BAB
I
PEBDAHULUAN
Bangsa Arab merupakan komunitas
terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek
(lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan
dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan
sosio cultural pada masing-masing suku. Laiknya Indonesia yang memiliki bahasa
persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy
sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga,
mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari
kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan
dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah
itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam
melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat
dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan
al-Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)
dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya.[1] Kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya
al-Qur’an dan al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira’ah
sab’ah, konteks hadis itu sendiri memberikan peluang al-Qur’an dibaca
dengan berbagai ragam qira’ah. Makalah ini akan membahas tentang hal tersebut.
Adapun yang menjadi rumusan masalah
pada makalah ini adalah :
- Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan qiraah.
- Apa saja bentuk qira’ah serta syarat-syaratnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
- A. Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa),
qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah
(membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology
(istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama :
- Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani mendefinsikan qiraah
dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat
yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan
riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan
huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[2]
- Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara
menisbatkan kepada penukilnya.[3]
- Menurut al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,
hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh
secara periwayatan.[4]
- Menurut az-Zarkasyi :
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an,
baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,
seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau
yang lainnya.[5]
- Menurut Ibnu al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan
kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada
penukilnya , 6
Perbedaan cara pendefenisian di atas
sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara
melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu
Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga
qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu :
- Qira’at berkaitan dengan car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
- 2. Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
- Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf,
- I’rab, itsbat, fashl, dan washil.
- B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
- 1. Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat
itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang
dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
Suatu ketika Umar bin Khathtab Ayat
Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke
Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an
diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tuju huruf, maka
bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,” 7
Menurut catatan sejarah, timbulnya
penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H,
tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada
mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut
diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at
baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan
penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka
timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya
transpormasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa
bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara
tepat.
- Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
Menurut analisis yang
disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari
bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau
diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus
Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang
mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara
menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
- Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
- Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
- Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai ( ) diganti dengan huruf ra’ ( ) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
- Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
- Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
- Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
- Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.[6]
C. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat
yang berbeda adalah :
- Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat. Misalnya nabi pernah membaca surat as-Sajadah ayat 17 sebagai berikut :
xsù ãNn=÷ès?
Ó§øÿtR !$¨B uÅ”÷zé& Mçlm; `ÏiB Ío§è% &ûãüôãr& Lä!#ty_ $yJÎ/
(#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÐÈ
Pada kata (ة
)dalam ayat ini,
nabi membaca dengan “ta” ( ( ت biasa.
- Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin” ( ). Padahal ia menghendaki “hatta hin” ( ).[7] Ada riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi qiraat yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
- Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.[8]
- Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.
wur
£`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( …
Kata yang digaris bawahi bisa dibaca
“yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”. jika dibaca qiraat
pertama, maka berarti : “dan jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan
qiraat kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka
(istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi
wajib terlebih dahulu).”[9]
D. Macam-Macam Dan Syarat-Syarat Qiraat
- Macam-macam qiraat
- Dari segi kuantitas
- Qiraah sab’ah (qiraah tujuh)
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam
qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w.
120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q.
118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu
Abi al-Najub al-Asadi.
- Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh
adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat
sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi
al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin
Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)
- Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas
adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah
dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H),
Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi
al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).
- Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari,
berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian.
- Qiraat Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
- Qiraat Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
- Qiraat Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.[10]]
- Qiraat Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.
- Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani
- As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.
- Syarat-syarat Qiraat
Untuk menangkal penyelewengan qiraat
yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat
yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qiraat yang
aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar. Pertama,
qiraat itu sesuai dengan bahasa arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua,
qiraat itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun
secara potensial. Ketiga, bahwa sahih sanadnya baik diriwayatkan dari
imam qiraat yang tujuh dan yang sepuluh maupun dari imam-imam yang
diterima selain mereka. Setiap qiraat yang memenuhi kriteria di atas adalah
qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila
kurang dari ketiga syarat diatas disebut qiraat yang lemah.[11]
- E. Pengaruh Qiraat terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qiraat dan
qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk katam susunan kalimat,
I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu
memiliki sedikit atau banyak perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh
terhadap hukum yang diistinbathkannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
- Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf.
- Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah.
- Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahmat Syafei, Pengantar Ilmu
Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2006
Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an,
Bandung: Pustaka Setia. 2006
——-, Ilmu Tafsir, Bandung:
Pustaka setia. 2000
Soleh & Dahlan, Asbabun Nuzul
(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an), Bandung: CV Diponegoro,
Bandung, 2000
Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan
Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999
[1]
Hadits yang sepadan banyak dimuat dalam pembukaan Tafsir Ath-Thabari, Imam
as-Suyuthi menyatakan bahwa hadis-hadis ini didukung oleh 21 sahabat dan
disebarkan, menurut Abu Abaid, dengan jalan mutawatir. Lihat Manna’
al-Qathan, Mahabits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, ttp,
1973. Hlm. 158
[2]
Muhamad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani, Manhil al-Irfan, Beirut : Daar al
Fikr, tt, jilid I, Hlm. 412
[3]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Bandug : Pustaka Setia, 2000.
Hlm. 147
[4]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 147
[5]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 147
[6]
Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an, hlm. 110-112
[7]
Masih ada banyak contoh lain. Lihat Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an,
Hlm. 157
[8]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 157
[9]
Quraish Shihab. Hlm 99-100
[10]
Drs. H. Ahmad Syadali, MA, hlm 228-229
[11]
Drs. H. Ahmad SYadali, MA, hlm 228
No comments:
Post a Comment