A.
Terminologi Ilmu Hadits
Tertulis dalam al-Mu’jam
al-Wasith,[2] ilmu hadits
adalah ilmu untuk mengetahui segala perkataan Nabi s.a.w., dan segala perbuatan
dan keadaan. Sedang dalam definisi yang lain, Jalaluddin as-Suyuthiy (849
H.-911 H.) dalam Tadrib ar-Rawiy, mem-beri definisi sebagai,[3]
ﻋﻟﻡ ﻴﺑﺤﺚ ﻔﻴﻪ ﻋﻦ ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﺗﺼﺎﻞ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺚ ﺑﺎﻠﺮﺳﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ
ﻮﺴﻠﻢ ﻣﻥ ﺤﻴﺚ ﻣﻌﺮﻔﺔ ﺃﺤﻮﺍﻞ ﺮﻮﺍﺗﻬﺎ ﻀﺒﻄﺎ ﻮﻋﺩﺍﻟﺔ ﻤﻥ ﺤﻴﺚ ﻜﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺳﻧﺩ ﺍﺘﺻﺎﻻ ﻮﺍﻧﻘﻃﺎﻋﺎ
ﻮﻏﻴﺮ ﺫﻠﻙ
“Ilmu yang membahas tentang cara-cara persambungan hadits
sampai kepada Rasul s.a.w., dari segi ihwal para perawinya, kedhabithan,
ke’adilan dan segi cara bersambung dan terputusnya sanad dan
sebagainya.”
Definisi yang
diberikan di atas merupakan definisi ilmu hadits menurut ulama’ klasik (mutaqaddimin).
ﻤﻌﺮﻔﺔ
ﺍﻠﻘﻮﺍﻋﺪ ﺍﻠﺗﻰ ﻴﺗﻮﺼﻞ ﺒﻬﺎ ﺇﻠﻰ ﻤﻌﺮﻔﺔ ﺍﻠﺮﻮﻱ ﻮﺍﻠﻤﺮﻮﻱ
“Mengetahui kaedah-kaedah yang
dijadikan sambungan untuk mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan.”
Definisi
pertama, yang selanjutnya dikembangkan oleh ulama’ belakangan (muta’akhkhirin),
ilmu hadits ini dipecah menjadi dua, riwayah dan dirayah.
Definisi yang dibuat oleh ulama’ klasik sendiri dimasukkan ke dalam
definisi ilmu hadits dirayah oleh ulama’ belakangan.[5]
B.
Klasifikasi Ilmu Hadits
Telah dijelaskan sebelumnya, pada
masa ulama’ mutaqqaddimin hanya dikenal term ilmu hadits yang mencakup
seluruh kajian yang dibahas, mulai dari sanad hingga matan hadits; kedhabithan,
ke’adilan dan seterusnya; kaedah-kaedah periwayatan dan lain sebaginya.
Namun, di masa ulama’ muta’akhkhirin sudah mulai dibentuk menjadi dua
bagian, hal ini dilakukan hanya untuk membedakan kapasitas ilmu hadits, jika
pada masa ulama’ klasik hanya mengenal ilmu hadits atau ushul al-hadits,
era ulama’ muta’akhkhirin ilmu hadits kemudian secara garis besar
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ilmu riwayah hadits dan ilmu dirayah
hadits.
Dalam kajian
sekarang ini, kalangan peneliti dan pembelajar ilmu hadits, bergelut seputar
ilmu dirayah hadits. Kendati pun demikian adanya, tidak jarang juga di
antara para pembelajar dan para ulama’ yang membahas dan meneliti seputar
periwayatan yang Rasul s.a.w., sabdakan berabad-abad lamanya. Ulama’ hadits
menggunakan dua term dalam memahami ilmu hadits, yaitu:
a.
Ilmu Hadits Riwayah
Terdapat beberapa pendapat yang
ditawarkan oleh pakar hadits terkait definisi yang diberikan, menurut Dr. ‘Ajaj
al-Khathib dalam kitabnya, Ushul al-Hadits,[6]
ﻋﻠﻡ
ﺍﻠﺫﻱ ﻴﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﻨﻘﻞ ﻣﺎ ﺃﺿﻴﻒ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻤﻥ ﻘﻮﻞ ﺃﻮ ﻔﻌﻞ ﺃﻮ ﺗﻘﺮﻴﺮ ﺃﻮ
ﺼﻔﺔ ﺨﻠﻘﻴﺔ ﺃﻮ ﺨﻠﻘﻴﺔ ﻨﻘﻼ ﺪﻘﻴﻘﺎ ﻤﺣﺮﺮﺍ......
“Ilmu yang yang mengkaji pengutipan
secara cermat dan akurat, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., berupa
per-kataan, perbuatan, sifat pembawaan atau sifat pribadi.”
ﻋﻠﻡ
ﻴﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻘﻮﺍﻞ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻮﺃﻔﻌﺎﻠﻪ ﻮﺮﻮﺍﻴﺘﻬﺎ ﻮﻀﺒﻄﻬﺎ ﻮﺘﺣﺮﻴﺮ ﺃﻠﻔﺎﻇﻬﺎ..........
“Ilmu yang mencakup segala perkataan
Nabi s.a.w., dan segala perbuatan, periwayatannya, pemeliharaannya maupun
penulisan atau pembukuan lafal-lafalnya.”
Dari kedua
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian ilmu hadits riwayah
atau ilmu riwayah hadits menurut hemat penulis adalah Rasulullah s.a.w.,
sebagai sumber rujukkan, yakni matan hadits. Bila dibahasakan yaitu bagaimana
cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendawankan
(penulisan atau pengkodifikasi) atau pribadi Rasul s.a.w., dari segi sabdanya,
perbuatannya dan seterusnya.
Uraian yang
penulis berikan tersebut merujuk pada simpulan dari dua definisi di atas; berbunyi,
…ﻋﻠﻡ ﻴﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻘﻮﺍﻞ atau menurut Ibnu al-Akfaniy, yang
dikutip as-Suyuthiy, …ﻋﻠﻡ ﺍﻠﺫﻱ ﻴﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ.
Kedua definisi ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dr. Shubhiy dan Dr.
‘Itr menurut keduanya,[8] ilmu hadits riwayah
bukan pada upaya pengutipan bebas dan cermat bagi segala sesuatu yang
bersandar kepada Nabi s.a.w., yang dikutip berupa ucapan, perbuatan, pengakuan
atau sifat Nabi, namun juga yang bersandar pada para sahabat serta tabi’in.
Bisa jadi yang
dimaksudkan di sini oleh Dr. Shubhiy ialah mengingat mereka semua (sahabat
serta tabi’in) masuk dalam ranah kajian pengutipan riwayat-riwayat yang
diterima oleh mereka, melalui Rasulullah sebagai jalan periwayatannya hingga
sampai ke kita saat ini, wajar bila pada tataran sahabat dan tabi’in perlu
untuk kembali dikaji secara intensif pengutipan (yang benar secara cermat dan
akurat) yang mereka lakukan. Pengutipan di sini adalah berupa pernyataan yang
mereka menyandar-kan berita itu kepada Rasul dengan segala sandarannya.
b.
Ilmu Hadits Dirayah
Definisi terminologisnya, menurut Syaikh ‘Izzuddin bin
Jama’ah, sebagaimana dikutip as-Suyuthiy[9] dan
at-Tarmasiy dalam kitabnya, Manhaj Dzawiy an-Nazhr ditulis dalam bentuk nazhm,[10]
ﻋﻟﻡ
ﺍﻠﺣﺩﻴﺚ ﺫﻮ ﻘﻮﺍﻧﻴﻦ ﺗﺤﺩ - ﻴﺩﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺃﺤﻮﺍﻝ ﻣﺗﻦ ﻮﺳﻧﺩ - ﻮﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺗﺤﻣﻝ ﻮﺍﻷﺩﺍﺀ ﻮﺼﻔﺎﺖ
ﺍﻟﺮﺠﺎﻝ ﻮﻏﻴﺮ ﺫﻟﻙ -[11] .......
“Ilmu Hadits (Dirayah) ialah ilmu yang memiliki
undang-undang atau kaedah-kaedah dengannya untuk mengetahui keadaan matan dan
sanad; cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan selain itu.”
Pendapat lain diterangkan Ibnu al-Akfaniy, sebagaimana yang
dikutip oleh Dr. M. ‘Ajaj al-Khathib dan as-Suyuthiy,[12]
ﻋﻟﻡ
ﻴﻌﺮﻒ ﻤﻨﻪ ﺤﻘﻴﻘﺔ ﺍﻟﺮﻮﺍﻴﺔ ﻮﺸﺮﻮﻂﻬﺎ ﻮﺃﻨﻮﺍﻋﻬﺎ ﻮﺃﺤﻛﺎﻣﻬﺎ ﻮﺤﺎﻞ ﺍﻟﺮﻮﺍﺓ ﻮﺸﺮﻮﻂﻬﻢ ﻮﺃﺼﻨﺎﻒ
ﺍﻟﻣﺮﻮﻴﺎﺖ ﻮﻣﺎ ﻴﺘﻌﻟﻖ ﺒﻬﺎ...
“Ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan,[13]
syarat-syarat,[14]
macam-macam,[15]
hukum-hukum[16]
serta keadaan para perawi,[17]
syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan[18]
dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya.[19]”
Dapat disimpulkan dari kedua
definisi di atas, objeknya adalah perawi sebagai sumber penelitian atau lebih
spesifik masuk ke ranah keadaan matan, sanad dan rawi hadits. Bila ditanyakan
kenapa dibedakan, ada ilmu riwayah hadits dan ilmu dirayah
hadits?…jawabnya, karena wilayahnya berbeda, sesuai dengan definisi ‘Ulum
al-Hadits.
Ilmu hadits dirayah (dirayah
hadits) nama lainnya yaitu ilmu musthalah al-hadits, mushthalah ahl
al-atsar,[20]
‘ilmu ushul al-hadits dan ‘ulum al-hadits.[21]
Dari kedua definisi dan penjelasan
di atas, bisa penulis katakan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna,
ilmu dirayah hadits lebih bersifat teoritis dalam kajian naskah-naskah
atau literatur-literatur kitab-kitab hadits dengan menggunakan disiplin ilmu
yang sudah dikembangkan dan diterapkan oleh para ulama’, berupa kaedah-kaedah.
Sedang ilmu riwayah hadits bersifat praktis; aplikasi dari teoritis (dirayah)
atau memberikan informasi apa yang sudah kita tetapkan dari jalan dirayah,
yang bertujuan memelihara kemurnian syari’at Islam melalui sabda-sabda Nabi
s.a.w.
C.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Pada umumnya beragam ulama’
berpendapat mengenai banyaknya cabang-cabang ilmu hadits (mencakup riwayah
dan dirayah), as-Suyuthiy misalnya, mengatakan ilmu hadits itu jumlahnya
banyak tidak terbilang.[22]
Al-Hazimiy berkata, “Ilmu hadits mencakup banyaknya sampai 100 macam, tiap-tiap
macam daripadanya itu ilmu yang independen.” Al-Hakim an-Naisaburiy (w. 405 H.)
menyebutkan sampai 52 macam, tersebut di dalam kitabnya Ma’rifat ‘Ulum
al-Hadits. Abu ‘Amr ‘Utsman bin ash-Shalah asy-Syahruzuriy,[23]
dikenal dengan Ibnu ash-Shalah (w. 643 H.) menyebutkan ada 65 macam.[24]
Adapun kesemua macam ilmu hadits itu
kaitannya pada matan dan sanad, bukan berarti semua cabang-cabang atau
macam-macam itu berdiri sendiri dan tidak terikat dengan cabang lainnya,
tidaklah demikian sebab satu sama lain saling ber-hubungan. Ada yang hanya membahas pada sanad dan
rawi, matan saja, sanad dan matan. Berikut penjelasan secara ringkas:
1.
Pangkal pembahasan pada sanad dan rawi
a.
Ilmu Rijal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺭﺟﺎﻞ
ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas para perawi
hadits (sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in) dalam kapasitasnya sebagai
perawi hadits. Perintis ilmu ini ialah al-Bukhari (w. 256 H.). Ibnu Sa’ad (w.
230 H.) banyak menjelaskan dalam bukunya, Thabaqat.[25]
Akan datang pembahasannya.
b.
Ilmu Thabaqat ar-Ruwah (ﻋﻟﻡ ﻄﺒﻘﺎﺖ ﺍﻟﺮﻮﺍﺓ)
Ialah ilmu yang membahas tentang keadaan rawi berdasarkan
peng-kalsifikasian keadaan rawi-rawi secara tertentu. Al-Waqidiy (130 H.-209
H.) adalah orang yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu ini. Namun,
susunan yang dipercaya isinya oleh para ulama’ adalah kitab yang disusun oleh
muridnya, yakni Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ az-Zuhriy (168 H.-230 H.) berjudul
Thabaqat Ibn Sa’ad. Penolakan terhadap kitab Thabaqat al-Waqidiy
tidak lain karena sifat al-Waqidiy yang bermudah-mudahan dan sering membuat
kuat sanad hadits, ini pendapat sebagian ulama’. Ilmu ini merupakan bagian dari
ilmu sebelumnya, yakni ilmu rijal al-hadits.[26]
c.
Ilmu Tarikh Rijal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺘﺎﺭﻴﺦ ﺭﺟﺎﻞ
ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas (mengkaji) tentang rawi yang
terdapat pada sanad hadits guna mengetahui sejarah kehidupannya; perihal
tanggal lahir, keturunan atau silsilah, para guru hadits mereka dan jumlah
hadits yang diriwayat-kannya beserta murid-muridnya.[27]
Sesungguhnya ilmu yang dibicarakan ini termasuk dalam
bahasan ilmu rijal al-hadits juga, sebagaimana ilmu thabaqat ar-ruwah.
d.
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil (ﻋﻟﻡ ﺠﺭﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻴﻝ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai para perawi, seputar
masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafal-lafal
tertentu, sebagaimana menurut Dr. Shubhiy ash-Shalih.[28]
Perintis ilmu ini adalah ‘Abdullah bin
‘Abbas (w. 68 H.) dan Anas bin Malik (w. 93 H.) dari kalangan sahabat. Ada di
antara ulama’ yang memasukkan ilmu ini pada pokok pembahasan yang berpangkal
pada sanad dan matan, dengan dua alasan:[29]
Pertama, berhubungan dengan cara-cara
periwayatan hadits, sahnya periwayatan, keadan perawi dan kadar kredibili-tasan
mereka. Ulama’ menamakannya dengan, ﺍﻟﻧﻘﺪ
ﺍﻟﺨﺎﺮﺠﻲ (kritik yang datang dari luar hadits).
Kedua, berhubungan dengan sanad dan matan
hadits, sah atau tidak makna yang terdapat di dalamnya dan bagaimana jalan keshahihannya
dan ketidak shahihannya. Dinamakan juga dengan, ﺍﻟﻧﻘﺪ ﺍﻟﺪﺍﺨﻟﻲ (kritik yang
datang dari dalam hadits).
2.
Pangkal pembahasan pada matan
a.
Ilmu Gharib al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﻏﺮﻴﺐ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai makna kalimat atau
lafal-lafal yang terdapat pada matan hadits, yang sukar diketahui maksudnya dan
tidak umum dipakai orang Arab, karena mengandung nilai sastra yang sangat
tinggi. Sedangkan perintis ilmu ini adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna
at-Tamimiy (w. 210 H.) dan Abu al-Hasan an-Nadhr bin
Syumail al-Maziniy (w. 203 H.).[30]
b.
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺃﺴﺑﺎﺏ ﻮﺮﻮﺪ
ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas sebab-sebab latar belakang lahirnya
hadits, serta musabab hadits tersebut lahir (muncul).[31]
Ulama’ yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu
ini adalah Abu Hafash ‘Umar bin Muhammad bin Raja’ al-‘Ukbariy (w. 309 H.),
guru Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain (380 H.-458 H.) dan Ibrahim bin Muhammad
atau dikenal dengan nama, Ibnu Hamzah al-Husainiy (w. 1120 H.).[32]
Penyebab hadits-hadits Rasul s.a.w., itu lahir ditentukan
oleh beberapa hal, yaitu:[33]
a) sebagai mubayyin untuk menjelaskan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an;
atau dalam termnya, tafsir al-Qur’an bi as-sunnah; b) sebagai penjelasan
terhadap matan hadits yang lain; c) adanya peristiwa yang muncul, sehingga
perlu diterangkan oleh Rasulullah; d) ada persoalan, berupa pertanyaan dari
para sahabat Nabi s.a.w. Namun, tidak semua hadits ada sebabnya kenapa hadits
itu muncul.
c.
Ilmu Tawarikh al-Mutun (ﻋﻟﻡ ﺘﻮﺍﺭﻴﺦ ﺍﻟﻤﺘﻭﻦ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai kapan dan saat apa suatu
hadits itu dituturkan atau diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. Perintis ilmu ini
ialah Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amr al-Bulkiniy. [34]
d.
Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh (ﻋﻟﻡ ﺍﻟﻨﺎﺴﺦ
ﻭﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺥ)
Ialah ilmu yang membicarakan tentang
hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan. Hukum hadits
yang satu menghapus (menasikh) hukum hadits lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh.[35]
Menurut Prof. M. Syuhudi Isma’il,
ulama’ yang dianggap ahli dalam ilmu ini adalah asy-Syafi’i[36] (w. 204 H.), Ahmad bin Ishaq
ad-Dinariy (w. 318 H.), Muhammad bin Musa al-Hazimiy (w. 584 H.).[37]
e.
Ilmu Talfiq al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺘﻟﻔﻴﻖ
ﺍﻟﺤﺪﻴﺙ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai
cara-cara mengumpulkan dua hadits yang menurut zhahirnya, maknanya ber-lawanan.
Dua hadits yang maknanya berlawanan disebut mukhtalif al-hadits (ﻤﺨﺗﻟﻒ ﺍﻟﺤﺪﻴﺙ). Sedangkan cara-cara untuk
mengkompromikannya disebut dengan talfiq al-hadits.[38]
Orang yang pertama kali menulis
disiplin ilmu ini yaitu asy-Syafi’i dengan karyanya, Ikhtilaf al-Hadits.
Kemudian bermunculan ulama’-ulama’ se-telahnya, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276
H.), Abu Yahya bin Zakariya bin Yahya as-Sajiy (w. 307 H.) dan Ibnu al-Jauziy
(w. 598 H.).[39]
f.
Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif (ﻋﻟﻡ
ﺍﻟﺘﺼﺤﻴﻒ ﻮﺍﻟﺘﺤﺭﻴﻒ)
Ialah ilmu yang membahas hadits-hadits
yang berubah titik huruf dan berubah bentuk syakal atau harakat hurufnya.[40]
Hadits yang diubah titiknya disebut
dengan mushahhaf (ﻤﺼﺤﻒ),
sedang hadits yang diubah bentuk harakatnya disebut dengan muharraf (ﻤﺤﺭﻒ).
Mahmud ath-Thahhan dan al-‘Iraqiy,
tulis pembagian tashhif (kesalahan penuturan) menjadi tiga bagian,
yaitu:[41]
1.
Segi tempatnya, terbagi dua: a) tashhif fi al-matn; b) tashhif fi
al-isnad.
2.
Segi keadaannya, terbagi dua: a) tashhif al-bashr; b) tashhif
as-sam’i.
3.
Segi lafal dan makna, terbagi dua: a) tashhif fi al-lafzhi; b)
tashhif fi al-ma’na.
Ulama’ yang menyusun disiplin ilmu ini ialah ad-Daruquthniy
(w. 385 H.), judul kitabnya, at-Tashhif li ad-Daruquthniy dan Abu Ahmad
al-‘Askariy (w. 283 H.) dengan kitabnya, at-Tashhif wa at-Tahrif.[42]
3.
Pangkal pembahasan pada sanad dan matan
a.
Ilmu ‘Ilal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﻋﻟﻞ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak
nyata yang dapat merusak keshahihan hadits. Ulama’ yang menulis ilmu di
bidang ini dan ahli dalam ilmu ini adalah Ibnu al-Madaniy (161 H.-234 H.) dalam
kitabnya, al-‘Ilal, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim, Ya’qub
bin Abi Syaibah dan ad-Daruquthniy.[43]
b.
Ilmu al-Fann al-Mubhamat (ﻋﻟﻡ ﺍﻟﻔﻦ ﺍﻟﻤﺑﻬﻤﺎﺖ)
Ialah ilmu yang membahas tentang
nama-nama orang yang tidak disebutkan di dalam sanad dan matan hadits.[44] Dalam hal ini Dr. Nuruddin ‘Itr,
sebagaimana ia mengutip pendapat Ibnu ash-Shalah mengklasifikasi nama-nama yang
mubham ini menjadi empat, yaitu:[45] 1) nama yang dilambangkan dengan kata,
ﺭﺠﻞ atau ﺍﻤﺭﺃﺓ. Jenis ini yang
paling samar; 2) lambang kata, ﻔﻼﻦ ﺇﺒﻦ atau ﻔﻼﻦ ﺇﺒﻨﺔ atau ﺍﻟﻔﻼﻨﻲ ﺇﺒﻦ ; 3) ﻔﻼﻦ ﻋﻢ
atau ﻔﻼﻦ ﻋﻤﺔ dan; 4) lambang kata, ﻔﻼﻨﺔ ﺰﻮﺝ
atau ﻔﻼﻦ ﺰﻮﺠﺔ.
Perintis ilmu ini yaitu al-Khathib
al-Baghdadiy, kemudian diringkas oleh an-Nawawiy dalam kitabnya, al-Isyarat
ila Bayan Asma’i al-Mubhamat.[46]
Dalam menetapkan
cabang-cabang ilmu hadits yang bertumpuh pembahasan kepada tiga objek kajian di
atas dan klasifikasinya itu merupakan ilmu-ilmu dari beberapa ilmu yang harus
dimiliki, untuk lebih rinci Shalahuddin al-Adlabiy yang ia nukil dari karyanya
al-Hakim an-Naisaburiy terkait kajian ini betapa banyaknya ilmu-ilmu dalam
bidang cabang ilmu hadits yang bertumpuh pada objek sanad, tidak kurang dari 33
macam ilmu hadits, begitu juga objek kajian pada matan (teks) suatu hadits
tidak kurang terdapat 15 bidang keilmuan. Uraian lebih lanjut akan dijelaskan
pada bab berikutnya.
D.
Faedah Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits
Banyak sekali faedah dan manfa’at
yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits (dirayah maupun riwayah),
tetapi yang sangat urgen di antaranya, sebagai berikut:
1.
Ilmu hadits Riwayah,[47]
a.
Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan
dalam periwayatan.
b.
Memelihara kemurnian syari’at Islam, karena sunnah atau hadits adalah
sumber hukum Islam setelah al-Qur’an.
c.
Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam, sehingga sunnah dapat
diterima oleh seluruh umat manusia.
d.
Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi s.a.w., karena tingkah laku dan akhlaknya
secara terperinci dimuat dalam hadits.
e.
Melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena
seseorang tidak mungkin mampu memelihara hadits sebagai sumber hukum syari’at
Islam tanpa mempelajari ilmu hadits riwayah ini.
a.
Mengetahui term-term yang disepakati ulama’ hadits dalam penelitian hadits.
Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadits mana yang hadits
dan mana yang bukan hadits.
b.
Mengetahui kaedah-kaedah yang disepakati para ulama’ dalam menilai, menyaring
(filterisasi) dan mengklasifikasikan ke dalam beberapa macam baik dari segi
kuantitas, maupun kualitas sanad dan matan hadits, sehingga dapat menyimpulkan
mana hadits yang diterima (maqbul) dan mana yang ditolak (mardud).
c.
Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama’ dalam menerima
dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengkodifikasinya
ke dalam berbagai kitab hadits.
d.
Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirayah maupun riwayah
yang mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai
sumber syari’at Islam, sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan
tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Seandainya terjadi hal
tersebut merekapun dapat mengungkap dan meluruskan yang sebenarnya.
e.
Mengetahui hadits yang shahih, hasan,
dha’if, muttashil, mursal, munqathi’, mu’dhal, maqlub, masyhur, gharib, ‘aziz,
mutawatir, ahad dan seterusnya. []
E.
Sejarah Perkembangan dan Kodifikasi Ilmu Hadits
Secara historis
perkembangan ilmu hadits tidak bisa dilepaskan juga dengan perkembangan hadits.
Para ulama’ coba menguraikan secara tersusun sejarah dan perkembangan ilmu
hadits. Antaranya adalah Dr. Nuruddin ’Itr. Sistematis sejarah perkembangan
ilmu hadits yang disusunnya melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:[49]
1.
Tahap pertama, Masa Kelahiran Ilmu
Hadits. Berlangsung
pada masa sahabat sampai penghujung abad ke-1 H.
2.
Tahap kedua, Masa Penyempurnaan. Berlangsung dari awal abad ke-2 H.-abad ke-3
H., dengan ditandai dengan sejumlah peristiwa yang timbul.[50]
3.
Tahap ketiga, Masa Pengkodifikasiannya Secara Terpisah. Berlangsung sejak abad
ke-3 H.-pertengahan abad ke-4 H.
4.
Tahap keempat, Masa Penyusunan Kitab-Kitab Induk dan Penyebarannya. Bermula
pada pertengahan abad ke-4 H., dan ber-akhir pada abad ke-7 H.
5.
Tahap kelima, Masa Kematangan dan Kesempurnaan
Pengkodifikasian. Ber-mula pada
abad ke-7 H.-abad ke-10 H.
6.
Tahap keenam, Masa Kebekuan dan
Kejumudan. Terjadi dari
abad ke-10 H.-awal abad ke-14 H.
7.
Tahap ketujuh, Masa Kebangkitan Kedua. Berlangsung pada permulaan abad ke-14 H.
Penulis akan
uraian kembali ketujuh tahap yang telah dibuat atau disusun oleh Dr. ’Itr
tersebut secara sistematis runtut [secara ringkas menjadi empat tahap yang
saling terikat satu sama lain. Pada intinya bila dijabarkan kembali menjadi
tujuh tahap sebagaimana yang disebut di atas], berdasarkan abad ke-… dan tahun
…, pada masa Nabi s.a.w., hingga masa tabi’in, kiranya para pembaca bisa
memahami maksud dan tujuan yang disampaikan. Sebelumnya perlu penulis berikan
satu kata kunci bahwa, ini membicarakan perkembangan dan pengkodifikasian ilmu
hadits bukan hadits, akan tetapi perkembangannya (ilmu hadits) tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah perkembangan dan pertumbuhan hadits-hadits Nabi
s.a.w. Berikut penjelasannya:
a.
Awal dan pertengahan abad ke-1 H. (tahun 13 s.H.-11 H.), zaman Nabi s.a.w., dan
Sahabat.
Tidaklah banyak uraian pada awal abad
ke-1 H., ini, karena perkembangan ilmu hadits dipenghujung abad ke-1 H. (ketika
Nabi wafat, tahun 10 H./632 M.). Perlu diketahui saja pada saat itu permulaan
era hijrah, yakni tahun 622 M., tepatnya tanggal 16 Juli (versi orientalis)
atau tanggal 1-1-1 H./3 bulan sebelum hijrah (versi Thabari). Ini menunjukkan
bahwa perkembangan hadits,[51] jelasnya ilmu
hadits selalu mengiringi masa Rasul s.a.w., sekalipun belum dinyatakan secara
eksplisit.
Sekalipun pada masa Nabi s.a.w., tidak
dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya
dasar-dasar dalam al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w. Umpama contoh, anjuran
pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang ‘adil. Lihat
dan pahami Q.S. al-Hujurat: 6, Q.S. al-Baqarah: 282, Q.S. ath-Thalaq: 2, yang
kesemuanya menyatakan tentang persaksian bila datang berita dari penyampai
berita.[52] Artinya, ada kehati-hatian dalam
meriwayatkan berita (hadits), yang mana sikap kehati-hatian ini masuk dalam
kapasitas ilmu hadits.
Ada beberapa faktor yang mendukung
pemeliharaan hadits masa itu, yaitu: a) kejernihan hati dan kuatnya daya hafal;
b) minat yang kuat terhadap agama; c) kedudukan hadits dalam agama Islam.
Sebagaimana telah maklum bahwa hadits merupakan sendi asasi yang telah
membentuk pola pikir para sahabat serta sikap perbuatan dan etika mereka; d)
para sahabat akan menjadi pengganti Nabi s.a.w., dalam mengemban amanah dan
menyampaikan risalah, jelas hal ini Nabi s.a.w., mengetahuinya; e) metode yang
dilakukan Nabi s.a.w., dalam menyampaikan hadits darinya; f) adanya penulisan
hadits.[53]
Pada masa selanjutnya, pertengahan abad
ke-1 H. (tahun 12-98 H.)[54] zaman sahabat Nabi, seperti Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah kepulangan atau
wafatnya Rasulullah (8 Juni 632 M., versi orientalis), sahabat Nabi sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena masih tertuju kosentrasi pada
al-Qur’an, sikap kehati-hatian ini, disebabkan hadits Rasul tidak berkembang
pesat, begitu pula ilmu hadits. Dikenal juga dengan term atau sebutan taqlil
ar-riwayah. Bergejolaknya yaitu pada masa ‘Ali bin Abi Thalib banyak
ber-munculan hadits-hadits palsu, sebagai serangan terhadap musuh. Maka ketika
ada hadits yang diriwayatkan seseorang, perlu adanya saksi, sumpah dan sanad.
Singkatnya ilmu hadits baru timbul secara lisan, secara eksplisit pada zaman
sahabat.[55]
b.
Akhir abad ke-1 H. (tahun 99 H.-101 H.), serta awal dan pertengahan abad ke-2
H., zaman Tabi’in.
Pada akhir abad ke-1 H., yaitu zaman
pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz (61 H.-101 H.), dia selaku khalifah (yang
ke-8) dari daulah Bani Umayyah,[56] yang mempunyai ide untuk menulis
hadits.[57] Ilmu hadits di masanya telah timbul
secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan ilmu lain. Dia juga memerintahkan
kepada setiap gubernur yang ada pada setiap daerah, Abu Bakar bin Muhammad bin
Hazm (w. 117 H.) selaku gubernur Madinah yang mendapat intruksi langsung dari Khalifah
‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz, berhasil mengumpulkan hadits yang tersebar dari para
penghafal. Ulama’ yang termasuk dalam hal ini adalah Imam Muhammad bin Muslim
bin Syihab az-Zuhriy (50 H.-125 H.), dia orang pertama dalam sejarah yang
menghimpun ilmu hadits,[58] menurut pendapat Imam Malik (93 H.-179
H.) dia orang yang pertama menulis hadits.[59] Dia (az-Zuhriy) juga salah seorang
tabi’in kecil. Daripada itu perkembangan penulisan hadits begitu pesat. al-hamdulillah.
Perlu disampaikan bahwa az-Zuhriy mampu
menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu 80 malam (3 bulan kurang 10 hari),
demikian pernyataan al-Bukhari. Riwayat lain dituliskan bahwa pernah Hisyam
meminta tolong kepada az-Zuhriy untuk menuliskan hadits-hadits Nabi, untuk
keperluan anak-anak Hisyam. Lalu az-Zuhriy mendiktekan 400 hadits. Berselang
jauh satu bulan Hisyam memberitahukan az-Zuhriy bahwa catatan hadits yang
dimilikinya dari az-Zuhriy hilang, lalu Hisyam meminta kembali kepada az-Zuhriy
agar mendiktekan kembali. Hal tersebut dikabulkan didiktekan kepada seorang
penulis. Dan ternyata dua catatan hadits yang ditulis dalam waktu yang berbeda
itu, tidak terdapat perbedaan sedikit pun.[60] Ini mengambarkan betapa kuatnya
hafalan dan daya ingat az-Zuhriy.
c.
Pertengahan abad ke-2 H., zaman Tabi'in; hingga abad ke-3 H., zaman Tabi’
at-Tabi’in.
Pada pertengahan abad ke-2 H., hingga
abad ke-3 H., ilmu hadits mulai di-tulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang
sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum berdiri sendiri,
masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berdiri secara terpisah. Misalnya
terjadi pada kitabnya, Imam asy-Syafi’i (150-204 H.) yang berjudul ar-Risalah,[61] di mana kitab
tersebut berisikan dan bercampur ilmu ushul fiqh dengan ilmu hadits; kitab yang
lain karya Imam asy-Syafi’i juga, seperti al-Umm, berisikan dan
bercampur fiqih dengan hadits Nabi s.a.w., dan solusi hadits-hadits yang kontra
diberi nama Ikhtilaf al-Hadits, karya asy-Syafi’i.[62]
Abad ke-3 H., zaman Tabi’ at-Tabi’in
merupakan masa kejayaan dan ke-emasan hadits, perkembangan penulisan ilmu
hadits sangat pesat, karena perkembangan keduanya secara beriringan. Akan
tetapi penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi
ilmu yang berdiri sendiri ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Beragam pandangan
ulama’ dan ahli sejarah terhadap hal ini, Dr. Mushthafa as-Siba’iy dan
Dr. Ahmad ‘Umar Hasyim tulis orang yang pertama kali menulis ilmu hadits[63] adalah ‘Ali
bin al-Madiniy (161 H.-234 H.), gurunya Imam al-Bukhari. Karya ‘Ali bin al-Madiniy
yaitu Mukhtalif al-Hadits. Buku-buku ilmu hadits bermunculan, seperti
Imam Muslim, menulis ilmu hadits pada muqaddimah buku Shahih-nya.
Imam al-Bukhari menulis tiga tarikh, yaitu: 1) at-Tarikh al-Kabir;
2) at-Tarikh al-Ausath; dan 3) at-Tarikh ash-Shaghir. Imam
at-Tirmidzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna dan Kitab at-Tawarikh;
dan Muhammad bin Sa’ad menulis ath-Thabaqat al-Kubra. Dan ada juga
diantara mereka menulis riwayat khusus, seperti adh-Dhu’afa’-nya
al-Bukhari dan an-Nasa’i dan lain-lain. Disayangkan kesemua buku yang penulis
sebutkan belum berdiri sendiri menjadi satu ilmu, yakni ilmu hadits; itu juga
terdiri dari bab-bab saja.
Artinya pada awal perkembangan ilmu
hadits abad ke-3 H., ini dalam bentuk kodifikasi belumlah begitu sistematis dan
berdiri sendiri. Bila diurutkan secara kronologisnya di awali oleh ‘Ali bin
al-Madiniy – al-Bukhari – Muslim – at-Tirmidzi dalam mempelopori perkembangan
dan penulisan ilmu hadits yang menjadi fan ilmu, walaupun masih tercampur
dengan ilmu-ilmu lain, seperti data-data periwayatan sejarah. []
d.
Abad ke-4 H., hingga abad ke-14 H. zaman setelah Tabi’ at-Tabi’in.
Pada zaman ini, ilmu hadits mencapai
puncak kematangannya. Ilmu hadits juga berdiri sendiri menjadi satu disiplin
ilmu. Pada abad ini merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang
berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Yang
pertama kali memunculkan ilmu hadits secara paripurna dan berdiri sendiri
adalah[64] al-Qadhiy Abu
Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuziy[65]
(w. 360 H.) dengan karyanya, al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawiy wa
al-Wa’iy. Kitab ini belum membahas seluruh persoalan dalam bidang ‘ulum
al-hadits dan begitulah umumnya keadaan orang yang pertama kali menyusun
kitab dalam bidang apapun.[66]
Sebagai gambaran isi kitab
ar-Ramahurmuziy ini membahas tentang tata tertib rawi dan ahli hadits, teknik
penerimaan dan penyampaian hadits, ke-sungguhan ulama’ dalam mengemban ilmu
hadits dan persoalan-persoalan lainnya yang berkaitan.[67]
Kitabnya ini sebenarnya merupakan kitab kontekstual, bukan atas pertimbangan
term sebgai disiplin ilmu tertentu yang telah dikenal.
Setelah ar-Ramahurmuziy disusul oleh
Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakim an-Naisaburiy (w. 405 H.) dengan
judul Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, kitab ini belum disusun secara sistematis,
seperti halnya ilmu yang lain. Di dalam kitab al-Hakim ini sebagaimana tulis M.
Syuhudi Isma’il menyebutkan, ilmu hadits mempunyai pembahasan yang berjumlah 50
cabang atau macam. Pengkelompokan cabang itu sendiri belum berdiri sendiri
menjadi satu disiplin ilmu.[68] Mengenai klasifikasi cabang-cabang
ilmu hadits menurut pokok-pokok masalah yang dibahas, lihat tabel 2.3.
Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahaniy
(w. 430 H.), judul kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits,
sebuah kitab istidrak al-Hakim, akan tetapi masih terdapat persoalan
yang tertinggal belum dibahas, yang hal itu dapat ditemukan oleh orang yang
kritis terhadap persoalan tersebut. Kitab ini membahas 52 cabang ilmu hadits
dan telah dicetak di Mesir pada tahun 1937 M. Selanjutnya al-Khathib
al-Baghdadiy (w. 463 H.) dengan judul Kitab al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah.
Lalu diikuti penulis-penulis lainnya, seperti ‘Ulum al-Hadits oleh Abu
‘Amr ‘Utsman bin ‘Abd ar-Rahman asy-Syahrazuriy, yang dikenal dengan Ibnu
as-Shalah (w. 643 H.), kitab ini merupakan kitab yang paling baik dalam bidang
‘ulum al-hadits.[69]
Perlu diketahui bersama, keistimewaan
kitab Ibnu ash-Shalah ini adalah:[70]
a.
Kaedah dan pendapat yang dikemukakan para ulama’ dengan bijak ia tarik
simpulan.
b.
Memberi batasan terhadap definisi-definisi yang ada sambil menguraikan-nya,
juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
c.
Mengometari pendapat para ulama’ berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad
penyusunnya.
Buku ini menjadi sempurna dengan ketiga
keistimewaan yang dimiliki dan cepat dikenal di berbagai penjuru dunia dan
pujian pun mengalir, sehingga murid-murid penyusunnya mempublikasikan gurunya
itu dengan sebutan Shahih Kitab ’Ulum al-Hadits.[71]
Selanjutnya disusul pula, kitab Fath
al-Mughits fi Syarh al-Fiyah al-Hadits oleh Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman
as-Sakhawiy (w. 902 H.), merupakan kitab Syarh al-Fiyah al-‘Iraqiy dan
merupakan kitab syarah yang paling baik dari kitab-kitab Syarah
al-Fiyah lainnya, lalu as-Suyuthiy (w. 911 H.) juga menyusun satu kitab
dengan judul, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib an-Nawawiy.
Perlu penulis terangkan kembali, sesuai
kajian atau pembahasan tentang per-kembangan dan pengkodifikasian ilmu hadits
serta cabang-cabangnya, bahwa di zaman ulama’ klasik (mutaqaddimin) yang
dihitung dari abad ke-2 H., hingga abad ke 3 H., akhir ilmu hadits tidak terdapat
perbedaan term, sesuai penjelasan lalu. Namun, ulama’ setelahnya disebut ulama’
muta’akhkhirin dari abad ke-4 H., hingga seterusnya, maka ulama’ hadits
membedakan pemakaian term ilmu hadits dengan nama ilmu hadits riwayah
dan ilmu hadits dirayah.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pelopor ilmu hadits riwayah yakni Ibnu Syihab az-Zuhriy (50 H.-125
H.), abad ke-2 H., dan pelopor ilmu hadits dirayah, yang termnya
dinamakan juga dengan ilmu hadits atau ilmu mushthalah al-hadits, yakni
al-Qadhiy Abu Muhammad ar-Ramahurmuziy (w. 360 H.), pada abad ke-4 H. Demikian
agar dapat dipahami.
Selanjutnya pada abad ke-10 H., terjadi
kejumudan dan kebekuan. Pada tahap ini masalah ilmu hadits dan penyusunan
sejumlah kitabnya nyaris berhenti sama sekali. Pada tahap ini lahirlah sejumlah
kitab yang ringkas dan praktis, baik dalam bentuk sya’ir dan prosa. Dan para
penulis disibukkan dengan kritikan-kritikan yang termuat dalam kitab yang telah
ada tanpa ikut mnyelami inti permasalahnnya, baik melalui penelitian maupun
melalui ijtihad. Kitab-kitab yang dimaksud antara lain adalah susunan ‘Umar bin
Muhammad bin Futuh al-Baiquniy (w. 1080 H.) berjudul al-Manzhumah
al-Baiquniyah, merupakan kitab ringkas terdiri dari 34 bait sya’ir; Tawdhih
al-Afkar karya ash-Shan’aniy Muhammad bin Isma’il al-Amir (w. 1182 H.); Syarh
Nuz-hat an-Nazhar karya Syaikh ’Ali bin Sulthan al-Harawiy al-Qari’iy (w.
1014 H.). kitab ini lebih dikenal dengan nama Syarh asy-Syarh. Berkat
rahmat Allah s.w.t., di wilayah India bangkit semangat pengkajian hadits dengan
semangat yang cukup tinggi. Yang mana kegiatan itu dipelopori oleh al-’Allamah
al-Imam al-Muhaddits Syah Waliyyullah ad-Dahlawiy (w. 1176 H.) dan dilanjutkan
oleh anak cucunya serta murid-muridnya. Kemudian pada abad ke-14 H., permulaannya
umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa saja
muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan
Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi dan koloniaslime pemikiran yang
lebih jahat dan lebih bahaya. Maka muncullah informasi yang mengaburkan
eksistensi hadits yang dilontarkan oleh para orientalis dan diterima begitu
saja oleh orang-orang yang mudah terbawa arus serba asing, kemudian mereka
turut mengumandangkannya dengan penuh keyakinan. Dengan adanya kondisi semacam
ini dituntut disusunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi itu guna
menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Ber-muncullah kitab-kitab
untuk menjawab tantang zaman ini, seperti kitab Qawa’id at-Tahdits karya
al-Qasimiy; Miftah as-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadits, karya
‘Abd al-‘Aziz al-Khuliy, lalu muncul juga as-Sunah wa Makanatuha fi
at-Tasyri’ al-Islamiy, karya Mushthafa as-Siba’iy; al-Hadits wa
Muhadditsun, karya Muhammad Abu Zahw dan seterusnya. [72] Berapa banyak upaya dan kerja keras
serta meluangkan waktu yang panjang dalam membuat dan menghasilkan banyak
karya-karya yang ditulis para ulama’-ulama’ kita tentang ilmu-ilmu hadits.
Upaya itu juga tidak serta merta diterima oleh ulama’-ulama’ lain atau
orang-orang yang mengkaji keilmuan di bidang itu. Mulai datangnya kritikan,
ketidaksetujuan pendapat, penambahan dan seterusnya hingga kemudian menjadikan
hasil karya yang besar, walaupun demikian perlakuan yang didapat, tetap
penghormatan atas sebuah jerih payah tidak akan terlupakan, untuk dulu hingga
sekarang. []
b۞۞
Tabel 2.1.
PERBEDAAN ILMU
HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH
Tinjauan
|
Ilmu Hadits
Riwayah
|
Ilmu Hadits
Dirayah
|
Objek
Pembahasan
|
Segala
perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi s.a.w.
|
Hakikat, sifat-sifat dan
kaedah-kaedah dalam periwayatan
|
Pendiri
|
Imam
Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhriy (50 H.-125 H.)
|
Al-Qadhiy
Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuziy (w. 360
H.)
|
Tujuan
|
Memelihara
syari’at Islam dan otentisitas sunnah
|
Meneliti
hadits berdasarkan kaedah-kaedah atau persyaratan dalam periwayatan
|
Faedah
|
Menjauhi
kesalahan dalam periwayatan
|
Mengetahui periwayatan yang diterima
dan yang tertolak
|
Tabel 2.2.
PERKEMBANGAN
DAN KODIFIKASI ILMU HADITS
No.
|
Masa
|
Karakter
|
Indikator
|
1.
|
Nabi
s.a.w.
|
Telah ada dasar-dasar ilmu hadits
|
Q.S. al-Hujurat: 6 dan Q.S.
al-Baqarah: 282
|
2.
|
Sahabat
|
Muncul secara lisan [eksplisit]
|
Periwayatan
harus disertai saksi, bersumpah dan sanad
|
3.
|
Tabi’in
|
Telah
timbul secara tertulis belum terpisah dengan ilmu lain
|
Ilmu hadits bergabung dengan fiqih
dan ushul fiqh, seperti al-Umm dan ar-Risalah.
|
4.
|
Tabi’
at-Tabi’in
|
Ilmu
hadits telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum menyatu
|
Telah
muncul kitab-kitab ilmu hadits, seperti at-Tarikh al-Kabir li al-Bukhari,
Thabaqat at-Tabi’in dan lainnya
|
5.
|
Setelah
Tabi’ at-Tabi’in (abad ke-4 H.)
|
Berdiri sendiri sebagai satu
disiplin ilmu hadits
|
Ilmu hadits pertama al-Muhaddits
al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, karya ar-Ramahurmuziy
|
Tabel 2.3.
KLASIFIKASI
CABANG-CABANG ILMU HADITS MENURUT POKOK-POKOK MASALAH YANG DIBAHAS
Pokok Bahasan
|
Cabang Keilmuan
|
Objek Masalah dan Kajian
|
Sanad
dan rawi
|
Ilmu
Rijal al-Hadits
|
Kehidupan
para rawi, meliputi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in
|
Ilmu
Thabaqat ar-Ruwah
|
Klasifikasi keadaan rawi-rawi secara
tertentu
|
|
Ilmu Tarikh Rijal al-Hadits
|
Historis para rawi (tahun lahir,
tahun wafat, silsilah keturunan dstnya)
|
|
Ilmu
Jarh wa at-Ta’dil
|
Kredibilitas para rawi (cacat dan ke’adilannya)
|
|
Matan
|
Ilmu
Gharib al-Hadits
|
Lafal-lafal
yang sulit dipahami, jarang dan memiliki nilai sastra tinggi
|
Ilmu
Asbab al-Wurud
|
Historis
lahirnya hadits
|
|
Ilmu
Tawarikh al-Mutun
|
Historis kapan serta waktu hadits
diucapkan dan diperbuat Nabi s.a.w.
|
|
Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh
|
Berlawanan hadits yang datang
terdahulu (mansukh) dan kemudian (nasikh) hingga terjadi
penghapusan
|
|
Ilmu
Talfiq al-Hadits dan
Ilmu
Mukhtalif al-Hadits
|
Cara-cara mengkompromikan hadits dan
adanya hadits yang maknanya berlawanan
|
|
Ilmu
at-Tashhif wa at-Tahrif
|
Berubah titik dan bentuk huruf suatu
hadits
|
|
Sanad
dan matan
|
Ilmu
‘Ilal al-Hadits
|
Kesamaran
dalam cacatnya hadits
|
Ilmu al-Fann al-Mubhamat
|
Penjelasan tentang nama-nama yang
tidak disebutkan di dalam matan dan sanad
|
[1] Disampaikan pada Mata Pelajaran ‘Ulum
al-Hadits di Ruang MA III Keagamaan Ponpes Nurul Islam Seribandung, Tj. Batu
Kab. Ogan Ilir, Palembang. Pada tanggal 12, 19 dan 26 September
2010.
[4] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits..., hlm. 8. As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz
I, hlm. 41.
[6] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits..., hlm. 7. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, Cet. 1, t.th.,
Maktabah Nurul Islam; Seribandung-Palembang dan al-Maktabah as-Sya’diyah Putra;
Padang Panjang, hlm. 8. Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…,
hlm. 4.
[7] As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi
Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm.
75.
[8] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum
al-Hadits…, hlm. 107. Bandingkan: Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz
I, hlm. 14-15.
[9] As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi
Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 41. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm.
75.
[10] At-Tarmasiy, Manhaj Dzawiy…,
hlm. 7. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 16.
Bandingkan: Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 9. Definisi yang
diberikan oleh Ahya’uddin Anwar sama dengan at-Tarmasiy namun, dia lebih
spesifik menjelaskan maksud dari ‘mengetahui keadaan matan dan sanad’ yaitu
apakah sanad atau matan tersebut dinyatakan shahih, hasan, dha’if, ‘ali,
nazil, marfu’, mawquf, maqthu’.
[11] Kalimat ﻮﻛﻴﻔﻴﺔ sampai ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻙ merupakan penjelasan dalam kitab
yang ditulis, bukan bagian dari nazham itu sendiri. Karena kitab ini
(karangan at-Tarmasiy) merupakan seorang pensyarah dari kitabnya,
as-Suyuthiy berjudul Manzhumah ’Ilmi al-Atsar.
[12]
Tadrib ar-Rawiy
fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40.
M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 7. Hafizh Hasan
al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 3. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum
al-Hadits…, hlm. 107.
[13] Maksudnya, penukilan hadits dan
penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita. Tadrib ar-Rawiy fi
Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40.
[14] Maksudnya, penerimaan perawi terhadap
hadits yang akan diriwayatkan dengan ber-macam-macam cara penerimaan, seperti
melalui as-sama’, al-qira’ah, al-washiyyah, al-ijazah. Tadrib ar-Rawiy fi
Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm.
75.
[15] Maksudnya, membicarakan sekitar
bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain. Tadrib ar-Rawiy fi
Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[16] Maksudnya, pembicaraan sekitar
diterima (maqbul) atau ditolaknya sesuatu hadits (mardud).
Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id at-Tahdits…, hlm.
75.
[17] Maksudnya, pembicaraan sekitar ke’adilan,
kecacatan para perawi dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan
hadits. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id
at-Tahdits…, hlm. 75.
[18] Maksudnya, yang diriwayatkan meliputi
hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid
dan kitab mu’jam. Qawa’id at-Tahdits…, hlm.
75.
[19]
Maksudnya, mengetahui term-term ahli hadits. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh
Taqrib…, Juz I, hlm. 41. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[21]
M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 9. As-Suyuthiy, Tadrib
ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 5.
[23]
Nama asli Ibnu ash-Shalah serta penisbahan ke asy-Syahruzuriy, lihat: Tadrib
ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52 dan 61. Lihat teks kitab dan
catatan kakinya nomor 2, hlm. 52, nomor 1, hlm. 62.
[24]
M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 11-12. Tadrib ar-Rawiy
fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 53. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar
Ilmu Hadits, hlm. 64. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 84. Al-Qasimiy,
Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 79.
[26]
M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 64. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah
Hadits, hlm. 391.
[28] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum
al-Hadits…, hlm. 109. Bandingkan: M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits..., hlm. 260. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Ed. 1, Cet.2001,
RajaGrafindo Persada; Jakarta, hlm. 31.
[31]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar…, hlm. 121. Secara bahasa sabab ber-arti al-habl yakni
tali, saluran (segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda ke benda
lainnya, maksudnya yang mengantarkan pada tujuan). Sementara ahli hukum Islam
mendefinisikannya dengan ’suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan wurud berarti sampai,
muncul. Maksudnya ialah sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik
berkenaan dengan arti umum atau khsusus, mutlak atau terbatas, dihapus (nasikh)
dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya. Uraian lengkap lihat: Jalaluddin as-Suyuthiy, Asbab al-Wurud
al-Hadits aw al-Luma’ fi Asbab al-Wurud, Yahya Isma’il Ahamd (tahqiq
dan ta’liq), 1404 H./1984 M., Dar al-Kutub al-’Ilmiyah; Beirut-Lebanon,
hlm. 10-11.
[33] Ibnu Hamzah al-Husainiy al-Hanafiy
ad-Dimasyqiy, al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbab al-Wurud…terj., Juz I, hlm.
vi. Lihat pada pengantar penerjemah.
[35] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,
hlm. 89. Bandingkan: M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm.
287-288. Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 30.
as-Sayyid ‘Alawiy bin as-Sayyid ‘Abbas bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malikiy, Hasyiah
Faidh al-Khabir wa Khulashah at-Taqrin ‘ala Nahj at-Taisir Syarh Manzhumah
at-Tafsir, al-Ustadz Muhammad Yasin al-Fadaniy (ta’liqat), Cet. 2,
1960 M./1380 H., Maktabah al-Hidayah; Surabaya, hlm. 145-146.
[36] Imam asy-Syafi’i telah membahas
panjang lebar dalam ar-Risalahnya mengenai ilmu nasikh dan mansukh
ini. Bisa lihat selengkapnya: asy-Syafi’i, ar-Risalah…, Juz I dan Juz
II, hlm. 106-146.
[37] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu
Hadits, hlm. 67. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum
al-Hadits…, hlm. 114. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…,
hlm. 121.
[38]
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 443. Lebih jauh uraiannya lihat: Sejarah dan Pengantar…,
hlm. 122. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 111. Penjelasan
tentang mukhtalif al-hadits atau hadits mukhtalif lihat
uraiannya: al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm. 336.
[40]
Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 28. Munzier Suparta,
Ilmu Hadits, hlm. 41. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 254
dan 255.
[41]
Uraiannya selengkapnya lihat: al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm.
332-334. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 254-262. Mahmud
ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 115-116.
[42]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar…, hlm. 119. Bandingkan: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,
hlm. 91.
[43]
Ulumul Hadits, hlm. 86-87. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar
Ilmu Hadits, hlm. 67-68. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits,
hlm. 443. Sejarah dan Pengantar…, hlm. 119. Selangkapnya lihat: M. ’Ajaj
al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 291 dan 296.
[44] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah
Hadits, hlm. 178. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits,
hlm. 213.
[45] Penjelasanya lihat: Nuruddin ‘Itr,
Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 146-148. Mahmud ath-Thahhan,
Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 214-215. A. Qadir Hassan, Ilmu
Mushthalah Hadits, hlm. 179-181.
[46]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar…, hlm. 118-119. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm.
68.
[48]
Ulumul Hadits, hlm. 77-78. Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, hlm. 27-28. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 9.
[50] Peristiwa yang timbul pada waktu itu
dimaksud antaranya: a) melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam,
sebagaimana disebutkan oleh adz-Dzahabiy dalam kitab Tadzkirat al-Huffazh;
b) panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits, lantaran bentangan jarak waktu
dan semakin banyaknya rawi. Terlihat hal ini misalnya dari hadits yang diriwayatkan
oleh seorang sahabat lalu diterima oleh beberapa kelompok umat yang berasal
dari berbagai daerah, sehingga sanadnya menjadi banyak. Ditambah lagi
kemungkinan masiknya sejumlah faktor yang mencacatkannya atau mengandung banyak
‘illat, yang jelas atau samara; c) munculnya sejumlah kelompok umat
Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan
tabi’in, seperti Mu’tazilah, Jabbariyah, Khawarij dan sebagainya. Oleh sebab
itu, para imam umat Islam bengkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan
langkah yang dapat menutup pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain adalah
pengkodifikasian hadits secara resmi; sikap para ulama’ yang lebih kritis
terhadap para rawi hadits dalam upaya jarh wa ta’dil. Karena waktu itu
makin banyak ditemukan kelemahan, baik daya hapal ataupun unsur-unsur nafsu dan
perbuatan bid’ah; sikap tawaqquf (tidak menolak dan tidak menrima) bila
mendapatkan hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadits;
sikap menelusuri sejumlah hadits untuk mengungkapkan kecacatan yang mungkin
tersembunyi di dalamnya, lalu untuk setiap hal yang baru, mereka membuat kaedah
dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya. Dengan adanya upaya ini menjadi
sempurnalah cabang-cabang ilmu hadits. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz
I, hlm. 44-46.
[56] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm.
224. Bila diurutkan khalifah-khalifah Bani Umayyah dari pertama sampai ke-8
adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (dilantik tahun 41 H.) – Yazid bin Mu’awiyah
(l. 25 H., atau 26 H.) – Mu’awiyah bin Yazid (dilantik tahun 64 H.) – ‘Abdullah
bin Zubair (l. 1 H.) – ‘Abd al-Malik bin Marwan (l. 26 H.) – al-Walid bin ‘Abd
al-Malik (dilantik tahun 86 H.) – Sulaiman bin ‘Abd al-Malik (dilantik tahun 96
H.) – ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (l. 61 H., atau 63 H.). As-Suyuthiy,
Tarikh Khulafa’, terj., hlm. 230, 243, 249, 250, 254, 265, 266.
[58]
Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 4. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy,
hlm. 8. Baca selengkapnya: al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 71.
[59]
M.M. Azami, Studies in Early…terj., hlm. 107. Dalam hal ini para orientalis berbeda pendapat terkait
tentang az-Zuhriy yang disebut sebagai orang pertama menulis hadits. Muir
menerima pendapat itu dan mengomentari bahwa sebelum pertengahan abad ke-2 H.,
belum ada kumpulan tulisan tulisan hadits yang dapat diandalkan. Sedang Guillaume
mengatakan, ”Palsu pendapat yang menyebutkan az-Zuhriy adalah orang pertama
menulis hadits.” Pendapat Guillaume ini disetir juga Ruth dan lain-lain; serta
mengatakan meragukan kebenaran pendapat itu. Yang ekstrim lagi adalah
pendapatnya Goldziher dan Schacht. Schacht mengatakan, untuk mengetahui
pendapat yang palsu ini baca kembali tulisan Goldziher dalam bukunya, Muhammedanische
Studien dan tulisan Mirza Kazim Bik dalam, ar-Risalah al-Asiawiyyah.
Di bagian lain ia juga mengatakan bahwa sulit sekali menganggap hadits-hadits
yang ada kaitannya dengan fiqh (hukum) itu ada yang shahih. Karena
hadits-hadits tersebut dibuat guna diedarkan di kalangan masyarakat sejak paruh
pertama dari abad ke-2 H., sampai seterusnya. Dalam hal ini M.M. al-A’zami
berpendapat bahwa penulisan hadits yang dilakukan oleh az-Zuhriy itu menurut
Schacht ialah palsu. Sebab munculnya hadits-hadits fiqh (hukum) menurutnya baru
setelah ’Umar bin ’Abd al-’Aziz. Studies in Early…terj., hlm. 107-108.
[61] Kitab ar-Risalah merupakan
kitab pertama di bidang ushul fiqh, disusun secara metodologis yang berbeda
dengan ulama’-ulama’ lain [lebih jelasnya baca, ar-Risalah]. Tersusunnya
ar-Risalah atas permintaan ‘Abd ar-Rahman bin Mahdiy (135 H.-198 H.), dia
me-minta asy-Syafi’i membuatkan buku yang berisi tentang makna-makna dibalik
ayat al-Qur’an, menghimpun kisah-kisah di dalam al-Qur’an, penjelasan
penargumenan ijma’, nasikh mansukh yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits;
inilah sebab asy-Syafi’i menulis dan menyusun kitab ar-Risalah.
asy-Syafi’i menulis kitabnya saat dia berada di Makkah, tidak sampai di sana
saja, dia melanjutkan penulisan kitabnya di Baghdad [tahun 195 dia berada di
Baghdad] selanjutnya di Mesir [tahun 199 H., ia kembali berada di Mesir].
Artinya kitab ar-Risalah itu disusun dalam waktu tiga kali, yaitu di
Makkah atas permintaan ‘Abd ar-Rahman bin Mahdiy, di Baghdad memulai
mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqh yang semasa dengannya dan terakhir
di Mesir, pada saat itu asy-Syafi’i berusia kurang lebih 50 tahun. Penulisan
kitabnya di Mesir ini terkadang dia menambahkan dan terkadang pula membuangnya
(dalam kajian yang ia bahas), tahap ini disebut dengan tahap kematangan. Akan
tetapi dia tetap menjaga orisinilitas kitabnya. Ketika berada di Makkah kitab
tersebut dinamakan ar-Risalah al-Qadimah, sedang di Mesir dinamakan ar-Risalah
al-Jadidah. Lihat selengkapnya: Muhammad Ibrahim al-Fayyumi, asy-Syafi’i,
al-Imam…terj., hlm. 93, 94, 96. Lihat selengkapnya juga: asy-Syafi’i, ar-Risalah…,
Juz I, hlm. 9-11. Lihat dalam catatan kaki dan teks kitab.
[64] Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat
al-Mughits…, hlm. 3. as-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz
I, hlm. 5. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits,
hlm. 10.
[65] Dengan berbaris atas ra’ dan mim
serta berbaris depan ha’ dan mim yang kedua. Tadrib ar-Rawiy
fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52. Lihat catatan kakinya nomor 1.
[66]
Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 11.
Bandingkan: Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52.
[72]
Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 11, 12 dan 13.
Lihat selengkapnya: as-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I,
hlm. 6, 7, 8, 9 dan 10. Bandingkan:
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 50, 51, 54, 56
dan 58.
No comments:
Post a Comment