1)
Ahmad Kusasi
2)
Herlina Saraswati
3)
Rabiatul Adawiyah B
4)
Sucipto
5)
Tarip Hosen
Lokal / Semester : G
/ IV (Empat)
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI)
Kuala Kapuas
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala
puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pendidikan Islam Menurut Pandangan
Qadariyah, Jabariyah dan Asy-‘Ariyah”, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat
serta salam tak lupa pula kami berikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad
Saw. Beserta keluarga, sahabat, kerabat, dan pengikut beliau hingga akhir
zaman.
Pembuatan makalah ini tentunya bertujuan
untuk menambah wawasan para mahasiswa (i) STAI Kuala Kapuas, serta melengkapi
tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang dibimbing oleh Ibu Siti Rofingah, M. Pd. I.
Kami menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, dari segi cara
penulisan maupun isi data yang kami miliki. Untuk itu kami memohon maaf
sebesar-besarnya. Dan kami juga sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, agar pada pembuatan makalah selanjutnya kami bisa
melakukannya dengan lebih baik lagi.
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Kuala Kapuas,
Februari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL ......................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ........................................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ............................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah
....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Islam Menurut
Pandangan Qadariyah ..................................... 2
B.
Pandangan
Islam Menurut Pandangan Jabariyah ........................................ 4
C.
Pandangan
Islam Menurut Pandangan
Asy-‘Ariyah ..................................... 6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................................ 10
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an
merupakan kitab suci petunjuk yang senantiasa mengajak manusia untuk menuntut
ilmu pengetahuan. Bahkan dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah swt. menjanjikan
akan menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang lebih
tinggi. Demikian tegasnya Allah swt. memerintahkan kepada manusia sehingga
mereka termotivasi untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengembangkannya dalam
berbagai bentuk kreativitas. Pendidikan dalam arti yang luas telah ditempatkan
sebagai bagian dari misi Rasulullah yang utama dalam mengajarkan dan
menyebarkan risalah yang diamanahkan Allah swt. Islam juga menegaskan bahwa
proses pendidikan telah terjadi sejak awal adanya manusia di muka bumi ini.
Secara
umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Dengan demikian, bagaimana pun
sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya pasti berlangsung suatu
proses pendidikan, sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada
sepanjang peradaban umat manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa
peroses pendidikan merupakan proses pengembangan segala potensi yang dimiliki
manusia.
Meskipun
dalam Islam terdapat beberapa pandangan mengenai pendidikan Islam, dalam hal
ini pandangan Qadariyah yang memandang segala perbuatan yang dilakukan manusia
merupakan hasil usahanya sendiri tanpa adanya intervensi dari Allah, sedangkan
pandangan Jabariyah yang memandang bahwa manusia tunduk pada kehendak Tuhan
semata, begitupun dengan Asy-‘Ariyah yang memandang bahwa Tuhan pencipta
semua perkara manusia berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Semua perbuatan
yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti
manusia sebenarnya merupakan tempat bagi perbuata-perbuatan Tuhan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas,
penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam
penulisan makalah ini, diantaranya :
1.
Bagaimana pendidikan Islam menurut pandangan Qadariyah?
2.
Bagaimana pendidikan Islam menurut pandangan Jabariyah?
3.
Bagaimana pendidikan Islam menurut pandangan
Asy-‘Ariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN
ISLAM MENURUT PANDANGAN QADARIYAH
1.
Pengertian Qadariyah
Sebagian ahli sejarah merasa heran
atas penamaan paham Qadariyah padahal dalam paham tersebut adanya al-qadar
dinafikan, ada yang berpendapat tidak mengapa jika menamai dengan sebutan yang
berbeda dengan apa yang mereka anut, seperti halnya banyak benda yang dinamai
dengan sebutan yang berbeda dengan apa yang mencirikan benda-benda tersebut.
Ada juga yang berpendapat bahwa dinamai demikian karena mereka menafikan
al-qadar kepada Allah dan menetapkannya pada manusia sebab mereka menyatakan
bahwa segala sesuatu karena kehendak dan qudrah manusia, seolah-olah mereka
memberi manusia suatu kewenangan terhadap al-qadar.
Secara etimologi Qadariyah berasal
dari kata qadara yang berarti kuasa atau mampu. Maksudnya adalah manusia
berkuasa atas dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya. Paham ini juga dikenal
dengan nama free will yang berarti kemauan bebas dan free act yang berarti
bebas atau merdeka dalam perbuatannya. Nama Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya
sendiri tanpa ada intervensi dari Tuhan.
Dengan demikian, dapatlah dipahami
bahwa Qadariyah adalah suatu paham yang menyatakan bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan atau bebas dalam melakukan perbuatan atau memilih dalam suatu
perbuatan. Dengan kata lain, manusia mempunyai kekuasaan atau daya pada
tindakan-tindakannya dan otoritas akallah yang berperan penting dalam aktivitas
manusia terlepas dari kehendak Allah. Allah hanya mengetahui setelah perbuatan
yang dilakukan manusia. Saat itulah Tuhan tidak bekerja lagi tetapi hanya
mengawasi.
2.
Latar Belakang Munculnya Paham
Qadariyah serta Corak Pemikirannya.
Paham Qadariyah tidak dapat
diketahui dengan pasti kapan muncul dalam sejarah perkembangan teologi Islam.
Ahli sejarah berusaha menerangkan tentang orang yang pertama melahirkan aliran
Qadariyah ini. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang dikutip oleh Rosihin Anwar
bahwa ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh seorang yang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi Ma’bad
al-Juhani adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada
Hasan al-Basri. Adapun Ghailan al-Dimasyqi adalah seorang orator yang
berasal dari Damaskus. Ma’bad
al-Juhani mendirikan Irak sebagai daerah sasaran pengembangan paham ini dalam
waktu yang lama, sedangkan Ghailan al-Dimasyqi mengembangkan di daerah Damaskus
dan Syam. Adapun corak pemikiran paham Qadariyah lebih mengedepankan sikap
rasionalitas, otoritas akal yang sangat berperan dalam segala perbuatan atau
aktivitas manusia tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Dalam
filsafat, paham Qadariyah disebut paham indeterminisme sebagai lawan
determinisme (Jabariyah). Paham indeterminisme memiliki beberapa argumen yang
membuktikan kebebasan kehendak manusia dalam berbuat, antara lain:
a. Kehendak merupakan salah satu bentuk
keinginan. Sebagai umumnya, keinginan, kehendak itu mempunyai tujuan tertentu
dan karena itu menghendaki terjadinya tindakan untuk mencapainya.
b. Keinginan merupakan suatu tindak
lanjut dari pengetahuan, dengan demikian kehendak itu disebut juga keinginan
rasional. Hal ini menentukan adanya hubungan konsekuensi antara kehendak dengan
pengetahuan sebelumnya.
c. Oleh karena kehendak itu bersifat
rasional maka biasanya selalu mengarah kepada nilai kebaikan umum termasuk
keinginan yang bersifat parsial. Akibatnya, seseorang tidak pernah menghendaki
sesuatu kecuali jika mengandung nilai baik menurut pandangan orang tersebut.
d. Tidak ada hubungan kemestian antara
tujuan umum (dalam perbuatanTuhan) dan tujuan parsial (dalam perbuatan
manusia), sebaliknya manusia yakin bahwa terdapat ruang perbedaan antara
kebaikan transenden dan kebaikan terestial (alam); kebaikan terestial dapat
saja bersifat bebas sebagai anugerah dari Yang Maha Baik.
e. Ketika kehendak itu mengarah kepada
suatu objek, dasar ketergantungannya adalah dirinya sendiri. Dengan demikian,
ruang lingkup kosmologi tentang objek yang bergerak dan diam, wujud pasif dan
aktif adalah mencakup pengertian tentang pengaruh yang sangat menentukan dari
kekuatan manusia terhadap perbuatannya sendiri. Jadi perbuatan manusia menurut
paham Qadariyah adalah manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, dalam hal
memilih perbuatan yang baik dan buruk, karena Allah telah menciptakan keduanya.
Jika manusia berbuat baik maka ia akan mendapatkan pahala karena telah
mempergunakan kodrat yang diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya dan
sebaliknya.
Adapun
ciri-ciri corak pemikiran paham Qadariyah adalah:
a. Kedudukan akal lebih tinggi
b. Kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan
c. Percaya adanya sunnatullah dan
kausalitas
d. Kebebasan berpikir hanya diikat oleh
ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan hadis
e. Mengambil metaforis dari tes
wahyu
f. Dinamika dalam sikap dan
berpikir.
g. Pendidikan Islam dengan Pandangan
Qadariyah
3.
Pendidikan Islam dalam
Pandangan Qadariyah
Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Qadariyah adalah paham yang lebih condong kepada
penggunaan akal pikiran yang sangat dominan, sehingga menganggap bahwa
perbuatan yang dihasilkan manusia itu atas dasar kehendaknya sendiri tanpa
adanya campur tangan Tuhan. Sejalan dengan hal tersebut mengenai pendidikan
Islam, seorang tokoh filosof muslim bernama Ibnu Sina mengatakan bahwa seorang
anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan
kemampuan tersebut tidak cukup untuk mendidik seseorang, harus ada
faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya. Ini berarti bahwa manusia
diberikan kebebasan dengan menggunakan akal pikirannya dalam menentukan jalan
hidupnya.
Jadi,
paham Qadariyah memberikan peran yang sangat besar kepada manusia dalam
memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan perbuatannnya. Kebebasan yang di
maksud bukan berarti kebebasan tak terbatas, melainkan kebebasan dalam
determinisme. Di sinilah peran pendidikan Islam dalam mengajarkan berbagai hal
agar menjadi suatu kebiasaan yang tentunya dalam hal ini faktor lingkungan
sosial dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia dalam
memilih atau memperbuat sesuatu. Sehingga, pendidikan Islam sangat membuka
peluang kepada manusia agar senantiasa berusaha mananamkan nilai-nilai yang
baik dalam kehidupannya dengan mengerahkan seluruh kemampuan akalnya dan
pemahamannya terhadap wahyu karena dua hal tersebut selalu berdampingan satu
sama lain dan saling melengkapi.
B.
PENDIDIKAN
ISLAM MENURUT PANDANGAN JABARIYAH
1.
Pengertian Jabariyah
Istilah
Jabariyah dapat diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Argumen ini merupakan antitesa
dari paham Qadariyah maka paham ini lebih menekankan pada otoritas atau
kehendak mutlak Tuhan. Setiap yang terjadi pada diri manusia telah ditentukan
oleh Tuhan sejak zaman azali sehingga segalanya pasti terjadi menurut iradah
yang Qadim. Oleh karena itu manusia tidak bebas memilih untuk melakukan atau
menghindar dari suatu perbuatan.
Jabariyah
berasal dari kata jabara yang berarti terpaksa melakukan sesuatu. Manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat. Jabariyah juga dikenal dengan istilah
fatalisme yang berarti kepercayaan bahwa nasib manusia menguasai
segala-galanya, atau predestination yang berarti takdir. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa paham ini memandang manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk
berbuat sesuatu. Ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia
berbuat secara terpaksa dan Allah pencipta tindakannya. Manusia hanya
bergantung pada qada’ dan qadar Tuhan yang telah diciptakan kepadanya.
2.
Latar Belakang Munculnya Paham
Jabariyah serta Corak Pemikirannya.
Paham
Jabariyah dalam sejarah teologi Islam pertama kali dikemukakan oleh al-Ja’d bin
Dirham. Tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm bin Safwan. Jahm bin Safwan
adalah tokoh yang paling terkenal sebagai pelopor atau pendiri paham
Jabariyah. Oleh sebab itu, paham ini juga identik dengan paham Jahmiyah dalam
kalangan Murji’ah sesuai dengan namanya. Jahm bin Safwan terkenal pandai
berbicara dan berpidato menyeru manusia ke jalan Allah dan berbakti kepada-Nya
sehingga banyak sekali orang yang tertarik kepadanya.
Adapun
corak pemikiran paham Jabariyah menganggap bahwa perbuatan manusia dilakukan
oleh Tuhan dan manusia hanya menerima. Hal ini juga dikenal dengan istilah kasb
yang secara literal berarti usaha. Tetapi kasb di sini mengandung pengertian
bahwa pelaku perbuatan manusia adalah Tuhan sendiri dan usaha manusia tidaklah
efektif. Manusia hanya menerima perbuatan bagaikan gerak tak sadar yang dialaminya.
Menurut paham ini bahwa perbuatan manusia mesti ada pelakunya secara hakiki,
karena perbuatan membutuhkan adanya pelaku jika manusia bukan pelaku secara
hakiki maka tentu Tuhan pelaku secara hakiki (bukan secara majazi).
Ada
dua kelompok yang terdapat dalam paham Jabariyah, yaitu :
a. Jabariyah murni menolak adanya
perbuatan yang berasal dari menusia dan memandang menusia tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat.
b. Jabariyah moderat mengakui adanya
perbuatan dari manusia namun perbuatannya tidak membatasi.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Jabariyah menempatkan
akal pada porsi yang rendah karena semua tindakan dan ketentuan alam di bawah
kekuasaan atau kehendak Tuhan. Sehingga membuat pemikiran dalam segala aspek
kehidupan tidak berkembang, bahkan terhenti. Pemikiran diikat oleh dogma atau
doktrin, tidak berkembang dan mempersempit wawasan yang mengakibatkan tidak
adanya pemikiran yang mendalam seperti yang dikehendaki oleh filsafat. Salah
satu argumen yang memperkuat paham Jabariyah adalah: QS. Ash-Shaffat (37): 96.
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
Artinya :
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
3.
Pendidikan Islam dengan Pandangan
Jabariyah
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa Jabariyah adalah paham yang menganggap bahwa segala
perbuatan manusia tunduk pada kehendak Tuhan semata. Dengan demikian jika
dikaitkan dengan pendidikan Islam maka pendidikan sama sekali tidak mempunyai
daya atau kekuatan untuk mempengaruhi anak. Pendidikan hanya dapat memberi
polesan luar dari tingkah laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari
kepribadian anak didik tidak dapat ditentukan, sehingga akan melahirkan sikap
pesimisme karena tidak adanya kepercayaan akan nilai-nilai dari pendidikan sehingga
anak itu diterima apa adanya. Di samping itu, dalam Islam juga dikenal dengan
teori fitrah yang salah satunya dapat diartikan sebagai potensi dasar dimiliki
oleh manusia. Dalam salah satu hadis, Nabi saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
“tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Bila diinterpretasikan lebih lanjut dari istilah fitrah
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat mengandung implikasi
kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena itu, fitrah
mengandung makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang
benar dan lurus, yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh apa pun
karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan,
baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
C.
PENDIDIKAN
ISLAM MENURUT PANDANGAN ASY’ARIYAH
1.
Pengertian Asy’ariyah
Asy-‘Ariyah
adalah suatu paham yang dicetuskan oleh seorang tokoh yang bernama Al-‘Asy’ari
sehingga paham ini dinamakan Asy-‘Ariyah. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun
160 H dan wafat pada tahun 330 H. Ia mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh
Muktazilah, Abu ‘Ali al-Jubba’i. Karena kemahiraannya, ia selalu mewakili
gurunya dalam berdiskusi. Meskipun
begitu, pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran
Muktazilah kemudian condong kepada pemikiran para
fuqaha dan ahli hadis. Padahal ia
sama sekali tidak pernah mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari
akidah berdasarkan metode mereka.
2.
Latar Belakang Munculnya Paham
Asy’ariyah serta Corak Pemikirannya.
Dalam suasana kemuktazilahan yang
keruh, muncullah al-Asy-‘Ari, dibesarkan dan didik serta berguru pada
al-Jubbai, seorang tokoh Muktazilah sampai mencapai umur lanjut. Ia telah
membela aliran Muktazilah sebaik-baiknya. Akan tetapi aliran tersebut kemudian
ditinggalkan bahkan memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawan
yang berbahaya. Sebab utama ia meninggalkan aliran Muktazilah karena terjadinya
perpecahan antara kaum muslimin yang dapat menghancurkan mereka kalau tidak
segera diakhiri, ia sangat mengkhawatirkan Qur’an dan hadis menjadi korban
paham-paham Muktazilah, yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena
didasarkan atas pemujaan akal pikiran. Sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi
korban sikap ahli hadis antrhopomorphis yang hanya memegangi nash-nash dengan
meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam kepada kelemahan, kebekuan yang
tidak dapat dibenarkan agama. Oleh karena itu, Asy-‘Ariyah mengambil jalan
tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis, ternyata jalan
tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
Adapun
corak pemikiran Asy-‘Ariyah mengenai perbuatan manusia hubungannya dengan
kehendak dan kekuasaan Tuhan ia namai dengan istilah kasb (perolehan/ perbuatan).
Menurutnya, kasb adalah ciptaan Allah. Dapat disimpulkan bahwa Tuhan pencipta
semua perkara manusia berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Semua perbuatan
yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti
manusia sebenarnya merupakan tempat bagi perbuata-perbuatan Tuhan. Oleh karena
itu, tampak bahwa tidak terdapat perbedaan-perbedaan antara perbuatan gerakan
terpaksa dengan kasb manusia. Kedua jenis perbuatan tersebut dibuat oleh
Tuhan. Dengan begitu, tampak jelas bahwa manusia sangat dekat dengan paham
predestination. Mereka tidak mempunyai kekuasaan atas semua perbuatannya karena
Allah pencipta atau pembuat yang sebenarnya. Jadi pada dasarnya, sesuatu yang
dikehendaki oleh Allah akan terjadi sedang sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya
tidak akan terjadi. Hal ini mereka tegaskan dengan firman Allah dalam QS
al-Takwir (81): 29.
$tBur
tbrâä!$t±n@
HwÎ)
br&
uä!$t±o
ª!$#
>u
úüÏJn=»yèø9$#
ÇËÒÈ
Artinya : “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam pemakaian akal, Asy-‘Ariyah
menggunakannya secara seimbang dengan wahyu, tidak berlebihan seperti halnya
Muktazilah. Namun, tampaknya ia lebih memprioritaskan wahyu ketimbang akal.
Dalam mengomentari 4 masalah; mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan,
mengetauhi baik dan jahat dan kewajiban mengetahui baik dan jahat. Hanya satu
yang dapat diketahui akal, yaitu mengetahui Tuhan. Tiga hal lainnya hanya dapat
diketahui melalui informasi wahyu.
3.
Pendidikan Islam dengan Pandangan
Asy’ariyah.
Asy-‘Ariyah sebagaimana telah
dijelaskan terdahulu bahwa ia merupakan paham sebagai lanjutan dari Jabariyah,
hanya saja ia mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan
tekstualis. Tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan argumentasi
pikiran yang tugasnya tidak lebih dari memperkuat nash-nash al-Qur’an dan Al-hadist.
Jika dikaitkan dengan pandangannya
mengenai pendidikan Islam maka manusia sesuai dengan teori kasbnya bahwa
manusia dapat berkehendak untuk melaksanakan proses pendidikan Islam, adapun
mengenai berhasil atau tidaknya proses tersebut maka Tuhanlah yang berkuasa
menentukannya, sebab manusia hanya dapat berkehendak akan tetapi Tuhanlah yang
menciptakan kehendak yang ada pada diri manusia tersebut. Pandangan ini dalam Pendidikan
Islam dikenal dengan aliran antara al-fitrah dengan al-biah. Masing-masing
mempunyai peran aktif dalam memberikan pengaruh terhadap proses pendidikan.
Al-Qur’an merupakan kitab suci
petunjuk yang senantiasa mengajak manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Bahkan dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah swt. menjanjikan akan menempatkan
orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang lebih tinggi. Demikian
tegasnya Allah swt. memerintahkan kepada manusia sehingga mereka termotivasi
untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengembangkannya dalam berbagai bentuk
kreativitas. Pendidikan dalam arti yang luas telah ditempatkan sebagai bagian
dari misi Rasulullah yang utama dalam mengajarkan dan menyebarkan risalah yang
diamanahkan Allah swt. Islam juga menegaskan bahwa proses pendidikan telah
terjadi sejak awal adanya manusia di muka bumi ini.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Secara etimologi Qadariyah berasal dari kata qadara yang
berarti kuasa atau mampu. Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri tanpa ada
intervensi dari Tuhan.
2. Peran pendidikan Islam dalam
mengajarkan berbagai hal agar menjadi suatu kebiasaan yang tentunya dalam hal
ini faktor lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau
pikiran manusia dalam memilih atau memperbuat sesuatu. Sehingga, pendidikan
Islam sangat membuka peluang kepada manusia agar senantiasa berusaha mananamkan
nilai-nilai yang baik dalam kehidupannya dengan mengerahkan seluruh kemampuan
akalnya dan pemahamannya terhadap wahyu karena dua hal tersebut selalu
berdampingan satu sama lain dan saling melengkapi.
3. Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti terpaksa melakukan sesuatu. Manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk berbuat. Manusia hanya bergantung pada qada’ dan qadar Tuhan yang telah
diciptakan kepadanya.
4. Jika dikaitkan dengan pendidikan
Islam maka pendidikan sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk
mempengaruhi anak. Pendidikan hanya dapat memberi polesan luar dari tingkah
laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari kepribadian anak didik tidak
dapat ditentukan, sehingga akan melahirkan sikap pesimisme karena tidak adanya
kepercayaan akan nilai-nilai dari pendidikan sehingga anak itu diterima apa
adanya.
5. Pemikiran Asy-‘Ariyah mengenai
perbuatan manusia hubungannya dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan ia namai
dengan istilah kasb (perolehan/ perbuatan). Tuhan pencipta semua perkara
manusia berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Semua perbuatan yang timbul
dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti manusia
sebenarnya merupakan tempat bagi perbuata-perbuatan Tuhan. Jadi pada dasarnya,
sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan terjadi sedang sesuatu yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.
6. Jika dikaitkan dengan pandangannya
mengenai pendidikan Islam maka manusia dapat berkehendak untuk melaksanakan
proses pendidikan Islam, adapun mengenai berhasil atau tidaknya proses tersebut
maka Tuhanlah yang berkuasa menentukannya, sebab manusia hanya dapat
berkehendak akan tetapi Tuhanlah yang menciptakan kehendak yang ada pada diri
manusia tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment