- PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat, bahwa
perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada
akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah
bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan
puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M [1].
Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya
adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah.
Bermula dari persoalan politik
tersebut, pada akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa
arbitrase yang terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya
dibawa kepada persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga
akhirnya memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi
permasalahan politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya
memunculkan aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Dua aliran yang disebut terakhir
inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun
kemudian timbul aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu
masih berdasar kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam
pembahasannya banyak menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum
rasionalis Islam”,[2]
sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan
metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan
Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu.
Dengan melihat bahwa dua aliran ini
sangat dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis
hendak membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
- GAMBARAN TENTANG MU’TAZILAH
- Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazila merupakan aliran
teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting
dalam sejarah pemikiran dunia Islam.[3]
Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut
sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl
al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih
pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan
segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak
orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal
dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih
membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat
itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan
Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit
dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu
al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah timbul sebagai reaksi
atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa
besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan
Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati
posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia
tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai
kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya,
aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut
sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar
Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga
ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah,
keraguan adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang
dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu
metode untuk menemukan suatu kebenaran.[5]
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah
tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan
memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar
dan mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah
menjadi mazhab resmi negara.[6]
Aliran Mu’taazilah mulai menurun
pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al
Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab
Asy’ariyah.[7]
- Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai
lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul
al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain,
al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar.
- Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak
mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin
diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada
zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.[8]
Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan
bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu
maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak
seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak
berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9]
Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat
disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan
bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain
tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud
Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya
adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah
zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan
begitu seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut
sebagai berikut:[10]
- Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan
membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan
bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan
kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk
adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk
itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia
melakukan suatu perbuatan.[11]
Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan
membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan
daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu,
dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat
manusia.[12]
Dengan melihat bahwa manusia bebas
berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka
manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya,
Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan
harus menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat
buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak
berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil.
Untuk menguatkan pendapatnya itu,
mu’tazilah juga menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat an-Nisa’ ayat 79:
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu
peroleh adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
kesalahan dirimu sendiri”.
- Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip ini berlatarbelakang
kedudukan orang mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran
sebelumnya, Khawarij, misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar maka ia adalah disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini
ditentang oleh kaum murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar, ia tetap seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin
Atha’ merasa tidak puas, sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang
melakukan dosa besar bukanlah seorang kafir dan bukan pula seorang muslim
tetapi adalah fasiq.
- Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang
diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak.
Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan
kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak
berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.[13]
Kebebasan yang didapat manusia baru
akan mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya.
Sebab, kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus
membalas perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri,
sebagaimana janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an.
Telah banyak janji-janji Tuhan yang
dituangkan dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan
mendapatkan balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan
menerima balasan sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan
haruslah menepati janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak,
maka Tuhan tidak menepati janjinya.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar bahwa manusia bebas
berkehendak sesuai dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah
kemunkaran. Sebagai khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan
daya yang tidak dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk
mencegah orang lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada
kebaikan-kebaikan, serta memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada
orang lain.
Dengan usaha-usahanya tersebut maka
tidak mnutup kemungkinan oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita
anjurkan, sebab manusia, sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan
memilih sesuatu.
- GAMBARAN TENTANG ASY’ARIYAH
- Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi
terhadap faham Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat
Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat
tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar
di mata masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari,
seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami
ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan
kepandaiannya, maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus
untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia
kemudian menjadi terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan
gurunya sendiri, namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun
penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar
dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama
Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah
merupakan sintesa dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum
konservatif tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di
kalangan masyarakat muslim.[14]
Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan
antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk
dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah
terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi
keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15]
Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang
menjadikannya sebagai mazhab resmi negara.
- Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah
Faham Asy’ariyah dalam
ajaran-ajarannya hampir seluruhnya berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah.
Termasuk penggunaan akal, Asy’ariyah memberikan fungsi strukstural yang lebih
rendah daripada wahyu.[16]
Dan dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni
mengenai sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan
kekuasaan mutlak Tuhan.
- Sifat dan Zat Tuhan
Sifat dan zat Tuhan menurut
Asy’ariyah sangat berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap
mempunyai sifat di dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah
bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah
pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup,
berkuasa dan lain sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa
dipisahkan dari zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah
zat. Artinya, sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17]
Ada dua kesulitan yang dihadapi
Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah
itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan
bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil
jalan tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang
nampaknya membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’.
Sejauh menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda
dengan Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat
itu tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18]
Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu
tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.
- Perbuatan-perbuatan Manusia
Dapat dikatakan bahwa faham
Asy’ariyah lebih condong ke faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga
banyak tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang
dilakukan manusia adalah kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang
menggerakkan dan kalaupun kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan.
Dalam masalah ini Asy’ari
menampilkan adanya teori Al Kasb. Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari
Al Muktasib dengan perantaraan daya yang diciptakan.[19]
Perbuatan yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi
hasil perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang
memperoleh perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan
dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada
pada ayat berikut:
Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari
memaknai ayat wa ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu
buat”. Dengan demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan
menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al
Kasb adalah “berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya
jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan
menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan
inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20]
- Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini
bahwa Tuhan adalah penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari
padaNya dan Ia tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas
segala-galanya, dapat berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun
perbuatan itu dipandang tidak baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21]
Dengan demikian tidak salah jika
memasukkan seluruh manusia ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika
Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam neraka.[22]
Artinya, bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik
ataupun buruk, dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun
neraka.
- ANALISIS POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH
Perbedaan paham tidak jarang
menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan
keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul
dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan. Dua paham terbesar, yakni
Aasy’ariyah dan Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi
yang berbeda. Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau
golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka
tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini.
Memang, pada awalnya perpecahan umat
Islam menjadi berbagai golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian
berkembang pada perbedaan teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa
pula kearah politik, dimana golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi
kejayaan dan penguasaan golongannya.
Persaingan dan perang intelektual
yang dilakukan orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan
sebuah kejelekan. Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran
tentang keagamaan dipicu oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran
baru akan lahir sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali
lagi, seseorang tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah
tetapi menimbulkan kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia
lakukan adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka
menghancurkan kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya,
ada siapa diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan
mereka pun lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka
berseberangan.
Diantara dua faham, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah, paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang
ketuhanan, kekuasaan Tuhan, dan manusia.
- Ketuhanan
Satu hal yang bukan menjadi
perbedaan adalah Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh
alam, dan Ia adalah ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah
ataupun kelompok-kelompok lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam
ini tiada lain adalah Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya,
Ia tetap sebagai Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit
beserta misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu
dipegang oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu
menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan
pada dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi
pandangan. Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian
tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya.
Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak
dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak
diterima salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari
segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada
sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu
sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan
antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula
bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal
tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan
sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap
berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya.
Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara
Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan
bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja
dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan
dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan
berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah
bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan
maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu
memasukinya.
- Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan
pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan
sebutan Sang Penguasa akankah sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh
kegiatan dan gerak ‘wayangnya’ termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan
hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia
berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan
memberikan balasan yang sesuai ?
Apabila kita meyakini hal yang
pertama, maka hal itu akan menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato
disebut Tymos,[23]
bahwa apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan
dan kita tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita
mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan
tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan
memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain?
Benar bahwa Tuhan telah memberikan
anugerah terbesar bagi manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan
karunia ini pula, manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga
tidak berarti bahwa Tuhan membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan
tanpa campur tangan Tuhan (takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya
diciptakan Tuhan sebagaimana digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam.
Ia tahu dan telah memprogram bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan
arah demikian, laju sekian dan melewati angka demi angka seperti yang ia
perkirakan waktunya. Sedangkan jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus
oleh tukang jam itu, karena ia telah memprogramnya dengan baik dan cermat.
Sama halnya dengan manusia. Manusia
digambarkan adalah jam yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana
yang telah diprogram dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak
dengan kekuatannya sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program
yang telah ditetapkan. Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia
lemah dan kalah oleh kekuasaan Tuhan.
- Manusia
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa
manusia diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak
mempunyai kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi.
Lalu pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan
menciptakan akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia
harus mengikuti aturan Tuhan?
Dalam bertingkah laku dan menjalani
kehidupan, manusia tetap diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena
ia mampu untuk itu. Namun akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu
sesungguhnya tidak lain adalah pada hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi
tanggungjawabnya menjalankan garis kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika
kemudian ia tidak memenuhi tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis
yang telah ditetapkan dan benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat
dikategorikan sebagai ‘jam yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun
apabila kerusakan yang diderita manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan,
Tuhan tentu tidak akan membiarkan ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah
dan ‘perbaikan-perbaikan seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan
yang tidak terduga-duga.
- KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut
pemahaman antara Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik
beberapa garis besar sebagai berikut:
- Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
- Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
- Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
- PENUTUP
Demikianlah sedikit coretan hasil
buah pemikiran seorang yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih
banyak kesalahan dan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran,
kritik dan masukan yang konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya
pemikiran kita bersama. Dan kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan
mendatangkan manfaat bagi kita bersama, amin.
——— m.a.j ———
No comments:
Post a Comment