A. Filsafat ilmu pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam
ini dapat didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat
ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin
dan sistem pemikiran tentang enam jenis persoalan berhubungan dengan “(1) hal
ada, (2) pengetahuan, (3)metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas, dan (6)
keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang dipelajari, dan
kemudian menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai metafisika,
epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika”.[1]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka
kegiatan penalaran filosofis dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis,
pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan. Kegiatan penalaran
tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran,
pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat mempelajari keenam
jenis persoalan tersebut berdasarkan kegiatan penalaran reflektif dan
hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.[2]
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science)
dan pengetahuan (knowledge) yang mana keduanya merupakan potensi
esensial pada manusia dihasilakan dari proses berpikir. Berpikir (na>tiq)
adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia dari hewan dan makhluk
lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya karena
ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi
na>tiq memiliki kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang
secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensinya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi
antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya
medium resmi untuk memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya
dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang atau perspektif filosofis
terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi ilmiyah, tetapi
sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu.
Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam
ranah pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan
landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan pengembangan
pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia
dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan sekaligus
menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka
berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis.
Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human,
sebagai salah satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia
meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human
ini dengan tingkatan-tingakatan (1) keimanan, yang mengitegrasikan bakat
kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala aspek jiwa manusia yang
internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d) dunia
religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan
epistemis.[3]
Obyek
filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada umumnya-
menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek
masing-masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat.
Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan
Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada sebagai obyek, sementara yang
kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi pendidikan
Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode
filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan
pendidikan Islam.
Ahmad
Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains),
dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah jenis
pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu
ialah jenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset
terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh
logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam
adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan
secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[4]
Mengaitkan
Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut
Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final.
Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa,
sesuatu yang sudah final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa
perubahan, perkembangan dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua
kebenarannya bersifat relatif.[5]
Baik
Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam
sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shayba>ni> setidaknya
filsafat pendidikan memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1)
dapat menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang yang
melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap
proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan pandangan
pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan
untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan
istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.[6]
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah
pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut Muhaimin[7]-
adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan
dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang
dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’a>n dan Al-H}adi>th terdapat istilah fit}rah,
samakah potensi dengan fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah
apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan
Islam? Apakah potensi dan atau fit}rah itu merupakan pembawaan (faktor
dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui
lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam
sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan
kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait
dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada
manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang manusia. Kegiatan
pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat
kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia,
yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi
jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Epistemologis
bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut
merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis
fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan
paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut
dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan
pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu
pengetahuan di sekolah.
Analisis
epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut
Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan
analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of
education sebagai cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis,
kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini
kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat
manusia terhadap anak manusia.[8]
Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk
rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia
menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk
memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa
telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui
kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi
(pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup
fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara
keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang
dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara
empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal dari filsafat
tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya
pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah
filsafat.
Sebaliknya ilmu
pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep
pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah
kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang
mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena
itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan
andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang
terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang
bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode
filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia
seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut Muhaimin-
pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah menyangkut hal-hal berikut:
untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta mewariskan budaya dan interaksi
antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan Islam
yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu dapat
dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam? Apakah
semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau hanya
Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?.[9]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya
pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar berkaitan dengan persoalan
dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu jika subtansi pendidikan
Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan maka problem
epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem
pendidikan Islam.[10]
Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan Muhaimin
diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan
dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode
tersebut.
Untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka diperlukan landasan
pendidikan. Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga menjadikan
dasar-dasar agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa
pendidikan Islam berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Qur’a>n, , Al-Sunnah
dan Ijtiha>d.[11]
Al-Nahlawi sependapat bahwa Al-Qur’a>n, dan al-Sunnah sebagai asas
pokok pendidikan Islam.[12]
Karena nyata sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung
dengan ajaran Al-Qur’a>n, . Terlebih ketika ‘Aishah menegaskan, sesungguhnya
akhlak rasul itu adalah Al-Qur’a>n. Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’a>n) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[13]
Demikian pula, al-Sunnah juga sebagai
asas pendidikan Islam, karena ia menjelaskan Al-Qur’a>n. Penjelasan ini
diantaranya terdapat pada ayat berikut:
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka] dan supaya mereka
memikirkan.[14]
Yalja>n dalam nukilan Djumransyah
menyatakan bahwa asas pendidikan Islam terdiri dari Al-Qur’a>n, dan
sunnah yang diperluas dengan ijma>’, qiya>s, mas}a>lih al-Mursalah,
shadh al-Dhari>’ah, ‘urf dan istih}sa>n. [15]
Hal ini sejalan dengan pendapat Sa’i>d Isma>’i>l bahwa asas
pendidikan Islam meliputi Al-Qur’a>n, sunnah, qaul sahabat, mas}alih}
al-Mursalah, urf, dan pemikiran Islam.[16]
Adapun pembahasan tentang metode
pendidikan islam, secara umum perhatian para ulama klasik telah tertuju pada
upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan.
Menurut Abd al-Ghani> ‘Abu>d mereka ini secara preodik dimulai dari
Shahnun (Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360
H), Al-Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H),
Ibn Afif (420 H), Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali (505 H), Al-Zanuji (591
H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Al-Hajj Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H),
Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para pemikir kontemporer lainya seperti
Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli, Abi Yahya Zakariya
Al-Ansari, dll.[17]
Mereka ini menurut Abu>d tergolong
pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn Khaldun (732-808 H). Disisi
lain Abu>d menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang terpengaruh dengan
model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih
(325-421 H).[18]
Para pemikir pendidikan muslim tersebut
mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan. Diantaranya yang
relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan wa ahkam al-Mu’alimin
(Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Mua’alimin (Ibn
Sahnun), Ta’lim al-Muta’alim (Al-Zanuji), [19] Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam wa
fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami’
Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar),[20] Siyasat al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn
Jazzar al-Qairawani), Jami’ Jawami’ Al-Ihtishar (Al-Maghrawi), Tadhkirat
al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim (Ibn Jama’ah).[21]
Kitab-kitab tersebut secara umum
menjelaskan bagaimana pendidikan islam dilakukan. Sayangnya kitab-kitab
tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal metode (Tariqah) pendidikan,
menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua yaitu
pertama; tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan penyampaian
ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara teoritis dan
praktis. Cara (Uslub) yang digunakan dengan uslub hikmah, al-Mauidah
Hasanah dan jadal al-Hasan. Kedua: tariqah iradah yakni metode untuk
mendorong beramal yaitu dengan cara memahami Al-Qur’an, bersedekah,
meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[22]
Al-Nahla>wi> menjelaskan tuju
model (uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan dengan materi
percakapan dari qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa
al-Nabawi). Kedua: model cerita dari Qur’an dan Hadith. Ketiga: model
perumpamaan (Al-Amthal). Keempat: model memberi contoh (Qudwah).
Kelima: model latihan dan pembiasaan (al-Mumarathah). Keenam: model
nasehat. Ketuju: model memotivasi dan menakuti (Targhib wa Tarhib).[23]
Al-Abrash i> menawarkan sepuluh
metode pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah (inductive),
qiyasiyah (deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah
(penugasan), I’jab (appreciation), ibtikar (creation), tadrib (drill),
dirasat al-irshadiyah (supervised study) dan ikhtibar (testing).[24]
D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam
bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam.
Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama
pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan
pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri diutus untuk misi utama memperbaiki
dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan
sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut.
Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi
sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan
melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai
keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan
sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan
tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa,
tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa
dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara
manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai
tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial
dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta
empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya
timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai
tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya
pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujutkan
nilai peradaban manusiawi.
[1] The Liang Gie, Suatu
Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana,
1977), 11.
[3] M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem
Paradigma Teoritis dan Orientasi Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002),
5.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), 14.
[6] ‘Umar Muhammad
Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan
Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
[7] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan
Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65.
[10] Abdul Munir Mulkhan,
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah
(Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[12] Abd al-Rahma>n
al-Nahla>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah a-Isla>miyah wa
asa>libiha> fi-Albait wa al-Mujtama’ (Mesir:Da>r al-Fikr, 1988),
28.
[16] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), 189.
[22] Majid
‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat
Dar Al-Turath, 1986), 145-156.
No comments:
Post a Comment