BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat
merambah keranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika
islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan paling tidak berpijak pada
tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu
normative, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. pada taraf ini,
nilai-nilai islam sangat berkompeten untuk dijadikan kehidupan dalam ilmu
pendidikan. Kedua, dengan menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan barat. Falsafah
pendidikan barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi
kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar
itu, nilai-nilai ideal islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam
mengkaji fenomena kependidikan. Ketiga, dengan menjadikan islam sebagai
paradigma, maka keberadaan ilmu pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan
kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan
telah kehilangan ideologinya.
Makna islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif islam.
Makna islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami dapat
merumuskan beberapa masalah terkait dengan pendidikan islam, yaitu :
1) Apa makna pendidikan islam ?
2) Faktor apa saja yang menghambat pendidikan islam di sekolah
?
3)
Bagaimana pola pemecahan problem ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAKNA
PENDIDIKAN ISLAM
Menurut bahasa, kata pendidikan
dalam bahasa Arab berasal dari kata “Tarbiyah”. Tarbiyah berasal dari suku kata
roba-yarbu yang berarti penambahan, pertumbuhan, pemeliharaan, dan penjagaan.
Az-Zamakhsyari menambahkan makna
kata tersebut dengan “pengajaran” dan “kedudukan tinggi”. Sedangkan majduddin
menambahkan makna lain, yakni memberi makna dan kemuliaan.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menggunakan kata tarbiyah seperti dalam surat Al- Isra ayat 24, sebagai
berikut : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Al-Qur’an sering menggunakan kata
lain untuk tarbiyah seperti tilawah (membaca), tazkiyah (pensucian jiwa),
ta’lim (pengajaran) dan tathir (pensucian) seperti yang terdapat dalam surat
26:18, surat 2:151.
Pendidikan menurut Al-Qadhi
Al-baidhowi, mengartikan pendidikan (tarbiyah) sebagai membawa sesuatu ke arah
kesempurnaan secara bertahap. Definisi ini amat umum karena mencakup pendidikan
manusia, pemeliharaan binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Definisi ini
tidak diwarnai dengan corak islam.
Ibnu Sina mengartikan tarbiyah
sebagai pembiasaan. Yang dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu
berulang-ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan. Definisi
ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satus isi saja yaitu “pembiasaan”.
Dr. Miqdad Yajian, mengklasifikasikan pengertian pendidikan
(tarbiyah) islamiyah sebagai berikut :
1)
Kurikulum materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah.
2)
Sejarah pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah
tokoh-tokoh pendidikan di negara islam.
3)
Pengajaran ilmu-ilmu keislaman.
4)
Sistem pendidikan intergral yang diambil dari arahan dan
ajaran islam yang murni, serta berbeda dengan pendidikan lain baik Barat
ataupun Timur.
Rif’ah Rafi’ Ath Thathawi
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak
didik semenjak lahir sampai tua dengan pengetahuan agama dan dunia.
Prof. Dr. Abdul Gani Abud berpendapat bahwa pendidikan islam yang kita inginkan adalah sebagaimana pendidikan yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan islam yang tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh islam yang dituangkan Allah dalam Al-Qur’an yang dicontohkan Rasul dalam hadist. Jadi yang kita inginkan itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan suasana yang islami seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah.
Prof. Dr. Abdul Gani Abud berpendapat bahwa pendidikan islam yang kita inginkan adalah sebagaimana pendidikan yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan islam yang tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh islam yang dituangkan Allah dalam Al-Qur’an yang dicontohkan Rasul dalam hadist. Jadi yang kita inginkan itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan suasana yang islami seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah.
Dari beberapa pengertian dari para
ulama diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa pendidikan islam adalah suatu
proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan bertahap
oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian muslim sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
B. FAKTOR
PENGHAMBAT PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH
Banyak usaha yang dilakukan oleh
para ilmuwan dan ulama karena memperhatikan pelaksanaan pendidikan agama di
lembaga-lembaga pendidikan formal kita, misalnya dalam forum-forum seminar,
lokakarya dan berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya. Para ilmuan dan ulama
serta kaum teknokrat sepakat bahwa pendidikan agama di tanah air kita harus
disukseskan semaksimal mungkin sejalan dengan lajunya pembangunan nasional.
Namun, dalam pelaksanaan program
pendidikan agama di berbagai sekolah kita, belum berjalan seperti yang kita
harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana
fisik, dan non fsik, di samping suasana lingkungan pendidikan yang kurang
menunjang suksesnya pendidikan mental-spiritual dan moral.
Beberapa faktor yang dapat menghambat, antara lain sebagai
berikut :
1. Faktor
Eksternal
a) Timbulnya sikap orang tua di beberapa
lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari tentang pentingnya pendidikan
agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan pendidikan agama disekolah
yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh
dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah,
sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2
jam perminggu.
b) Situasi lingkungan sekitar sekolah
yang dipengaruhi godaan-godaan dalam berbagai ragam bentuknya, antara lain
godaan judi, tontonan yang bernada menyenangkan nafsu (seperti film porno,
permainan ketangkasan berhadiah dan lain-lain). Situasi demikian melemahkan
daya konsentrasi berpikir dan berakhlak mulia, serta mengurangi gairah belajar,
bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
c) Adanya gagasan baru dari para
ilmuwan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema pembangunan dan
kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah mempraktekkan makna
yang keliru atas kata-kata terobosan menjadi mengambil jalan pintas dalam
mengejar cita-cita tanpa melihat cara-cara yang halal dan haram, misalnya
budaya menyontek, membeli soal-soal ujian akhir dengan harga tinggi, perolehan
nilai secara aspal.
d) Timbulnya sikap frustasi di kalangan
orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak akan
menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebab perluasan
lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja. Setelah tamat
sekolah, orang tua harus bersusah payah mencarikan pekerjaan bagi anaknya. Di
sana-sini penuh dengan beban financial yang masih harus ditanggung oleh mereka.
Pendidikan agama terkena dampak dari sikap dan kecenderungan semacam itu,
sehingga apabila guru agama tidak terampil memikat minat murid, maka
efektifitas pendidikan agama tak akan dapat diwujudkan.
e) Serbuan dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dari luar negeri semakin melunturkan perasaan
religious (keagamaan) dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional
dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum
menentukan arah dalam pemukiman yang baru.
2. Faktor
internal
Perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan
pendidikan menjadi sumber kerawanan karena :
a) Guru kurang kompeten untuk menjadi
tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya hanya
merupakan pekerjaan alternative terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya
selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan
pendidikan.
b) Penyalahgunaan manajemen penempatan
yang mengalihtugaskan guru agama ke bagian administrasi, seperti perpustakaan
misalnya, atau pekerjaan non-guru. Akibatnya pendidikan agama tidak dilaksanakan
secara programatis.
c) Pendekatan metodologi guru masih
terpaku kepada orientasi tardisional, sehingga tidak mampu menarik minat murid
pada pelajaran agama.
d) Kurangnya rasa solidaritas antara
guru agama dengan guru-guru bidang studi umum, sehingga timbul sikap
memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan agama tersendat-sendat
dan kurang terpadu.
e) Kurangnnya waktu persiapan guru
agama dalam mengajar karena disibukkan oleh usaha non-guru untuk mencukupi
kebutuhan ekonomis sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah swasta, dan
sebagainya.
f) Hubungan guru agama dengan murid
hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar
kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam dinding kelas, tanpa
berpengaruh di luar kelas atau sekolah.
C. POLA
PEMECAHAN PROBLEM
1.
Reinterpretasi
Ideologi
Pemusatan perhatian
pada kemajuan pendidikan Islam. Suatu interpretasi baru yang berorientasi pada tiga
kemampuan dasar manusia, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Atau dengan
kata lain kemampuan yang bermukim di kepala (head), dada (heart)
dan tangan (hand).
2. Restrukturisasi
Kelembagaan
Perlunya sikap
lentur kelembagaan dari struktur pendidikan Islam seperti Pesantren atau
Madrasah. Bahkan lebih daripada itu, dituntut model lembaga pendidikan Islam
yang berfungsi ganda.
Maksud dari
fungsi ganda itu adalah: lembaga pendidikan Islam tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan formal agama namun lebih berorientasi sosio-religion yang berfungsi
sebagai pusat pembinaan mental agama masyarakat lain (dalam artian sebagai
pusat kebudayaan).
3. Reaktualisasi
Teknis operasional
pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan umum memerlukan perubahan yang
lebih integral dengan pendidikan intelektual dan keterampilan.
Hal tersebut
diperlukan guna terwujudnya keserasian dan keselarasan dalam pencapaian tujuan
pendidikan nasional.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Beberapa faktor
penghambat Pendidikan Islam di sekolah antara lain :
1.
Faktor – faktor eksternal
§ Sikap
apatis-fundamental sebagian orang tua tentang urgensitas pendidikan
§ Situasi
lingkungan sekitar sekolah yang kadang begitu menggoda
§ Adanya gagasan
baru dari para ilmuwan yang kadang disalahtafsirkan
§ Persepsi keliru
dari sebagian orangtua siswa ttg tingkat pendidikan
§ Implikasi
kemajuan IT dari luar negeri
2.
Faktor – faktor internal sekolah
§ Guru kurang
berkompeten untuk menjadi tenaga pengajar profesional
§ Manipulasi
manajemen penempatan guru agama ke bagian admin, dsb
§ Motodologi
pendekatan guru masih bersifat tradisional
§ Menipisnya rasa
solidaritas antara guru agama dengan guru bidang studi umum
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
§ Masalah waktu
(jam mengajar, dan persiapan guru itu sendiri)
§ Kurikulum yang
terlalu padat dan gemuk
§ Relasi antara
guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
§ Petugas
supervisi tak berfungsi maksimal sesuai harapan, diakibatkan terdiri
dari tenaga yang non-profesional.
dari tenaga yang non-profesional.
Pola pemecahan
problem antara lain :
1.
Reinterpretasi
ideologi
2.
Restrukturisasi
kelembagaan
3.
Reaktualisasi
DAFTAR
PUSTAKA
H. Jamaludin & Abdullah Aly,
Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
http://kaduajatodakna.blogspot.com/2012/12/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam.html
http://Kementerian Agama Protes Larangan Hibah APBD
untuk Madrasah nasional Tempo.co.htm/
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan
(Meretas Filsafat Pendidikan islam) Cet Ke-3, (Mataram : Alam Tara Institute,
2009), h. 133-134
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam Cet. ke-5, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
No comments:
Post a Comment