Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
(Al-Jatsiyah: 18)
PENGERTIAN
TARIKH TASYRI’, MAKNA SYARI’AH DAN TASYRI’
Tarikh artinya
catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan
sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah
peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah
kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu
keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan
(ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak
(tentang nilai baik dan buruk).
Sedangkan
tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung
sejak diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para
ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup
pula perkembangan fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad
para ulama sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh
tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
hingga masa kini. Tasyri' juga bermakna legislation, enactment of
law, artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat
secara bahasa berarti al-utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al-
ma'i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk
mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan
yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu
pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di
dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman
firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah SWT
dalam surat al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT
dalam surat al-Maidah ayat 48. ….untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang…. Syari'ah adalah "law
statute" artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui
Rasul untuk hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang
berkaitan dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang
berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para
Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah.
Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syari’ah
Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk
hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan
yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk
agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarikh
al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang
membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup)
dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan
dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid
dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Menurut Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan
perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal
yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan
mereka. Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan
perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan
Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari
manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan
perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah). Secara
sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang
dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
RUANG
LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI’ & MACAM-MACAM TASYRI’
Meliputi
: 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan ciri-ciri
spesifikasinya 3. Fuqaha’ dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid serta sistem
pemikiran yang dipakai atau sistem istinbath. Pembahasan tarikh tasyri'
terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang dimulai
dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut
pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang
menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak
mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil
Musa dalam al-madkhal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan
bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an
dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu
atau kurun tertentu. Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri' dapat
dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut
kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada
periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri'
kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad
sahabat, tabi'in dan ulama sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam
pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama
bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi
menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf,
Jenazah, Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan
sembelihan. Bidang muamalat dibagi menjadi beberapa topik yaitu perkawinan dan
perceraian, ‘uqubat (hudud, qishash, dan ta'zir), jual beli, bagi hasil
(qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah, upah, sewa, memindahkan utang (hiwalah),
syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab, luqathah
(barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah),
peradilan, waqaf, hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan
faraid (pembagian harta warisan).
Akan
tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam
pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan
uqubat. Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa,
haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual
beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim
dan peradilan. Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah
adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi
murtad. Ulama syafi'iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi
empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi
(ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi
(muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga (munakahat) dan fiqh
yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (‘uqubat).
URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’
1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui
prinsip dan tujuan syariat Islam.
2.
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah
(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin
dalam peradaban umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan
syariat Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap
pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi
hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi
bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan
sejenisnya.
3.
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama,
mulai dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka
dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka
ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.
4.
Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat
Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah
al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.
Untuk
mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam, harus diketahui
terlebih dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada
al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman
hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh
karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang pembentukan
hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami hukum Islam
itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara
individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti
mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala
kemampuan yang memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam
berarti melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik
dan langkah-langkah ijtihadnya untuk diimplementasikan sehingga kemaslahatan
manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum
Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk mewarisi
pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan
gagasan-gagasannya.
SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADH’I (HUKUM POSITIF)
Antara
syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang
buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara
Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang.
Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap
sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau
berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi.
Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam
bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi
Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan
syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1.
Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia
yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan
perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun
tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam
bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga
keadilannya adalah sebuah kepastian.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
2.
Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi
masa depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan
yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang
dibuatnya hanya mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu
diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat
yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan,
pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
3.
Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari
aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan
seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda
dengan syariat Islam yang sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi
undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu,
keluarga, masyarakat, negara serta hubungan internasional. Di samping itu,
sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa
tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).
4.
Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep
aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala.
Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan
hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat
Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas jiwa
manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini memberi
kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan hukum dan
menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan
syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika,
dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu
faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi
spiritual, berupa pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut
akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
(An-Nisa: 93)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: اِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ
بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا
بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا.
البخاري ومسلم
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi
salah satu pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku
memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya
berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti
aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia
mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan
faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada
hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun
hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika
ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas
peminum minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam
keamanan orang lain. Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina
adalah perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga,
mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya
kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadh’i tidak menghukum
peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh,
merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya
diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara
langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah
syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara
umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam
melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang
diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka
sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
(Al-Isra: 32). Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu). (Al-Maidah: 90-91)
FASE-FASE
TARIKH TASYRI’
1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw
hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa
Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior
atau Tabi’in Senior sampai Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad
ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan
Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya
Baghdad hingga kini.
Dalam
menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan
ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang
terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen
Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh
Islam Universitas Amman, Yordania). Cara pertama, periodisasi
pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh
at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa
pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1.
Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2.
Periode para sahabat besar;
3.
Periode sahabat kecil dan tabi’in;
4.
Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5.
Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6.
Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265])
sampai sekarang.
Cara
kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam
bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia
membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode.
Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia
membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai
munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan
Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah sampai sekarang.
Periodisasi
sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai
berikut:
PERIODE PERTAMA
Masa
Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat
Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan
bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah “fiqh” dalam pengertian yang
dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu
dan fiqh pada masa
Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami
dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW
adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik
yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat
aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru
ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya
menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode
Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa
periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan
kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari
Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
PERIODE KEDUA
Masa
al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-1 H.
Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang
menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat,
rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat
besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan
yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah
Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam
membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya
untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut
dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan
berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi
persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan
ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah
SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW,
yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum
bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus
lain secara teoretis.
PERIODE KETIGA
Pertengahan
abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan
fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para
sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam.
Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada
penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah
Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665
M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di
Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina
kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang
terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha
bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76
H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra,
Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian
menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk
masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing
berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama
di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah
mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari
perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam
fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah
ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah
al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu
dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah
al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam
berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum
lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena
hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus
yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas &
kuantitas, dibandingkan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan
dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedang ulama Irak berhadapan
dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam
berijtihad.
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada
periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman
kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang
karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh
mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal
berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang empat).
PERIODE KEEMPAT
Pertengahan
abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai
periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode
inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra’yu semakin
menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad,
seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di
Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama,
karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh
kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi
yang dikenal sebagai Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu), datang ke
Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’
(buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh ahlulhadits,
datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh
ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan
hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah.
kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya
titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab
fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut
salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di
pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab,
dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti kitab ar-Risalah
yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana pada periode
ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena
pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu,
tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk
permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE KELIMA
Pertengahan
abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan
menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas
dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak
mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah
yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad
az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab
yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme
mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik
mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang
dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada
suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum
fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode
ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak
terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing
mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam
mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun
ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada
mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya
tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan
antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing
pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan
tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini
kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
PERIODE KEENAM
Pertengahan
abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah pada
tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta ta’assub (fanatisme) mazhab.
Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi
telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud
(konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang
dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa
sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya,
sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada
meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini
pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan
penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode
ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari
mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu
Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak
munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai sekarang. Ada
tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sebagai
hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai
pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya
kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah dilatarbelakangi
oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di
pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering
dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari
berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di
samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani
berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan
diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia
kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum
perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan
penyusunan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah, para penguasa di
negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai
pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana,
maupun ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan
ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari
berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat
itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi
juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih
tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari
berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab
hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari
berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat
berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu
bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun
1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga
yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan
demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan
boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat
kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh
pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh
hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual
mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh
lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas
Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi
setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum
keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,
Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan
Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy
(Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Umar
Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar
al-Nafais,1991)
No comments:
Post a Comment