
dalam pengertian sistem yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang
berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat menentukan pola
dan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat
bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin, sementara
kalangan non-Islam membatasinya dalam lingkup pengajaran agama. Namun demikian,
akhirnya ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam
pendidikan nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat (BPKNP), antara lain:
1.
Pengajaran
agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah
2.
Para guru
dibayar oleh pemerintah
3.
Pada sekolah
dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
4.
Pendidikan
tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu
5.
Para guru
diangkat oleh Departemen Agama
6.
Para guru agama
diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum
7.
Pemerintah
menyediakan buku untuk pendidikan agama
8.
Diadakan
latihan bagi guru agama
9.
Kualitas
pesantren dan madrasah harus diperbaiki
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan
Berdasarkan rekomendasi itu, maka Pendidikan
Islam sangat terbatas pada pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas IV.
Waktunya pun seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam
rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti pesantren
dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat no.9: kualitas
pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
Sampai akhir dekade 1960-an pelaksanaan
pendidikan secara nasional masih bertumpu pada Undang-Undang no.4 tahun 1950
jo. No.12 tahun 1954 “tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah”
seperti dapat dipahami dari namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan
di sekolah. Dalam kenyataan tidak member perhatian yang cukup pada pendidikan
di sekolah. Dalam kenyataannya tidak memberi perhatian yang cukup pada
pendidikan di luar sekolah. Dalam pasal 2 ditegaskan bahwa undang-undang ini
tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama.
Mengenai madrasah hanya disyariatkan dalam pasal 10 ayat 2 bahwa belajar di
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah
memenuhi kewajiban belajar. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
pendidikan adalah “membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah
air”. Dari rumusan ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha
pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus-menerus melalui proses
pendidikan. Itulah sebabnya dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan
agama disekolah bukan mata pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan
orang tua/wali murid. Dalam penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata
pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor penentu dalam kenaikan kelas
anak didik.
Diluar undang-undang itu, kebijakan pemerintah
khususnya yang menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. Sejumlah
ketetapan MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah, dan Surat
Keputusan Menteri dikeluarkan. Beberapa dari keputusan itu memberi perhatian
yang lebih baik pada pendidikan agama dan lembaga-lembaganya. Pada tanggal 3
Desember 1960 misalnya, keluar Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tentang
“Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana, tahapan pertama tahun
1961-1969”. Dalam kaitannya dengan pendidikan nasional, ketetapan ini antara
lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah
mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri, dengan
pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau
murid dewasa menyatakan keberatannya.
Perhatian serius terhadap pendidikan agama
dapat diamati setelah kemunculan pemerintahan Orde Baru. Pada awal pemerintahan
ini UU pendidikan nasional yang lebih sempurna memang belum bisa dirumuskan,
tetapi kebijakan yang dikembangkan dalam bidang pendidikan cenderung lebih
mendasar dan menyeluruh. Ketetapan MPRS No.XXVII/1966 tentang “Agama,
Pendidikan, dan Kebudayaan,” jelas memperlihatkan kecenderungan itu dengan
menunjukkan secara kuat peran agama. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa
ketetapan itu disusun berdasarkan alas an-alasan berikut:
1.
Bahwa agama,
pendidikan, dan kebudayaan adalah merupakan unsur-unsur mutlak dalam rangka
nation and character building
2.
Bahwa filsafat
Pancasila merupakan sumber untuk mempertinggi harkat manusia
3.
Bahwa dalam
rangka mempertinggi pertahanan revolusi salah satu faktor yang menentukan
adalah moral dan mental manusia bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan pendidikan agama, ketetapan
itu member status yang lebih berarti. Pendidikan menjadi mata pelajaran wajib
yang harus diikuti semua siswa dan mahasiswa serta menjadi syarat kelulusan
ujian akhir. Berbeda dengan undang-undang dan ketetapan sebelumnya, dalam
ketetapan yang dimaksud, siswa dan mahasiswa tidak diberi hak untuk mengajukan
keberatan dalam mengikuti pelajaran agama. Keputusan ini jelas dimaksudkan
untuk menempatkan agama sebagai sendi pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah.
Pada
tahun 1958 Kementrian Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan
memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar. Ditempuh selama delapan tahun,
pendidikan didalamnya memuat kurikulum pengajaran yang terpadu antara aspek
keagamaan, pengetahuan umum dan keterampilan. Namun demikian, sampai pada tahap
ini, madrasah-madrasah di Indonesia tetap saja belum terorganisasi dan
terstruktur secara seragam dan standar.
Menyusul program MadrasahWajib Belajar yang
berjalan kurang mulus, lalu pemerintah melalui Kementerian Agama terus menata
kurikulum pendidikan madrasah. Sebagai efek dari ketetapan MPRS No.XXVII/1996,
pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah
madrsah dalam semua tingkatan dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Melalui
usaha ini sebanyak 123 Madrasah Ibtidaiyah telah dinegerikan. Total Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) menjadi 358. Dalam waktu bersamaan, juga telah berdiri sekitar
182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri
(MAAIN). Dengan memberikan status negeri, tanggung jawab pengelolaan menjadi
beban pemerintah, tetapi pengaturan dan control atas madrasah-madrasah itu
menjadi lebih efektif.
Langkah-langkah strukturisasi kelembagaan dan
reformasi kurikulum madrasah ini menjadi agenda penting pada awal pemerintahan
Orde Baru. Pada tanggal 10-20 Agustus 1970, dilakukan penyusunan kurikulum
madrasah dalam semua tingkatan secara nasional di Cibodo_Bogor_Jawa Barat. Juga
otonomi yang diberikan kepada Kementrian Agama untuk mengelola madrasah terus
dibarengi dengan kebijakan yang mengarah pada penyempurnaan sistem pendidikan
nasional.
Kurikulum madrasah tersebut ini diberlakukan
secara nasional berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.52 Tahun 1971. Dengan
beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian terkenal dengan
kurikulum 1973. Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu sudah cukup
mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen kurikulum itu
meliputi tidak saja mata pelajaran agama, tetapi juga mata pelajaran umum dan
mata pelajaran kejuruan.
Pada tingkat Ibtidaiyah yang ditempuh selama
tujuh tahun, kurikulum madrasah menempatkan tujuah mata pelajaran dalam
kelompok dasar, delapan mata pelajaran dalam kelompok pokok, dan tiga mata
pelajaran dalam kelompok khusus. Pada tingkat tsanawiyah, tiga tahu, komposisi
kurikulum ditambah dengan kelompok ekstra kurikuler. Kelompok dasar, mata
pelajaran yang ditawarkan sama dari mata pelajaran kelompok dasar dari
kurikulum MIN. tentu saja dalam prakteknya terdapat perbedaan pada tingkat
kedalam dan keluasan materi dari setiap mata pelajaran. Adapun mata pelajaran
yang tergolong Ekstra Kurikuler adalah kepramukaan. Pada tingkat Aliyah
struktur kurikulumnya adalah kepramukaan. Pada tingkat Aliyah struktur
kurikulumnya sama dengan kurikulum MTsN yang terdiri dari empat kelompok:
Dasar, Pokok, Pilihan, dan Ekstra Kurikuler. Dalam kelompok dasar diajarkan
delapan mata pelajaran, dalam kelompok pokok diajarkan lima belas mata
pelajaran, dan dalam kelompok khusus hanya tercantum dalam dua mata pelajaran,
sedangkan dalam kelompok Ekstra Kurikuler tercatat mata pelajaran kepramukaan
dan koperasi.
Dengan tersusunnya kurikulum dan struktur
kelembagaan madrasah ini, pengelolaan pendidikan Agama dibawah Departemen Agama
semakin memperoleh bentuk dan statusnya dengan jelas. Dalm kaitan itu, makna
penting dari tersusunnya kurikulum 1973 adalah: pertama, ada standar
pendidikan bagi madrasah pada setiap jenjang, yang dapat berlaku juga bagi
madrasah-madrasah swasta; kedua, ada acuan yang lebih detail dalam hal
mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi
pendidikan di madrasah; ketiga, dan ini yang amat penting, bahwa mata
pelajaran umum dan kejuruan di madrasah dengan demikian telah mendapatkan
landasan formal, apalagi yang dalam jumlah yang cukup tinggi melebihi jumlah
yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.
Pada 18 April 1972 pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden No.34 tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional
Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini menyangkut tiga hal:
a.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan,
b.
Menteri Tenaga
Kerja bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan latihan dan kejuruan tenaga
kerja bukan pegawai negeri.
c.
Ketua Lembaga
Administrasi Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan
latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya Kepres ini dipertegas
dengan Inpres No.15 Tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan disekitar
Keputusan Presiden 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Istruksi Presiden
15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah
dengan pendidikan nasional. Dalam konteks ini madrasah tidak saja diasingkan
dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan yang tidak
menguntungkan diperlihatkan antara lain oleh Musyawarah Kerja Majelis
Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga meyakinkan bahwa
madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti
dalam pembangunan nasional. Menyinggung tentang madrasah itu, MP3A menegaskan
bahwa “yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialah Departemen Agama,
sebab Menteri Agama lah yang lebih tahu tentang seluk-beluk pendidikan agama
bukan menteri P&K atau Menteri-Menteri lain.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa umat Islam
berkeberatan jika pengelolaan pendidikan madrasah berada sepenuhnya dibawah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Memperlihatkan aspirasi umat Islam
diatas, pemerintah Orde Baru melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah
secara terus-menerus. Karena itu berkaitan dengan Kepres no.34 tahun 1972 dan
Inpres No.15 tahun 1974, pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional.
Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai
“Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah”. Dalam SKB itu, masing-masing
Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian
Dalam Negeri memikul tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan
madrasah.
Kelahiran SKB 3 Menteri memang antara lain
untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan
madrasah sebagai konsekuensi dari Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15
tahun 1974. Menarik untuk dicatat bahwa keluarnya SKB itu berdasarkan pada
hasil siding Kabinet terbatas pada tanggal 26 November 1974. Pada siding itu,
Menteri Agama RI Mukti Ali menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan
isi dan implikasi lebih jauh dari Kepres dan Inpres tersebut sebelumnya.
Pemerintah ternyata memberikan perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga
Presiden mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres
No.15 tahun 1974 yang isinya:
1.
Pembinaan
pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang
tanggung jawab pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2.
Untuk
pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya
perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri, dan
Departemen Agama.
Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tersebut,
ketegangan antara pendidikan agama dan pendidikan nasional memang dapat
diatasi. Petunjuk pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup mendasar
dengan Kepres dan Inpres tersebut. Disitu ditegaskan bahwa hal dan tanggung
jawab pengelolaan pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama.
Sebagai tindak lanjut, Juknis diatas segera
diikuti dengan penyusunan SKB 3 Menteri. Bagi kalangan yang mempertahankan
eksistensi madrasah, baik dari lingkungan Departemen Agama sendiri, maupun dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penyusunan SKB 3 Menteri itu merupakan
langkah strategis.
SKB
ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan
eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya
usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang
integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi
madrasah, yaitu:
1. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI
setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
2. Ijazah madrasah dinilai sama dengan
ijazah sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum yang setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi
SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial
dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga
pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan bersamaan dengan itu,
kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan
pada sektor modern.
Pada
tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang
diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978, kemudian kurikulum 1976 ini
disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK
Menteri Agama No. 45 tahun 1987. penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum
sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SKB
3 Menteri sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan
telah menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin.
Tetapi hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan dapat
berjalan tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya dapat
diatasi dengan kerja tekun serta senantiasa memelihara sikap sabar dan
bijaksana. Ada dua persoalan
penting, yaitu pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan
tenaga pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan
kurikulum agama yang akan digunakan oleh madrasah-madrasah terutama madrasah
swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan bagian yang paling menentukan,
tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu
pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru berbagai mata pelajaran umum, yang
melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya itu,
guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan
bersifat kontinyu.
Madrasah
pasca SKB 3 Menteri
Dengan
diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru
pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; ternyata banyak
sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut (kurikulum 1975) dan
tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok. Meskipun SKB 3 Menteri itu
memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan
sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa keluaran dari madrasah memiliki
kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan
memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi
positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang
menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah
lama dipraktikkan umat Islam. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai
pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan
langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan
nasional yang tuntas. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang
semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum
meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB
3 Menteri itu kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No. 0299/U/1984 (DikBud); 045/1984
(Agama) tahun 1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan
Kurikulum Madrasah”. Yang isinya antara lain: penyamaan mutu lulusan madrasah
yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.
SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang
perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan
pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum
sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah
umum maupun di madrasah.
MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri tahun 1975 dikeluarkan
dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal madrasah
sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai
ciri kelembagaannya. Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana
di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan
kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap
ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya
kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut,
tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Kelahiran MAPK yang didasari dengan
Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Prof. Dr. Munawir
Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode
(1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di masa
jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan
“kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang
kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan
agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul
bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara
lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30%
pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum,
terutama dari segi kurikulum. Menurut beliau, maksud SKB ini memang baik,
tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah
Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada
perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN.
Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan
tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, beliau pun
merasa perlu untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri itu melalui pilot project
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan
agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan
ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN
dengan cepat akan segera terwujud.
Sasaran utama dari program ini adalah :
1.
Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga
yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
2.
Siswa yang menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke
perguruan tinggi, dan
3.
Siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut
maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan
berwawasan ke depan.
Adapun tujuan utama dibukanya program ini
adalah :
1.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di
bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
2.
Untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi
pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
3.
Menyiapkan lulusan sebagai calon
mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
Ide ini pun disetujui oleh Presiden
Soeharto, sehingga pada tahun 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama,
dibuka di lima propinsi, yaitu Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung
Pandang, dan Jember. Selanjutnya MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu Banda
Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Keberhasilan dan perkembangan
proyek ini pun mulai tampak. Antara lain bertambah jumlah MAPK sudah mencapai
110 buah, dan berhasilnya 48 alumni MAPK mengikuti proses belajar mengajar di
Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1991.
Ternyata dalam perkembangannya, MAPK ini
belum dapat menjadi program unggulan di madrasah Aliyah, hal ini dikarenakan
masih sering terjadi benturan dalam mengatur waktu belajar antara program
reguler dengan program “ekstra kurikuler ketrampilan”. Lebih-lebih bila kepada
madrasahnya kurang begitu perhatian dengan program ini. Hal ini dikarenakan
juga program ketrampilan ini masih dianggap program “tempelan” bagi madrasah
Aliyah itu sendiri.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
Implikasi
SKB 3 Menteri
Implikasi
SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain:
a.
Aspek Lembaga
Madrasah
yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka
peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada
sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih
mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun
pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal
ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur
pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b.
Aspek Kurikulum
Karena
diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus
sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata
pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang
harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan
umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak,
bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap
baik.
c.
Aspek Siswa
Dalam
SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1.
ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang
setingkat,
2.
siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan
3.
lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek Masyarakat
SKB
3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah
terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan
umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua
ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity
participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini
terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih
banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%).
Trend
pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan
partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola
madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada
khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community
based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni
memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk
menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat
sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan
menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan
sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat
berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang
diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan,
masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada
beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi
dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan
pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2.Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
2.Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3.Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru
tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program
pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah,
pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang,
gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang /
latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan
sebagainya.
Madrasah
Ke Depan
Untuk
peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat
dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga
pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq)
dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga
pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat,
madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu
apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik
niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya
mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat,
apalagi kalau lebih baik.
Persoalannya,
kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut
Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum
madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30
(umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah.
Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga
dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan
fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk
tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan
tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru,
fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah,
dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Lalu
upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam
mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar , kalau madrasah
diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan
mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi.
Pertama,
menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud
budaya organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang
baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama
yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna.
Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya
dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan
landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki
modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa
saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan,
kerja keras, persaudaraan dan persatuan.
Kedua,
kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan
kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan
kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada
formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan
tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan
"schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge"
tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan.
Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum
teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya
Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain
sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada
hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa
Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan
sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar.
Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa
pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja
keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient)
siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras,
bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga,
merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya
haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak
sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau
"masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan,
melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau
"entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah
dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan
memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis
swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi,
teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa
entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan
(jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah
menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun.
Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan
berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu
karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah
pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya
menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan
baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu
tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut
Azyumardi Azra, inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun
peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua
dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan
modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya.
Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk
memberdayakan dirinya benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan
globalisasi.
Menurut
Mastuhu, madrasah dapat dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan
kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah adalah lahir dari panggilan agama
bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan perintah wajib sepanjang hayat.
Karakteristik madrasah adalah memegang tegup prinsip bahwa belajar dan
menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan tugas agama, serta tidak
hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi juga diyakini harus
dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan Tuhan kelak. Kebutuhan
madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen pendidikannya dan pengakuan
atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti tidak akan mengajarkan kekerasan
dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan hal yang anti-negara. Madrasah
membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi kemajuan dan peningkatan mutu, serta
kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Prinsip-Prinsip Pendidikan
ltulah wahyu pertama yang turun
kepada Nabi Muhammad saw. Sejak awal, Islam telah menanarnkan suatu prinsip
untuk mencapai suatu kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu
"membaca". Untuk mencapai kesempumaan hidup, seorang muslim harus
dapat membaca fenomena yang terjadi di alam ini. Semua yang ada di hadapan kita
adalah buku yang terbentang luas dengan halaman-halaman yang begitu tebal.
Untuk itu, Islam menerapkan prinsip ini agar manusia yang selalu "membaca"
dekat dengan Sang Pencipta, bukan menjauhi-Nya.
Bagaimana membaca?
llmu adalah kuncinya. Islam
menganjurkan umatnya untuk terus mencari ilmu. Menuntut ilmu
adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan hal itu tidak dibatasi ruang dan
waktu. Dengan ilmu dunia dapat dapat diraih, dengan ilmu pula khirat didapat,
keduanya hanya dapat dicapat dan dituju dengan kendaraan “ilmu”. Oleh karena
itu, ikatlah ilmu.
Islam tidak pernah memisahkan ilmu
agama dan ilmu pengetahuan (sains) karena semua ilmu sumbernya adalah satu.
Perinsip inilah yang membuat seseorang muslim tidak berpola pikir sekuler.
Agama dan ilmu, hati dan pikiran harus berjalan seiring dalam derap langkah
menuju keabadian. Bacalah karena hakikat akan didapat dan rabat menunggu di
akhirat. Bacalah !.
Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan
utama dalam pendidikan Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia di segala
zaman dan tempat. Petunjuk-petunjuknya patut menjadi pegangan bagi seluruh umat
manusia di mana pun mereka berada dan kapan pun mereka membutuhkannya.
Seandainya umat manusia senantiasa berpegang teguh kepadanya niscaya mereka
tidak akan sesat selama-lamanya. Hal ini sesuai dengan jaminan yang telah
diberikan oleh Nabi saw. yang berbunyi:
Aku tinggalkan pada kalian
dua pusaka, selama kalian berpegang
teguh pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat sesudahnya: Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunahku .... (HR al-Hakim dan Abu Hurairah).
Secara eksplisit, hadis di atas
menjelaskan jaminan Rasulullah saw. kepada umatnya bahwa siapa saja yang
berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunah niscaya tidak akan sesat
selama-lamanya. Hadis di atas merupakan aplikasi dari firman Allah SWT di dalam
Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda antara yang hak dan yang batil .... (QS AI-Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan fungsi
Al-Qur'an bagi manusia di dunia ini, yaitu untuk menuntun mereka ke jalan yang
benar demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, Al-Qur'an merupakan
pedoman yang tepat bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang
fana ini agar mereka tidak salah kaprah, dan mengakibatkan kefatalan, baik
terhadap diri mereka maupun keluarga dan masyarakat. Hanya, sebagian besar dari
ayat-ayat Al-Qur'an tidak memuat petunjuk secara rinci, terutama berkenaan
dengan muamalah (aturan kehidupan antara sesama umat, termasuk
pendidikan). Kondisi ini membuat kita menghadapi kesulitan, yaitu ketika hendak
mengaplikasikan petunjuk-petunjuk tersebut ke dalam realitas kehidupan
individual, berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Meskipun demikian, kita
harus mencari solusi untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur'an agar kita
selamat dan sukses dalam menempuh kehidupan di dunia ini dan di akhirat
kelak.
Di antara permasalahan kehidupan
yang perlu menjadi perhatian kita ialah pendidikan. Ayat-ayat tentang
pendidikan banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, meskipun masih bersifat umum
sehingga tidak mudah diaplikasikan begitu saja ke dalam kehidupan umat. Oleh
karena itu, ayat-ayat tentang pendidikan tersebut perlu dikaji secara saksama
agar dapat ditangkap petunjuknya dan dapat diterapkan di tengah masyarakat
untuk membimbing mereka ke jalan yang benar.
Surat Al-'Alaq adalah salah satu
surat di dalam Al-Qur'an yang turun pada periode awal. Ayat 1-5 merupakan ayat
yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw. Ayat pertama yang diturunkan
Allah ini sangat sarat dengan petunjuk-Nya tentang pendidikan. Ayat tersebut
dimulai dengan perintah membaca (). Membaca merupakan salah satu aktivitas
dalam pendidikan yang tidak dapat diabaikan, baik membaca yang tertulis maupun
membaca alam dan fenomena yang tidak tertulis. Para ahli pendidikan Islam
senantiasa memasukkan ayat 1-5 dari Surat Al-'Alaq ini sebagai ayat pendidikan,
seperti Ghazali, Muhammad Fadhil Jamali, Fathiyah Hasan Sulaiman, dan Hasan
Langgulung. Hasan Langgulung, misalnya, mengatakan, " Seakan-akan permulaan
ayat yang pertama kali turun ini sebagai pemberitahuan bahwa kitab ini mengajak
kepada ilmu, judul ilmu, ajaran yang dibawanya tegak di atas dasar ilmu, dan ia
akan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.
Dr. Utsman Najati mengemukakan bahwa
Surat Al-'Alaq ayat 1-5 ini memberikan dorongan untuk membaca dan
mengisyaratkan tentang karunia Allah kepada manusia dengan membekali kemampuan
untuk mempelajari bahasa, bacaan, tulisan, dan ilmu pengetahuan yang belum
diketahuinya.
Afzalur Rahman memasukkan ayat ke-2
dan Surat Al-'Alaq ini ke dalam kelompok ayat-ayat Al-Qur'an yang
mengisyaratkan tentang jenis ilmu pengetahuan biologi. Ayat ini mengisyaratkan
tentang pertumbuhan manusia di dalam rahim ibu yang berasal dari segumpal
darah.
Menurut Prof. Mahmud Yunus, ayat
yang pertama kali diturunkan itu berisi pendidikan keagamaan dan pendidikan akliyah
ilmiyah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
akan mengungkapkan prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat di dalam Surat
Al-'Alaq tersebut secara keseluruhan, mencakup tujuan pendidikan, metode,
materi, pendidik, peserta didik, dan lain-lain. Oleh karena itu, Surat Al-'Alaq
akan dikaji ayat demi ayat. Selain itu, akan dikemukakan pula berbagai
penafsiran yang diberikan oleh para ulama tafsir dan pendapat para ahli
pendidikan yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalam surat itu. Dengan
demikian, kita akan dapat mengetahui informasi Al-Qur'an tentang prinsip
pendidikan di dalam surat tersebut.
Agar tidak menimbulkan persepsi yang
keliru dari para pembaca dalam memahami buku ini, ada baiknya dijelaskan
terlebih dahulu maksud dari judul buku ini. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata "prinsip" mempunyai pengertian dasar, asas yang
menjadi pokok atau landasan berpikir.
Kata "pendidikan"
terbentuk dari kata dasar "didik" yang diberi awalan pe dan
akhiran an yang berarti proses membimbing manusia dari kebodohan menuju
kecerahan pengetahuan.
Surat Al-'Alaq adalah salah satu
surat dalam Al-Qur'an yang terdiri atas 19 ayat dan merupakan surat ke-96 di
dalam mushaf.
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan prinsip-prinsip pendidikan dalam Surat Al-'Alaq adalah petunjuk-petunjuk
Allah SWT yang berkenaan dengan dasar-dasar atau asas-asas pendidikan yang
terdapat di dalam Surat Al-'Alaq.
Surat Al-'Alaq yang terdiri atas 19
ayat ini merupakan surat Makkiyah atau surat yang diturunkan Allah pada
periode Mekah. Ayat 1-5 adalah ayat-ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT
di Gua Hira' ketika Nabi saw. Bertahannus. Surat ini, antara lain berisi
perintah membaca, tentang alat tulis, unsur-unsur pendidikan, sifat dan keadaan
manusia yang jahat serta durhaka.
Kajian ini mengkhususkan pembahasan
tentang prinsip-prinsip pendidikan yang diinformasikan oleh Al-Qur'an di dalam
Surat Al-'Alaq. Artinya, informasi mengenai hal-hal yang di luar pendidikan,
seperti proses penciptaan manusia dan 'alaq tidak akan dikaji, kecuali
kalau hal itu ada kaitannya dengan pendidikan. Oleh karena itu, buku ini hanya
membahas ayat demi ayat dari Surat Al-'Alaq tersebut dengan menelaah penafsiran-penafsiran
yang sudah ada dan memadukannya dengan pendapat-pendapat para ahli
pendidikan.
Penafsiran ayat-ayat tersebut
dibahas dari berbagai segi dan aspek, seperti pemakaian kosakata, kandungan
makna, dan konteks pembicaraan ayat sehingga dapat ditemukan petunjuk-petunjuk
yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalamnya.
Prinsip-prinsip pendidikan yang akan
dikaji di dalam Surat Al-'Alaq ini berkenaan dengan pendidikan secara urnum,
seperti materi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik (peserta
didik), dan tujuan pendidikan.
Ringkasnya, buku ini berisi
penelaahan terhadap Surat Al-'Alaq dari awal sampai akhir, lalu dilakukan
kategorisasi isi dan kandungannya. Kemudian ayat-ayat yang berisi
prinsip-prinsip pendidikan akan dikaji secara mendalam sehingga dapat diperoleh
gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang berbagai aspek.
Dengan demikian, buku ini diharapkan
dapat menginformasikan prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat di dalam Surat
Al-'Alaq dan dapat membandingkannya dengan teori-teori atau prinsip-prinsip
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan sesuai dengan
petunjuk-petunjuk AI-Qur'an.
Semoga buku yang sederhana ini dapat
menambah khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang atau disiplin ilmu
pendidikan Islam serta dapat mendorong umat Islam, terutama pakar pendidikan
untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama dalam mengembangkan
pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia dalam menjalani
kehidupan mereka di dunia ini untuk mencapai kebahagiaan di akhirat
kelak.
Untuk melacak berbagai penafsiran
dan pendapat yang dimaksudkan di atas, digunakan metode tafsir tematik.
Dalam penerapan metode tematik (maudu'i),
ulama tafsir telah menetapkan langkah-langkah'" sebagai berikut.
1. Mengernukakan
keseluruhan ayat di dalam Surat Al-'Alaq secara berurutan, dari awal sampai
akhir surat, kemudian melakukan kategorisasi terhadap isi dan kandungannya,
lalu mengambil ayat yang berkaitan dengan pendidikan. Setelah itu, ayat tersebut
disusun sesuai dengan kronologis turunnya. Karena yang dibahas hanya satu surat
dari awal sampai akhir maka yang dipakai tetap kronologi yang terdapat di dalam
mushaf, tidak perlu diurutkan sesuai urutan turunnya, apalagi jumlah
ayatnya hanya 19 ayat. Jadi, tidak perlu disusun sesuai dengan urutan turunnya.
2.
Menelusuri latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat yang
telah dihimpun (kalau ada).
3. Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, lalu
membahasnya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya,
sejarah, munasabat, dan pemakaian kata ganti (damir).
4. Mengkaji
tafsir ayat-ayat Surat Al-'Alaq yang telah dikernukakan oleh para ahli tafsir
atau pakar pendidikan dalam berbagai aliran, baik yang klasik maupun yang
kontemporer.
5. Semua
itu dikaji secara tuntas dan saksama dengan menggunakan penalaran ilmiah yang
objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu'tabar serta didukung oleh
argumen-argumen dari Al-Qur'an, hadis, dan fakta-fakta sejarah yang dapat
ditemukan.
Untuk mengetahui ada atau tidak
adanya prinsip-prinsip pendidikan di dalam surat ini, penulis menggunakan
konsep-konsep atau teori-teori ilmu pendidikan. Jadi, di samping menelaah
pemahaman atau penafsiran ayat-ayatnya, penulis juga menelaah teori-teori dan
konsep-konsep ilmu pendidikan, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam.
Dari uraian di atas, tampak kepada
kita bahwa rujukan utama dari buku ini adalah Al-Qur'an. Sebagai penunjang,
penulis menggunakan kitab-kitab tafsir tentang penafsiran Surat Al-'Alaq dan
buku-buku yang membahas konsep-konsep dan teori pendidikan.
Konsepsi
Al-Quran tentang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu
pengetahuan agama dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena semua itu adalah merupakan
manifestasi dari ilmu pengetahuan yang satu yaitu ilmu pengetahuan Allah.
Oleh karena itu dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang
religious dan non-religius (sekuler).
Pendidikan
Islam tidak memandang dikotomi ilmu pengetahuan religius dan non-religius.
Sebab berilmu dalam kredo Islam merupakan ketentuan yang harus dimiliki oleh
setiap manusia sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahannya. Tanpa berilmu
pengetahuan maka sulit bagi seseorang untuk bertahan hidup dan mempertahan
ataupun bahkan menciptakan peradaban.
Beberapa
Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan Islam:
1.
Prinsip Integrasi
Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia
ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri
secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di
dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat.
Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan
harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi
keinginan Tuhan.
Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu
melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77).
Ayat tersebut menunjukkan kepada prinsip
integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu
arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
2.
Prinsip Keseimbangan
Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan
merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak
ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual,
unsur jasmani dan rohani.
Pada banyak ayat al-Qur’an, Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak
kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan,
secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya
adalah pada QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya
manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .
2. Prinsip
Persamaan
Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia
yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis
kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga
budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai
seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan
yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu
mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).
4.
Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan
mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana
manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan
yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini
dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali
kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas
dirinya.
Sebagaimana firman Allah,
“Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya)
maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).
5.
Prinsip Keutamaan
Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah
hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana
segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan.
Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang
paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah
adalah syirik.
Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya
bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu
turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang
ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak
anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).
Sedangkan
menurut Heri Jauhari Muhtar, bahwa prinsip pendidikan Islam diantaranya adalah
:
1.
Berlangsung Seumur Hidup
Menuntut
ilmu itu hukumnya fardhu ‘ain yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap muslim selama hidupnya, karena itu menuntut ilmu atau pendidikan itu
berangsung seumur hidup, yakni sejak dilahirkan sampai meninggal. Rasulullah
SAW bersabda:
“Barang
siapa wafat dalam menuntut ilmu (dengan maksud) untuk menghidupkan Islam, maka
antara dia dan para Nabi adalah satu derajat di Shurga”
(HR.
Thabrani)
2. Tidak
dibatasi ruang dan jarak
Pendidikan
dalam Islam bisa dilaksanakan dimana saja. Tidak hanya di ruang kelas saja,
tapi di alam terbuka juga bisa. Bahkan bukan hanya di dalam kota atau di dalam
negeri saja, kalau perlu ke luar kota atau ke luar negeri. Rasulullah SAW
bersabda: “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China, karena sesungguhnya
menuntut ilmu itu diwajibkan atas orang Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan
merendahkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena rela (senang) pada
orang-orang yang menuntut ilmu”
( HR.
Ibnu Barri )
3. Berakhlakul Karimah
Menuntut
ilmu sebagai realisasi pendidikan Islam haruslah memperhatikan adab atau tata
tertib, baik ketika berlangsung proses pembelajaran (ta’lim wa ta’lum)
Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau
sampai ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas
orang Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan merendahkan sayapnya kepada orang
yang menuntut ilmu karena rela (senang) pada orang-orang yang menuntut ilmu”(
HR. Ibnu Barri )
4.
Bersungguh-sungguh dan rajin
Setiap
pengalaman ibadah dalam Islam (termasuk pendidikan) haruslah dilaksanakan
dengan bersungguh-sungguh dan rajin (berkesinambungan) karena hanya dengan
demikian akan terwujud harapan serta akan diridhai Allah.
Rasulullah
SAW bersabda: “Khairul
a’maali adwamuhaa wa in qalla”
“Sebaik-baik
amal perbuatan ialah yang langgeng berkesinambungan (kontinu), sekalipun
sedikit”.
5. Harus
diamalkan
Setiap
ilmu yang telah dimiliki, dipahami dan diyakini kebenarannya haruslah
diamalkan. Manfaat ilmu baru dirasakan dan lebih berkah setelah diamalkan.
Orang
yang mempunyai banyak ilmu tapi tak pernah diamalkan bagaikan pohon rindang
tapi tak berbuah, jadi kurang atau tidak bermanfaat, selain itu mereka juga
akan sangat menyesal di akhirat kelak.
Bersabda
Rasulullah SAW; “Perumpamaan orang yang menuntu ilmu, lalu tidak mengajarkan,
menyebarkan dan mengamalkannya adalah seperti orang yang menyimpan (menimbun)
hartanya tapi tidak pernah membelanjakannya” ( HR. Thabrani )
6. Guna
mewujudkan kemaslahatan/kebaikan hidup
Setiap
ilmu yang didapat selain harus diamalkan juga harus membawa manfaat; baik bagi
dirinya sendiri, maupun bagi orang lain. Misalnya ada perubahan perilaku pada
dirinya ke arah yang lebih baik, setelah ia mendapatkan ilmu. Begitu juga
orang-orang di sekitarnya harus mendapat manfaat dari ilmu yang dimilikinya
itu.
Bersabda
Rasulullah SAW;
“
Apabila datang kepadaku pergantian hari-hari, sedangkan pada hari itu aku tidak
menambah ilmu yang mendekatkan aku pada Allah SWT, maka aku tidak akan
diberkahi pada hari itu”
(HR.Tirmidzi)
Untuk
berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan
orang lain, gunakan HATI-mu!
STRATEGI
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM UPAYA MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN IPTEK
Tuntutan perubahan di segala aspek kehidupan, sepertinya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, perkembangan masyarakat dunia dari waktu ke-waktu terus
mendorong kearah perubahan, kita sebagai bagian dari masyarakat dunia
tersebut,mau tidak mau dipaksa untuk ikut dalam perubahan itu. Sekarang ini
arus globlisasi tidak terhindarkan lagi, era informasi telah merubah wajah
dunia menjadi semakin indah. Era ini ditandai dengan ciri-ciri seperti
menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, bersaing terus menerus belajar,
dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai teknologi.
Kondisi
ini selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, yang pada giliranya menjadi
tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya Lembaga Pendidikan
Islam. Oleh karena itu melalui slide ini mencoba mendeskripsikan tentang
strategi pengembangan Pendidikan Islam dalam upaya mengantisipasi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini dan dimasa-masa mendatang.
Berikut
akan dijelaskan bentuk- bentuk tantangan pada lembaga pendidikan Islam dewasa
ini dan dimasa mendatang;
- Tantangan di Bidang Politik,
- Tantangan di Bidang Kebudayaan,
- Tantangan di Bidang Ilmu Pengetahuan & Teknologi,
- Tantangan di Bidang Ekonomi,
- Tantangan di Bidang Kemasyarakatan,
- Tantangan di Bidang Sistem Nilai,
Asumsi
yang mendasari sehingga perlunya rumusan strategi pengembangan pendidikan
Islam, yaitu:
1. Pendidikan islam bertujuan untuk mengembangkan
sumberdaya manusia untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia.
2.
Selanjutnya yaitu untuk menuntun manusia kearah metode berfikir ilmiah
serta penguasaaan ilmu pengetahuan.
3.
Membantu anak-anak sera kaum muda memberi
mereka semangat menuntut ilmu, keahlian dan spesialisasi dalam berbagai bidang.
Dari
asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas
mustahil akan terwujud tanpa adanya peran pendidikan Islam, dan untuk itu semua
diperlukan suatu pendidikan Islam yang tepat.
Begitu
pun sebaliknya sistem pendidikan Islam yang baik dan tepat serta universal
sesuai dengan keinginan umat Islam dan umat manusia pada umumnya tidak akan
tercipta tanpa adanya kepedulian dari pada intelektul muda islam yang
berkualitas dan tangguh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam.
Cukup
beralasan jika kita katakan bahwa pendidikan Islam belum siap memasuki era
mellinium ketiga, jika tidak segera berbenah diri di era ini akan menjadi medan
kematian bagi pendidikan Islam. Untuk itu setidaknya ada empat strategi yang
harus ditawarkan dalam upaya menjadikan pendidikan Islam utamanya Lembaga
Pendidikan Islam yang kuat tanpa harus kehilangan jati dirinya sehingga mampu
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Keempat strategi itu adalah
sebagai berikut:
- Strategi Substantive,
- Strategi Bottom-Up,
- Strategi Deregulatory,
- Strategi Cooperative
Add.1 Strategi Substantive
Lembaga pendidikan Islam perlu menyajikan
program-program yang kompetitif. Dilihat dari metode penyajianya,
program-program tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif
(pemahaman), afektif ( penerimaan/sikap) dan psikomotorik (pengalaman).
Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan oleh
UNESCO, proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam harus dapat membantu
peserta didik memiliki lima kemmpuan, yaitu:
to know (meraih pengetahuan) , to do (berbuat
sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan),
to know god’s creation (mengenal ciptaan Tuhan).
Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan
secara terpadu, maka para lulusan Lembaga Pendidikan Islam diharapkan memiliki
keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.
Add.2 Strategi Bottom-Up
Hal ini berarti bahwa Lembaga Pendidikan Islam
harus tumbuh dari bawah. Konsep dan desaign program serta struktur kelembagaan
pendidikan Islam harus disesuaikan dengan potensi, situasi dan aspirasi
masyarakat. Strategi ini diperlukan agar Lembaga Pendidikan Islam tidak
terkesan miliki suatu rezim, Departemen Agama atau pengurus yayasan yang
mengelolanya, tetapi milik masyarakat lingkunganya.
Masyarakat perlu dilibatkan agar memiliki
concern (kepedulian), sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of
responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap keberadaan Lembaga
Pendidikan Islam di lingkungan mereka.
Add.3 Strategi Deregulatory
Lembaga Pendidikan Islam sedapat mungkin tidak
terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku yang terlalu sentralistik dan
mengikat. Agar tidak terkesan liar atau anarkis, diperlukan kebijaksanaan
khusus dari jajaran Departemen Agama atau pemerintah daerah, agar Lembaga Pendidikan
Islam bebas berkreasi dan berimpropisasi, sehingga dapat mengembangkan
program-program yang sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimilikinya.
Lembaga Pendidikan Islam perlu di beri peluang
yang seluas-luasnya untuk mendesaigne kurikulum, khususnya kurikulum local,
mengembangkan sumber belajar, merekrut tenaga pengajar, terutama tenaga
pengajar luar biasa dan mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan
Add. 4
Strategi Cooperative
Lembaga Pendidikan Islam perlu mengembangkan
jaringan baik antara sesame Lembaga Pendidikan Islam maupun dengan Lembaga
Pendidikan lain. Disamping itu, Lembaga Pendidikan Islam memerlukan semangat
kepeloporan dan kerjasama saling menguntungkan dengan semua unsur dalam
masyarakat.
PROFESIONALISME
DALAM PENGELOLAAN MADRASAH
Alas
Fikir
Islam
pada awal perkembangannya sudah mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Lembaga pendidikan dan pengajaran pada saat itu dinamakan kuttab,
disamping masjid, rumah, istana, dan perpustakaan. Kuttab adalah suatu lembaga
pengajaran yang khusus sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Pada mulanya
guru-guru kuttab tersebut adalah orang-orang non-muslim, terutama orang-orang
Kristen, Yahudi bahkan yang non-kepercayaan (atheis). Oleh karenanya pada awal
Islam kuttab dijadikan tempat belajar membaca dan menulis saja, sedangkan
pengajaran al-Qur’an dan dasar-dasar agama diberikan di masjid oleh guru-guru
khusus.
Jumhur
Sejarawan sepakat bahwa Madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum
10 M), sebab madrasah pertama yang diketahui berdiri adalah Madrasah
al-Baihaqiyah di Naisabur. Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur
oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi (w. 414 H). Hasil penelitian
seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan
bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidzhamiyah di Baghdad
sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang
tertua yaitu: ´Miyan Dahiyau yang mengajarkan fiqh Maliki.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)
dalam salah satu tulisannya mengenai pesantren mengatakan bahwa: “Sejarah
penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan antara doktrin-doktrin
formal Islam dan kultus para wali, yang berpuncak pada walisongo, sebagai sisa
pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermets) dalam agama Hindu”.
Perwujudan
ini, tampak nyata sekali dalam ascetisme
yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini.
Madrasah
yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah
di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun
1915 diubah menjadi HIS Adabiyah. Pada tahun 1910 di
Padang juga didirikan sekolah agama dengan nama Madrasah School,
yang pada tahun 1923 menjadi Diniyah School. Madrasah ini
didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli agama yang mampu berkomunikasi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi perbedaan antara
lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler bentukan penjajah.
Memasuki
abad ke-20, muncul kesadaran akan pentingnya sarana pendidikan ditingkatkan
lagi, dan kesadaran ini rata-rata muncul pada dunia Islam dengan asumsi bahwa
pendidikan tidak sekedar sebagai sarana untuk mentransmisikan ide-ide
pembaharuan Islam kepada peserta didik saja, melainkan harus dengan pemenuhan
sarana/media kreatif yang bertujuan untuk memudahkan proses transmisi ilmu
pengetahuan tersebut. Disamping itu, ada beberapa variabel yang menjadi faktor
pendorong lahirnya gerakan pembaharuan diantaranya ialah semakin intensifnya
interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengah, seperti
Haramain dan Kairo, dengan kelompok-kelompok terpelajar Muslimdi Indonesia.
Madrasah
Dalam Lintasan Sejarah
Dekade
awal abad 20, gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan atau
setidaknya berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Sistem madrasah didirikan sebagai reaksi konstruktif terhadap sistem pendidikan tradisional,
khususnya pesantren di jawa dan surau di sumatera. Usaha pembaharuan pendidikan
Islam tidak berlangsung mudah, karena tercatat dalam fakta sejarah, telah
menimbulkan ketegangan dan gejolak sosial yang melibatkan kaum-muda (kalangan
pembaharu) dengan kaum-tua (kalangan konservatif).
Profesionalisme
Madrasah era Klasik
Pengelolaan
pendidikan Islam dengan sistem Madrasi memungkinkan cara belajar
klasikal. Hal tersebut berbeda dengan cara yang berlaku di Pesantren
ataupun Surau yang semula telah mem-baku, yakni bersifat individual
seperti terdapat pada sistem sorongan dan wetonan. Pengelolaan
sistem Madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan-pengelompokan
pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyajiannya secara bertingkat-tingkat
(periodik-method).
Profesionalisme
Madrasah era Modern
Profesionalisme
pengelolaan Madrasah pada era-modern tak terlepas dari sisi universalisme kredo
Islam dalam pergumulannya dari zaman ke zaman. Pengelolaan
sistem Madrasi mengorganisasi kegiatan pendidikannya dengan sistem
kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pelajaran yang sudah dipolakan.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan
Islam adalah suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam yang
mencangkup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai hamba Alloh
sebagaimana Islam sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat.
LANDASAN
DASAR PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat pendidikan adalah segala upaya dan usaha untuk menjadikan
manusia dewasa sesuai tujuan pendidikan
Azas pendidkan Islam adalah perkembangan dan pertumbuhan dalam
perikehidupan yang seimbang dalam semua seluk beluk kehidupan secara adil,
merata, menyeluruh dan integral.
Model dasar pendidian Islam adalah kemampuan dasar untuk berkembang
dari setiap individu sebagai karunia Tuhan.
Sasaran pendidikan Islam adalah mengintegrasikan iman dan takwa dengan
ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan dunia-akhirat.
HAKIKAT
PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat
pendidikan Islam adalah menyadarkan manusia :
- Sebagai makhluk individu yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna dan lebih mulia dari makhluk lain (QS. As-Shaad: 71-72),
- Memiliki kedudukan yang lebih tinggi (QS. Al-Isra’: 70).
- Diberi beban tanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat (QS. Al-Isra’: 15).
- Sejalan hal itu, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan interelasi (QS. AL-Anbiya’: 92),
- Berinteraksi, gotong-royong dan bersatu (QS. Al-Imran: 103),
- Bersudara (QS. Al-hujurat: 10), tanpa membedakan berbagai perbedaan baik bahasa atau warna kulit (QS. Ar-Ruum: 22). Disamping itu juga tidak melupakan bahwa manusia sebagai hamba Alloh yang diberi fitrah untuk beragama.
- Sehingga watak dan sikap religiusnya perlu dikembangkan agar mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya sesuai firman Alloh dalam surat Al-An’am: 102-103.
TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan
pendidikan Islam secara instruksional adalah
- TIK, mengarahkan anak untuk menguasai suatu ilmu khusus
- TIU, mengarahkan anak untuk menguasai semua ilmu secara umum sebagai kebulatan
- Kurikuler, agar mencapai garis besar program pengajaran di institusi pendidikan
- Institusional, tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di setiap intitusi
- Umum atau nasional, cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui pendidikan formal/ non-formal.
Sedangkan
berdasarkan tugas dan fungsi manusia secara filosofis adalah:
- Individu, belajar mempersiapkan manusia untuk hidup dunia dan akhirat
- Sosial, berhubungan dengan kehidupan manusia dengan masyarakat
Profesional, menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi
sebagai kegiatan di masyarakat.
MODEL
PENDIDIKAN ISLAM
Model
Pendidikan Islam dengan pendekatan Sistem:
Secara
sistemik manusia dipandang sebagai makhluk integralistik
Secara
pedagogis pendidikan Islam sebagai pengembang potensi dasar secara integral
antara rohani dan jasmani untuk membentuk manusia muslim.
Secara
institusional pendidikan Islam adalah bentuk pendidikan yang bejenjang
Secara
kurikuler pendidikan Islam mengarahkan seluruh komponen dan faktor-faktor
pendukung pendidikan untuk mewujudkan cita-cita Islami.
Pendekatan
Pedagogis dan Psikologis. Dengan pendekatan ini pendidikan menganggap manusia
sebagai makhluk yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan baik
secara jasmani dan rohani. Pendekatan sistem ini menganalisis lima unsur
pendidikan yaitu:
Pendidik,
harus memenuhi sebagai seorang pendidik yang ideal
Anak
didik diposisikan sebagai objek pendidikan
Alat pendidikan
Lingkungan
Tujuan
pendidikan Islam
Model
Pendidikan Islam dengan pendekatan Spiritual
Dalam
pandangan agama manusia diberi dua pilihan yaitu jalan sesat yang mejerumuskan
ke jurang nista dan jalan kebenaran yang menuntun manusia menuju keridhaan
Alloh. Sehingga merasakan bahagia dunia-akhirat.
Proses
pendidikan harus mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang dedikatif dan
berserah diri kepada Alloh. Materi pendidikan harus mengarahkannya dari
asal-usul manusia sehingga dia akan mengerti arti hidup.
Kurikulum
materi pendidikan harus mengandung nilai-nilai Islami.
Strategi
operasional pendidikan adalah meletakkan anak didik dalam posisi pendidikan
seumur hidup.
PRINSIP-PRINSIP
PENDIDIKAN ISLAM
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nissa: 9 yang berbunyi:
واليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله
واليقولوا قولا سديد
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak sebagai perhiasan;
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak sebagai perhiasan;
2. Anak
sebagai sumber penderitaan;
3. Anak
sebagai penyejuk hati (anak yang sholeh).
Untuk
mendapatkan anak yang sholeh, anak sebagai penyejuk hati diperlukan pendidikan
yang
baik
semenjak dini yang berdasarkan pada Islam.
MATERI
PENDIDIKAN ISLAM
Para
tokoh pendidikan Islam masa lalu membagi ilmu menjadi beberapa bagian.
Al-Farabi
membagi materi menjadi ilmu bahasa, sains persiapan, fisika dan metafisika, dan
ilmu kemasyarakatan. Ibnu Kholdun membagi menjadi ilmu syariah, filsafat, ilmu
alat yang membantu agama dan ilmu alat yang membantu faldafah.
Sedangkan
secara umum al-Ghazali membagi menjadi ilmu fardu ‘ain (agama: al-qur’an,
hadits dan ilmu bahasa) dan fardu kifayah (dunia: sains dan sosial). Dan Ibnu
Sina membagi menjadi ilmu teori (mipa dan ) dan ilmu praktik (akhlak dan
politik).
METODE
DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
Metode suasana gembira (QS. Al-Baqarah: 25 dan 185)
Metode lemah lembut (QS. Al-Imran: 159)
Metode bermakna (QS. Muhammad: 16)
Metode prasyarat atau muqadimah (QS.Al-Baqaah: 1-2)
Metode komunikasi terbuka (QS. Al-A’raf: 179)
Metode memberikan pengetahuan baru (QS. Al-Baqarah: 164 dan
Al-Fushilat: 153)
Metode uswatun hasanah (QS. Al-Ahzab: 21)
Metode praktek atau pengamatan aktif (QS. As-Shof: 2-3 dan Al-Baqarah:
25)
Metode bimbingan, penyuluhan (QS. Al-Anbiya’: 107 dan An-Nahl: 25)
Metode cerita (QS. Al-A’raf: 176)
Metode perumpamaan (QS. Ibrahim: 18)
Metode hukuman dan hadiah (QS. Al-Ahzab: 72-73)
No comments:
Post a Comment