A.
Pengertian Syari’at Islam
Syari’at
Islam merupakan aturan hukum yang ditetapkan Allah untuk kemaslahatan
ummat manusia. Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama
Allah termasuk syari’at Islam. peraturan yang telah ditetapkan
Allah kepada manusia, baik hubungannya terhadap Allah, maupun hubungan terhadap
sesama manusia, alam dan kehidupan .
Hukum
secara umum belum mutlak dinamakan Syari’at Islam dalam era modern. Sebab
hukum yang bersumber dari Allah (seperti Syari’at Islam) dinamakan hukum
samawi, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia disebut hukum wadh’i. Syari’at
Islam sebagai hukum samawi berlaku mutlak sedangkan hukum wadh’i sifatnya
berlaku relatif hanya berdasarkan kepada kepentingan dan kebutuhan manusia
dalam masa-masa tertentu .
Menurut
etimologi , Syari’at berarti al-thariqah al-sunnah; atau jalan dan juga
dapat diartikan sumber mata air yang hening bening .
Sedangkan
pengertian/ta’rif menurut terminologi/istilah yang umumnya dipakai oleh para
ulama salaf, dalam memberikan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu
pedoman hidup dan ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT . Secara
lengkap batasan tersebut adalah:
“Hukum
yang disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah didatangkan
para Nabi-nabi baik berhubungan dengan cara menyebutkannya, yang dinamai
fa’riyah amaliyah, yang untuknyalah didewakan ilmu fiqhi maupun yang
berhubungan dengan itiqad yang dinamai ashliyah ‘itiqadiyah yang untuknyalah
didewakan ilmu kalam dan syara itu dinamai pula Addin dan Millah” .[1]
Syari’ah
dinamakan Ad-Din memiliki pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah
yang wajib ditaati. Ummat harus tunduk melaksanakan ad-Din (syari’at)
sebagai wujud ketaatan kepada hukum Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab
berarti hukum..
Syari’ah
dinamakan Al Millah mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk
mempersatukan para pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh . dapat
pula bermakna pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama .
Syari’ah
sering juga disebut syara’, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau
suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidup baik di dunia maupun kelak di akhirat .
Menurut
kamus bahasa Indonesia pengertian syari’ah adalah :
“Hukum
agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian
dengan agama Islam, palu memalu, hakekat balas membalas perbuatan baik (jahat)
dibalas dengan baik (jahat) “. [2]
Istilah
teknis dalam bahasa Inggris :
“Canon
law of Islam; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap
perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu,
syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini. [3]
Syari’at
secara umum adalah segala aturan hukum yang diwahyukan kepada para nabi berupa
kitab suci seperti : Taurat, Zabur, injil dan Al-Qur’an, maupun berupa syari’at
yang disampaikan kepada para nabi yang tidak berupa kitab/tidak dibukukan
sebagai kitab yang mempunyai nama, misalnya syari’at Nabi Adam, syari’at Nabi
Ibrahim maupun nabi-nabi yang lainnya yang diwahyukan kepada mereka untuk membentengi
ummat dimana mereka diutus.
Syari’at
Islam adalah peraturan/ hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar
Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi yang
diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian
dari syari’at Islam .
Syari’at
meliputi di dalamnya semua tingkah laku manusia , yang disandarkan pada wahyu
Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam perkembangan hukum Islam dikenal ijtihad hal
disandarkan kepada Fiqhi yang di dalamnya termuat hukum hasil kecerdasan
mengistimbatkan satu nilai hukum. Di dalam fiqh didapati suatu tindakan sah
atau tidak sah, boleh atau tidak, sedangkan di dalam syari’at didapati
tindakan hukum boleh dan terlarang, harus diakui bahwa syari’at dan fiqh mempunyai
perbedaan, tetapi dalam perkembangannya para ulama tidak terlalu prinsipil
membedakannya.
B.
Sumber Dan Dasar Syariat
Secara
garis besar sumber dan dasar syariat Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Dari kedua sumber tersebut dijadikan dasar oleh para sahabat, tabiin, tabiit
tabiin, ulama dan para fuqaha untuk mengambil keputusan hukum. Dalam
perkembangan hukum/ilmu fiqh untuk mengambil satu keputusan yang tidak didapati
di dalam sumber (Al-Qur’an dan sunnah) maka diperkenankan berijtihad.
Menurut
penyelidikan para ahli fuqaha dalil-dalil syari’at secara global .berpangkal
kepada empat pokok yaitu: Al-Qur’an, Al-sunnah, Al-ijma’ dan Al-qiyas oleh
jumhur ulama disepakati sebagai dalil hukum amaliyah. Selain dalil tersebut
masih dikenal dalil lainnya yang senantiasa dipergunakan oleh para ulama dalam
mengambil keputusan yaitu: istihsan, maslahat mursalah, saddus zari’ah,
istishab dan Al-Urf. Semua dalil-dalil tersebut dijadikan sebagai
sumber fiqh Islam.
Al-Qur’an
merupakan kitabullah yang diwahyukan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw
dalam bentuk lafadz dan maknanya. Al-Qur’an adalah sumber syariat Islam yang
tidak perlu diragukan keberadaannya. Di dalam Al-Qur’an banyak di temui firman
Allah yang menjelaskan keberadaan Al-Qur’an seperti:
Terjemahnya:
Kitab
Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(Q. S. Al-Baqarah: 2).[4]
Terjemahnya:
Katakanlah
ruhul kudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar,
untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Q.S.
An-Nahal : 102).[5]
Terjemahnya:
Dan
kami turunkan (Al-Qur’an ) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah
turun dengan (membawa) kebenaran. (Q.S. Al-Israa’ : 105)”.[6]
Al-Qur’an
tidak akan diragukan akan keberadaannya sepanjang masa oleh karena ada jaminan
Allah swt :
Terjemahnya:
Sesungguhnya
kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya. (Q.S. Al-Hijir : 9).[7]
Sumber
kedua yang dijadikan syari’at Islam adalah sunnah Rasulullah. Dalam kalangan
ulama membedakan dalam pengertian sunnah dan hadist, batasan keduanya dapat di
lihat dari pendapat Prof. Dr. TM. Hasbih Ash-Shiddieqy:
Hadist
ialah : segala peristiwa yang disandarkan kepada nabi, walau hanya sekali saja
terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi dan walaupun hanya diriwayatkan seorang
saja.
Sunnah
ialah : Nama bagi amaliyah yang mutawattir, yakni cara rasul melaksanakan
sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawattir pula.[8]
Menurut
ulama hadist, tidak membedakan pengertian sunnah dan hadist. Sunnah dan hadist
adalah merupakan wujud dari kepribadian rasulullah dalam memberikan teladan
kepada umatnya.
Keberadaan
hadist sebagai sumber syari’at Islam sudah sangat jelas kedudukannya seperti
yang di ungkapkan oleh pakar hadist.
Hadist
sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.[9]
Pada
zaman Nabi (w. 632M ), umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan sumber ajaran
Islam di samping Al-Qur’an.[10]
Di
dalam Al-Qur’an dipertegas oleh Allah swt bagaimana kedudukan Rasulullah
(sunnah) yang patut diikuti:
Terjemahnya:
“….Apa
yang di berikan Rosul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya ; dan apa yang
di larang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkanya….(Q.S. Al-Hasyr : 7).[11]
Terjemahnya
:
“Barang
siapa mentaati Rosul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (Q.S. An-Nisaa’;
80)”.[12]
Terjemahnya
:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan ( kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut nama Allah. (Q. S. Al- Ahzab : 21 )”.[13]
Kedudukan
sunnah Rasulullah saw. telah dipertegas oleh Rasulullah dalam salah satu
sabdanya:
Artinya
:
“Barang
siapa yang tidak suka akan sunnahku maka ia bukan dari golonganku. ( H. R.
muttafaq’Alaih)”.[14]
Al-Qur’an
dan sunnah Rosul merupakan syari’at terlengkap yang menjadi syari’at ummat
Islam. Al-Qur’an telah dijamin oleh Allah swt kesempurnaannya dan sunnah telah
dipertegas oleh Rasulullah keberadaannya. Penegasan Allah swt tantang
kesempurnaan syari’at Islam (agama Islam) telah difirmankan dalam Al-Qur’an :
Terjemahnya:
“Pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan aku telah mencukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agamamu. (QS. Al-Maidah: 3)[15]
Sabda
Rasulullah memberikan peringatan kepada umatnya untuk senantiasa berpegang
teguh pada syari’at Islam (Al-Qur’an dan al-Sunnah)
Artinya:
“Kutinggalkan
kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi apabila kamu berpegang kepadanya,
niscaya tidaklah kamu tersesat, yaitu : Al-Qur’an dan teladanku”.[16]
Di
samping Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama syari’at Islam, masih
diperkenankan berijtihad untuk mengambil keputusan hukum apabila tidak
didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti riwayat Mua’adz tatkala diutus
oleh Rasulullah untuk menjadi Qadhi di Yaman:
Artinya:
“Barangsiapa
engkau memberikan keputusan hukum, ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian?,
Mu’adz menjawab: saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah swt.
(Kitabullah). Nabi bertanya: Jika kamu tidak dapati dalam Sunnah Rasul-Nya?,
Mu’adz menjawab : aku akan berijtihad dengan pendapatku. Maka Rasulullah
menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi Allah swt yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah
merasa puas itu”.[17]
Dalil-dalil
hukum lainnya yang diperpegangi oleh ulama Ushul secara singkat terturaikan
sebagai berikut:
Ijma’
menurut istilah ulama Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu hukum pada
suatu masa sesudah Rasulullah. Firman Allah swt, yang erat hubungannya untuk
menaati pimpinan (perkara yang diputuskan Ulil Amri).
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu.
(QS. An-Nisa: 59)[18]
Tidaklah
mungkin para ulama berkumpul untuk melakukan sesuatu kebohongan (dusta). Rasul
bersabda:
Artinya
:
“Tidaklah
Allah menghimpun ummatku untuk melakukan kesesatan. (H.R. Ibnu Majah)” [19]
Qiyas
menurut ulama ushul menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
dengan kejadian lain yang sudah diatur oleh nash, karena adanya persamaan
antara keduanya yang disebut “Illat hukumnya’.
Istihsan
adalah merupakan kebalikan dari Qiyas, karena istihsan memindahkan hukum suatu
peristiwa dengan hukum peristiwa lainnya yang sejenis dan memberikan hukum lain
karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.
Muslahat
Mursalah, terdiri dari dua rangkaian kata yaitu: Mursalah ialah pembinaan
(penetapan) hukum berdasarkan mushalat (kebaikan, kepentingan) yang tidak
diatur oleh ketentuan syara yang menggunakan pertimbangan kebaikan akan sesuatu
keputusan di ambil dengan melihat kemaslahatan yang akan timbul.
Sadduz
zari’ah menutup segala jalan yang akan menuju pada perbuatan yang
merusak/mungkar.
Istihsan
yaitu: melanjutkan/menggunakan sesuatu kaidah hukum yang ada sampai
dalil/kaidah hukum lain menggantikannya.
Al-Urf
adalah sesuatu apa yang biasa dijalankan orang, merupakan kebiasaan baik dalam
kata-kata maupun perbuatan keseharian. ‘Urf ialah suatu yang telah sering
dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya. Baik berupa perbuatan maupun
adat kebiasaan yang baik dalam masyarakat.
Qaidah-qaidah
hukum di luar dari Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dasar bagi para fuqaha/ulama
dalam mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukum. Kalau Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan sumber utama Syari’at Islam maka qaidah-qaidah hukum/ fiqhi
seperti diuraikan di atas merupakan sumber/dalil hukum yang dapat dipengaruhi
untuk mengambil keputusan bilamana keputusan yang dimaksud tidak didapati pada
Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
Syariat
Islam mempunyai peranan dan fungsi untuk mengatur dan menata kehidupan
manusia, mengarahkan kepada jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah swt.
tujuan Syari’at Islam adalah mengatur dan menata kehidupan untuk kebahagian dan
kemaslahatan manusia baik sewaktu hidup di atas dunia fana ini, maupun
kelak di negeri akhirat harus dijalankan Syari’at Islam sebagai suatu pedoman
hidup yang hakiki dan sebagai aturan perundang-undangan yang maha lengkap,
mengantar manusia ke pintu kebajikan dan menutup pintu kesesatan.
C.
Perbedaan Antara Syari’at dan HUKUM ISLAM
- 1. Pengertian
Dalam
mempelajari hukum Islam, orang tidak boleh melepaskan diri dari mempelajari
sepintas lalu agama Islam, karena hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah saw. merupakan bagian dari agama Islam.
Berhubung
karena norma-norma hukum Islam dan agama Islam serta nash-nash dalam Al-Qur’an
itu bersifat umum (generale). Sebaliknya, kejadian-kejadian yang
ditimbulkan oleh suatu peristiwa atau tingkah laku manusia bersifat khusus,
walaupun bermacam-macam ragamnya dengan tidak ada batasnya selama dunia ini
berkembang. Hal itu pada tiap-tiap masa tidaklah sunyi dari berbagai peristiwa
yang belum pernah diketahui hukumnya oleh manusia pada masa sebelumnya,
sedangkan pada tiap-tiap peristiwa itu perlu diberikan ketetapan hukum, seperti
halal, makruh, Sunnah, wajib, dan haram.
Oleh
karena itu, disadari oleh Rasulullah saw, bagaimana mengatasi masalah tersebut
untuk generasi selanjutnya maka Rasulullah saw, mengajarkan kepada para
sahabatnya bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari nash-nash atau dalil-dalil
yang bersifat general.[20]
Demikian
pula terdapat kata hukum Allah dalam (QS. Al-Mumtahanah (60) : 10 yang
berbunyi:
Terjemahnya:
Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. Mumtahanah: 10).[21]
Kata
hukum Allah berarti hukum syara’. Tetapi tidak satupun kata hukum Islam dalam
Al-Qur’an, atau dalam literatur hukum dalam isalm tidak ditemukan lafadz hukum
Islam. yang bisa digunakan adalah Syari’at Islam, hukum syara’, fiqhi dan
Syari’at atau syara’.
Dalam
literatur Barat terdapat term Islamic law yang secara harfiah dapat disebut
hukum Islam. dalam penjelasan terhadap kata Islamic law sering ditemukan
definisi; keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim
dalam segala “aspeknya” dari definisi ini terlihat bahwa hukum Islam itu
mendekati kepada arti Syari’at Islam.[22]
Oleh
karena itu, dalam Islam sering dijumpai istilah fiqhi, syari’ah, dan hukum
Islam.[23] istilah-istilah itu sering
dikacaukan pemakaiannya, sebagai suatu hal yang berbeda, dan
kadang-kadang bersinonim. Terlebih bagi jika yang dipakai terjemahan hukum
Islam yaitu pengertian Syari’at dan fiqhi sering menimbulkan konflik-konflik
hukum dalam masyarakat.[24]
Fiqhi
berarti paham (faham/understanding), atau sering diartikan sebagai
pengetahuan (knowledge), atau diartikan sebagai suatu disiplin ilmu dari
pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman.[25]
Syaria’ah
sering digunakan sebagai sinonim dengan kata “din” dan “millah” yang berakna
segala peraturan yang berasal dari Allah swt yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.[26]
Hukum
Islam, sering di identikkan dengan fiqhi atau paham karena keduanya adalah
hasil ijtihad ulama, baik ulama tradisional (pesantren) maupun modern, sebagai
contoh adalah ungkapan Dr. Muhammad Muslihuddin sebagai berikut:
Islamic
law is divinely ordained system, the will of god to be established on earth. It
is called syari’ah or the (right) path. Al-Qur’an and the Sunnah (tradition of
the prophet) are is two primaryand original sources. (Hukum Islam adalah sistem
hukum produk Tuhan, kehendak Allah yang ditegakkan di atas bumi. Hukum Islam
itu disebut Syari’at atau jalan yang benar. Al-Qur’an dan sunnahnabi merupakan
dua sumber utama dan asli bagi hukum Islam tersebut).[27]
Dalam
uraian tentang perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam yang melibatkan
pengaruh luar dan dalam terlihat bahwa yang mereka maksud dengan Islamic law
disini tentunya bukan Syari’at tetapi fiqhi yang telah dikembangkan oleh fuqaha
dalam situasi dan kondisi tertentu. Terlihat kekaburan arti dari Islamic law
antara syari’ah dan fiqh. Kata hukum Islam dalam istilah bahasa Indonesia
agaknya diterjemahkan dari bahasa Barat.
Berdasarkan
penjelasan di atas maka dapatlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa “Hukum
Islam berarti : seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[28]
Kata
seperangkat peraturan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu
adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan
mengikat. Kata berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul menjelaskanbahwa
seperangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan
Sunnah rasul, atau yang populer dengan sebutan syari’ah.
Kata-kata
tentang tingkah laku mukallaf berarti bahwa hukum Islam mengatur tindakan lahir
dari manusia yang telah dikenai hukum : peraturan tersebut berlaku dan
mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan
Sunnah nabi tersebut; yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Oleh
karena itu, hukum Islam sebagai suatu istilah, sangat terkait dengan dan
tak dapat dipisahkan istilah syari’ah. Karena syari’ah adalah hukum-hukum Allah
yang telah jelas nashnya atau qathi, sedangkan fiqhi adalah hukum yang dzanni
yang dapat dimasuki pemikiran manusia (ijtihad).[29]
2.
Pandangan ulama dan ahli hukum
Menurut
Prof. Hasbi, memberi definisi hukum Islam dengan: “Koleksi daya upaya para ahli
hukum untuk menerapkan Syari’at atas kebutuhan masyarakat”. Ta’rif ini
lebih dekat kepada fiqh, bukan kepada Syari’at, walaupun penulis menggunakan
kata yang berarti menyamakan Syari’at dengan fiqh. Untuk lebih mendekatkan
arti kepada hukum Islam, perlu diketahui dulu kata hukum dalam bahasa
Indonesia, kemudian hukum ini disandarkan terhadap kata Islam. “Hukum Islam”
berarti: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Kata
seperangkat peraturan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam
itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai
kekuatan mengikat. Kata berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul menjelaskan
bahwa seperangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah
dan Sunnah rasul, atau yang populer dengan sebutan Syari’at.
Kata-kata
tentang tingkah laku mukallaf berarti bahwa hukum Islam mengatur tindakan lahir
dari manusia yang telah dikenai hukum: peraturan tersebut berlaku dan mempunyai
kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah nabi
tersebut; yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.[30]
Menurut
Dr. A. Qadri Azizy, M.A. : bahwa berbicara tentang hukum Islam pada
periode awal (masa nabi), memang harus diakui tidak ada pemisahan antara hukum
Islam di satu sisi hukum dalam masyarakat (hukum umum) di sisi
lain. Hal ini berarti bahwa ketika nabi menebut dan mempraktekkan hukum,
maka itu adalah hukum Islam. diyakini pula oleh umat Islam, bahwa praktek
Khulafa’ rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) juga demikian, mereka
mempraktekkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari urusan privat
maupun urusan publik selalu mengacu pada hukum Islam.[31]
Mengenai
wujud hukum Islam, ada semacam kesepakatan bahwa pada masa nabi, hukum Islam
belum tersistematiskan. Demikian juga pada masa sahabat nabi, bahkan ada yang
berpendapat bahwa mulai pada masa tabi’in itulah hukum Islam baru
tersistematisir.[32]
Menurut
Dr. Muhammad Muslihuddin pengertian hukum Islam adalah : Islamic law is
divinely ordained system, the will of god to be estabilished on earth. It
is called Shari’ah or the (right) path. Al-Qur’an and the Sunnah (tradition of
the prophet) are is two primary and original sources. (Hukum Islam adalah
sistem hukum produk Tuhan, kehendak Allah yang ditegakkan di atas bumi. Hukum
Islam itu disebut Syari’at atau jalan yang benar. Al-Qur’an dan sunnah nabi
merupakan dua sumber utama dan asli bagi hukum Islam tersebut).[33]
Menurut
Joseph Schacht, yang membuat tesis antara hukum Islam yang dikembangkan oleh
fuqaha yang bersifat swasta dan suka rela, di satu pihak dan praktek
pemerintahan beserta lembaga peradilannya yang didominasi oleh
kepentingan politik, dipihak lain. Joseph Schacht, menulis sebagai berikut : Islamic
law represents an extreme case of a “jurists law”: it was created and developed
by specialists; legal science and not the state plays the part of a legistor,
and scholarly hand books have the force of law. This became possible Islamic
law successfully claimed to be based on devine authority, and because Islamic
legal science guaranteed its own stability and continuity. (hukum Islam
mewakili sebuah kasus yang ekstrim mengenai jurist’s law (hukum Islam yang
merupakan produk ahli hukum secara perorangan). Hukum Islam diciptakan dan
dikembangkan oleh ahlinya secara swasta (mandiri), ilmu hukum dan bukan negara
yang memainkan peran legislator, dan buku-buku baku yang ditulis secara ilmiah
mempunyai kekuatan hukum, hal ini menjadi mungkin, sebab hukum Islam telah
mengklaim dengan sukses sebagai (hukum) yang berdasarkan pada otoritas Tuhan,
dan sebab ilmu hukum Islam telah memberi jaminan akan kestabilan dan
keberlanjutan hukum Islam itu sendiri.[34]
Menurut
Prof. Dr. Suparman Usman, berpendapat bahwa untuk memahami hukum Islam kita
harus:
- Mempelajari kerangka dasar ajaran Islam, yang menempatkan hukum Islam sebagai salah satu bagian dari agama Islam.
- Menghubungkannya dengan Iman (aqidah) dan kesusilaan (akhlak, etika, atau moral), karena dalam sistem hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat diceraiberaikan.
- Mengkaitkannya dengan beberapa istilah kunci, diantaranya adalah syari’ah dan fiqhi yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat diceraiberaikan.
- Mengatur seluruh tata hubungan kehidupan manusia, baik dengan Tuhan, manusia yang lain, diri sendiri, serta alam semesta.[35]
Menurut
Prof. Dr. H. Muhammad Daud Ali, SH : Hukum Islam dibandingkan dengan
pandangan atau pemikiran (hukum) Barat (Eropa, terutama Amerika) akan
terlihat perbedaan, contoh dalam masalah hak asasi manusia. Karena pemikiran
(hukum) Barat memandang hak asasi manusia semata-semata antroposentris. Artinya
berpusat pada manusia, dengan demikian manusia sangat dipentingkan, sedangkan
hukum Islam memandang hak asasi manusia bersifat teosentris, artinya berpusat
pada Tuhan, dengan demikian manusia penting tetapi yang lebih penting adalah
Tuhan (Allah pusat segala sesuatu).[36]
Berdasarkan
pendapat ulama dan ahli hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa : hukum
Islam merupakan salah satu dari sumber ajaran Islam yang harus diyakini dan
dilaksanakan sesuai dengan keyakinan umat Islam, hal ini disebabkan karena
hukum Islam mengatur kehidupan manusia di dunia dan di akhirat kelak.
3.
Ruang lingkup dan ciri-ciri hukum Islam.
a)
Ruang lingkup hukum Islam
Jika
pada hukum Barat ruang lingkup hukum dibedakan secara tajam antara hukum privat
(Perdata) dan hukum publik (pidana), maka adalah hukum Islam tidak terdapat
perbedaan hal ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada hukum
perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi
perdatanya.
Jika
ruang lingkup hukum Islam disusun berdasarkan sistematika hukum Barat, yang
membedakan antara hukum perdata (privat) dan hukum umum (publik), maka
sistematika hukum Islam adalah sebagai berikut
1)
Hukum perdata Islam meliputi : Hukum Munakahat yaitu : hukum yang mengatur
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya.
Hukum Wirasah, yaitu: hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan
dengan pewaris, ahli waris, harta warisan, dan pembagiannya (yang disebut juga
dengan istilah hukum Fara’id). Hukum muamalah, yaitu : hukum yang mengatur
masalah kebendaan, hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual
beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan lain-lain sebagainya.
2)
Hukum publik Islam meliputi: hukum jinayat, yaitu: hukum atau aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum jarimah hudud maupun
jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan
pidana yang bentuk dan batas hukumannya telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah nabi Muhammad saw, (hudud jamak dari hadd ; batas). Sedangkan jarimah
ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancamannya ditentukan oleh
petugas sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir : ajaran atau pengajaran),
hukum al-ahkam as-sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan
soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik
pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya.
Hukum siyar, yaitu hukum yang mengatur urusan perang, damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain. Hukum mukhasamat, yaitu hukum
yang mengatur tentang peradilan kehakiman, dan hukum acara.[37]
b)
Ciri-ciri hukum Islam
Ciri-ciri
(kekhususan) hukum Islam yang membedakannya dengan hukum yang lainnya, adalah :
1)
Hukum Islam berdasarkan atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
dijelaskan oleh Sunnah rasul-Nya.
2)
Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip aqidah (iman, dan tauhid) dan akhlak
(moral)
3)
Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan
seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin)
4)
Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak)
5)
Hukum Islam mengarah kepada jam’iyah (kebersamaan) yang seimbang antar
kepentingan individu dan masyarakat.
6)
Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan dan tuntutan zaman (sesuai
dengan tuntutan waktu dan tempat).
7)
Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di
akhirat.[38]
[1]Minhajuddin,
Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh (Ujung Pandang: Fakultas Syariah IAIN
Alauddin, 1983), h. 3.
[2]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h. 986.
[3]Minhajuddin,
op.cit., h. 3.
[4]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 8.
[8]MT.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1954), h. 39-40.
[9]M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 3.
[10]M.
Syuhudi Ismail, Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Melestarikan
Sunnah oleh Para Pembelanya (Ujung Pandang: Berkah, 1991), h. 1.
[11]Departemen
Agama RI, op.cit., h. 916.
[13]
Ibid., h. 670.
[14]
Muh. Syarif Sukandy, Tarjamah Bulughul Maram (Bandung: Al-Maarif, 1978),
h. 356.
[15]Departemen
Agama RI, op.cit., h. 157.
[16]H.A.
Razak dan H. Rais Lathief, Tarjamahan Hadis Shahih Muslim, Jilid I
(Jakarta: Pustaka Al-Husnah, 1984) h. XXVI.
[17]Abd.
Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh)
(Jakarta: Rajawali, 1989), h. 20.
[18]
Departemen Agama RI, op.cit., h. 128.
[19]
Abd. Wahab Khallaf, op.cit., h. 69.
[20]Mohd.
Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Edisi Revisi
(Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 2-3.
[21]
Departemen Agama RI, op.cit., h. 925.
[22]Amir
Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah,
dkk. Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 17-18.
[23]
Suhaja S, Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Prakteknya (Cet.
II; Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5.
[24]Bandingkan
dengan A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara
Hukum Islam dan Hukum Umum) (Cet. I; Yogyakarta: Gema Media, 2002), h.
1-14.
[26]Bustanul
Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Pres, 1996), h. 41.
[27]Muhammad
Muslihuddin, Phylosopy of Islam Law and Orientalis: A Comparative Study of
Islamic Legal System (Lahore: Islamic Publication Ltd. tt), h. xxi.
[28]A.
Qadry Azizy, op.cit., h. 1-14.
[29]Bustanul
Arifin, loc.cit.
[30]Amir
Syarifuddin, loc.cit.
[31]A.
Qadry Azizy, op.cit., h. 18-19.
[32]Ahmad
Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad:
Islamic Research Institute, 1993), h. 5.
[33]Muhammad
Muslihuddin, op.cit., h. xii.
[34]Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1984),
h. 5.
[35]Suparman
Usman, op,cit.,h. 28-29.
[36]Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam: pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Cet. VIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 53.
[38]Ibid.
No comments:
Post a Comment