BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Perjalanan hidup manusia penuh dengan ketidaksempurnaan, ia membutuhkan contoh dan tauladan dari orang-orang sebelumnya, karena itu manusia menganggap penting untuk bercermin kepada kejadian yang telah lalu yang disebut sejarah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Quran surat Al-Hasyru ayat 18 yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia bisa terus berkembang dalam berbagai bidang, dengan pendidikan manusia hidup lebih bermartabat, dengan pendidikan berbagai persoalan kehidupan diselesaikan, mengingat pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia maka akan dijelaskan bagaimana sejarah perkembangan pendidikan di Kalimantan dan Sulawesi sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah pendidikan di republik tercinta ini.
B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa sebagai figur intelektual di masyarakat harus pandai bercermin pada kejadian yang telah lalu, agar dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut dan tidak terjerumus pada lubang yang sama untuk yang kedua kali. Selain itu mahasisiwa Fakultas Tarbiyah sudah selayaknya mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam..
Melihat pentingnya hal tersebut di atas maka penulisan makalah ini didasarkan pada beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Sebagai wahana memperluas wawasan dan pengetahuan penulis tentang Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
2. Sebagai bahan diskusi mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII) di semester 3 B Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI Institut Agama Islam Darussalam Ciamis.
3. Semoga bisa menjadi sumbangan yang berarti bagi perkembangan keilmuan di lingkungan kampus dan masayarakat.
C. Batasan Pembahasan
Luasnya pembahasan yang berhubungan dengan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia dan kemampuan penulis yang terbatas menjadi ispisari bagi penulis untuk membatasi pembahasan hanya menjelaskan Kerajaan Islam di Kalimantan dan Sulawesi, agar pembahasan menjadi terfokus dan mendalam.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Perjalanan hidup manusia penuh dengan ketidaksempurnaan, ia membutuhkan contoh dan tauladan dari orang-orang sebelumnya, karena itu manusia menganggap penting untuk bercermin kepada kejadian yang telah lalu yang disebut sejarah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Quran surat Al-Hasyru ayat 18 yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia bisa terus berkembang dalam berbagai bidang, dengan pendidikan manusia hidup lebih bermartabat, dengan pendidikan berbagai persoalan kehidupan diselesaikan, mengingat pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia maka akan dijelaskan bagaimana sejarah perkembangan pendidikan di Kalimantan dan Sulawesi sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah pendidikan di republik tercinta ini.
B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa sebagai figur intelektual di masyarakat harus pandai bercermin pada kejadian yang telah lalu, agar dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut dan tidak terjerumus pada lubang yang sama untuk yang kedua kali. Selain itu mahasisiwa Fakultas Tarbiyah sudah selayaknya mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam..
Melihat pentingnya hal tersebut di atas maka penulisan makalah ini didasarkan pada beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Sebagai wahana memperluas wawasan dan pengetahuan penulis tentang Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
2. Sebagai bahan diskusi mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII) di semester 3 B Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI Institut Agama Islam Darussalam Ciamis.
3. Semoga bisa menjadi sumbangan yang berarti bagi perkembangan keilmuan di lingkungan kampus dan masayarakat.
C. Batasan Pembahasan
Luasnya pembahasan yang berhubungan dengan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia dan kemampuan penulis yang terbatas menjadi ispisari bagi penulis untuk membatasi pembahasan hanya menjelaskan Kerajaan Islam di Kalimantan dan Sulawesi, agar pembahasan menjadi terfokus dan mendalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
Di Kalimantan
ada banyak kerajaan, berikut nama nama kerajaan yang ada di beberapa wilayah di
Kalimantan :
1.
Kalimantan Barat : Tanjungpura, Kadriah, Pontianak, Kubu, Sintang,
Mempawah, Meliau, Sambas, Sanggau, Selimbau, Sekadau, Landak, Tayan.
2.
Kalimantan Tengah : Kotawaringin.
3.
Kalimantan Selatan : Negara Daha, Banjar, Pagatan, Kusan, Sabamban,
Tjingal, Sampanahan.
4.
Kalimantan Timur : Kutai Kartanegara, Kutai Martadipura, Paser, Berau,
Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, Tidung.
5.
Kalimantan Utara : Brunei, Sabah, Serawak, Sulu.
Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut, di sini hanya akan menjelaskan sekilas tentang
kerajaan Banjar dan kerajaan Kutai Kartanegara.
1.
Kerajaan Banjar
Kerajaan ini berdiri pada tanggal 24 September
1526, Kerajaan ini berpusat di Banjarmasin dan dipindahkan ke Martapura.
Kerajaan Banjar dipimpin oleh raja Islam sejak awal berdirinya, yaitu oleh
Sultan Suriansyah. Dalam pemerintahan telah ada yang dinamakan penghulu atau mufti
yang kedudukannya sama dengan hakim pada saat ini tetapi berdasarkan agama
Islam, ada Bujangga yang mengepalai urusan bangunan rumah agama dan rumah
ibadah.
Peran kerajaan terhadap pendidikan terjadi
secara tidak langsung, artinya pendidikan tidak secara langsung diselenggarakan
oleh kerajaan, tetapi pemerintah mendukung terhadap upaya-upaya pendidikan yang
diselenggarakan oleh para ulama, hal itu berdasarkan data bahwa kerajaan tidak
mengangkat pejabat khusus yang membawahi masalah pendidikan.
2.
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri pada awal
abad ke-13 di daerah bernama Tepian Batu atau Kutai Lama. Pada abad ke-16
Kerajaan Kutai Kartanegara berhasil menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura. Maka
Kerajaan Kutai Kartanegara berubah menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pengaruh Islam masuk ke kerajaan pada abad ke-17 disebarkan oleh Tuan Tunggang Parangan dan diterima dengan baik oleh kerajaan.
Pengaruh Islam masuk ke kerajaan pada abad ke-17 disebarkan oleh Tuan Tunggang Parangan dan diterima dengan baik oleh kerajaan.
Penulis tidak menemukan data tertulis tentang bagaimana peran kerajaan
terhadap pendidikan Islam, tetapi mengingat Islam telah masuk di Kalimantan
pada abad ke-15 Hijriah, tentunya proses pendidikan telah ada di lingkungan
masyarakat kutai walaupun hanya dalam bentuk halaqah-halaqah.
B. PENDIDIKAN ISLAM DI KALIMANTAN
1.
Islam Masuk di Kalimantan
Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah
di daerah utara tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah
raja Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat penyiaran
agama Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di
Kalimantan Barat di dekat Muara Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan
pada abad XVI di bawa oleh orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah
Sambas ditaklukkan oleh kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan
terjadi sekitar 1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di
Kalimantan Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan
Demak.
Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan
Bugis yang mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah
ini melalui jalan perkawinan orang Arab dengan putri-putri raja di daerah ini.
2.
Pendidikan Islam di Kalimantan
Pendidikan Islam di Kalimantan dipelopori oleh
Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918 M, hal ini menjadi
inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang
lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
a. Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922 M. Proses
pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus vak agama.
Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah pengetahuan umum.
b.
Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak, didirikan pada tahun 1936 M.
Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6
tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun. Materi yang diajarkan sama dengan madrasah
lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu umum.
c.
Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946 M di
Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya selama 5 tahun terdiri dari 6
kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat dengan Tsanawiyah dan
pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP Negeri.
d.
Madrasah Normal Islam Amuntai, didirikan pada tahun 1928 oleh H. Abdur
Rasyid, seorang lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama Arabische School. Pada akhir
1941 tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M. Arif Lubis, salah satu guru di
Pondok Modern Gontor Ponorogo (Madiun) dan berubah namanya menjadi Ma’had
Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama madarasah berubah menjadi sekolah guru
dengan nama Normal Islam IMI Amuntai, dengan lama pelajaran selama 6 tahun dan
rencana pelajarannya disesuaikan dengan hajat masyarakat.
Selain
madrasah-madrasah tersebut banyak madrasah lainnya, seperti Madrasah Imad
Darussalam di Martapura, Sekolah Menengah Islam di Kandangan, Madrasah
Al-Ashriah di Banjarmasin dan lain-lain.
3.
Organisasi Perkumpulan Madrasah
Di kalimantan
ada beberapa organisasi perkumpulan madrasah, diantaranya :
a.
Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PERMI), didirikan di Pontianak pada tahun 1954 dengan tujuan
untuk menyatukan nama madrasah dengan nama yang sederhana yaitu Madrasatul
Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah. Tujuan lainnya adalah
menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan kitab-kitab keluaran
Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada madrasah-madrasah itu
terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum dengan porsi
pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30%. Permi juga mempunyai tujuan untuk
menyatukan madrasah-madrasah dalam organisasi ini.
b. Ikatan Madrasah Islam (IMI) Amuntai, didirikan
pada tanggal 15 Maret 1945 dengan tujuan menciptakan adanya pendidikan dan
pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan tinggi Islam dan memperbaiki
organisasi dan leerplan perguruan-perguruan Islam yang telah ada agar sesuai
dengan hajat hidup orang banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan rapat-rapat dengan
guru-guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan perguruan-perguruan Islam
jika memungkinkan, menggabungkan perguruan-perguruan Islam menjadi satu serta
memberikan arahan-arahan kepada perguruan-perguruan Islam tentang pendidikan,
pengajaran dan organisasi.
Sejarah Islam di Pulau Kalimantan
Para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus
mengalir sehingga inilah awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam
masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua
jalur.
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab. Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu.
Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat.
Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan.
Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
Pengembangan Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai, termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di Sukadan (Kalimantan Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad Saifuddin (1677).
Perkembangan Islam di Kalimantan
Ketika perebutan kekuasaan pada Kerajaan negara Daka di Kalimantan Selatan, R.Samudera merasa ia lebih berhak menjadi raja dari Pangeran Tumenggung. Akhirnya timbul pertentangan dan perang saudara. R.Samudera meminta bantuan dari kerajaan Islam Demak dan ia menang dan dapat berkuasa memegang puccuk pimpinan kerajaan di Daha yang ada di Banjarmasin pada tahun 1550. R.Samudera memeluk agama Islam dan bergelar Suryanullah. Dengan Islamnya raja Suryanullah maka rakyat pun banyak yang memeluk agama Islam. Daerah-daerah lain pun banyak yang menyatakan masuk Islam.
Bantuan yang diberikan kerajaan Demak kepada R.Samudera juga mengandung tipuan membendung pengaruh Portugis yang telah menguasai Malaka. Mereka ingin menguasai daerah jalur perniagaan dan pelayaran di Indonesia.
Demak juga mengirimkan guru-guru agama yang mengajarkan tentang agama Islam kepada raja-raja Banjar. Akhirnya Islam tersebar luas di kalangan rakyat di sana.
Kerajaan Kutai yang menganut agama Hindu, sekitar abad 16 Islam masuk ke sana. Pembawa Islam ke Kutai adalah Muslim dari Makasar yang terkenal Tuan di Bandung dan Tun Tunggang Parangan. Atas ketentuan dan usaha kedua mubaligh itu, raja Kutai menyatakan diri memeluk agama Islam.
Islam masuk ke Kutai + 1575M. Setelah raja memeluk Islam dan rakyat pun telah banyak yang masuk Islam. Sebagian penduduk pedalaman masih banyak yang memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Sejak raja Aji di Langgar naik tahta, ia giat menyiarkan Islam ke daerah pedalaman. Usha ini diteruskan oleh pengganti-pengantinya. Agama Islam didpeluk sampai ke daerah Mura Kaman.
Kerajaan Brunai pada abad 15 diperintah oleh Maharaja Kali yang beragama Islam. Raja Kali berkunjung ke negri Cina menemui Kaisar Cheng-Ho. Jauh sebelum abad 15 Islam telah dianut di Brunai. Sultan Brunai menyiarkan agama Islam ke daerah Mindano Filipina.
sumber :
-http://id.shvoong.com/humanities/history/2279821-perkembangan-islam-di-kalimantan/
-enggenggam-malam.blogspot.com/2013/02/sejarah-islam-di-kalimantan.html
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab. Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu.
Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat.
Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan.
Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
Pengembangan Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai, termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di Sukadan (Kalimantan Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad Saifuddin (1677).
Perkembangan Islam di Kalimantan
Ketika perebutan kekuasaan pada Kerajaan negara Daka di Kalimantan Selatan, R.Samudera merasa ia lebih berhak menjadi raja dari Pangeran Tumenggung. Akhirnya timbul pertentangan dan perang saudara. R.Samudera meminta bantuan dari kerajaan Islam Demak dan ia menang dan dapat berkuasa memegang puccuk pimpinan kerajaan di Daha yang ada di Banjarmasin pada tahun 1550. R.Samudera memeluk agama Islam dan bergelar Suryanullah. Dengan Islamnya raja Suryanullah maka rakyat pun banyak yang memeluk agama Islam. Daerah-daerah lain pun banyak yang menyatakan masuk Islam.
Bantuan yang diberikan kerajaan Demak kepada R.Samudera juga mengandung tipuan membendung pengaruh Portugis yang telah menguasai Malaka. Mereka ingin menguasai daerah jalur perniagaan dan pelayaran di Indonesia.
Demak juga mengirimkan guru-guru agama yang mengajarkan tentang agama Islam kepada raja-raja Banjar. Akhirnya Islam tersebar luas di kalangan rakyat di sana.
Kerajaan Kutai yang menganut agama Hindu, sekitar abad 16 Islam masuk ke sana. Pembawa Islam ke Kutai adalah Muslim dari Makasar yang terkenal Tuan di Bandung dan Tun Tunggang Parangan. Atas ketentuan dan usaha kedua mubaligh itu, raja Kutai menyatakan diri memeluk agama Islam.
Islam masuk ke Kutai + 1575M. Setelah raja memeluk Islam dan rakyat pun telah banyak yang masuk Islam. Sebagian penduduk pedalaman masih banyak yang memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Sejak raja Aji di Langgar naik tahta, ia giat menyiarkan Islam ke daerah pedalaman. Usha ini diteruskan oleh pengganti-pengantinya. Agama Islam didpeluk sampai ke daerah Mura Kaman.
Kerajaan Brunai pada abad 15 diperintah oleh Maharaja Kali yang beragama Islam. Raja Kali berkunjung ke negri Cina menemui Kaisar Cheng-Ho. Jauh sebelum abad 15 Islam telah dianut di Brunai. Sultan Brunai menyiarkan agama Islam ke daerah Mindano Filipina.
sumber :
-http://id.shvoong.com/humanities/history/2279821-perkembangan-islam-di-kalimantan/
-enggenggam-malam.blogspot.com/2013/02/sejarah-islam-di-kalimantan.html
Sejarah masuknya Islam di Kalimantan barat - Menurut pendapat yang
dikemukakan oleh Sendam, 1970:35, “Islam Masuk di Kalimantan Barat yaitu
sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi
misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada dua proses
berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi berhubungan
dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,India,
Cina dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara
permanen di suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan
menjadi anggota masyarakat lainnya. Seperti pada kerajaan Tanjungpura,
Sambas, Mempawah, Kubu, Pontianak dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang membuat Islam dapat dengan mudah
untuk diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai kedaerah-daerah
pedalaman. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.Melalui perkawinan
Dimana adanya perkawinan campuran yang dilakukan oleh
orang muslim dengan orang non-muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga dapat
dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman
Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
2.Melalui perdagangan
Mayoritas penduduk Kalbar tinggal di daerah pesisir
sungai atau pantai. Islam disebar luaskan dan berkembang melalui kegiatan
perdagangan mulanya di kawasan pantai seperti Kota Pontianak, Ketapang, atau
Sambas, kemudian menyebar kearah perhuluan sungai (Yusriadi,dkk 2005:2).
3.Melalui dakwah
Adapun nama-nama mubaligh dan guru agama yang terlibat
dalam menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut pada awal abad ke-20 menurut
Mohd Malik (1985:48) diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918),
Syeh Abdurrahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari
Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh (1940-?), dan Haji Ahmad asal
Jongkong (sekarang). Para guru agama ini mengajarkan membaca Al-Quran, fiqh dan
lain-lain, dirumah dan juga di mesjid. Dalam pengajaran membaca Al-Qur’an
mereka menggunakan metode Baqdadiyah (Yusriadi,dkk 2005:5).
4.Melalui Kekuasaan (otoriter)
Islamisasi ini terjadi pada masa Sultan Aman di
kerajaan Sintang. Pada massa ini beliau melakukan perperangan kepada siapa saja
yang tidak mau masuk Islam. Tercatat raja-raja kerajaan Silat, Suhaid,
Jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk Islam. Setelah
raja-raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk Islam, mereka
diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan dihukum mati.
Hal ini mungkin agak unik dibandingkan dengan Islamisasi yang terjadi diwilayah
lain yang rata-rata disiarkan secara damai (Hermansyah, dkk 2005:10).
5.Melalui Kesenian
Islam disebarkan kepada masyarakat Kalbar juga melalui
kesenian tradisional. Ini dapat kita lihat pada masyarakat di Cupang Gading.
Sastra tradisional yang ada di Cupang Gading memperlihatkan adanya nilai-nilai
keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai Islam dengan nilai kesenian
ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan Islam itu sendiri.
Berpadunya nilai lokal dengan Islam dapat dilihat melalui
prosa rakyat yang dikenal dengan istilah bekesah dan melalui puisi
tradisional, seperti pantun, mantra, dan syair (Dedy Ary Asfar,dkk 2003:
46).Selain itu Islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin
Lembut yang ada didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah
yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan Islam di
Kalbar.
Di Kalimantan Barat daerah yang pertama kali mendapat
sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah yang diperkirakan
antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam
pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab atau dengan nama lain beliau
Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa
Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid
Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan.
Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam,
putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15
Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan
Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama
terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Menurut keterangan di atas tampak bahwa islam masuk di
Kalimantan Barat dibawa oleh juru dakwah dari Negeri Arab. Ini sejalan dengan
teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859),
Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Menurut mereka penyiar
Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat,
Yaman. Teori ini didukung pula oleh sejarawan dan ulama Indonesia modern,
seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib a( atlas
(Malaysia).
Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami Habib
Husein al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif
Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini
karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga digerakkan
sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat.
Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah
relasi yang luas dengan para pedagang lainnya. Walaupun bagi Kalimantan barat,
datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barat bukan
merupakan daerah pertama yang didatanginya. Dan rentetan kronologi sampai
akhirnya beliau menetap dan memusatkan dakwah di Kalimantan Barat.
Beliau sendiri
lahir tahun 1118 H di Trim Hadramat Arabia. Tahun 1142 H setelah
menamatkan pendidikan agama yang memadai, atas saran gurunya berangkat menuju
negeri-negeri timur bersama tiga orang kawannya untuk mendakwah islam. Tahun
1145 H mulanya mereka tiba di Aceh. Sambil berdagang mereka mengajarkan Islam
disana. Lalu perjalanan di lanjutkan ke Betawi (Jakarta) sedangkan temannya
Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar
ke Siak dan Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein
al-kadri tingggal di betawi selama 7 bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun
bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun 1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan
(ketapang) Kalimantan Barat dan diterima di Kerajaan Matan.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin
bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun
1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan.
Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo
Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai
kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun
1184 dalam usia 84 tahun.
Mulanya Syarif Husein menetap di Matan (Ketapang) dan
berdakwah disana. Ia mendapatkan respon yang sangat baik sehingga penganut
Islam semakin banyak dan Islam memasyarakat sampai kepedalaman. Maka antara
Tahun 1704-1755 M Ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan
Matan. Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja
Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempawah dan mengajar agama
disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempawah, sampai
wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun. (Anshar Rahman, 2000:5-6). Syarif
Husein tidak hanya menyebar Islam dikalangan rakyat jelata, Ia juga menyebarkan
kekalangan bangsawan. Salah satu cara yang ditempuh beliau dalam menyebarkan
Agama Islam adalah dengan melakukan perkawinan dengan putri-putri bangsawan.
Beliau menikahi 3 orang putri yang berasal dari kerajaan Matan, dan mereka ini
berasal dari suku Dayak. (Anshar Rahmat, 2000:25)
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalbar pada
abad ke 15 di pelabuhan Ketapang (Sukadana) melalui perdagangan. Penyebaran
agama Islam di Kalimantan Barat membujur dari Selatan ke Utara, meliputi
daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak. Menurut Safarudin Usman bahwa
Islam mulai menyebar di Kalimantan Barat diperkirakan sekitar abad XVI Miladiah,
penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal dengan
kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana agama
Islam mulai diterima masyarakat (Ikhsan dalam Usman 1996:3), akan tetapi Barukh
tidak menganut agama Islam sampai wafat 1590 M.
Selain itu ada pendapat yang mengemukakan pada tahun 1470
Miladiah sudah ada kerajaan yang memeluk agama Islam yaitu Landak dengan
rajanya Raden Abdul Kahar (Usman,1996:4) Dimasa pemerintahan Raden Abdul Kahar
(Iswaramahaya atau Raja Dipati Karang Tanjung Tua) beliau telah memeluk
agama Islam sehingga dapat dikatakan berawal dari kerajaan Landak.
Berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas bisa
diperkirakan, bahwa agama Islam masuk di Kalimantan Barat pada masa
pemerintahan Barukh (1538-1550). Dari riwayat kerajaan Landak diperoleh
keterangan bahwa agama Islam di bawah pemerintahan Kerajaan Ismahayana, yang
bergelar Raja Dipati Tanjung Tua (1472-1542), agama Islam mulai berkembang di
kerajaan Landak (Sendam, dalam Ajisman:1998). Mengingat kerajaan Matan dan
Landak yang masuk diperkirakan pada abad ke 15 maka kerajaan Sintang yang
berada dipedalaman sekitar akhir abad ke 16. Penyebaran yang pertama-tama
kemungkinan dari para pedangang Semenanjung Melayu, terutama pedagang dari
Johor. (Dalam Ikhan:2004:95).
Sahzaman berpendapat bahwa agama Islam masuk di
Kalimantan Barat melalui selat Karimata menuju kerajaan Tanjungpura yang
memang sudah ada sejak abad ke XIII. Kerajaan Sambas pada masa Raden
Sulaiman putra Raja Tengah dari kerajaan Brunei (Ajisman
1998:24)
Dalam buku Sejarah Kodam XIII Tanjungpura Kalimantan
Barat yang diterbitkan oleh Sendam Tanjungpura menyebutkan masuknya agama
Islam di Kalimantan Barat pada abad ke 16 Ketika kerajaan Hindu Sukadana
dipimpin rajanya penembahan Barukh, pada saat yang sama penembahan Barukh
membangun kota Baruk yaitu Matan (Ajisman:1998:25)
Kerajaan Tanjungpura menjadi salah satu ciri kerajaan
Islam, jauh sebelumnya sudah pernah ada komunikasi antara masyarakat
dikerajaan Tanjungpura dengan para pedagang dari Arab, bentuk-bentuk
peningalan yang masih bayak terdapat di daerah Kabupaten Ketapang, baik yang
bersifat tangible maupun intangible hal itu masih bisa dijumpai sampai
saat ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balar Arkeologi dari
Banjarbaru Kalimantan Selatan bahwa peninggalan makam keramat tujuh maupun
keramat sembilan diperkirakan pada abad ke-15 akan tetapi jauh
sebelumnya sudah ada kehidupan Islam di daerah Benua Lama, karena juga
ditemukan nisan didalam dasar tanah berdiri kokoh dan relief yang bercorak Arab
di wilayah Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan
Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya
Sultan Syarif Abdurahman Al Qadrie adalah putra Syarif Husin Al Qadrie
yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat, kehadiran
kesultanan yang bercorak Islam masih membawa pengaruh adat istiadat bangsa
Nusantara yang dinamakan pengaruh Jawa pra Islam. Salah satu pengaruh kuat
adalah percampuran budaya Timur Tengah dengan budaya jawa Pra Islam.
Sekitar tahun 1733 Syarif Husin bin Ahmad Al Qadrie seorang ulama dari
negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (Timur Tengah) datang ke kerajaan
Matan untuk menyebarkan agama Islam, kemudian di angkat sebagai penasehat
raja, akan tetapi jabatan tidak begitu lama dikarenakan ada perselisihan
paham tentang hukuman terhadap nakhoda tidak disetujui oleh Syarif Husein
kemudian pindah kekerajaan Mempawah.
Di Daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji
yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang
termasyhur, sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadrie mengundang Djafar
khusus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak
(Usmandkk:1997).
Ustazd Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama
Kurdi Djafar dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di
Mempawah dan salah seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh
Muhammadiyah yang ada di Pontianak (dalam Iksan wawancara H.Rahim Jafar)
Islam di Kalimantan Barat tidak saja disebarkan
dikalangan masyarakat grassproots (akar rumput) atau rakyat jelata, tetapi juga
dikalangan bangsawan. Cara yang digunakan pada awalnya adalah dengan, mengawini
putri-putri bangsawan. Syarif Husein mulanya kawin dengan Nyai tua seorang
putri keluarga kerajaan Matan. Belakangan beliau juga kawin dengan Nyai tengah
dan Nyai Bungsu juga dari lingkungan kerajaan Matan. Dari Nyai Tua lahir Syarif
Abdurrlhnrm Al-Kadri yang belakangnya menjadi pendiri Kesultanan Pontianak,
Dari Nyai Tengah ia memiliki tiga anak, yaitu Syarifah Aisyah Syarif Abu Baikar
dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari Nyai Bungsu memperoleh tiga anak pula,
yaitu Syarif Ahmad, Svarifah Marjanaj, Syarifah Noor. Ketiga istrinya itu
bersaudara, namun dikawini secara ganti tikar setelah istri yang ada meninggal.
Melihat sepak terjang Syarif Husein diatas, tampak beliau
membangun kekuatan dakwah. selain politik dengan mendekati keluarga Kerajaan
yaitu mengawini putri-putri bangsawan Kerajaan dayak yang sudah masuk Islam.
Cara seperti ini memang banyak dilakukan para Ulama terdahulu, seperti para
Ulama Walisongo dijawa dan Ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Dikalangan Ulama Walisongo tercatat diantaranya Sunan Bonang adalah
putra Sunan Ampel dari hasil perkawinannya dengan Dewi Candrawati putri
Brawijaya Kertabumi, cucu raja Majapahit. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
pernah kawin dengan Bajut (istri pertama) seorang putri Istana. Istri beliau
yang lain, Ratu Aminah putri Pangeran Toha bin Sultan Tahmidillah, raja Banjar
Islam yang ke-16 tampak disini, pintu perkawinan merupakan cara ampuh untuk
mendekati lembaga kekuasaan. Terbukti kemudian Syarif Husein diangkat sebagai
Mufti di Kerajaan Matan. Dan hal sama juga Syekh Muhammad Arsyad diangkat
menjadi mufti dikerajaan Banjar. Pengangkatan tersebut tentu saja tidak semata
karena adanya pertalian darah melalui perkawinan, tetapi didukung oleh
keutamaan mereka juga.
Hal sama dilakukan oleh putra Syarif Husein, yaitu Syarif
Abdurrahman alKadri. Ketika ayahnya diminta oleh Raja Mempawah Opo Daeng
Menambun untuk pindah ke Mempawah dan diangkat untuk menjadi tuan Besar
Mempawah, Abdurrahman dikawinkan dengan Utin Candra Midi, putri Raja Opu Daeng
Menambun. Jadi ada keberlanjutan pertalian darah antara darah Ulama dengan
darah raja. Pertalian inilah yang membuat posisi Syarif Husein dan Syarif
Abdurrahman AlKadri beserta keturunannya semakin kuat.
Sebelum memperkuat karir politiknya, Syarif Abdurrahman
Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai mana disebutkan terdahulu ia
memiliki armada dagang yang dilengkapi persenjataan di laut. Pernyataan ini
seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu bahwa para pedagang Arab tidak
tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah. Sebenarnya tidak ada yang
bertentangan dalam hal ini. Senjata yang digunakan oleh Syarif Abdurrahman
al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab saat itu sudah terjadi
persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang asing dan juga untuk
mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut). Kemungkinan besar angkatan
bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak semata miliknya tetapi juga
dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah yang sudah Islam ketika itu.
Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal dagang.
Setelah Syarif Abdurrahman Al-Kadri mengurangi aktifitas
dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk mendirikan suatu kerajaan atau
kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M) ia meninggalkan Mempawah menuju
Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai Kapuas, rombongannya mendarat di
Istana Kadriah yang sekarang dinamai Pontianak. Di sini ia membangun perumahan
dan balai serta masjid. Di tahun yang sama ia balik ke Mempawah untuk membawa
serta keluarga dan mengambil armada Tiang Sambung ke Pontianak.
Tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau, ia
berlayar ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya dibawah kekuasaan Pontianak
Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para sultan dan penambahan dari
Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja haji mengangkat dan
menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan
Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan menguasai
Mempawah, Sambas, dll, baik dengan jalan perang maupun damai. Setelah Sultan
Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan
keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu:
Sultan Syarif Kasim Al-Kadri (1808-1819)
Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (Sultan Hamid), (1945-1950)
Adanya Kesultanan Pontianak yang dibangun oleh Sultan
Syarif Abdurrahman Al-Kadri, putra Syarif Husein al-Kadri ini menarik untuk
dikomentari. Sebelumnya disebutkan pedagang Arab atau Ulama asal Arab yang
datang ke Indonesia tidak teriarik untuk membangun kekuatan Politik (political
power) dengan cara mendirikan kerajaan sendiri yang dikuasai oleh keturunan
Arab. Mereka lebih senang menjadi Ulama yang bersekutu dengan pihak kerajaan.
Itu sebabnva tidak banyak diketahui orang Arab atau keturunan Arab yang menjadi
pengusaha di Nusantara. Dari sedikit itu tercatat misalnya Fatahillah (Syarif
Hidayatullah) yang berkuasa di Banten dan berhasil mengusir Poriugis dari Sunda
Kelapa (Jayakarta) menguasainya. sehingga ia dianggap sebagai pendiri kota
Jayakarta atau Jakarta sekarang, dan namanya diabadikan sebagai nama
Universitas Islam negeri (UIN/ sebelumnya IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mengapa Syarif Abdurrahman AI-Kadri tertarik terjun kedua
politik dan selanjutnya menjadi sultan Pontianak Pertama, ini tidak terpisahkan
dari darah yang mengalir pada dirinya. Walaupun ayahnya yarif Husin seorang
Ulama Besar yang pernah diangkat menjadi Mufti dan tuan besar dan Syarif
Abdurrahman pun diberikan pendidikan agama yang kuat oleh ayahnya, amun pada
diri Syarif al-Kadri juga mengalir darah bangsawan kerajaan, sebab ibunya (Nyai
Tua) adalah putri raja Matan, dan istrinya sendiri (Utin Chandra Midi) adalah
putri raja Mempawah. Patutu juga dicatat, salah satu istri Syarif Abdurrahman
AI-Kadri adalah ratu Syacharanom, putri dari kerajaan banjar, sehingga is
sempat digelari Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.
Dalam keadaan mengalir darah raja dan banyak bergaul
dengan lingkungan kerajaan, bahkan kawin dengan putri-putri raja dapat
dimaklumi jika Syarif Abdurrahman AI-Kadri punya naluri berkuasa yang besar
sehingga berhasil membangun kesultanan Pontianak yang sangat besarnya dalam
mengembangkan Islam di Kalimantan Barat.
Pilihan politik ini, walaupun sepintas menyimpang dari
tradisi orang Arab dan keturunannya di Indonesia yang lebih tertarik berdagang
dan berdakwah, namun pilihan itu tidak dapat dikatakan salah. Dengan memiliki
power politik sesudah power ekonomi melalui keberhasilan berdagang, agama Islam
akan semakin berkembang dan memiliki kekuatan politik di Kalimantan Barat.
Sebab dakwah Islam atau agama Islam akan kuat apabila ditopang oleh kekuasaan
dan ekonomi.
Lagi pula kekuasaan Syarif Abdurrahman Al-Kadri bukan
semata karena ambisi politiknya, tetapi juga didukung oleh para Sultan dari
kerajaan lain, juga dukungan rakyat. Salah satu kekuatan politik Kesultanan
Pontianak adalah adanya toleransi beragama yang tinggi. Kepercayaan agama lain
diluar Islam seperti Animisme, Khonghucu, dll, tetap dihormati. sehingga tidak
terjadi konflik antaragama atau hal-hal negative lainnya. Bahkan di Kalimantan
Barat bukan hal aneh bila mesti berdampingan atau berdekatan letaknya dengan
klenteng, balai slot Dayak, dll. Adanya toleransi yang tinggi ini, membuat
masyarakat non muslim tidak berkeberatan dikuasai oleh Kesultanan Pontianak
yang Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Kalimantan barat
1. Keraton Kadriah Pontianak
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan
Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya Sultan
Syarif Abdurahman Al Qadrie adalah putra Syarif Husin Al Qadrie yang menjadi
salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kawasan sekitar pusat
pemerintahan kesultanan Pontianak yang terletak dipinggiran Sugai Kapuas,
Kampung Kapur, Kampung Bansir, kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat
kental pengaruh agama Islam. Daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji
yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termasyhur,
sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi
guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak (Usman dkk:1997).
2. Kerajaan Jongkong (Embau)
Pada awalnya pendidikan dikerajaan ini didapatkan dari
adanya pendakwah-pendakwah yang datang dari luar. Namun, kemudian untuk
perkembangan Islam selanjutnya H. Ahmad dan teman-temannya membuka madrasah
yang diberi nama Hidayatul Mustaqim pada tanggal 9 November 1946, selain itu
ada juga pengajian keliling.(Hermansyah,dkk 2003:13) Sebelum H. Ahmad
masyarakat pendapatkan pengajaran dari mubaligh dan guru-guru agama yang
mengajarkan Al-Qur,an, fiqh, di rumah dan di mesjid (Yusriadi,dkk 2003:5). Para
pengajar agama juga berupaya menyepadukan ajaran Islam dengan kepercayaan lama
yang berkembang di masyarakat (Hermansyah:2003)
3. Kerajaan Sambas
Pendidikan Islam di kerajaan Sambas dapat dilihat dari
dua tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, yaitu pendidikan dilingkungan keluarga.
Pendidikan dilingkungan keluarga diberikan dalam bentuk pelajaran membaca
Al-Qur’an. Pendidikan seperti ini diberikan kepada anak dari sejak dini bagi
anak-anak berumur 5-10 tahun. Kegiatan yang biasa disebut “mengaji” ini
dilakukan secara berkelompok dirumah guru ngaji. Mula-mula anak di
ajari membaca huruf Hijaiyyah dengan cara mengeja satu demi satu huruf kemudian
merangkainya dengan kata sehingga terbentuk satu kesatuan kalimat. Apabila
huruf-huruf ini telah dikenal barulah pindah membaca Jus Amma, yaitu
jus ke-30 yang dibukukan tersendiri dan disebut juga Al-Qur’an kecil. Bagi anak
yang sudah lancar membaca dan telah tamat Juz Amma, guru ngaji biasanya
menyelenggarakan upacara penamatan yang disebut Khataman Al-Qur’an. Pada saat
acara Khataman Al-Qur,an orang tua murid ngaji masing-masing mengantarkan
hadiah berupa beras, kelapa, dan kain kepada guru ngaji. Besar kecilnya
pemberian dan upacara tergantung pada kemampuan orang tua murid
(Erwin,dkk 2005:18).
Jika anak telah tamat Al-Qur’an Kecil, selanjutnya anak
pindah untuk membaca Al-Qur’an Besar. Prosesi pengajaran Al-Qur’an besar,
pertama-tama guru membimbing sekali atau dua kali, lalu anak mengulangnya
beberapa kali sampai lancar. Pengetahuan membaca seperti ini ditingkatkan
dengan memberikan pengetahuan seni membaca. Akhirnya, anak mampu membaca
sendiri tanpa pembimbing. Disamping membaca anak-anak juga diberikan ilmu
tajwid. Waktu yang diperlukan untuk menamatkan seluruh bacaan tidak ditentukan
tergantung kemampuan membaca setiap anak. Namun, rata-rata mereka dapat
menamatkan bacaan Al-Qur’an antara 6-12 bulan (Erwin, dkk 2005:19).
Tahap kedua, pada tahap ini adanya pengakuan anggota
masyarakat atau lingkungan masyarakat terhadap kealiman dan keshalehan seorang
ustad atau syekh, sehingga anggota masyarakat mengirimkan anaknya untuk
memperdalam ilmu. Pada tahap ini anak-anak yang telah meningkat remaja diajari
dasar-dasar ilmu nahwu dan saraf.Selain itu juga di ajarkan
semacam ilmu usul yang berisi materi rukun iman dan rukun Islam. Kitab
rujukan utamanya adalah kitab Perukunan Melayu karya Arsyad
al-Banjari. Selain itu, terdapat juga pelajaran fikih yang termuat dalam kitab
“1001 Masalah” yang amat praktis susunannya. Umumnya kitab-kitab rujukan
ini menggunakan bahasa Arab Jawi (berbahasa Melayu beraksara Arab) dan sering
kali tidak mencantumkan nama pengarangnya (anonymous). Selain ilmu
fikih,terdapat kecenderungan berkembangnya ilmu tasawuf
(Erwin, dkk 2005:19).
Namun, ketika penguasa ke-8 kesultanan Sambas, Muruhum
Anom yang bergelar Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (berkuasa 1813-1826), mulai
membangun institusi keagamaan Islam di Istana dengan melantik H. Nuruddin
Mustafa sebagai imam kesultanan. Tugas imam adalah setiap hari datang ke istana
untuk memberikan pengajaran agama terutama pengajian al-Qur’an dan sembahyang
kepada kerabat Sultan (Machrus Effendy 1995:20). Dengan demikian, perkembangan
berikutnya istana dijadikan lembaga pendidikan dikalangan elit penguasa, selain
masjid. Lembaga pendidikan istana (palace school) inilah yang kemudian
berkembang menjadi madrasah al-Sutaniyah. Kemudian Muhammad Tsaifudin II
mendirikan madrasah al-Sultaniyah pada tahun 1868. Pada awalnya kurikulum
madrasah ini masih terbatas pada pelajaran Agama Islam. Peserta
didiknya pun hanya dari kalangan kesultanan, aktivitas pembelajaran masih
didalam istana. Namun setelah adanya pembauran dan adanya keinginan untuk
membuat madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola namun setelah adanya
pembauran dan adanya keinginan untuk membuat madrasah ini semakin baik,
mulailah dikelola dengan memasukan kurikulum pendidikan barat disamping
pendidikan Islam, agar dapat menyaingi sekolah-sekolah milik kolonial
Belanda. Lalu kemudian sekolah ini diganti namanya menjadi Tarbiatoel
Islam (Erwin, dkk 2005:21).
4. Kerajaan Sintang
Pada saat itu kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan
Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa disebut Sultan Aman, beliau memerintah
tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat fanatik terhadap Islam. Pada masa
Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi dua orang ulama dari Aceh bernama
Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian
diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi
panglima perang karena keahliannya dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena
semangatnya mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan
Islam di hulu Sungai Kapuas. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa
Sultan Aman juga memerangi orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam
(Hermansyah,dkk 2005:10).
Sumber :
http://senyumislam.wordpress.com/2012/09/10/perkembangan-islam-di-kalimantan-barat/
http://khuzmayudi.blogspot.com/2013/03/sejarah-pendidikan-islam-di-kalimantan.html
http://kesultanankadriah.blogspot.com/2011/01/islamsejarah-masuknya-ke-kalimantan.html
sumber foto :
http://melayuonline.com/ind/history/dig/386/kesultanan-kadriah
Kerajaan Islam di Kalimantan timur adalah Kesultanan
Kutai yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu Kutai Kartanegara yang
sudah berdiri sejak tahun 1300.
Masuknya Islam di Kalimantan timur di mulai pada abad ke – 17, berawal dari Kerajaan Bajar yang berasal dari Kalimantan selatan yang di komandai oleh Dato’ Ribandang dan Tuan Tunggang Parangan. Ekspedisi mereka berjalan dengan lancar, setelah itu dato’ Ribandang kembali ke Makassar dan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai, pada masa ini lah Raja Mahkota mulai menganut ajaran Islam. selain daerah ini Islam juga datang dari arah Timur, yang dibawah oleh pedagang Bugis-Makassar. Islam yang datang diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai dan kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18. Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Idris 1732-1739.
Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, beliau pergi ke Sulawesi Selatan untuk menolong rakyat Sulawesi yang sedang berperang melawan penjajahan Belanda. Sehingga tahta kesultanan Kutai direbut oleh Aji Kado yang resmi menjadi Sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyuddin (1739-1780). Tahta kesultanan kutai sebenarnya akan diberikan kepada Aji Imbut putra mahkota Sultan Aji Muhammad Idris , namun karena usianya yang masih belia, Aji Kado mengambil alih kesultanannya.
Setelah Aji Imbut dewasa dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai denga gelar Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816). Sejak itu dimulai perlawanan terhadap Aji Muhammad Aliyuddin. Karena Aji Muhammad Muslihuddin mendapat bannyak bantuan dari rakyat sehingga ia dapat memenangi perlawanan tersebut, dan akhirnya Aji Muhammad Aliyuddin dihukum mati.
Dalam kesultanan Kutai Islam dijadikan sebagai agama resmi Negara. Para ulama mendapat kedudukan terhormat sebagai penasehat sultan dan pejabat-pejabat kesultanan, disamping sebagai hakim. Hukum Islam diberlakukan dalam menyelesaikan perkara perdata dan keluarga. Sehingga ajaran Islam sangat berpengaruh di daerah tersebut.
Masa kejayaan Kesultanan Kutai ialah pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muslihuddin (1739-1782) dan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salihuddin (1782-1850). Pada masa itu Kesultanan Kutai tampi sebagai daerah maritime yang memiliki armada pelayaran yang meramikan perdagangan. Hasil rempah yang di hasilkan Kesultanan Kutai diantaranya adalah lada, kopi, kopra, dan rempah-rempah. Sedangkan barang yang masuk ke daerah Kutai yaitu, sutra, porselin, dan lain-lain. Para pedagang dari Kesultanan Kutai sangat aktif berlayar di Kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Filipina, dan Cina.
Mundurnya Kerajaan Kutai
Mundurnya Kerajaan Kutai diawali dengan kontaknya dengan bangsa Eropa pada tahun 1844, ketika kapal Inggris dibawah pimpinan Erskine Murray datang ke wilyah ini. Rakyat Kutai merasa tidak senang dengan kesombongan orang-orang Inggris tersebut, sehingga rakyat Kutai melakukan perlawanan terhadap orang-orang Inggris. Dalam perlawanan itu rakyat Kutai mencapai kemenangan, bahkan Erskine Murray mati terbunuh dalam peristiwa ini.
Ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong yang merupakan sebagai pusat Kesultanan Kutai, akhirnya dapat dikuasai oleh bangsa Eropa. Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada tahun 1844. Sultan Muhammad Salihuddin terpaksa melakukan perjanjian damai, yang dikenal dengan perjanjian “Tepian Pandat Traktat”. Perjanjian ini merupakan akhir dari kemerdekaan Kutai, karena setelah perjanjian tersebut Kesultanan Kutai tunduk dibawah residen Belanda.
Sumber :
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/20/masuknya-islam-di-kalimantan-bag-3-548367.html
Masuknya Islam di Kalimantan timur di mulai pada abad ke – 17, berawal dari Kerajaan Bajar yang berasal dari Kalimantan selatan yang di komandai oleh Dato’ Ribandang dan Tuan Tunggang Parangan. Ekspedisi mereka berjalan dengan lancar, setelah itu dato’ Ribandang kembali ke Makassar dan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai, pada masa ini lah Raja Mahkota mulai menganut ajaran Islam. selain daerah ini Islam juga datang dari arah Timur, yang dibawah oleh pedagang Bugis-Makassar. Islam yang datang diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai dan kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18. Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Idris 1732-1739.
Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, beliau pergi ke Sulawesi Selatan untuk menolong rakyat Sulawesi yang sedang berperang melawan penjajahan Belanda. Sehingga tahta kesultanan Kutai direbut oleh Aji Kado yang resmi menjadi Sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyuddin (1739-1780). Tahta kesultanan kutai sebenarnya akan diberikan kepada Aji Imbut putra mahkota Sultan Aji Muhammad Idris , namun karena usianya yang masih belia, Aji Kado mengambil alih kesultanannya.
Setelah Aji Imbut dewasa dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai denga gelar Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816). Sejak itu dimulai perlawanan terhadap Aji Muhammad Aliyuddin. Karena Aji Muhammad Muslihuddin mendapat bannyak bantuan dari rakyat sehingga ia dapat memenangi perlawanan tersebut, dan akhirnya Aji Muhammad Aliyuddin dihukum mati.
Dalam kesultanan Kutai Islam dijadikan sebagai agama resmi Negara. Para ulama mendapat kedudukan terhormat sebagai penasehat sultan dan pejabat-pejabat kesultanan, disamping sebagai hakim. Hukum Islam diberlakukan dalam menyelesaikan perkara perdata dan keluarga. Sehingga ajaran Islam sangat berpengaruh di daerah tersebut.
Masa kejayaan Kesultanan Kutai ialah pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muslihuddin (1739-1782) dan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salihuddin (1782-1850). Pada masa itu Kesultanan Kutai tampi sebagai daerah maritime yang memiliki armada pelayaran yang meramikan perdagangan. Hasil rempah yang di hasilkan Kesultanan Kutai diantaranya adalah lada, kopi, kopra, dan rempah-rempah. Sedangkan barang yang masuk ke daerah Kutai yaitu, sutra, porselin, dan lain-lain. Para pedagang dari Kesultanan Kutai sangat aktif berlayar di Kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Filipina, dan Cina.
Mundurnya Kerajaan Kutai
Mundurnya Kerajaan Kutai diawali dengan kontaknya dengan bangsa Eropa pada tahun 1844, ketika kapal Inggris dibawah pimpinan Erskine Murray datang ke wilyah ini. Rakyat Kutai merasa tidak senang dengan kesombongan orang-orang Inggris tersebut, sehingga rakyat Kutai melakukan perlawanan terhadap orang-orang Inggris. Dalam perlawanan itu rakyat Kutai mencapai kemenangan, bahkan Erskine Murray mati terbunuh dalam peristiwa ini.
Ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong yang merupakan sebagai pusat Kesultanan Kutai, akhirnya dapat dikuasai oleh bangsa Eropa. Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada tahun 1844. Sultan Muhammad Salihuddin terpaksa melakukan perjanjian damai, yang dikenal dengan perjanjian “Tepian Pandat Traktat”. Perjanjian ini merupakan akhir dari kemerdekaan Kutai, karena setelah perjanjian tersebut Kesultanan Kutai tunduk dibawah residen Belanda.
Sumber :
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/20/masuknya-islam-di-kalimantan-bag-3-548367.html
kota-islam.blogspot.com/2013/10/sejarah-masuknya-islam-di-kalimantan.html
SEJARAH ISLAM MASUK KE TANAH DAYAK BESAR
Pada zaman dahulu kala, sekitar abad ke 15 Mandomai dan pada umumnya Kalimantan Tengah masih tergolong tempat yang masih murni yaitu hutan belantara dan belum tersentuh oleh para pendatang. Penduduk aslinya ialah Suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang bantaran sungai Kapuas dan kepercayaan yang di anut pun masih kepercayaan nenek moyang yaitu Kaharingan yang artinya "Kehidupan". Suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu merupakan salah satu suku terkuat yang melakukan budaya "Kayau" atau budaya berburu kepala, disamping Dayak Iban, Dayak Ot dan Dayak Kenyah.
Rumah tempat tinggal suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Dayak Ngaju Kapuas di sebut "Huma hai". Rekonstruksi rumah ini seperti rumah panggung pada umumnya, mempunyai tiang rumah yang tinggi kira-kira 10 meter dan lebar rumah sekitar 50 meter. Maksud orang Dayak pada zaman dahulu mendirikan rumah tinggi ialah untuk menghindari dari bahaya seperti binatang buas, banjir dan budaya kayau. Rumah Betang biasanya di huni 20 bahkan sampai 100 kepala keluarga, tergantung dari ukuran rumah Betang tersebut.
Pada zaman dahulu sebelum kedatangan para pendatang, Mandomai dahulu bernama Desa Tacang Tangguhan, sebuah desa kecil yang pada kala itu hanya terdapat beberapa rumah Betang. Masyarakatnya pun kala itu masih tergolong premitif, menggunakan baju dari anyaman rotan, kulit kayu maupun kulit hewan. Kegiatan masyarakatnya masih tergolong sederhana seperti berburu, nelayan sungai dan bertani. Budaya kayau (berburu kepala) pada saat itu pun masih dipegang teguh. Selain itu budaya Dayak yang masih dipegang teguh oleh masyarakat kala itu masih murni seperti kepercayaan Kaharingan, tiwah (upacara kematian suku Dayak Ngaju), tatto, tari - tarian dan banyak lagi lainnya. Ciri - ciri fisik orang Dayak Ngaju zaman dulu ialah berkulit putih, bermata sipit, tubuh tegap, menggunakan celana "ewah" yaitu balutan kain dengan khas di julurkan selembar kain di depannya, menggunakan kalung dari taring binatang buas, menggunakan hiasan kepala baik ikat kepala maupaun dari anyaman rotan yang dihiasi dengan bulu burung dan senjata tradisionalnya berupa Mandau, Tombak, Sumpit dan perisai (telabang).
Sekitar abad ke-17, pada saat perang Kasintu pecah, orang-orang yang berada di daerah Tacang Tanggoehan pun mengungsi ke daerah Pulau Petak, sekitar tahun 1803-an mereka kembali lagi ke daerah Tacang Tanggoehan dan membangun dua buah rumah betang yang disebut “huma gantung ”(rumah tinggi) atau “huma hai”(rumah besar) yang terletak di sebelah hulu sungai Mandomai.
Panjang bangunan ini menurut sumber saksi sejarah yang sempat menyaksikan keberadaan bangunan ini panjangnya berkisar 50 meter lebih dengan lebar 30 meter, dan dari tulisan Muhammad Kurdi (1936) disebutkan bahwa bangunan ini dihuni oleh 50 kepala keluarga dalam satu rumah betang tersebut, hingga saat ini sebagian puing-puing bangunan tersebut masih tersisa, konstruksi bangunan ini menggunakan kayu ulin (kayu besi) dan situs yang masih kokoh berdiri dilokasi tersebut adalah dua buah sandung, hanya saja sangat disayangkan beberapa situs penting dalam sejarah ini dirusak dan dimanfaatkan untuk kepentingan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab.
MENILIK SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI MANDOMAI
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah umum lainnya, Islam masuk ke daerah Mandomai melewati jalur perniagaan, pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih (Banjarmasin) KAL- SEL yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam ini mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan Islam masuk ke daerah Mandomai ini sekitar abad ke-18, para penghuni “huma hai” pun tertarik dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan kehidupan manusia, penyebaran Islam begitu pesat di Mandomai, hal ini terbukti dari adanya pembauran budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan makam yang berbentuk tinggi seperti sapundu (titian menuju surga menurut ajaran agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di sebuah makam seorang penghuni “huma hai” yaitu Oedjan.
Perkembangan Islam di Mandomai ini berkaitan erat dengan seorang tokoh di “huma hai” yaitu Oedjan ini, ayah Oedjan berasal dari daerah Palingkau, tepatnya Doesoen Timoer Patai, Oedjan adalah anak dari Damboeng Doijoe yang juga disebut seorang Temenggung Madoedoe sepupu dari Soetawana ayah Soetarnoe di Tamiang Layang, Temenggung Madoedoe ini anak dari Djampi yang merupakan kakek dari Oedjan yang sudah memeluk Ajaran Islam. Oedjan ini menikah dengan seorang gadis keturunan Portugis yang bernama Makau (Saleh), dari perkawinannya ini mereka di anugerahi 9 orang anak yaitu Sahaboe, Oemar, Aloeh, Galoeh, Soci, Ali, Esah, Tarih, dan Njai.
a. Hubungan kekerabatan ‘huma hai” dan orang Kuin, Bandarmasih
Abdullah bin Abu Samal memiliki dua orang Isteri, yang pertama beliau beristeri dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim yang masih keturunan Habib Pajar, kemudian isteri beliau yang kedua adalah Datuk Mantjung, dari istrinya yang pertama beliau dianugerahi 7 orang anak dan dari isterinya yang kedua beliau dianugerahi 6 orang anak. Yang berkaitan erat hubungannya dalam perkembangan Islam adalah berbesannya Abdullah bin Abu Samal dengan Oedjan bin Damboeng bin Djampi, yakni anak dari Abdullah bin Abu Samal dengan isterinya yang pertama yaitu KH. Abdul Gapoer dengan anaknya Oedjan bin Damboeng dari isterinya yang bernama Makau (Saleh) yaitu anaknya yang ke-7 bernama Esah, dari pernikahan ini lahir 2 orang putra yang berpengaruh dalam perkembangan Islam maupun perjuangan mencapai kemerdekaan yakni Igak dan H.M. Sanoesi yang sekarang makamnya ada di makam pahlawan di Kabupaten Pulang Pisau. Menurut sumber sejarah dikatakan bahwa Abu Samal yang merupakan ayah dari Abdullah adalah masih kerabat dekat dengan Raja Banjar yaitu Sultan Suriansyah yang kubahnya sekarang ada di Kuin, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
b. Pesatnya
perkembangan Islam ditandai dengan dibangunnya sarana tempat ibadah.
Pada tahun 1903, tepatnya pada tanggal 04-08-1903 didirikanlah sebuah Mesjid Jami Al-Ikhlas, yang di prakarsai oleh 4 tokoh masyarakat yaitu Rahman Abdi bin H. Muhammad Arsyad (Kuin), Abdullah bin H. Muhammad (penghulu Mandomai), Sabri bin H.Muchtar, Sahaboe bin H. Muhammad Aspar. Nama-nama para pemprakarsa pembangunan mesjid ini terpahat di 4 tiang mesjid Jami Al- Ikhlas ini yang disebut “4 tiang guru”.
H. Muhammad Aspar ini sepupunya H. Muhammad Sanoesi dan Igak yang juga keponakan dari KH. Abdul Gapoer (Tokoh syiar Islam di Mandomai). Mesjid ini dilihat dari arsitekturnya mengadopsi dari arsitek mesjid- mesjid yang ada di Kalimantan Selatan, bangunannya hampir serupa dengan Mesjid Jami yang ada di kelurahan Mambulau ketika belum di renovasi, yang selama ini di klaim sebagai Mesjid tertua yang ada di Kabupaten Kapuas, namun dari bukti sejarah yang telah kami telusuri dan terdapat bukti-bukti kebenaran sejarahnya, ternyata mesjid tertua yang ada di kabupaten Kapuas adalah Mesjid Jami Al-Ikhlas yang menurut perhitungan penanggalan tahun masehi sudah berusia kurang lebih 107 tahun, ini dihitung dari peletakan batu pertama pembangunannya sampai dengan sekarang, mesjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dengan tidak merubah bentuk aslinya secara keseluruhan, namun bentuk kubah, dinding, atap, bentuk jendela dan pintunya sudah mengalami perubahan. Selama ini mesjid bersejarah ini kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah, artikel singkat ini sengaja kami susun dengan penilitian yang seksama agar kiranya nilai sejarah perkembangan Islam di Kecamatan Kapuas Barat, Kelurahan Mandomai ini tidak terlupakan oleh kaum muslimin dan muslimat di Kabupaten Kapuas yang mencintai akar sejarah penyebaran ajaran agamanya dan menjadi semangat baru dalam syiar agama Islam dimasa yang akan datang.
c. Sejarah ringkas keturunan penulis dengan para pendahulu syiar Islam di Mandomai.
Penulis merasa penting untuk memuat silsilah ini, karena hal inilah yang jadi motivasi kami agar sejarah leluhur/pendahulu kami yang mensyiarkan ajaran Islam tidak terabaikan hasil kerja keras mereka dalam membangun mesjid tertua di kabupaten Kapuas yang merupakan pusat pembinaan umat dari semenjak dahulu hingga sekarang.
I. Abdullah bin Abu Samal menikah dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim keturunan Habib Pajar.
II. KH. Abdul Gapoer bin Abdullah menikah dengan Esah binti Oedjan bin Damboeng bin Djampi.
III. Igak bin KH. Abdul Gapoer menikah dengan Astareah bin Ali bin Oedjan.
IV. Muhammad Kurdi bin Igak menikah dengan Hj. Darsih binti Djunit.
V. Kartini binti Muhammad Kurdi menikah dengan Alwi bin Usman.
VI. Syuriansyah bin Alwi bin Usman bin Umar bin Ali menikahi Norhayati binti Ahmad Zailani.
VII. Norharliansyah bin Syuriansyah bin Alwi bin Usman bin Umar bin Ali.
Seiring dengan perkembangan zaman dan mulai memudarnya budaya kayau sekitar abad ke 18, para pendatang mulai berani menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan Tengah. Umumnya para pendatang dari Tanah Banjar ( Banjarmasin ), dari tanah Jawa dan orang2 Belanda yang umumnya sebagai penjajah. Menilik sejarah kampung Mandomai, Mandomai sejak zaman kolonial Belanda sudah terkenal akan keramaiannya dan pada saat itu Mandomai di jadikan sebagai pusat penyebaran agama Kristen diseluruh Kalimantan Tengah. Mandomai juga merupakan tempat awal mula penyebaran agama Islam kepada orang Dayak terutama didaerah aliran sungai Kapuas. Jadi artinya mandomai sejak dulu sebagai pusat penyebaran 2 agama di Kalimantan Tengah. Dengan kedatangan para pendatang secara tidak langsung membawa perubahan pola hidup masyarakat suku Dayak Ngaju mulai dari kepercayaan sampai sosial budaya. Efek nyata dari budaya yang diterima adalah Agama Islam mulai masuk dan berkembang di Mandomai pada Abad ke-18 dengan berdirinya Mesjid Jami Al-Ikhlas yang merupakan mesjid tertua di bantaran sungai Kapuas, kemudian didaerah hilir Mandomai terdapat Gereja Immanuel yang dulu dijadikan zending sebagai pusat penyebaran agama Kristen kepada orang Dayak dan termasuk gereja tertua di Kalimantan Tengah. Seiring dengan membaurnya dengan para pendatang, suku Dayak pun sudah kehilangan budaya Betangnya dimana para generasi Dayak sudah mempunya rumah sendiri - sendiri setiap kepala keluarga. Mandomai banyak melahirkan orang2 yang sangat berpengaruh di Provinsi Kalimantan tengah, bahkan pejabat-pejabat provinsi Kalimantan Tengah dikota Palangkaraya banyak keturunan dari Mandomai.
Tokoh legenda yang paling terkenal di Mandomai ialah "Raden Inyui Amoi Gilang" dimana ia dipercaya sebagai pendiri kampung Mandomai. Ia adalah seorang lelaki Dayak yang gagah perkasa, yang mempunyai kesaktian yang tinggi, sifat dan karakternya menggambarkan khasnya orang Dayak, Sang penakluk rimba. Tempat makam Raden Inyui terletak di Mandomai Hulu berupa Sandung (makam kepercayaan Kaharingan) dan kini namanya di jadikan nama sebuah jalan di Mandomai yang di kenal dengan Jl. RIA Gilang. Kemudian di Mandomai hulu masih terdapat sisa Rumah Betang yang masih berpenghuni yang sekarang dijadikan salah satu cagar Budaya Dayak Kab.Kapuas yang masih tersisa, Sandung Tahutun Pantar yg mana disandung tersebut bertuliskan tahun 1735 yang menandakan kampung Mandomai termasuk kampung tua. Dari Mandomai kearah hulu lagi, dahulu ada anak sungai Kapuas yang dianggap keramat oleh warga setempat yaitu sungai Garantung, tetapi dengan seiring perkembangan zaman sungai tersebut sudah dianggap hal biasa bagi masyarakat setempat dan tidak begitu dianggap keramat lagi.
Mandomai bukanlah nama asli kampungnya, banyak versi mengenai nama Mandomai, ada yang mengatakan diberikan oleh orang - orang Banjar sebagai warga pendatang dimana Mandomai di ambil dari kata bahasa Dayak Ngaju " Mandui Mai " yang artinya " Ibu mandi " akibat orang - orang Banjar sering mendengar percakapan tersebut dari lisan orang Dayak, atas dasar itulah mereka memberi nama kampung Mandomai. Ada versi lain juga yang menyebutkan Mandomai diambil dari kata "Man = aman" dan "Domai = Damai" apabila digabung Mandomai berarti Desa yang Damai. Tapi banyak yang tidak mengetahui bahwa nama asli Mandomai ialah Tacang Tangguhan.
Kini Mandomai manjadi ibukota kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berbatasan langsung dengan Kabupaten Pulang Pisau. Mandomai membawahi beberapa Desa yaitu Desa Saka Mangkahai, Anjir Kalampan, Tumbang Umap, Pantai, Penda Katapi, Saka Tamiang dan masih banyak lagi yang lain. Sampai sekarang Mandomai masih dijadikan sebagai pusat pendidikan bagi warga sekitar Kecamatan Kapuas Barat dan sepanjang arah bantaran sungai Kapuas. Tapi meski hanya sebuah kecamatan, jauhkan pikiran bahwa Mandomai adalah daerah terpencil, karena di sana berbagai fasilitas seperti Sekolah, Layanan Kesehatan, jaringan internet, jaringan handphone, listrik dan lain sebagainya sudah tersedia sejak lama, dan akses jalannya pun sangat mudah, jadi tak ada kata tertinggal. Mayoritas penduduk kecamatan Kapuas barat (Mandomai) beragama Islam 70%, dan diikuti agaman Kristen Protestan, Katolik, dan kaharingan (Kepercayaan nenek moyang suku Dayak). Suku mayoritas di Mandomai adalah Dayak Ngaju ( Kapuas-Kahayan), Dayak Bakumpai, Dayak Ma'anyan, serta Dayak lainnya, Banjar ( Melayu Kalimantan ), diikuti oleh suku Jawa dan lain-lain
MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN
Barangkali sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode
menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang
ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan
yang diketahui ialah daerah sepanjang sungai Negara, sungai Barito dan
sekitarnya.
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak
diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat
Banjar. Sumber tersebut memberitahukan bahwa di daerah Kalimantan Selatan
telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar
Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan yang
bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh
Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh
Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu
Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak
mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir
dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan
institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan
Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat
menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan.
Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari
Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan
ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia
kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan
mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi atau
Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba memeliharanya sebagai
anaknya sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba
sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji
Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian diambil menjadi
menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden Sekar Sungsang
kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa. Dengan
penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa,
yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara Dipa.
Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya
adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa
suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang
memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara
sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden
Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah
raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar
Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan dengan Giri tetap
terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi masalah adalah, kalau
Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji
Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa
Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi
seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut, adalah hal yang wajar kalau ayahnya
sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya
belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara
Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum Sultan
Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah
beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini
terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya antara lain bahwa agama Hindu
masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau
memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah
menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke 13-14
Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan
bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung
raja Negara Daha. Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu
kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera
meminta bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat
setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400
pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan
membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De
Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat
Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf
Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di
Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta
tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan
lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera
andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10
biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10
pikul dan lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat
itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran
Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama
terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian
membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan
Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil
kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke-
15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya
terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat
pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin.
Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin
menitik beratkan pada perekonomian perdagangan. Hubungan itu terutama adalah
hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan
militer ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha Pangeran
Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu
Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri
demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung
raja terakhir dari Negara Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang
Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala
suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara
Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari
Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara
Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih
Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka
menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama
yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat,
karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya
sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil
merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar
tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran
Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang
tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan
lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti
dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha sampai
Banjarmasin dari :
1. Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2. Maharaja Sukarama
3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh
yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar
Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Hindu Negara Daha,
dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Islam
Banjarmasin.
No comments:
Post a Comment