Monday, June 6, 2016

IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM



A. Filsafat ilmu pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang enam jenis persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2) pengetahuan, (3)metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas, dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai metafisika, epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika”.[1]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran filosofis dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat mempelajari keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan  kegiatan penalaran reflektif dan hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.[2]
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses berpikir. Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia dari hewan dan makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi na>tiq memiliki kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensinya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya medium resmi untuk memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu. Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis. Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human, sebagai salah satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (1) keimanan, yang mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala aspek jiwa manusia yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi  etis, estetis dan epistemis.[3]
Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek masing-masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat. Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada sebagai obyek, sementara yang kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains), dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat  ialah jenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia  yang diperoleh dengan riset  terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[4]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final. Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa, sesuatu yang sudah final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat relatif.[5]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shayba>ni> setidaknya filsafat pendidikan memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang  yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.[6]
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut Muhaimin[7]- adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’a>n dan Al-H}adi>th terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fit}rah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan  atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang manusia.  Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat  untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan  dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[8] Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi (pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?.[9]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu jika subtansi pendidikan Islam  merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem pendidikan Islam.[10]
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan Muhaimin diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode tersebut.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka diperlukan landasan pendidikan. Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga menjadikan dasar-dasar agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa pendidikan Islam berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Qur’a>n, , Al-Sunnah dan Ijtiha>d.[11] Al-Nahlawi sependapat bahwa Al-Qur’a>n,  dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan Islam.[12]  Karena nyata sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung dengan ajaran Al-Qur’a>n, . Terlebih ketika ‘Aishah menegaskan, sesungguhnya akhlak rasul itu adalah Al-Qur’a>n. Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’a>n)  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[13]
Demikian pula, al-Sunnah juga sebagai asas pendidikan Islam, karena ia menjelaskan Al-Qur’a>n. Penjelasan ini diantaranya terdapat pada ayat berikut:
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka] dan supaya mereka memikirkan.[14]
Yalja>n dalam nukilan Djumransyah menyatakan bahwa asas pendidikan Islam terdiri dari Al-Qur’a>n,  dan sunnah yang diperluas dengan ijma>’, qiya>s, mas}a>lih al-Mursalah, shadh al-Dhari>’ah, ‘urf dan istih}sa>n. [15] Hal ini sejalan dengan pendapat Sa’i>d Isma>’i>l bahwa asas pendidikan Islam meliputi Al-Qur’a>n, sunnah, qaul sahabat, mas}alih} al-Mursalah, urf, dan pemikiran Islam.[16]
Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam, secara umum perhatian para ulama klasik telah tertuju pada upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan. Menurut Abd al-Ghani> ‘Abu>d  mereka ini secara preodik dimulai dari Shahnun (Wafat 240 H),  Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360 H), Al-Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H), Ibn Afif (420 H), Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali (505 H), Al-Zanuji (591 H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Al-Hajj Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H), Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para pemikir kontemporer lainya seperti Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli, Abi Yahya Zakariya Al-Ansari, dll.[17]
Mereka ini menurut Abu>d tergolong pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn Khaldun (732-808 H). Disisi lain Abu>d menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang terpengaruh dengan model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih (325-421 H).[18]
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan. Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan wa ahkam al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Mua’alimin (Ibn Sahnun), Ta’lim al-Muta’alim (Al-Zanuji), [19] Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami’ Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar),[20] Siyasat al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’ Jawami’ Al-Ihtishar (Al-Maghrawi), Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim (Ibn Jama’ah).[21]
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan bagaimana pendidikan islam dilakukan. Sayangnya kitab-kitab tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal metode (Tariqah) pendidikan,  menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua yaitu pertama; tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan penyampaian ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara teoritis dan praktis. Cara (Uslub) yang digunakan dengan uslub hikmah, al-Mauidah Hasanah dan jadal al-Hasan. Kedua: tariqah iradah yakni metode untuk mendorong beramal yaitu dengan cara memahami Al-Qur’an, bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[22]
Al-Nahla>wi> menjelaskan tuju model (uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan dengan materi percakapan dari qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa al-Nabawi). Kedua: model cerita dari Qur’an dan Hadith. Ketiga: model perumpamaan (Al-Amthal). Keempat: model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan pembiasaan (al-Mumarathah). Keenam: model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan menakuti (Targhib wa Tarhib).[23]
Al-Abrash i> menawarkan sepuluh metode pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah (inductive), qiyasiyah (deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah (penugasan), I’jab (appreciation), ibtikar (creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah (supervised study) dan ikhtibar (testing).[24]

D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri diutus untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujutkan nilai peradaban manusiawi.



[1] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), 11.
[2] M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
[3] M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002), 5.

[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 14.
[5] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18.
[6] ‘Umar Muhammad Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi  ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65.
[8] M. Dimyati, Dilema Pendidikan, 16.
[9] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, 66.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[11] Zakiyah Darajat,  Filsafat Pendidikan Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),  17
[12] Abd al-Rahma>n al-Nahla>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah a-Isla>miyah wa asa>libiha>  fi-Albait wa al-Mujtama’ (Mesir:Da>r al-Fikr, 1988), 28.
[13] Al-Qur’a>n, 53: 3-4.
[14] Al-Qur’a>n, 16: 44.
[15] Djumbransyah Indar,  Filsafat Pendidikan Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992),  40.
[16] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), 189.
[17] Abd al-Ghani> ‘Abu>d, Alfikr al-Tarbawi Ind Al-Ghaza>li>, (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982), 35.
[18] Ibid., 36.
[19] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam ( tp. Dar Al-Ma’arif: tt), 55-56.
[20] Abu>d, Alfikr al-Tarbawi, 45.
[21] Ibid., 231-234.
[22] Majid ‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar Al-Turath, 1986), 145-156.
[23] Al-Nahla>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah, 184.
[24] Al-Abrash i>, Ruh Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim (Aleppo: Dar

No comments:

Post a Comment