Thursday, June 9, 2016

HADITS TARBAWI



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah yang memiliki sifat kasih dan sayang kepada umatnya. Beliau selalu menerangkan perkara-perkara yang sangat dibutuhkan oleh umatnya, baik untuk umatnya saat beliau hidup, sampai umat beliau di akhir zaman. Karena kehadiran Rasulullah di muka bumi, maka begitu banyak hadits yang memberikan petunjuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya adalah tentang sifat hasad dan dengki, pola hidup, serta timbangan amal seseorang di akhirat nanti.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana hadits tentang sifat hasad dan dengki?
2.      Bagaimana hadits tentang pola hidup dalam Islam?
3.      Bagaimana hadits tentang timbangan amal seseorang di akhirat nanti?


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Sifat Hasad dan Dengki

عن ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ اْلقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ
Artinya: Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di dalam dua hal, yaitu seseorang yang dianugrahi alqur’an oleh Allah lalu ia tegak dengannya di sepanjang malam dan siang dan seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia menginfakkannya di sepanjang siang dan malam”. [HR al-Bukhoriy: 5025, 7529, Muslim: 815, at-Turmudziy: 1936, Ibnu Majah: 4209 dan Ahmad: II/ 9. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 2108, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1580, Shahih Sunan Ibni Majah: 3392 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7487 ].

Dalam hadits ini menjelaskan bahwa tidak semua sifat dengki atau hasad itu tercela, jika ia hanya ingin berada di atas orang lain dari beberapa karunia atau ingin memiliki karunia sebagaimana orang lain telah memilikinya. Sebab sifat ini adalah merupakan sebagian dari tabiat manusia.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaiminrahimahullah, “Hasad itu ada beberapa tingkatan, [Lihat Syar-h al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 372]
1.         Seseorang berkeinginan untuk berada diatas selainnya. Sifat ini boleh dan bukan hasad.
2.         Ia tidak menyukai nikmat Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada selainnya. Tetapi ia tidak berusaha untuk menurunkan martabat orang yang Allah Azza wa Jalla berikan kenikmatan itu kepadanya namun ia tidak dapat menolak sifat hasad itu. Hal ini tidak membahayakannya tetapi orang selainnya itu lebih mulia darinya.
3.         Sifat dengki itu ada di dalam hatinya dan ia berusaha untuk menurunkan martabat orang yang didengkikannya itu. Maka ini adalah hasad yang diharamkan yang manusia akan dihukum karenanya”.
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa sifat iri dan dengki yang merupakan salah satu dari tabiat manusia itu tidaklah tercela seluruhnya, jika diletakkan dalam kebaikan yakni ia ingin mendapatkan kebahagiaan atau karunia sebagaimana saudaranya telah mendapatkannya. Atau hanya sekedar ingin mempunyai karunia yang lebih dari orang lain dan keinginannya tersebut tidak membawa bahaya atau kemudlaratan bagi orang lain. Sebagaimana dalil berikut ini yang menunjukkan tentang pengecualian dari sifat hasad,
عن ابن مسعود رضي الله عنه عَنِ النِّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكَتِهِ فىِ اْلحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di dalam dua perkara, yakni seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia berkuasa untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang dianugrahi hikmah (alqur’an) oleh Allah lalu ia membuat keputusan dengannya dan mengajarkannya”. [HR al-Bukhoriy: 73, 1409, 7141, 7316, Muslim: 816, Ibnu Majah: 4208 dan Ahmad: I/ 382. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 3393 dan al-Jami’ ash-Shaghir: 7488].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hasad (dengki) itu adalah penyakit berbahaya yang wajib menjauhkan diri darinya dan berhati-hati darinya. Dengki terhadap kebahagiaan itu terpuji jika berada pada jalur kebaikan”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 602].
Maka tidak mengapa seorang muslim merasa iri dengan harta, ilmu atau kelebihannya yang lain dari saudaranya yang mempergunakan semuanya itu untuk berjuang meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla. Ia menginginkan semuanya itu atau bahkan lebih dari itu untuk tujuan yang sama dengan saudaranya tersebut. Hal ini akan memicu dan mendorongnya untuk berusaha mendapatkan keinginannya itu dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.
Tetapi jika rasa iri atau dengki kepada kelebihan saudaranya itu memicu dan mendorong dirinya untuk merusak dan menghilangkan semua atau sebahagian kelebihannya itu dengan cara-cara yang dilarang, misalnya berupa menebarkan ghibah, fitnah dan sejenisnya maka perbuatan ini jelas diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa besar.

B.       Pola Hidup Seorang Mukmin

حدثنا سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن عدي بن ثابت عن أبي حازم عن أبي هريرة أن رجلا كان يأكل أكلا كثيرا فأسلم, فكان يأكل أكلا قليلا فذكر ذلك للنبي ص فقال: إن المؤمن يأكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء- رواه البخاري فى كتاب الأطعمة باب المؤمن يأكل فى معى واحد.

Artinya: Hadits diterima dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang terbiasa makan banyak, tatkala dia masuk Islam, maka ia (mengurangi porsi) makan sedikit, lalu hal itu diadukan kepada Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda, “ sesungguhnya orang mukmin itu makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan dalam tujuh wadah.”

Hadits dengan matan sebagaimana diatas direkam oleh Imam Bukhari dalam shohihnya kitab al-ath’imah (makanan-makanan) Bab al-Mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 5397 dari jalan periwayatan sahabat Abu Hurairah r.a. beliau berkomentar, dalam sanad tersebut terdapat Abu Hazm yaitu Salman (dengan disukunkan lam) al-Asyja’i, bukan Salamah bin Dinar al-Zahid yang dia lebih muda dari al-Asyja’i dan tidak bertemu dengan Abu Hurairah.
Imam Muslim mencatatnya dalam kitab al-Asyribah (minuman-minuman) bab al-mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin wal kafiru ya’kulu fi sab’ati am’ain (orang mukmin makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan pada tujuh wadah) dengan nomor hadits 2060, 2061, 2062, 2063. Sunan Tirmidziy dalam Abwab al-ath’imah (bab makanan-makanan) bab ma ja’a annal mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin (tentang orang mukmin yang makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 1878 dan 1879. Hadits nomor 1878 beliau komentari dengan hasan shohih, sedangkan hadits 1879 beliau komentari dengan hasan ghorib. Matan kedua hadits riwayat Tirmidziy diatas senada dengan riwayat Bukhari diatas.
Imam Malik mencatat hadits tersebut dalam kitab sifat al-Nabi Saw (Pribadi Nabi Saw) bab ma ja’a fi mi’al kafir (hal-hal yang berkenaan dengan wadah orang kafir) dengan nomor hadits 9 dan 10. Imam al-Darimi mencatatnya dalam kitab Ath’imah (makanan-makanan) bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan dalam satu wadah) dengan hadits nomor 2040 dan 2043. hadits tersebut juga tercatat dalam Musnad Abdur Razak pada bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 19558 dan 19559.
Dalam riwayat Muslim dari jalan Abu Sholih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi kedatangan tamu orang kafir, lalu dihidangkan kepadanya air susu hasil perahan dari satu ekor kambing, lalu tamu tersebut meminumnya, kemudian dia minum lagi kemudian lagi hingga mencapai perahan tujuh ekor kambing. Tatkala pagi harinya dan tamu tersebut masuk Islam lalu dihidangkan kembali satu perahan susu satu ekor kambing, lalu dia meminumnya, kemudian dihidangkan kembali perahan yang kedua tetapi dia tidak menyentuhnya. Orang tersebut adalah Tsumamah bin Atsal, ada yang mengatakan Jahjah al-Ghifari, dan ada juga yang mengatakan Nadlrah bin Abi Nadlrah al-Ghifari.
Dalam konsep hidup seorang muslim, kehidupan di dunia bukan merupakan tujuan akhir dari perjalanannya, melainkan sekedar transit untuk mempersiapkan bekal demi perjalanan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat. Hal ini tercermin dari cara pandang dan penyikapannya terhadap dunia itu sendiri. Bahkan Rasulullah Saw berpesan agar seorang muslim harus memposisikan diri sebagai orang yang asing atau hanya sekedar menjadi seorang penyeberang jalan, yang tidak pernah terlena oleh gemerlapnya tempat persinggahan dan indahnya lampu jalanan. Imam al-Ghazali mengibaratkan dunia ini tidak lebih dari sekedar tempat bercocok tanam yang akan ditunai hasilnya di akhirat nanti. Alqur’an mendefenisikan kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau belaka (Qs. Al-Ankabut (29):64). Meskipun demikian, harus ada penyikapan yang proporsional, dalam artian, tujuan akhir bukan berarti menafikan akan wasilah yang menjadi penghubungnya (Qs. Al-Qashash (28): 77).
Hadits diatas yang menjadi pembahasan penulis mengisyaratkan akan adanya perbedaan antara orang muslim dan orang kafir dalam menyikapi kehidupan dunia, sehingga tampak dari cara makannya. Nabi Saw mencela seorang muslim yang memenuhi seluruh isi perutnya dengan makanan, hendaknya perut tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari makanan, air dan nafas (Hr. Tirmidziy dengan derajat hasan). Dalam haditsnya yang lain, Nabi bersabda bahwa “Kami adalah suatu kaum, yang tidak akan makan kecuali setelah merasa lapar dan berhenti sebelum kekenyangan”. Pola hidup seperti ini ternyata dapat kita teladani dari Nabi Saw sendiri dan keluarganya. Sayyidah Aisyah meriwayatkan,
“Keluarga Muhammad Saw tidak pernah dikenyangkan oleh roti yang terbuat dari gandum (kualitas baik) selama dua hari berturut-turut hingga Rasulullah Saw wafat” (Hr, Bukhari dan Muslim).
Bahkan dalam riwayat lain, Nabi Saw wafat dengan baju besi yang tergadai di tangan orang yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum (Hr. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar memberikan beberapa kemungkinan tentang maksud hadits yang dijadikan materi pokok makalah penulis, diantaranya adalah bahwa seorang muslim itu sangat sedikit keinginannya akan makanan sehingga Allah memberikan berkah dari makanan yang sedikit tersebut sehingga merasa kenyang dengannya,berbeda dengan orang kafir yang sangat tamak terhadap makanan sehingga tidak pernah merasa cukup dengan makanan yang sedikit.
Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadhus sholihin bab keutamaan zuhud akan dunia serta anjuran untuk sederhana, menyertakan satu hadits yang bersumber dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya akan dicintai Allah dan juga sekaligus dicintai oleh manusia. Nabi Menjawab,

ازهد فى الدنيا يحبك الله, وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
“berlaku zuhudlah akan dunia, Allah akan mencintaimu dan berlaku zuhudlah akan apa yang dimiliki oleh manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia”. (Hr. Ibnu Majah dengan derajat hasan dan beberapa jalan periwayatan lainnya dengan derajat yang sama).
Zuhud secara bahasa mempunyai pengertian meninggalkan/ berpaling dari sesuatu dikarenakan kehinaannya atau karena sepele (tidak berarti bagi dirinya), sehingga tatkala dikatakan, zuhud akan dunia artinya adalah meninggalkan yang halal karena takut akan hisab-Nya serta meninggalkan yang haram karena takut akan siksa-Nya (al-Mu’jam al-Wasith hal 418). Implementasi dari sikap zuhud ini tercermin dari penyikapannya akan kehidupan dunia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Qs.al-Hadid ayat 23 diatas.

C.      Timbangan Amal Seseorang

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْل الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: يَأتِى الرَّجُلُ التَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ القِيَا مَةٍ لًا




Artinya: Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Yang telah bersabda: Sungguh kelak di hari kiamat akan datang seorang lelaki gendut, tetapi timbangan (amal)nya di sisi Allah tidak menyamai berat sayap nyamuk pun. Lalu Abu Hurairah berkata, “Bacalah oleh kamu ayat berikut jika kamu suka,” yaitu firman-Nya: Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Hadits di atas menjelaskan bahwa ada orang-orang gemuk namun tidak tercela. Dia menjadi gemuk bukan karena malas-malasan, dan bukan karena terlalu banyak makan. Dia tetap menjadi pahlawan bagi umat, dan berusaha melakukan aktivitas yang bermanfaat. Sebagaimana yang dialami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung usia beliau dan beberapa sahabat lainnya.
Aisyah menceritakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُوتِرُ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ فَلَمَّا بَدَّنَ وَلَحُمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir 9 rakaat, setelah beliau mulai gemuk dan berdaging, beliau shalat 7 rakaat. Kemudian shalat 2 rakaat sambil duduk. (HR. Ahmad 26651 dan Bukhari 4557).
Dari Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma,
Saya bertanya kepada pamannya, Ibnu Abi Halah tentang ciri fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم فخما مفخما
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang badannya besar. (as-Syamail al-Muhammadiyah Turmudzi, 1/34).
Sebagian menafsirkan kata: fakhman mufakhaman dengan gemuk.
Mula Ali Qori mengatakan,
وَأَمَّا مَا وَرَدَ أَنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ السَّمِينَ ; فَمَحْمَلُهُ إِذَا نَشَأَ عَنْ غَفْلَةٍ وَكَثْرَةِ نِعْمَةٍ حِسِّيَّةٍ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ رِوَايَةُ يُبْغِضُ اللَّحَّامِينَ
Riwayat yang menunjukkan bahwa Allah membenci orang gemuk, dipahami jika gemuk ini terjadi karena kelalaian, terlalu banyak menikmati kenikmatan lahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat tentang kebencian bagi orang gendut. (Jam’ul Wasail fi Syarh as-Syamail, 1/34).



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Dalam hadits pertama menjelaskan bahwa tidak semua sifat dengki atau hasad itu tercela, jika ia hanya ingin berada di atas orang lain dari beberapa karunia atau ingin memiliki karunia sebagaimana orang lain telah memilikinya. Sebab sifat ini adalah merupakan sebagian dari tabiat manusia.
2.         Hadits kedua menjelaskan dalam konsep hidup seorang muslim, kehidupan di dunia bukan merupakan tujuan akhir dari perjalanannya, melainkan sekedar transit untuk mempersiapkan bekal demi perjalanan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat.
3.         Hadits ketiga menjelaskan bahwa tidak semua orang-orang gemuk itu adalah tercela. Seseorang menjadi gemuk bukan karena malas-malasan, dan bukan karena terlalu banyak makan. Dia tetap menjadi pahlawan bagi umat, dan berusaha melakukan aktivitas yang bermanfaat. Sebagaimana yang dialami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung usia beliau dan beberapa sahabat lainnya.


DAFTAR  PUSTAKA


http://ibnukatsironline.blogspot.co.id/2015/06/tafsir-surat-al-kahfi-ayat-103-106.html
http://asepidris.blogspot.co.id/
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/05/jauhi-sifat-hasad-dengki/
http://www.konsultasisyariah.com/allah-benci-orang-gendut/

No comments:

Post a Comment