BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Semakin canggihnya ilmu
pengetahuan, semakin majunya peredaran zaman dan manusiapun beragam. kemewahan di bidang harta
tidak akan menjamin kebahagiaan seseorang jika orang tersebut tidak bisa
menikmati kekayaan itu, apalagi bagi orang yang serba kekurangan atau merasa
kurang cukup terus-menerus. Banyak anak-anak yang tidak patuh lagi kepada orang
tuanya, tentunya sangat dikhawatiran yang mengakibatkan perasaan tidak tenang
dan selalu gelisah, bahkan banyak orang yang mengalami penyakit stress yang
mereka sendiri tidak tahu obatnya, mencari tempat berpegang kepada siapa dan
bagaimana cara menenangkan perasaan yang stress itu, bahkan mereka sering
bingung, dihinggapi rasa takut dan rasa bersalah yang tidak tahu sebabnya.
Oleh karena itu, tentu
sangat perlu dijelaskan bagaimana pendidikan anak sebelum lahir, masa bayi,
masa kanak-kanak, dewasa, bahkan sampai mereka tua. Pendidikan anak pada usia
dini juga sangat dianjurkan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan. Karena pendidikan agama islam sejak dini sengat berpengaruh
terhadap pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Proses belajar dan
pembelajaran bisa dilakukan pada jalur formal maupun informal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA
Agama Islam di lingkungan keluarga berlangsung
antara orang-orang dewasa yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
pendidikan agama, dan anak-anak sebagai sasaran pendidikannya. Sedang ibu dalam
kaitannya dengan pendidikan agama di lingkungan keluarga, maka kedudukannya
sebagai pendidik yang utama dan pertama, dalam kedudukannya sebagai pendidik,
maka seorang ibu tidak cukup hanya memanggil seorang guru agama dari luar untuk
mendidik anaknya di rumah, dan bukan dalam pengertian yang demikianlah yang
dimaksud dengan pendidikan agama di lingkungan keluarga. Akan tetapi lebih
ditekankan adanya bimbingan yang terarah dan berkelanjutan dari orang-orang
dewasa yang bertanggung jawab di lingkungan keluarga untuk membimbing anak.
Pengertian yang jelas tentang pendidikan agama
yang dilakukan di lingkungan keluarga interaksi yang teratur dan diarahkan
untuk membimbing jasmani dan rohani anak dengan ajaran Islam, yang berlangsung
di lingkungan keluarga. Dalam pelaksanaannya, maka proses pendidikan pada
umumnya terbagi pada dua bagian besar, yakni pendidikan sekolah dan pendidikan
luar sekolah. Hal ini berdasar pada: “Maka proses belajar itu bagi seseorang
dapat terus berlangsung dan tidak terbatas pada dunia sekolah saja.
Dorongan atau motivasi kewajiban moral, sebagai
konsekwensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini
meliputi nilai-nilai religius spiritual yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa
dan agama masing-masing, di samping didorong oleh kesadaran memelihara martabat
dan kehormatan keluarga.
Dalam kutipan yang pertama di atas dikemukakan
bahwa lingkungan keluarga itu amat dominan dalam memberikan pengaruh keagamaan
terhadap anak-anak, sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan keluarga dalam
kaitannya dengan pendidikan agama sangat menentukan baik keberhasilannya.
Sehingga amat disayangkan kalau kesempatan yang baik dari lingkungan pertama
yaitu keluarga itu disia-siakan atau dilalui anak tanpa pendidikan agama dari
pihak ibu dan bapak serta orang yang bertanggung jawab di sekitarnya.
Dalam hubungannya dengan kelanjutan pendidikan
atau kehidupan anak di masa mendatang, maka pendidikan di lingkungan keluarga,
termasuk di dalamnya pendidikan agama, hal itu merupakan sebagai tindakan
pemberian bekal-bekal kemampuan dari orang tua terhadap anak-anaknya, dalam
menghadapi masa-masa yang akan dilaluinya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan di sekolah maka sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan atau sebagai pelengkap dari pendidikan yang berlangsung di bangku sekolah. Dan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, maka sebagai upaya untuk mempersiapkan diri agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan di sekolah maka sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan atau sebagai pelengkap dari pendidikan yang berlangsung di bangku sekolah. Dan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, maka sebagai upaya untuk mempersiapkan diri agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Secara sepintas pembahasan tentang dasar
pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga ini telah disebutkan di
atas, yaitu atas dasar cinta kasih seseorang terhadap darah dagingnya (anak),
atas dasar dorongan sosial dan atas dasar dorongan moral.
Akan tetapi dorongan yang lebih mendasar lagi
tentang pendidikan agama di lingkungan keluarga ini bagi umat Islam khususnya
adalah karena dorongan syara (ajaran Islam), yang mewajibkan bagi orang tua
untuk mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih pendidikan agama.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas,
yang dapat mendorong orang tua agar mendidik anak-anak di lingkungan keluarga,
ada lagi satu hal yang perlu diperhatikan yaitu; mengingat kondisi anak itu
sendiri, baik secara fisik maupun mental ia mutlak memberikan bimbingan dan
pengembangan ke arah yang positif. Kalau tidak maka dikhawatirkan fitrah yang
tersimpan, yang merupakan benih-benih bawaan itu akan terlantar dan menyimpang.
Perlu diingat bahwa pada diri anak itu terdapat
kecenderungan-kecenderungan ke arah yang baik, akan tetapi dilengkapi dengan
kecenderungan ke arah yang jahat. Maka tugas pendidik dalam hubungan ini adalah
menghidup-suburkan kecenderungan ke arah yang baik.
Oleh karena itu benih-benih potensial yang
mampu mendorong anak untuk mengembangkan pribadinya dalam alternatif pemilihan
lapangan hidup manusia di masa dewasanya sesuai bakat dan kemampuan. Pendidikan
Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan
berakhlak mulia. Akhlak mulia menyangkut etika, budi pekerti, dan moral sebagai
manifestasi dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada
optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Allah SWT.
Pendidikan Islam diberikan dengan mengikuti
tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan
manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan
untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling
menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal dan social.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar
pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga adalah karena didorong oleh
beberapa hal yaitu:
1.
Karena dorongan cinta kasih terhadap keturunan
2.
Karena dorongan atau tanggung jawab sosial
3.
Karena dorongan moral
4.
Karena dorongan kewajiban agamis
Dan dorongan agama inilah yang membuat
kedudukan orang tua lebih besar tanggung jawabnya dalam pendidikan karena
dorongan kewajiban ini langsung diperintahkan Allah.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang
diproses oleh seseorang di dalam lingkungan rumah tangga atau keluarga. Sistem
pendidikan ini merupakan unsur utama dalam pendidikan seumur hidup, terutama
karena sifatnya yang tidak memerlukan formalitas waktu, cara, usia, fasilitas,
dan sebagainya. Pada dasarnya, masing-masing orang tua adalah orang yang paling
bertanggung jawab atas pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka tidak hanya
berkewajiban mendidik atau menyekolahkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan. Akan
tetapi mereka juga diamanati Allah SWT untuk menjadikan anak-anaknya bertaqwa
serta taat beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an
dan Hadits..
Dalam mendidik dan
menumbuh kembangkan anak-anak, orang tua atau tokoh ibu dan bapak sangat
memegang peranan yang sangat penting, baik-buruknya kelakuan anak, orang tualah
yang memegang peranan. Pendidikan rumah tangga ini disebut juga dengan
pendidikan informal. Peranan ibu dan bapak antara lain :
1.
Ibu bapak sebagai pengatur kebersihan anak
2.
Ibu bapak sebagai teladan bagi anak
3.
Ibu bapak sebagai pendorong dalam tindakan anak
4.
Ibu bapak sebagai teman bermain
5.
Ibu bapak sebagai pengayom jika anak merasa takut
6.
Ibu sebagai penjaga utama kesehatan anak dan sebagai teman bermainan
kepribadian
Dalam hubungan ini
orang tua perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan agama bagi anggota
keluarga. Khususnya anak, karena akan sangat berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti dan anak. Oleh sebab itu orang tua
berkewajiban untuk memberikan bimbingan dan contoh konkrit berupa suri tauladan kepada anak
agar mereka dapat hidup selamat dan sejahtera.
Sasaran
Pendidikan Agama ditujukan kepada semua manusia sesuai dengan misi nabi
Muhammad saw yaitu untuk seluruh alam. Ditujukan mulai kepada anak usia dini,
remaja, dewasa dan lanjut usia yang disebut Long Live Education (pendidikan
seumur hidup).
Pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dimulai
dari anak dilahirkan sampai berumur 6 tahun dengan tahapan sebagai berikut :
1.
Masa bayi (0-2
tahun), di telinga sebelah kanan bagi anak laki-laki dan diqamatkan di telinga
sebelah kiri bagi perempuan.
2.
Aqiqah, pada
hari ke tujuh kelahiran seorang bayi disunnahkan bagi orang tua atau walinya
untuk melakukan aqiqah yakni menyembelih satu ekor kambing bagi anak perempuan
dan dua ekor kambing bagi anak laki-laki.
3.
Khitanan,
peranan ibu sangat dominan dalam menanamkan pendidikan agama kepada anak di
usia ini. Setiap hari seorang ibu perlu memperhatikan perkembangan yang terjadi
pada anaknya baik secara biologis maupun psikisnya. Perkembangan anak sesuai
dengan tahap-tahap umur tertentu yang perlu diketahui orang tua agar bisa
memperlakukan anak dengan benar. Anak berumur 6 tahun tidak disebut bayi
lagi, tetapi sudah disebut anak-anak masanya pun disebut masa kanak-kanak.
B.
PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SEKOLAH
Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam
pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik
sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi
dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari
luar, datangnya dari keyakinan beragama. Pendidikan agama
di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi
jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai
dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran,
emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada
akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta
didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau
seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk
mendukung tujuan pendidikan yang ada.
Terdapat
tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pertama
sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan sekolah swasta
yayasan agama dan sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti madrasah dan
seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan sumber
pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan
intervensi pada kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut
mempengaruhi karakter sekolah. Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait
dengan persoalan multikulturalisme dalam masyarakat.
Pada sekolah negeri dan
swasta umum non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah
menurut agama yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama
di sekolah seperti ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa
pemisahan siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman
kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan).
Di kalangan peserta
didik di sekolah Negeri pelajaran agama berlangsung lebih teratur dan siswa
beragam agama hampir selalu mendapatkan guru pelajaran agama sesuai dengan
keyakinan para siswa karena secara umum pemerintah mengusahakan guru agama bagi
semua peserta didik. Sebagai milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di
sekolah negeri mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan.
Pada sekolah-sekolah
yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli agama seperti di madrasah atau
seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk
mendukung tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini
menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih luas, yang
dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga. Minimnya pengalaman
akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya dengan sensitivitas pada yang
berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda hanya akan berkembang ketika ada
pengalaman dengan yang berbeda dan menggerti adanya perspektif yang berbeda juga.
Di sekolah umum yayasan
keagamaan di mana biaya operasional secara umum ditanggung oleh yayasan dan
wali murid, terdapat kebijakan sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan.
Keunikan ini tampak dalam penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun
kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan melalui
pendidikan.
Pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah lebih banyak pada soal jaminan kualitas pendidikan,
tetapi umumnya tidak menyentuh pada soal keunikan sekolah yayasan keagamaan.
Baru menjelang penetapan Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
tahun 2003, banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya
diganggu terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua sekolah
memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa.
Hingga tahun 2009 ini banyak sekolah yayasan keagamaan yang tidak bisa memenuhi
tuntutan pasal 13 UU no,20 tahun 2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru
dan alasan lain adalah menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak
memaksa siswa untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.
Menurut teori
pendidikan Islam, teori pendidikan anak dimulai jauh sebelum anak diciptakan.
Dalam hubungan ini orang tua perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan agama
islam setiap anggota keluargakhususnya bagi anak-anak. Pendidikan agama yang
ditanamkan sedini mungkin kepada anak-anak akan sangat berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti dan kepribadian mereka.
Oleh sebab itu orang
tua berkewajiban untuk memberikan bimbingan dan contoh konkrit berupa suri
tauladan kepada anak-anak bagaimana seseorang harus melaksanakan ajaran agama
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, agar mereka dapat hidup selamat dan
sejahtera. Jadi, keluarga mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.
Keluarga Sebagai Wadah Utama Pendidikan
2.
Pembentukan Keluarga. Keluarga ialah
masyarakat terkecil sekurang kurangnya terdiri dari pasangan suami isri sebagai
sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Agar tujuan terlaksana
maka perlu meningkatkan tentang bagaimana membina kehidupan keluarga sesuai
dengan tuntutan agama dan ketentuan hidup bermasyarakat .
3.
Pembinaan Keluarga, adalah segala upaya
pengelolaan atau penanganan berupa merintis, meletakkan dasar, melatih,
membiasakan, memelihara, mencegah, mengawasi, menyantuni, mengarahkan serta
mengembangkan kemampuan suami istri untuk mencapai tujuanmewujudkan keluarga
bahagia sejahtera dengan mengadakan dan menggunakan segala dana dan daya yang
dimiliki.
Sekolah umum di bawah
yayasan non keagamaan dan keagamaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk
membuat eksperimentasi pendidikan agama yang salah satunya bisa menjadi
tanggapan atas masyarakat yang multikultural.
C.
PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MASYARAKAT
Dalam kacamata
multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk mengikuti salah satu dari 5
macam pendidikan agama, bagi para penganut agama dan kepecayaan di luar agama
resmi adalah memutus generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi
berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah
beberapa generasi. Namun hingga saat ini belum ada pihak penganut agama yang
termarjinalkan secara sistematis mempersoalkan pelajaran agama yang pada masa
pemerintahan Soeharto menjadi salah satu syarat kenaikan kelas.
Namun ketika pelajaran
agama tidak lagi menentukan kelulusan dan tidak menjadi mata pelajaran yang
diujikan dalam ujian nasional pun tidak ada tanggapan yang kontra. Saat ini ketika generasi yang
mengalami pendidikan agama yang memisahkan siswa karena berbeda agama telah menjadi
dewasa, sekat antar anggota masyarakat pun makin terasa. Para orang tua yang
tidak puas dengan pendidikan agama di sekolah yang dua jam mengirim
anak-anaknya ke sekolah terpadu yang jam pelajaran agamanya jauh lebih banyak.
Anak-anak makin berkurang pengalaman bermainnya dan berkurang juga kesempatan
bertemu dan mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda.
Sementara di sisi lain
Pak Sarjana guru agama yang membawakan pelajaran komunikasi iman mendapat
sambutan dari para orang tua siswa karena telah menemani anak-anak mereka lebih
masuk pada lika-liku kehidupan yang mendewasan bagi anak-anaknya. Meski model
pembelajaran pada komunikasi Iman membingungkan bagi pengawas pendidikan,
pemerintah tidak bisa menghentikan ekperimentasi yang dilakukan oleh Pak
Sartana, terutama karena dukungan masyarakat.
Pendidikan agama yang
dibutuhkan dalam masyarakat multikultur adalah pendidikan agama yang senantiasa
menghadirkan kehidupan yang penuh keragaman, baik latar belakang manusia maupun
keragaman sudut pandang. Untuk itu pelajaran agama sebaiknya berbasis pengalaman
akan memecah kebekuan ajaran agama yang tertutup dan tidak melihat realitas
secara hitam putih. Di
sekolah yang melakukan pemisahan siswa beda agama pada jam pelajaran agama
perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak berpengaruh buruk pada rasa aman dan
nyaman dengan penganut agama yang berbeda. Hilangnya rasa aman dan nyaman akan
merusak saling percaya antar anggota masyarakat yang mana saling percaya ini
merupakan modal sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang adil dan
beradab.
Pendidikan
agama berbasis pengalaman meniscayakan perubahan paradigma dalam melihat relasi
guru-siswa dan dalam melihat sumber belajar serta proses pembelajaran.
Pengalaman hanya mungkin menjadi sumber belajar ketika guru dan murid merasa
setara, masing-masing merasa mempunyai kelebihan dan kekuarangan untuk mengkaji
bersama dengan berbagai sudut pandang. Dalam menilai keberhasilan/kegagalan
belajar, pendidikan agama membutuhkan model evaluasi yang tidak menggunakan
angka, tetapi didasarkan pada praktek hidup yang partisipatif dan
bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungan.
Pelajaran agama untuk
siswa dari beragam agama bisa dilakukan dengan saling berbagi pengalaman
penghayatan keimanan, berbagi informasi dan pengetahuan siswa tentang agamanya.
Cara belajar seperti ini mendorong siswa untuk lebih aktif dan bertanggung
jawab dalam mendalami agamanya dan pada saat bersamaan membiasakan sikap hormat
dan simpati bagi penganut agma yang berbeda.
Masyarakat merupakan
kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda yang menyatu dan mematuhi
peraturan yang ditetapkan, mempunyai hubungan kekerabatan yang baik, baik antar
suku maupun antar bangsa. Untuk
memberikan pendidikan agama pada masyarakat, bisa dengan cara mendirikan majlis
taklim atau pengajian-pengajian di desa masing-masing. Pengajian ini
dilaksanakan dari satu tempat ke tempat lain dengan mendatangkan narasumber
yang diminta untuk memberikan suatu materi pendidikan sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Dalam
pendidikan agama Islam ada 3 istilah umum yang digunakan, yaitu al-Tarbiyat,
al-Ta’lim dan al-Ta’dib. Tarbiyat mengandung arti memelihara, membesarkan dan
mendidik yang kedalamnya sudah termasuk makna mengajar atau allama. Tarbiyat didefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani,
ruh, dan akal) secara maksimal agar dapat menjadi bekal dalam menghadapi
kehidupan dan masa depan.
Selanjutnya,
Syed Naguib al-Attas merujuk makna pendidikan darikonsep ta’dib, yang mengacu
kepada kata adab dan variatifnya. Dari pemikiran tersebut ia merumuskan
definisi pendidik adalah membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang
sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkah lakusecara proposional dan cocok
dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya. Menurut Naguib al-Attas
selanjutnya, bahwa pendidikan islamlebih tepat berorientasi pada ta’dib.
Sedangkan tarbiyat dalam pandangannya mencakup obyek yang lebih luas , bukan
saja terbatas pada pendidikan manusia tetepi juga meliputi dunia hewan.
Sedangkan ta’dib hanyamencakuppengertian pendidikan untuk manusia.
Alasan penyebab manusia sebagai makhluk sosial
memerlukan pendidikan yaitu:
1.
Dalam tatanan kehidupan
masyarakat, ada upaya pewarisan nilai
kebudayaan antara generasi tua ke generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat
tetap berlanjut dan terpelihara. Dalam hal ini PAI di masyarakat di harapkan
dapat memberikan substansi dalam pembentukan akhlak
remaja.
2.
PAI di
masyarakat merupakan agen sosial yang penting setelah sekolah dalam penanaman
nilai, norma serta harapan-harapan dari masyarakat
terhadap pembentukan dan penerapan akhlak remaja.
3.
PAI di
masyarakat merupakan tempat konflik dan solusi dalam keragaman terutama dari
aspek keagamaan. Dengan adanya
sinergi antara pemahaman konsep PAI dari masyarakat dengan media PAI di
masyarakat dapat mengimbangi antara konflik dengan solusi tersebut. Contoh: Perbedaan
agama antara sesama remaja, dengan adanya
pemahaman PAI di masyarakat oleh para remaja diharapkan mereka dapat
menghormati perbedaan tersebut tanpa harus ikut-ikut menyamakan dengan tradisi
agama lain di antara teman sebayanya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan
utama yang secara langsung berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak
didik. Keluarga adalah wadah yang
pertama dan utama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam.
2.
Sekolah adalah lanjutan dari pendidikan keluarga yang mendidik lebih
fokus,teratur dan terarah.
3.
Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan anak
yang ketiga setelah sekolah. Peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana masyarakat bisa
memberikan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi anak, remaja dan
pemuda untuk tumbuh secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment