PENGANTAR TARIKH TASYRI’
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)
PENGERTIAN TARIKH TASYRI’, MAKNA SYARI’AH DAN TASYRI’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan
tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat.
Sedangkan syariah adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup
tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah),
perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum
seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan
syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga
wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah)
tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses
kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.
Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini. Tasyri' juga
bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan
undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti al-utbah
(lekuk liku lembah), dan maurid al- ma'i (sumber air) yang jernih untuk
diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah
al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan
keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia
kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa
dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas.
Juga firman Allah SWT dalam surat al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan
firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 48. ….untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…. Syari'ah
adalah "law statute" artinya hukum yang telah ditetapkan dalam
agama Islam. Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah
SWT melalui Rasul untuk hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar
iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan
muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat
adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan
melalui para Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau
aqidah. Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syari’ah
Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk
hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan
yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk
agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu
yang membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih
hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’
dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri'
adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum
perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan
serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika pembentukan undang-undang
ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal
itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah).
Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun
kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul
Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan
hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI’ & MACAM-MACAM TASYRI’
Meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
dan ciri-ciri spesifikasinya 3. Fuqaha’ dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid
serta sistem pemikiran yang dipakai atau sistem istinbath. Pembahasan tarikh
tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang
dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut
pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang
menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak
mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil
Musa dalam al-madkhal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan
bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an
dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu
atau kurun tertentu. Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri' dapat
dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut
kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada
periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri'
kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad
sahabat, tabi'in dan ulama sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam
pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama
bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi
menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf,
Jenazah, Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan
sembelihan. Bidang muamalat dibagi menjadi beberapa topik yaitu perkawinan dan
perceraian, ‘uqubat (hudud, qishash, dan ta'zir), jual beli, bagi hasil
(qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah, upah, sewa, memindahkan utang (hiwalah),
syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab, luqathah
(barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah),
peradilan, waqaf, hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan
faraid (pembagian harta warisan).
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin
berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian
yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh ibadah dalam
pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat
adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam,
perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan. Sedangkan cakupan
fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian,
sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad. Ulama syafi'iyah berbeda
pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang
berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang
berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang
berhubungan dengan masalah keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan
penyelenggaraan ketertiban negara (‘uqubat).
URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’
1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita
dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
2. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita
dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas) ajaran Islam
terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung
terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian
dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan,
ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek
lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam
hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.
3. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita
dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari para sahabat Rasulullah
saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan
peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang
dibawa oleh Rasulullah saw.
4. Melalui kajian ini akan tumbuh
dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan
kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan
umat di masa depan.
Untuk mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam,
harus diketahui terlebih dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang
didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan
melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa
benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar
belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami
hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik
secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh
berarti mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala
kemampuan yang memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam
berarti melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik
dan langkah-langkah ijtihadnya untuk diimplementasikan sehingga kemaslahatan
manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum
Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk mewarisi
pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan
gagasan-gagasannya.
SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADH’I (HUKUM POSITIF)
Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum
dan undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat
perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah
dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti
keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha
Bijaksana, atau berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari
aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid ‘Abdul
Qadir ‘Audah dalam bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum
Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum
dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadh’i tidak
mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang memiliki hawa
nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan kecenderungan tertentu
sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan
hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan
tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku
tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah
kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
2.
Manusia tidak tahu pasti
apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan
manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya saat ini. Oleh
karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan
‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain
tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang
Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan
setiap tempat dan zaman.
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang
terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang
menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki
teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang
sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap
dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara
serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam
tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat
manusia sepanjang zaman.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadh’i hanya mengatur
hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid yang menghubungkan
semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid
dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan
seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i
kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi
hukum semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari
celah kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari
jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan
aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga
sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik
dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap
akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga
negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa:
93)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ
بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ
قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا. البخاري
ومسلم
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu
pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku
memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya
berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti
aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia
mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan
faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada
hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadh’i tidak
memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan
dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum minuman
keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain.
Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji
yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab
keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta
tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena
arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan
menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan jika
perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam konteks
fisik dan keamanan.
Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan
kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan
dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia
adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak
negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman
yang memabukkan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan,
maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)
FASE-FASE TARIKH TASYRI’
1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian
Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama:
Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa
Sahabat Yunior atau Tabi’in Senior sampai Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga:
dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat:
dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima:
dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh)
Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua
diantaranya yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek
(mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar
fiqh Islam Universitas Amman, Yordania). Cara pertama, periodisasi
pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh
at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa
pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin
Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan tabi’in;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai
pertengahan abad ke-4 H;
5. Periode berkembangnya mazhab dan
munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad
(pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam
bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia
membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode.
Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia
membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1. Periode sejak pertengahan abad
ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah (Hukum
Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya
Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sampai sekarang.
Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa adalah sebagai berikut:
PERIODE PERTAMA
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum
berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah
Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu
masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang
disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah “fiqh” dalam
pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal
ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung
pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW. Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah
seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang
berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh
pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum
terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan
hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum
seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian,
Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum
Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
PERIODE KEDUA
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai
pertengahan abad ke-1 H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam
menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada
Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi.
Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad
apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak
ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi,
bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin
berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah. Dalam keadaan
seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab
persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu
para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan
itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman
musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan
prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh
dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW,
yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu
masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara
teoretis.
PERIODE KETIGA
Pertengahan abad ke-1 H
sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam.
Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah
banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing
sahabat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk
setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah
bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan
keadaan masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader
masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal
itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin
Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di
Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul
di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi
guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat
setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga
muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah
tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode
yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah
al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah
al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah
al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah
al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip
yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat
berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah
SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan
pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah
al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika
dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW
yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh
lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan
yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang
memiliki budaya homogen, sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang
relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan
jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan
tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada
periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang
ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di
samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah
satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan
dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh
tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan
terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian
tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran
tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh
semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan
ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syi’ah yang
dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang
empat).
PERIODE KEEMPAT
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode
ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin
berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang
empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra’yu
semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam
berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar
fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung
lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab
fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab
Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu),
datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’
(buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh ahlulhadits,
datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh
ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan
hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah.
kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya
titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah
pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam
pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai
pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh
dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh,
seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana pada periode
ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena
pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu,
tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk
permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE KELIMA
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode
ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan
mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih
banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas
masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab
yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Munculnya sikap ta’assub
madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama
ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada
mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya
bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan,
sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan
sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama
mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku fiqh yang disusun
oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku
tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu,
ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad
menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan
munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan
masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah,
perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
PERIODE KEENAM
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan
semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta’assub
(fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud
(konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang
dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa
sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya,
sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada
meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini
pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan
penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode
ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari
mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu
Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai
sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab
Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi
hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk
memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan
hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul
dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat.
Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para
hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu,
pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang
bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini
dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia
ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan
Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal.
Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah,
para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki
Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang
perdata, pidana, maupun ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai
pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat
diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari
mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat
bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat
atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah
Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah)
yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih
sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam
berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab
hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam
berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh
merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai
daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam
ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia
Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali
khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan
saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang
berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa
penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam
telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab,
seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya
penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi,
pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus
mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad
kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan
melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh,
tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan
sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika
dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
SUMBER:
Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar
al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman:
Dar al-Nafais,1991)
http://SRI
SUDARSINI.blogspot.com/2012/01/tarikh-tasyri’.html
No comments:
Post a Comment