BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perjalanan hidup manusia penuh dengan ketidaksempurnaan, ia membutuhkan
contoh dan tauladan dari orang-orang sebelumnya, karena itu manusia menganggap
penting untuk bercermin kepada kejadian yang telah lalu yang disebut sejarah,
sebagaimana disampaikan oleh Al-Quran surat Al-Hasyru ayat 18 yang artinya :
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui
pendidikan manusia bisa terus berkembang dalam berbagai bidang, dengan
pendidikan manusia hidup lebih bermartabat, dengan pendidikan berbagai
persoalan kehidupan diselesaikan, mengingat pentingnya pendidikan dalam
kehidupan manusia maka akan dijelaskan bagaimana sejarah
perkembangan pendidikan di Kalimantan sebagai bagian tak terpisahkan dari
sejarah pendidikan Islam di republik tercinta ini.
Pada masa dahulu, para ulama yang berdakwah
di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah
awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang
lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua jalur.
Jalur pertama yang membawa
Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan
Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis
kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas
Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan
menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak
berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah
pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang
besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang kami angkat
yaitu antara lain :
1. Bagaimana islam masuk di
kalimantan barat?
2.
Bagaimana islam masuk di kalimantan selatan ?
3.
Bagaimana islam masuk di kalimantan timur ?
4.
Bagaimana islam masuk di kalimantan tengah ?
5.
Bagaimana pendidikan islam di kalimantan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ISLAM MASUK DI KALIMANTAN BARAT
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, “Islam Masuk
di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan
tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada
dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi
berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia
(Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara
permanen di suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi
anggota masyarakat lainnya.
Ada beberapa hal yang membuat Islam dapat dengan mudah untuk diterima oleh
masyarakat dan menyebar luas sampai ke daerah pedalaman. Adapun faktor-faktor
tersebut sebagai berikut:
1.
Melalui perkawinan campuran yang dilakukan
oleh orang muslim dengan orang non-muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga
dapat dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman
Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
2.
Melalui perdagangan. Mayoritas penduduk Kalbar
tinggal di daerah pesisir sungai atau pantai. Islam disebar luaskan dan
berkembang melalui kegiatan perdagangan mulanya di kawasan pantai seperti Kota
Pontianak, Ketapang, atau Sambas, kemudian menyebar kearah perhuluan sungai.
3.
Melalui dakwah. Adapun nama-nama mubaligh
dan guru agama yang terlibat dalam menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut
pada awal abad ke-20 menurut Mohd Malik (1985:48) diantaranya adalah Haji
Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh Abdurrahman dari Taif, Madinah
(1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah
Pinoh (1940-?), dan Haji Ahmad asal Jongkong (sekarang). Para guru agama ini
mengajarkan membaca Al-Quran, fiqh dan lain-lain, dirumah dan juga di mesjid.
4. Melalui Kekuasaan
(otoriter). Islamisasi ini terjadi
pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang. Pada massa ini beliau melakukan perperangan
kepada siapa saja yang tidak mau masuk Islam. Tercatat raja-raja kerajaan
Silat, Suhaid, Jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk
Islam. Setelah raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk
Islam, mereka diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan
dihukum mati.
5.
Melalui Kesenian Tradisional. Sastra tradisional di
Cupang Gading memperlihatkan adanya nilai keislaman. Dengan mengkolaborasikan
antara nilai Islam dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam
menyebarkan Islam itu sendiri. Berpadunya nilai lokal
dengan Islam dapat dilihat melalui prosa rakyat yang dikenal dengan
istilah bekesah dan melalui puisi tradisional, seperti pantun,
mantra, dan syair. Selain itu Islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin
Lembut yang ada didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah
yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan Islam di
Kalbar.
Di Kalimantan Barat daerah
yang pertama kali mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan
Mempawah yang diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu
versi pembawa islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab. Ini sejalan
dengan teori sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859),
Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878), bahwa penyiar Islam di
Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori
ini didukung pula oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad
Said dan Syed Muhammad Naquib.
Seiring dengan usaha
dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke
daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M, Sayyid Habib Husein al-Kadri diangkat
sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas tugas sebagai
Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk
pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat menjadi
Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.
Pendapat lain mengatakan
bahwa Islam masuk ke Kalbar pada abad ke 15 di pelabuhan Ketapang (Sukadana)
melalui perdagangan. Penyebaran agama Islam di Kalbar membujur dari Selatan
ke Utara, meliputi daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak. Menurut
Safarudin Usman bahwa Islam mulai menyebar di Kalbar diperkirakan sekitar abad
XVI Miladiah, penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau dikenal
kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana agama
Islam mulai diterima masyarakat, akan tetapi Barukh tidak menganut agama Islam
sampai wafat 1590 M.
Selain itu ada pendapat
yang mengemukakan pada tahun 1470 Miladiah sudah ada kerajaan yang memeluk
agama Islam yaitu Landak dengan rajanya Raden Abdul Kahar (Usman,1996:4) Dimasa
pemerintahan Raden Abdul Kahar (Iswaramahaya atau Raja Dipati Karang
Tanjung Tua) beliau telah memeluk agama Islam sehingga dapat dikatakan berawal
dari kerajaan Landak.
Kerajaan-kerajaan Islam
yang ada di Kalimantan barat antara lain sebagai berikut :
1. Kerajaan Pontianak
Diceritakan bahwa Syarief
Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib
Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya
bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam, putri Kerajaan
Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H
(1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan Ayahnya Syarief Husein
(Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama terkenal di Kerajaan Matan
hampir selama 20 tahun.
Sebelum memperkuat karir
politiknya, Syarif Abdurrahman Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai
mana disebutkan terdahulu ia memiliki armada dagang yang dilengkapi
persenjataan di laut. Pernyataan ini seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu
bahwa para pedagang Arab tidak tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah.
Sebenarnya tidak ada yang bertentangan dalam hal ini. Senjata yang digunakan
oleh Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab
saat itu sudah terjadi persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang
asing dan juga untuk mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut).
Kemungkinan besar angkatan bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak
semata miliknya tetapi juga dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah
yang sudah Islam ketika itu. Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal
dagang.
Setelah Syarif Abdurrahman
Al-Kadri mengurangi aktifitas dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk
mendirikan suatu kerajaan atau kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M)
ia meninggalkan Mempawah menuju Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai
Kapuas, rombongannya mendarat di Istana Kadriah yang sekarang dinamai
Pontianak. Di sini ia membangun perumahan dan balai serta masjid. Di tahun yang
sama ia balik ke Mempawah untuk membawa serta keluarga dan mengambil armada
Tiang Sambung ke Pontianak.
Tahun 1777 dengan dibantu
Raja Haji dari Riau, ia berlayar ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya
dibawah kekuasaan Pontianak Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para
sultan dan penambahan dari Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja
haji mengangkat dan menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari
kesultanan Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan
menguasai Mempawah, Sambas.
Di Daerah Kampung
Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar pada jaman tersebut
beliau salah seorang yang termasyhur, sultan Pontianak Syarif Muhammad
Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton
Kadriyah Pontianak (Usmandkk:1997). Ustazd Djafar yang kelak menurunkan anak
yang bernama Kurdi Djafar dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai
Bakau Kecil di Mempawah dan salah seorang putranya Mawardi Djafar seorang
tokoh Muhammadiyah yang ada di Pontianak.
Setelah Sultan Syarif
Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan
keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu:
a. Sultan Syarif Kasim
Al-Kadri (1808-1819)
b. Sultan Syarif Usman AI-Kadri
(1819-18SS)
c. Sultan Syarif Hamid
Al-Kadri (1855-1872)
d. Sultan Syarif Yusuf
Al-Kadri (1872-1895)
e. Sultan Syarif Muhammad
Al-Kadri (185-1944)
f.
Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
g. Sultan Syarif Hamid
Al-Kadri (Sultan Hamid), (1945-1950)
2. Kerajaan Jongkong (Embau)
Pada awalnya pendidikan
dikerajaan ini didapatkan dari adanya pendakwah yang datang dari luar. Namun,
kemudian untuk perkembangan Islam selanjutnya H. Ahmad dan teman-temannya
membuka madrasah yang diberi nama Hidayatul Mustaqim pada tanggal 9 November
1946, selain itu ada juga pengajian keliling. Sebelum H. Ahmad masyarakat
pendapatkan pengajaran dari mubaligh dan guru agama yang mengajarkan Al-Qur,an,
fiqh, di rumah dan di mesjid. Para pengajar agama juga berupaya memadukan
ajaran Islam dengan kepercayaan lama masyarakat.
3. Kerajaan Sambas
Pendidikan Islam di
kerajaan Sambas dapat dilihat dari dua tahap sebagai berikut: Tahap pertama,
yaitu pendidikan dilingkungan keluarga. Pendidikan dilingkungan keluarga
diberikan dalam bentuk pelajaran membaca Al-Qur’an. Pendidikan seperti ini
diberikan kepada anak dari sejak dini bagi anak-anak berumur 5-10 tahun.
Kegiatan yang biasa disebut “mengaji” ini dilakukan secara
berkelompok dirumah guru ngaji. Mula-mula anak di ajari membaca huruf Hijaiyyah
dengan cara mengeja satu demi satu huruf kemudian merangkainya dengan kata
sehingga terbentuk satu kesatuan kalimat. Apabila huruf-huruf ini telah dikenal
barulah pindah membaca Jus Amma, yaitu jus ke-30 yang dibukukan
tersendiri dan disebut juga Al-Qur’an kecil. Bagi anak yang sudah lancar
membaca dan telah tamat Juz Amma, guru ngaji biasanya menyelenggarakan upacara
penamatan yang disebut Khataman Al-Qur’an. Pada saat acara Khataman Al-Qur,an
orang tua murid ngaji masing-masing mengantarkan hadiah sesuai kemampuannya
berupa beras, kelapa, dan kain kepada guru ngaji.
Jika anak telah tamat
Al-Qur’an Kecil, selanjutnya anak pindah untuk membaca Al-Qur’an Besar. Prosesi
pengajaran Al-Qur’an besar, pertama-tama guru membimbing sekali atau dua kali,
lalu anak mengulangnya beberapa kali sampai lancar. Pengetahuan membaca seperti
ini ditingkatkan dengan memberikan pengetahuan seni membaca. Akhirnya, anak
mampu membaca sendiri tanpa pembimbing. Disamping membaca anak-anak juga
diberikan ilmu tajwid. Waktu yang diperlukan untuk menamatkan seluruh bacaan
tidak ditentukan tergantung kemampuan membaca setiap anak. Namun, rata-rata
mereka menamatkan bacaan Al-Qur’an antara 6-12 bulan.
Tahap kedua, adanya
pengakuan anggota masyarakat atau lingkungan masyarakat terhadap kealiman dan
keshalehan seorang ustad atau syekh, sehingga anggota masyarakat mengirimkan
anaknya untuk memperdalam ilmu. Pada tahap ini anak-anak yang telah meningkat
remaja diajari dasar-dasar ilmu nahwu dan saraf. Selain itu juga
di ajarkan semacam ilmu usul yang berisi materi rukun iman dan rukun
Islam. Kitab rujukan utamanya adalah kitab Perukunan
Melayu karya Arsyad al-Banjari. Selain itu, terdapat juga pelajaran
fikih yang termuat dalam kitab “1001 Masalah” yang amat praktis susunannya.
Umumnya kitab-kitab rujukan ini menggunakan bahasa Arab Jawi (berbahasa Melayu
beraksara Arab) dan sering kali tidak mencantumkan nama pengarangnya. Selain
ilmu fikih, terdapat kecenderungan berkembangnya ilmu tasawuf.
Namun, ketika penguasa
ke-8 kesultanan Sambas, Muruhum Anom yang bergelar Sultan Muhammad Ali
Tsafiuddin (berkuasa 1813-1826), mulai membangun institusi keagamaan Islam di
Istana dengan melantik H. Nuruddin Mustafa sebagai imam kesultanan. Tugas imam
adalah setiap hari datang ke istana untuk memberikan pengajaran agama terutama
pengajian al-Qur’an dan sembahyang kepada kerabat Sultan (Machrus Effendy
1995:20). Dengan demikian, perkembangan berikutnya istana dijadikan lembaga
pendidikan dikalangan elit penguasa, selain masjid. Lembaga pendidikan istana
(palace school) inilah yang kemudian berkembang menjadi madrasah
al-Sutaniyah. Kemudian Muhammad Tsaifudin II mendirikan madrasah al-Sultaniyah
pada tahun 1868. Pada awalnya kurikulum madrasah ini masih terbatas pada
pelajaran Agama Islam. Peserta didiknya pun hanya dari kalangan
kesultanan, aktivitas pembelajaran masih didalam istana. Namun setelah adanya
pembauran dan adanya keinginan untuk membuat madrasah ini semakin baik,
mulailah dikelola namun setelah adanya pembauran dan adanya keinginan untuk
membuat madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola dengan memasukan kurikulum
pendidikan barat disamping pendidikan Islam, agar dapat menyaingi
sekolah-sekolah milik kolonial Belanda. Lalu sekolah ini diganti namanya
menjadi Tarbiatoel Islam.
4. Kerajaan Sintang
Pada saat itu kerajaan
Sintang di pimpin oleh Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa disebut
Sultan Aman, beliau memerintah tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat
fanatik terhadap Islam. Pada masa Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi
dua orang ulama dari Aceh bernama Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri
Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan
Raja Dangki diangkat menjadi panglima perang karena keahliannya dibidang pencak
silat dan ilmu nujum. Karena semangatnya mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim
utusan untuk menyebarkan Islam di hulu Sungai Kapuas. Sultan Aman juga
memerangi orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam.
B.
ISLAM MASUK DI KALIMANTAN SELATAN
Sumber yang cukup tua
menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di
Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang
ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah KalSel yang
diketahui ialah daerah sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah KalSel
menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni
Hikayat Lambung Mangkurat (Hikayat Banjar). Sumber tersebut memberitahukan
bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu
Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan
Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam
ke daerah Kalsel kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa
ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah
dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa
dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi
institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian
Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan
setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar
terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar
Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan
antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung
Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari
ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri
Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena
sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan mengeluarkan darah.
Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi yang berasal dari Surabaya.
Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia
dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua orang putera
Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri,
Raden Sekar Sungsang kemudian diambil menjadi menantu Sunan Giri dan bergelar
Sunan Serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan
sampai ke Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang
adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan
dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu
penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri
Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu
hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya
menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya
tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang
menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari
Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang menjadi
raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia
berkuasa hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap
tahun.Yang menjadi masalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin
dengan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan
Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk
agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama, adalah hal yang wajar
kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun
keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja
dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum
Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden
Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia
tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa
kemungkinan yaitu bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik
menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang
dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan
Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan
bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung
raja Negara Daha. Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu
kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera
meminta bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat
setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400
pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan
membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877)
halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam
bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di
Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta
tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan
lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika
yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji,
pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan
lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu
tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran
Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama
terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian
membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan
Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil
kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke-
15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya
terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai
setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan
perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan
pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian
perdagangan. Hubungan itu adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya
meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera berhadapan
dengan Raja Daha Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah
cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari
Negara Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya
dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara
Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam
Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau
dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui
tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti
dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan
pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk
mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka
sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber
berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran
Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin
membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera
dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan,
bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para
pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha,
hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus
dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah,
mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah
raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa
pergantian raja-raja dari Negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1. Maharaja Sari
Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2. Maharaja Sukarama
3. Pangeran Mangkubumi/Raden
Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang
lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh
yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan
dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Islam Banjarmasin.
C.
ISLAM MASUK DI KALIMANTAN TIMUR
Kerajaan Islam di
Kalimantan timur adalah Kesultanan Kutai yang merupakan kelanjutan dari
kerajaan Hindu Kutai Kartanegara yang sudah berdiri sejak tahun 1300. Pada masa
pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600) kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan
dua orang ulama dari Makassar, yaitu Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang
bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang
Parangan. Seperti yang di kisahkan dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua
ulama tersebut adalah untuk menyebarkan agama islam dengan cara mengajak Aji
Raja Mahkota Untuk memeluk agama Islam, pada awalnya ajakan ulama ini di tolak
oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama di kerajaan Kutai Kartanegara
adalah Hindu.
Langkah dakwah kedua ulama
ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota di tolak oleh sang Raja. Karena langkah
dakwah ini buntu, Tuan ri Bandang memutuskan kembali ke Makassar dan
meninggalkan tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan
akhir, Tunggang Parangan menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk
mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja
bersedia untuk memeluk islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota yang akan
menang maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai
Kartanegara. Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja Mahkota. Adu
kesaktian akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota.
Sebagai konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota Akhirnya masuk Islam. Sejak
Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi
dengan kerajaan majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh
Islam dan sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama hindu kemudia
tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.
Islam yang datang diterima
dengan baik oleh Kerajaan Kutai dan kemudian berubah menjadi kesultanan pada
abad ke-18. Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan
Aji Muhammad Idris 1732-1739. Pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad
Idris, beliau pergi ke Sulawesi Selatan untuk menolong rakyat Sulawesi yang
sedang berperang melawan penjajahan Belanda. Sehingga tahta kesultanan Kutai
direbut oleh Aji Kado yang resmi menjadi Sultan dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Aliyuddin (1739-1780). Tahta kesultanan kutai sebenarnya akan
diberikan kepada Aji Imbut putra mahkota Sultan Aji Muhammad Idris ,
namun karena usianya yang masih belia, Aji Kado mengambil alih kesultanannya. Setelah
Aji Imbut dewasa dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai denga gelar Aji
Muhammad Muslihuddin (1780-1816). Sejak itu dimulai perlawanan terhadap Aji
Imbut. Karena Aji Imbut mendapat bannyak bantuan dari rakyat
sehingga ia dapat memenangi perlawanan Aji Muhammad Aliyuddin dihukum mati.
Dalam kesultanan Kutai
Islam dijadikan sebagai agama resmi Negara. Para ulama mendapat kedudukan
terhormat sebagai penasehat sultan dan pejabat-pejabat kesultanan, disamping
sebagai hakim. Hukum Islam diberlakukan dalam menyelesaikan perkara perdata dan
keluarga. Sehingga ajaran Islam sangat berpengaruh di daerah tersebut.
Masa kejayaan Kesultanan
Kutai ialah pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muslihuddin dan Sultan
Muhammad Salihuddin. Pada masa itu Kesultanan Kutai tampil sebagai daerah
maritime yang memiliki armada pelayaran yang meramikan perdagangan. Hasil
rempah yang dihasilkan Kesultanan Kutai diantaranya adalah lada, kopi, kopra,
dan rempah-rempah. Sedangkan barang yang masuk ke daerah Kutai yaitu, sutra,
porselin, dll. Para pedagang dari Kesultanan Kutai sangat aktif berlayar di
Kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Filipina, dan Cina.
D.
ISLAM MASUK DI KALIMANTAN TENGAH
1. Islam Masuk di Wilayah
Kotawaringin
Seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di
Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai
Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh Sultan
Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede kemudian ditugaskan menyebarkan
Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan
baru di wilayah ini.
Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun
wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi jabatan
kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat Patih
Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun, hadiah yang
paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah dibangunnya sebuah
masjid yang kelak bukan sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga
sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para
pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40 orang,
Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan belantara menjadi sebuah
kawasan permukiman yang cukup maju. Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini
menjadi salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar Kiai Gede dan para
pengikutnya. Kiai Gede membangun Sebuah Masjid yang bernama Masjid Kiai Gede,
Mesjid ini menjadi saksi sejarah
perkembangan Islam di Kotawaringin. Masjid Kiai Gede dibangun
pada tahun 1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa
pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat dari Kesultanan Banjarmasin.
2. Islam Masuk Di Wilayah Mandomai
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah
umum lainnya, Islam masuk ke daerah Mandomai melewati jalur perniagaan,
pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam
ini mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan
Islam masuk ke daerah Mandomai ini abad ke-18, para penghuni “huma hai” pun
tertarik dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan
kehidupan manusia, penyebaran Islam begitu pesat di Mandomai, hal ini terbukti
dari adanya pembauran budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan
makam yang berbentuk tinggi seperti sapundu (titian menuju surga menurut ajaran
agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di sebuah makam seorang penghuni
“huma hai” yaitu Oedjan.
Perkembangan Islam di Mandomai berkaitan erat
dengan seorang tokoh di “huma hai” yaitu Oedjan ini, ayah Oedjan berasal dari
daerah Palingkau, tepatnya Doesoen Timoer Patai, Oedjan adalah anak dari
Damboeng Doijoe yang juga disebut seorang Temenggung Madoedoe sepupu dari
Soetawana ayah Soetarnoe di Tamiang Layang, Temenggung Madoedoe ini anak dari
Djampi yang merupakan kakek dari Oedjan yang sudah memeluk Ajaran Islam. Oedjan
ini menikah dengan seorang gadis keturunan Portugis yang bernama Makau (Saleh),
dari perkawinannya ini di anugerahi 9 anak yaitu Sahaboe, Oemar, Aloeh, Galoeh,
Soci, Ali, Esah, Tarih, dan Njai.
a. Hubungan kekerabatan ‘huma hai” dan orang Kuin, Bandarmasih
Abdullah bin Abu Samal memiliki dua orang
Isteri, yang pertama beliau beristeri dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim yang
masih keturunan Habib Pajar, kemudian isteri beliau yang kedua adalah Datuk
Mantjung, dari istrinya yang pertama beliau dianugerahi 7 orang anak dan dari
isterinya yang kedua beliau dianugerahi 6 orang anak. Yang berkaitan erat
hubungannya dalam perkembangan Islam adalah berbesannya Abdullah bin Abu Samal
dengan Oedjan bin Damboeng bin Djampi, yakni anak dari Abdullah bin Abu Samal
dengan isterinya yang pertama yaitu KH. Abdul Gapoer dengan anaknya Oedjan bin
Damboeng dari isterinya yang bernama Makau (Saleh) yaitu anaknya yang ke-7
bernama Esah, dari pernikahan ini lahir 2 orang putra yang berpengaruh dalam
perkembangan Islam maupun perjuangan mencapai kemerdekaan yakni Igak dan H.M.
Sanoesi yang sekarang makamnya ada di makam pahlawan di Kabupaten Pulang Pisau.
Menurut sumber sejarah dikatakan bahwa Abu Samal yang merupakan ayah dari
Abdullah adalah masih kerabat dekat dengan Raja Banjar yaitu Sultan Suriansyah
yang kubahnya sekarang ada di Kuin, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
b. Pesatnya perkembangan Islam ditandai dengan dibangunnya sarana tempat ibadah.
Pada tahun 1903, tepatnya pada tanggal
04-08-1903 didirikanlah sebuah Mesjid Jami Al-Ikhlas, yang di prakarsai oleh 4
tokoh masyarakat yaitu Rahman Abdi bin H. Muhammad Arsyad (Kuin), Abdullah bin
H. Muhammad (penghulu Mandomai), Sabri bin H.Muchtar, Sahaboe bin H. Muhammad
Aspar. Nama-nama para pemprakarsa pembangunan mesjid ini terpahat di 4 tiang
mesjid Jami Al- Ikhlas ini yang disebut “4 tiang guru”.
H. Muhammad Aspar ini sepupunya H. Muhammad
Sanoesi dan Igak yang juga keponakan dari KH. Abdul Gapoer (Tokoh syiar Islam
di Mandomai). Mesjid ini dilihat dari arsitekturnya mengadopsi dari arsitek
mesjid-mesjid yang ada di Kalsel, bangunannya hampir serupa dengan Mesjid Jami
yang ada di kelurahan Mambulau ketika belum di renovasi, yang selama ini di klaim
sebagai Mesjid tertua yang ada di Kabupaten Kapuas, namun dari bukti sejarah
yang telah kami telusuri dan terdapat bukti-bukti kebenaran sejarahnya,
ternyata mesjid tertua yang ada di kabupaten Kapuas adalah Mesjid Jami
Al-Ikhlas yang menurut perhitungan penanggalan tahun masehi sudah berusia
kurang lebih 107 tahun, ini dihitung dari peletakan batu pertama pembangunannya
sampai dengan sekarang, mesjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi
dengan tidak merubah bentuk aslinya secara keseluruhan, namun bentuk kubah,
dinding, atap, bentuk jendela dan pintunya sudah mengalami perubahan. Selama
ini mesjid bersejarah ini kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah, artikel
singkat ini sengaja kami susun dengan penilitian yang seksama agar kiranya
nilai sejarah perkembangan Islam di Kecamatan Kapuas Barat, Kelurahan Mandomai
ini tidak terlupakan oleh kaum muslimin dan muslimat di Kabupaten Kapuas yang
mencintai akar sejarah penyebaran ajaran agamanya dan menjadi semangat baru
dalam syiar agama Islam dimasa yang akan datang.
E. PENDIDIKAN ISLAM DI KALIMANTAN
1. Pendidikan Islam di Kalimantan
Pendidikan Islam di Kalimantan dipelopori oleh
Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918 M, hal ini menjadi
inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang
lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
a.
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri
pada tahun 1922 M. Proses pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah
1 tahun kursus vak agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah
pengetahuan umum.
b. Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak,
didirikan pada tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat
pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun.
Materi yang diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu
umum.
c. Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) didirikan pada tanggal
15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya selama 5
tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat
dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP
Negeri.
d. Madrasah Normal Islam Amuntai, didirikan pada tahun 1928
oleh H. Abdur Rasyid, seorang lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama Arabische
School. Pada akhir 1941 tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M. Arif Lubis,
(guru di Pondok Modern Gontor Ponorogo) dan berubah namanya menjadi Ma’had
Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama madarasah berubah menjadi sekolah guru
dengan nama Normal Islam IMI Amuntai, dengan lama pelajaran selama 6 tahun dan
rencana pelajarannya disesuaikan dengan hajat masyarakat.
Selain madrasah-madrasah tersebut banyak madrasah
lainnya, seperti Madrasah Imad Darussalam di Martapura, Sekolah Menengah Islam
di Kandangan, Madrasah Al-Ashriah di Banjarmasin dan lain-lain.
2. Organisasi Perkumpulan Madrasah
Di kalimantan ada beberapa organisasi perkumpulan
madrasah, diantaranya :
a. Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PERMI), didirikan di Pontianak
pada tahun 1954 dengan tujuan untuk menyatukan nama madrasah dengan nama yang
sederhana yaitu Madrasatul Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah.
Tujuan lainnya adalah menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan
kitab-kitab keluaran Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada
madrasah-madrasah itu terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum
dengan porsi pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30%. Permi juga mempunyai
tujuan untuk menyatukan madrasah-madrasah dalam organisasi ini.
b.
Ikatan Madrasah Islam (IMI) Amuntai, didirikan pada tanggal 15 Maret 1945
dengan tujuan menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas
berdirinya perguruan tinggi Islam dan memperbaiki organisasi dan leerplan
perguruan-perguruan Islam yang telah ada agar sesuai dengan hajat hidup orang
banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan
rapat-rapat dengan guru-guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan
perguruan-perguruan Islam jika memungkinkan, menggabungkan perguruan-perguruan
Islam menjadi satu serta memberikan arahan-arahan kepada perguruan-perguruan
Islam tentang pendidikan, pengajaran dan organisasi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam pertama kali masuk
di Kalimantan adalah di daerah utara tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun
1500 M. Setelah raja Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi
pusat penyiaran agama Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam
yang lain adalah di Kalimantan Barat di dekat Muara Sambas. Islam masuk ke
daerah ini diperkirakan pada abad XVI di bawa oleh orang-orang dari Johor,
menyusul kemudian daerah Sambas ditaklukkan oleh kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di
Kalimantan Selatan terjadi sekitar 1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan
bahwa raja-raja di Kalimantan Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat
bantuan dari Sultan Demak.
Daerah Timur Kalimantan
terdapat kerajaan Bugis yang mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M.
Islam masuk ke daerah ini melalui jalan perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri
raja di daerah ini.
Setelah Islam datang ke
Indonesia terutama di Pulau Kalimantan banyak perubahan-perubahan yang terjadi
terutama bagi rakyat yang menengah ke bawah. Mereka lebih di hargai dan tidak
tertindas lagi karena Islam tidak mengenal sistem kasta, karena semua
masyarakat memiliki derajat yang sama. Islam juga membawa perubahan-perubahan
baik di bidang politik, ekonomi dan agama. Islam juga bisa mempersatukan
seluruh masyarakat Indonesia untuk melawan dan memgusir para penjajah.
B. SARAN
Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak
sekali kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat
memberikan saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas
kelompok kami ini
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam
Seminar Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di
Indonesia", Jakarta:
Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet .
ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999
http://kesultanankadriah.blogspot.com/2011/01/islamsejarah-masuknya-ke-kalimantan.html
http://khuzmayudi.blogspot.com/2013/03/sejarah-pendidikan-islam-di-kalimantan.html
http://kota-islam.blogspot.com/2013/10/sejarah-masuknya-islam-di-kalimantan.html
http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-kalimantan.html
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/20/masuknya-islam-di-kalimantan-bag-3-548367.html
http://senyumislam.wordpress.com/2012/09/10/perkembangan-islam-di-kalimantan-barat/
International Institute of Islamic
Thought, Lembaga Studi Agama dan
Filsafat UIN Jakarta, 10 Juni 2003
saya ijin copas beberapa isinya :)
ReplyDeletesangat membantu saya melengkapi tugas makalah saya
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteIzin Copas ya kak
ReplyDelete