Monday, June 6, 2016

KEKUASAAN PARLEMEN DALAM SISTIM PEMERINTAHAN CAMPURAN




Oleh :
Feri Amsari
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Berbeda dengan sistim pemerintahan Parlementer dan Presidensiil yang memiliki banyak contoh praktis dalam ketatanegaraan dipelbagai negara, maka sistim campuran (hybrid/mixed system) adalah sistim yang jarang sekali diterapkan. Pengelompokkannya juga bukanlah pernyataan konstitusi atau founding father/framer constitution dari suatu negara, melainkan dari pemahaman para pakar terhadap pelaksanaan praktis. Hal itu dapat dilihat dari pandangan Jimly terhadap posisi sistim pemerintahan Indonesia pada awal masa pemerintahan pasca kemerdekaan.[1] Jimly berpendapat bahwa UUD 1945 melihat dari kesepakatan para tokoh BPUPKI jelas memperlihatkan semangat pelaksanaan sistim pemerintahan presidensiil,[2] namun prakteknya memperlihatkan bahwa Indonesia telah masuk ke ranah sistim pemerintahan campuran.
Jadi dalam pengelompokkan sistim pemerintahan sebuah negara kedalam mixed system of government tidak diletakkan kepada pandangan para framers of constitution atau ketentuan-ketentuan di dalam konstitusi itu sendiri, melainkan melihat proses dari berjalannya pemerintahan.
Berikut Peta dari sistim Parlemen yang dianut negara-negara di dunia;
http://feriamsari.files.wordpress.com/2010/04/peta.jpg?w=452&h=216
Tanda merah dan oranye adalah negara yang saat ini telah menganut sistim parlemen yang dulunya adalah negara monarki konstitusional, yang kemudian menjadi republic parlementer. Tanda hijau adalah negara yang pemerintahannya terpisah antara kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden diisi melalui pemilihan oleh parlemen (Sumber wikipedia).
Sejarah Sistim Pemerintahan Campuran (Hybrid system)
Berbicara mengenai sejarah sistem campuran, maka tidak akan lepas dari kajian mengenai perkembangan ketatanegaraan Prancis. Sistem pemerintahan campuran merupakan titik balik dari pelaksanaan Konstitusi Republik Ke-empat. Di bawah naungan aturan tertinggi tersebut, Prancis tidak mampu membendung permasalahan disintegrasi daerah-daerah koloninya.
Konflik puncak perpecahan negara-negara koloni Prancis terjadi pada 13 Mei 1958.[3] Pada hari itu Tentara Aljazair menyatakan kemerdekaannya dari kolonial Prancis melalui penguasaan gedung pemerintahan Prancis di Aljazair. Hal itu telah menunjukkan semakin lemahnya kekuataan pemerintahan Prancis di mata koloni-koloninya.
Jenderal Prancis, Charles Andre Joseph Marie de Gaulle menganggap bahwa hal itu disebabkan kesalahan para politikus. Ia beranggapan bahwa sistim multipartai yang berlaku di Prancis menjadi penyebab lemahnya kewibawaan pemerintah. Melihat kondisi yang semakin parah tersebut, Majelis Nasional (National Assembly) menunjuk Charles de Gaulle sebagai Perdana Menteri[4] pada 1 Juni 1958. Penunjukkan tersebut menugaskan Charles de Gaulle untuk membentuk konstitusi baru dengan kekuasaan darurat selama 6 (enam) bulan. Secara politik, sosok de Gaulle diperlukan untuk menyatukan perpecahan yang terjadi di Prancis, Robert Elgie menyebutnya sebagai pimpinan kharismatik.[5]
Konstitusi baru tersebut akhirnya didukung mayoritas rakyat  melalui referendum dengan 79,2% suara pada 28 September 1958. Dari dukungan tersebut resmilah terbentuk Republik Ke-lima Prancis dengan bentuk baru sistim bernegara. Koloni-koloni menjadi bagian resmi negara kesatuan Prancis, termasuk juga Aljazair.[6]
Ciri pokok konstitusi baru tersebut sesuai dengan keinginan de Gaulle, menjadikan Presiden sebagai pusat kekuasaan. Menurut Vicky C Jackson ciri pokok pemerintahan baru terletak dari pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung, presiden berkuasa mengangkat perdana menteri dan anggota kabinetnya, anggota kabinet menteri tidak diperkenankan merangkap menjadi anggota parlemen, serta presiden diberi kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan strategis yang memiliki kekuataan hukum mengikat, dan pemerintahan diberikan kekuasaan strategis untuk mengawasi jalannya kegiatan parlemen. Selengkapnya Vicky C. Jackson menyebutkan kekhususan pemerintahan baru tersebut sebagai berikut;
The French President is directly elected, appoints the prime minister, and can appoint cabinet members (of whom the Prime Minister need not approve). Cabinet members cannot serve in Parliament at the same time. The President through the government has substantial powers to issues decrees, which have legal effect, and the government has substantial power to control the agenda of the Parliament.[7]
Menurut Pamudji, ada 15 poin inti dari konstitusi Republik Ke-lima, yaitu[8];
  1. Presiden diplih oleh Electoral College, tetapi setelah amandemen konstitusi pada 1962 dipilih langsung oleh rakyat.
  2. Presiden adalah “protector” dari konstitusi dan negara dan juga “arbiter” yang menjamin operasi-operasi regular lembaga-lembaga pemerintah.
  3. Presiden tidak saja memilih tapi juga mengangkat Perdana Menteri.
  4. Presiden mengetuai sidang kabinet.
  5. Presiden adalah satu-satunya yang dapat membubarkan Assembly National dengan konsultasi pada Ketua Assembly dan Ketua Senat. Setelah pembubaran harus diikuti dengan pemilihan secepatnya, dan Assembly yang baru terpilih tak dapat dibubarkan sebelum berumur 1 tahun.
  6. Dekrit-dekrit dan sebagainya yang dibuat oleh cabinet memerlukan countersignature Presiden.
  7. Presiden mempunyai kekuasaan luar biasa dalam keadaan darurat.
  8. Wakil-wakil yang menjadi menteri kehilangan kursinya di Parlemen.
  9. Sidang-sidang Parlemen ada 2 macam, keduanya bersama-sama hanya memakan waktu 5 setengah bulan, dibandingkan dengan konstitusi yang lalu 7 bulan.
  10. Partai-partai politik harus menghargai prinsip-prinsip kedaulatan Nasional dan demokrasi.
  11. Kekuasaan membuat undang-undang dari Parlemen, dipertegas secara legal dan politis.
  12. Pemerintah mempunyai kekuasaan menggali dan mengeluarkan dana-dana apabila Parlemen tidak mengesahkan anggaran dalam batas waktu yang telah dinyatakan.
  13. Beberapa pembatasan diletakkan pada kekuasaan Assembly untuk mengancam Pemerintah dengan pemungutan suara; tetapi Presiden harus menerima keputusan Assembly.
  14. Pembubaran tidak diprakarsai oleh Perdana Menteri, tetapi merupakan hak prerogative Presiden.
  15. Suatu Dewan Konstitusi dibentuk untuk menjaga konstitusi dati tindakan-tindakan tertentu parlemen, Pemerintah dan Presiden. Dewan adalah suatu badan yang terdiri dari 9 orang yang diangkat secara sama oleh Presiden, dan Ketua Assembly serta Ketua senat.
Pemilihan umum parlemen pertama di bawah aturan Konstitusi Republik Ke-lima berlangsung pada November 1958. Pada bulan Desember 1958, de Gaulle terpilih sebagai Presiden melalui electoral college dengan 78 % suara[9], kemudian dilantik pada Januari 1959. Oleh karena itu de Gaulle disebut juga sebagai pendiri Republik Ke-lima[10] yang membentuk pertama kali sistim pemerintahan yang dinyatakan oleh pakar sebagai sistim campuran[11]. Pola pemerintahan Prancis Konstitusi Republik Ke-lima dapat dilihat pada Gambar berikut ini;
Gambar I:[12]
http://feriamsari.files.wordpress.com/2010/04/pola.jpg?w=300&h=269
Bentuk sistim campuran Prancis juga diterapkan pada negara-negara bekas koloninya, seperti Cote D’Ivoire, Gabon, Mali dan Senegal, serta beberapa negara-negara di Eropa Timur, seperti; Polandia dan Bulgaria. Polandia memiliki sistim campuran yang elemen-elemen pemerintahannya sama dengan sistim hybrid Prancis. Portugal juga menganut mixed system yang juga mempengaruhi negara-negara bekas koloninya, seperti Mozambik dan Angola.
http://feriamsari.files.wordpress.com/2010/04/gambar.jpg?w=300&h=184
Peta: Negara Eropa Timur yang paling banyak menganut Hybrid System (data wikipedia).
Biru luat: Eropa Utara.
Biru langit : Eropa Barat
Orange : Eropa Timur
Merah Jambu: Asia bagian dari Rusia
Hijau: Eropa Selatan
Indonesia menurut Jimly, sebagaimana disebutkan diatas, juga pernah menganut sistim pemerintahan campuran. Pembentukan kabinet Parlementer pertama dibawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Syahrir pada 14 November 1945 menunjukkan pelaksanaan sistim pemerintahan hybrid. Dikarenakan UUD 1945 tidak menyebutkan adanya Perdana Menteri dalam konsep pemerintahan. Sistim pemerintahan campuran tersebut terus bertahan pada masa pemberlakuan UUD RIS Tahun 1949 dan UUDS tahun 1950, bahkan ketika kembali kepada UUD 1945 melalui dekrit 5 Juli 1959[13].
Karakteristik Sistim Pemerintahan Campuran
Ada dua pola utama dalam sistim hybrid, yaitu pola yang berupa quasi parlementer atau quasi presidensiil. Hal itu didasari kepada seberapa kuat kekuasaan yang melekat pada Presiden atau Perdana Menteri. Melekatnya kepada Perdana Menteri kekuasaan inti akan memberikan deskripsi bentuk sistim pemerintahannya tersebut adalah sistim campuran yang semi parlementer. Sebaliknya, apabila penguatan kewenangan berada pada kekuasaan Presiden, maka sistim campuran tersebut adalah quasi presidensiil. Sebagaimana dijelaskan oleh UNDP sebagai berikut;
If the constitution and/or political circumstances tend to place the emphasis on the powers of the President, it is sometimes termed a semi-presidential system. If, on the other hand, the Prime Minister and the legislative leaders enjoy more power than the President does, it may be referred to as a semi-parliamentary system.[14]
Prancis menganut sistim hybrid yang mengarah kepada sistim semi-presidensiil. Dimana Konstitusi Republik Ke-Lima memberikan penguatan-penguatan kepada lembaga eksekutif. Hal tersebut adalah rencana de Gaulle untuk membatasi kekuasaan politisi legislatif yang dianggapnya memperlemah kewibawaan Prancis dimata koloni-koloninya. Eva Liu meringkaskan kondisi pemerintahan Prancis dengan menjelaskan beberapa bentuk kekuasaan dari lembaga-lembaga negara (pembagian kekuasaan memang baru dilakukan oleh Prancis setelah reformasi 1958[15]), yaitu[16];
1.  Republik Ke-Lima Prancis memiliki karrakteristik pola semi presidensiil pemerintahan parlementer yang terlihat melalui dualisme eksekutif, yaitu; kekuasaan eksekutif terbagi antara Presiden dan Perdana Menteri. (The Fifth French Republic (France) has a semi-presidential style of parliamentary government characterized by a dual executive: executive power is being shared by  the President of the Republic and the Prime Minister).
2.  Presiden merupakan kepala negara yang menjabat selama  7 tahun[17] melalui sebuah pemilihan langsung. Fungsi dan  kekuasaannya termasuk inter alia sebagai pengawas pelaksanaan Konstitusi, memimpin rapat cabinet, pelaksana undang-undang, mengusulkan referendum, membubarkan parlemen, Panglima tertinggi angkatan bersenjata, dan negosiator dan peratifikasi perjanjian internasional. (The President is the Head of State and is elected for seven years by direct universal suffrage. His functions and powers include inter alia being arbiter of the Constitution, presiding over Cabinet meetings, promulgating laws, calling for referendums, dissolving the Parliament, being Commander of the armed forces, and negotiating and ratifying treaties)
3.  Perdana Menteri adalah Kepala Pemerintahan yang diangkat oleh Presiden setelah pemilihan legislatif untuk mengisi kedudukan di Majelis Nasional. Fungsi dan kekuasaannya termasuk mengatur kegiatan pemerintah, bertanggung jawab terhadap pertahanan nasional, memastikan penerapan hukum, dan melaksanakan peraturan dan kekuasaan penunjukan tugas. Ia juga memformulasikan Dewan Menteri yang akan membantunya dalam pertimbangan kebijakan dan keputusan. (The Prime Minister is the Head of Government, who is appointed by the President after a legislative election is held for the National Assembly. His functions and powers include directing the actions of the government, being responsible for national defence, ensuring the execution of the laws, and exercising regulatory and appointment powers. He is to form a Council of Ministers which shall help him to deliberate policies and decisions).
4.  Parlemen Prancis menganut sistim dua kamar, yang terdiri dari Majelis Nasional dan Senat. Parlemen berfungsi membentuk undang-undang, mengontrol anggaran pemerintah dan mengawasi kebijakan pemerintah. Anggota Majelis Nasional dipilih melalui pemilihan umum sedangkan para Senator dipilih melalui electoral college. Hanya Majelis Nasional saja yang bisa memaksa pergantian pemerintah melalui mosi tidak percaya. Namun tidak satupun pemerintahan yang diganti melalui mosi tidak percaya selama Republik Ke-Lima. (The French Parliament is bicameral, consisting of the National Assembly and the Senate. The Parliament makes laws, controls the government budget and oversees government policy. National Assembly Deputies are elected by direct universal suffrage while Senators are indirectly elected by electoral college. Only the National Assembly can compel the government to resign when it produces a motion of censure. No government has been forced to resign by censure in the Fifth Republic).
5.  Kekuasaan Eksekutif mendominasi legislatif. Pemerintah mengatur agenda parlemen, dan undang-undang pemerintahan menjadi prioritas utama melalui undang-undang tersendiri. Pemerintah bahkan dapat mengajukan undang-undang untuk disahkan tanpa memerlukan masukan dari parlemen. Pengusulan undang-undang terbatas pada 2 hari seminggu pada Majelis Nasional dan satu hari sebulan di Senat. Pemerintah dapat mengumumkan anggaran melalui sebuah kebijakan pemerintah apabila Parlemen tidak menyetujui anggaran tersebut dalam 70 hari. Pemerintah bahkan bisa mendeklarasikan kebijakannya dan memaksa Parlemen untuk menerima kebijakan tersebut walaupun mosi tidak percaya telah sukses terlaksana. Mosi tidak percaya yang berhasil tidak pernah terjadi di dalam Republik Ke-Lima dikarenakan oposisi memiliki jumlah suara terbatas di Parlemen. (The Executive dominates the Legislature. The Government sets the agenda for the Parliament, and government bills are to take priority over private members’ bills. The Government can even submit a bill for passage without seeking parliamentary input on all details. Questions are limited to two afternoons in a week in the National Assembly and one day in a month in the Senate. The Government can promulgate its budget by decree if Parliament does not approve it within 70 days. The Government can declare its policy and provoke the Parliament to accept it unless a censure is successfully produced. A successful censure has never happened in the Fifth Republic because the opposition lacked enough votes).
6.  Partai-partai politik bebas didirikan dan berjalan di bawah naungan Konstitusi. Ketentuan Pemilu membatasi jumlah dana yang bisa diterima kandidat dan partai politik dari sumber donator. (Political parties may be freely established and freely operate under the Constitution. The Electoral Code restricts the amount and sources of donations which can be received by candidates and political parties).
7.  Amandemen Konstitusi diatur dalam Konstitusi itu sendiri, yang terdiri dari beberapa bentuk persetujuan oleh parlemen dan referendum. (Amendments to the Constitution are provided for in the Constitution, which comprise different routes of approval by the Parliament and referendums).
8.  Telah terjadi 8 (delapan) kali Referendum semenjak 1958, 5 (lima) diantaranya terfokus kepada kebijakan luar negeri. (Eight referendums have been held since 1958, five of which concerned foreign policy).
Dari dua gambaran yang dipaparkan Pamudji dan Eva Liu diatas, Presiden merupakan Eksekutif yang memiliki kekuasaan tertinggi walaupun dalam Pasal 20 Konstitusi Republik Ke-lima menyatakan bahwa; “the government decides and directs the policy of the nation’ dan Pasal 21 yang menyatakan bahwa; “the Prime Minister is in general charge of the work of the government”. Pasal 5 Konstitusi Republik Ke-lima memperlihatkan kekuasaan Presiden yang sangat besar sebagai lembaga negara yang menegakkan pelaksanaan konstitusi, yaitu:
The President of the Republic ensures that the constitution is respected. He ensures, by his arbitration, the regular working of the public authorities as well as the continuity of the State. He is the protector of national independence, of territorial integrity and of the respect for Community agreements and treaties.
Dalam sistim Portugal, kekuasaan eksekutif juga bertumpu kepada Presiden, selain sebagai panglima tertinggi angkatan perang yang berhak menyatakan negara dalam kondisi perang/genting, presiden juga diberi kekuasaan mengangkat Perdana Menteri dan Dewan Menteri. Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan untuk memecat PM, membubarkan Majelis Republik (Assembly of the Republic, legislatif Portugal bersisitim unicameral) dan kemudian memerintahkan pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif baru yang berjumlah 230 orang.[18]
Oleh I Md. Pasek Diantha terdapat 3 ciri utama dari sistim campuran, yaitu[19];
  1. Menteri-menteri dipilih oleh Parlemen.
  2. Lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan dengan pasti dalam konstitusi.
  3. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik kepada parlemen maupun kepada presiden.
Menurutnya sistim pertama adalah ciri pokok sistim pemerintahan parlementer, ciri kedua dianut oleh sistim presidensiil sedangkan ciri ketiga merupakan ciri khas sistim campuran yang tidak dianut oleh kedua sistim lainnya.
Berikut ini adalah tabel[20] yang memperlihatkan perbedaan antara sistim Hybrid Prancis dengan sistim pemerintahan lainnya;
Table I. Executive-Legislative Relations in US and European Models

US Presidential
UK – Westminster parliamentary
German semi-parliamentary
French Hybrid
Who makes up the Executive Branch?
Separately Elected President, Cabinet nominated by the President and confirmed by the legislature
(Cabinet members cannot simultaneously be members of legislature, and vice-versa)
Prime Minister; PM and Cabinet elected by the majority party in the legislature The Cabinet, or Ministers, are members of the legislature. A
Hereditary Monarch is head of state (mostly ceremonial).
Chancellor, chosen from the majority party (or coalition) in parliament; cabinet members selected by Chancellor with parliament’s approval (may also be members of the leg.); indirectly elected President is head of state (weak powers)
Separately elected President with strong powers chooses a Cabinet and Prime Minister who presides over the legislature. (The President resides over the Cabinet, who cannot be members of the legislature.)
Can the legislature remove the executive, and vice-versa?
Legislature cannot remove the President, except under extreme conditions, and the president cannot dissolve the legislature.
The legislature dissolves the chief executive and cabinet through a vote of no confidence, forcing new parliamentary elections.
The legislature can dissolve parliament, removing the Chancellor and cabinet, but only if they simultaneously select a new chancellor.
The legislature cannot remove the President, but can dissolve parliament, removing the Prime Minister and cabinet. The President can dissolve the lower house.
Bodies involved in the legislative process?
Upper House: Senate
Lower House: House
Govt. cabinet departments assist in drafting bills, but most originate via committees in legislature; President can veto legislation, which can be overridden by 2/3 vote of both houses.
Upper: House of
Lords
Lower: House of
Commons
The government (Prime Minister, cabinet and bureaucracy) Occasionally bills referred to select committees for consultation.
Upper: Bundesrat
Lower: Bundestag
Chancellor and Cabinet; Council of State
Upper: Senate
Lower: National
Assembly
President; Prime Minister and cabinet appointed by PM who sits in the legislature (can be MPs).
Who Initiates Legislation?
Both Houses
Executive can draft legislation but a member must introduce it.
Executive and Both Houses, but MPs can’t introduce bills that affect govt. spending or taxation. Can only amend on technical grounds. Executive-initiated bills take precedence over member bills.
Executive and both Houses are active, but the majority of bills passed are introduced by the Executive. The President can issue “decrees,” which have the force of law, without the legislatures consent.
Executive and both Houses, Appointed bodies, such as the Economic and Social commission make recommendations on drafting legislation. MPs cannot introduce any bill that raises or reduces expenditures. Executive-initiated bills take precedence over member bills.
Sebagai sebuah sistim bentukan manusia tentu saja sistim Hybrid juga memiliki kekurangan dan kelebihan sebagaimana juga sistim pemerintahan lainnya. Kekurangan sisitim campuran ini adalah:[21]
  • Unclear lines of authority, what is the president’s realm and the PMs?  De Gaulle as pres never accepted that there were limits to what he could do executively.  “Clearly, it is the president alone who holds and delegates the authority of the State.”
  • Cohabitation could lead to immobilism or conflict (though 1997 to 2002 cohabitation between Gaullist president Chirac—foreign affairs, Europe–and Socialist PM Jospin—socio-economic affairs–relatively harmonious). Earlier Mitterand cohabitation: accept what government proposed as long as within the limits of fair and honest government.
Kekurangan dari ketidak jelasan pengaturan pemerintahan yang dapat menimbulkan perpecahan diantara dual executive juga memiliki sisi positif dalam menjaga pemerintahan, yaitu:[22]
  • Stronger more decisive and competent government than parliamentary system as operated under earlier Third and Fourth Republics
  • Can have more technocratic ministers (professionals in area of authority).
Melalui Konstitusi Republik Ke-lima, Prancis dapat berkembang dengan sangat luar biasa pasca 1958. Hal itu disebabkan dibatasinya kekuasaan politik dari sistim multipartai yang dianut konstitusi sebelumnya. Kalangan professional menjadi kunci perkembangan Prancis seperti saat ini. Model mixed Prancis tersebut pada awal 1990 banyak ditiru oleh negara-negara eropa Timur.
Fungsi Legislasi dalam Sistim Pemerintahan Campuran
Terdapat perbedaan dalam melihat fungsi legislasi pada negara-negara yang menganut sistim Pemerintahan campuran. Dikarenakan sisitim parlementer di masing-masing negara juga berbeda-beda, misalnya Prancis dan Portugal. Prancis menganut sistim dua kamar (Majelis Nasional/National Assembly  dan Senat) sedangkan Portugal hanya menggunakan sistim satu kamar (Assembly of the Republic).[23]
Ketika terjadi pergantian konstitusi dari Republik Ke-empat ke Republik Ke-lima de Gaulle memang berencana mengurangi kekuasaan legislatif dikarenakan menyimpangnya politik multi partai dengan memperkuat eksekutif. Sri soemantri mempertanyakan maksud politik de Gaulle tersebut, mengapa tidak yang direformasi adalah sistim multipartai, dari sistim banyak partai menjadi partai dengan jumlah terbatas.[24]
Fungsi legislatif yang terbatas (selain Parlemen Prancis, Kongres Amerika juga memiliki kekuasaan legislasi terbatas)[25] tersebut dapat dilihat dari ketidak mampuan lembaga legislatif dalam memantau kinerja Presiden. Lower House di Prancis dapat dibubarkan sebagaimana Majelis Republik yang ada di Prancis.[26] Kondisi keterbatasan kewenangan legislatif Prancis tersebut diuraikan sebagai beerikut;
The legislature in France cannot force the resignation of the President. Rather, the President may dissolve the parliament’s Lower House, the National Assembly (but not the upper house, Senate). Further, the President appoints, and can remove the Prime Minister, who is effectively the head of the cabinet and legislature. Similar to the parliamentary model, the National Assembly can also force the government (the Prime Minister and legislative leaders) to resign by passing a motion of censure. Thus, in the French model, while the Prime Minister is vulnerable to removal from both the legislature and the President, the President cannot be removed prior to the end of his/her electoral term.[27]
Kondisi tersebut disimpulkan T.A. Legowo bahwa dimana badan legislatif tidak dapat memecat presiden namun Presiden dapat membubarkan majelis rendah (National Assembly) tetapi tidak majelis tinggi (senat). Serupa dengan sistim Parlementer, majelis rendah dapat juga memberhentikan Perdana Menteri melalui mosi tidak percaya. Sehingga menurut T.A. Legowo, dalam model Prancis, posisi Perdana Menteri yang rawan[28] untuk dipecat memperlihatkan bahwa Perdana Menteri hanyalah jabatan administrasi kepemerintahan semata. Oleh karenanya bentuk pengawasan legislasi hanyalah terhadap kinerja birokrasi pemerintahan di bawah pimpinan Perdana Menteri.
Keterbatasan Parlemen tersebut semakin nyata jika dilihat dari fungsi-fungsi legislasi yang terdapat pada sistim campuran. Menurut T.A Legowo fungsi legislasi pada negara yang menganut sistim pemerintahan campuran adalah sebagai berikut;[29]
  1. RUU dapat diajukan oleh pribadi anggota, eksekutif dan pemerintah (perdana menteri dan Kabinet). [Bills can be introduced by the individual members, the executive and the government (the Prime Minister and the cabinet). However, the introduction of executive initiated bills takes precedence over member bills].
  2. Eksekutif menentukan agenda di badan legislatif dan dapat mengajukan usul untuk suatu paket pemungutan suara, yang akan menentukan apakah semua atau tak satupun rancangan undang-undang dalam paket itu disetujui. [The executive sets the agenda in the legislature and can call for a package vote, which forces all or none of the pieces in a package of legislation to be passed].
  3. Eksekutif dapat membuat setiap RUU yang diinisiasinya berakhir pada mosi tidak percaya jika ditolak, yang membubarkan Parlemen. [The executive can make any bill it initiates result in a motion of censure if rejected, which dissolves the parliament].
  4. Presiden dapat melakukan by-pass atas badan legislatif dengan cara meminta persetujuan langsung kepada rakyat melalui referendum nasional. Jika mayoritas suara mendukung RUU, RUU ini akan dengan sendirinya menjadi UU tanpa persetujuan badan legislatif. [The President can by-pass the legislature by taking a proposed bill directly to the public through a national referendum. If a majority of voters support the bill, it becomes law without any input from the legislature].
Terhadap sisitim pemerintahan Prancis tersebut, M.J.C. Vile berpendapat bahwa; The Constitution of the Fifth Republic also incorporated another element of the nineteenth century liberal view of constitutionalism, but, like the idea of balanced government, turned it into something very different in spirit and in practice.[30]
Undang-undang Parlemen Prancis dapat dibatalkan oleh eksekutif melalui pertimbangan Dewan Konstitusi (Constitutional Council). Oleh karena itu Dewan Konstitusi mengawasi pelaksanaan fungsi pemisahan kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam pembuatan undang-undang.[31]
Penggabungan beberapa sistim oleh Prancis disatu sisi memang menguntungkan untuk berjalannya pemerintahan yang baik, namun disisi lain mengakibatkan lembaga legislatif tidak memiliki fungsi legislasi yang kuat sebagaimana mestinya terletak pada sebuah lembaga perwakilan.
Pada sistim campuran yang juga dianut oleh Swiss, Majelis Federalnya (Bundesversamlung) memiliki kekuasaan legislasi yang cukup kuat dibandingkan dengan sistim Prancis. Majelis Federal (Bundesversamlung) terdiri dari dua lembaga, yaitu; Dewan nasional (National Rat/National Council) dan Dewan negara-negara bagian (Standes Rat/Council of States). Kekuasaan Eksekutif Swiss dipegang oleh sebuah Presidium yaitu Bundesrat (Dewan Federasi), terdiri dari 7 orang yang dipilih oleh Majelis Federal dengan masa jabatan 3 tahun. Satu orang dari anggota Dewan Federal menjadi ketua secara bergantian setiap satu tahun. Dewan Federasi melaksanakan putusan Majelis Federal tanpa perlu memberikan masukan. Walaupun dalam prakteknya dikarenakan Dewan Federasi terdiri dari kalangan ahli, maka Majelis Federasi seringkali meminta masukan Dewan Federal, termasuk pembuatan perundang-undangan[32].  Terdapat 14 kekuasaan dari Majelis Federal, yaitu:[33]
  1. Membuat aturan hukum yang berkaitan dengan organisasi dan cara pembentukan otoritas federal.
  2. Membuat aturan hukum atau keputusan yang berkenaan dengan terhadap hal-hal apa saja konstitusi federal itu berlaku.
  3. Menentukan gaji dan nafkah dari aparat otoritas federal dan secretariat federal, dan mendirikan kantor-kantor federal yang permanent.
  4. memilih anggota-anggota Dewan Federal (kabinet), Pengadilan Federal, sekretaris Negara (chancellor) dan komandan Angkatan Perang Federal, Peraturan Federal dapat memberi kuasa kepada Dewan Federal untuk mengesahkan pengangkatan-pengangkatan lainnya.
  5. Membuat persekutuan dan perjanjian dengan negara asing; serta menyetujui perjanjian antar kanton atau perjanjian antara Kanton dengan negara asing apabila Dewan Federal tidak memberikan persetujuan terhadap kesemuanya itu.
  6. Melakukan tindakan untuk mempertahankan keamanan eksternal demi terpeliharanya kemerdekaan dan status netral dari engara Swiss, mengumumkan perang dan membuat perdamaian.
  7. Menjamin keberadaan konstitusi dari wilayah kanton, campur tangan berkenaan dengan jaminan tersebut, melakukan tindakan untuk keamanan internal dan mempertahankan perdamaian dan ketertiban, memberi amnesty dan pengampunan (pardon).
  8. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk melaksanakan konstitusi, menjamin konstitusi negara bagian dan menyelenggarakan kewajiban-kewajiban federal.
  9. berhak untuk mengatur penggunaan angkatan perang federal.
10.  menentukan anggaran belanja rutin, dan menyetujui laporan keuangan negara dan keputusan tentang perubahan bantuan keuangan.
11.  Pengawasan umum terhadap administrasi dan keadilan federal.
12.  Pernyataan keberatan terhadap keputusan Dewan Federal (kabinet) mengenai dakwaan administrative.
13.  Menyelesaikan pertentangan antara kekuasaan-kekuasaan federal.
14.  Mengubah konstitusi federal.
Fungsi parlemen terbatas juga terdapat pada lembaga legislatif Portugal. Majelis Republik memiliki kewenangan mendengarkan proposal program kebijakan pemerintah, kemudian apabila Parlemen tidak menyetujui, majelis hanya memiliki kewenangan memberikan laporan kepada pemerintah. Jika terjadi perbedaan pandangan antara presiden dan parlemen, presiden dapat segera membubarkan majelis walaupun masa tugas mereka adalah 4 tahun.[34]
Majelis republik Portugal memiliki kewenagan yang lebih kuat dibandingkan Majelis Nasional di Prancis. Majelis Republik memiliki kewenangan untuk membentuk UU dan merubah konstitusi. Untuk perubahan konstitusi ditentukan dengan 2/3 suara anggota Majelis Republik.[35]
Dari beberapa bentuk negara campuran diatas dapat dipahami bahwa sistim pemerintahan campuran adalah sisitim pemerintahan yang memadukan sistim pemerintahan presidensiil dan parlementer bahkan memasukkan pola baru dalam pelaksanaan pemerintahannya. Namun juga dapat disimpulkan bahwa sistim campuran memberikan batasn kepada lembaga legislatifnya dan memperkuat lembaga eksekutif, yaitu Presden.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
I. Bogdanovskaia, The Legislative Bodies In The Law-Making Process
I Md. Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahana dalam Demokrasi Modern, Penerbit CV. Abardin, Bandung, 1990.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Penrbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistim Pemerintahan Negara, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Moh. Yamin , Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Yayasan Prapantja, Jakarta, 1959.
M.J.C. Vile, Constitutionalism and The Separation of Powers, Claderon Press, Oxford, 1967.
Pamudji,  Perbandingan Pemerintahan, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Robert Elgie, The French Presidency: Conceptualizing Presidential Power in The Fifth Republic, Public Administration vol. 74, Blackwell Publisher Ltd., Cambrige, USA, 1996.
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
T.A. Legowo, Paradigma Check and Balances dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif dalam Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, Laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia pada bulan Oktober 2001 oleh International IDEA.
Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press, 1999.
Website
-           http://www.undp.org/governance/docs/Parl-Pub-govern.htm, Governing Systems and Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems.
-           Eva Liu, System of Government in Some Foreign Countries: France, diakses melalui http://www.legco.gov.hk pada tanggal 15 Desember 2007.

[1].  Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Penrbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 321
[2].  Bandingkan dengan Moh. Yamin , Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Yayasan Prapantja, Jakarta, 1959, h. 260.
[3]. Lihat; www.en.wikipedia.org/wiki/Charles_de_Gaulle. diakses pada 15 Desember 2007.
[4].  Gaulle diangkat menjadi Perdana Menteri di bawah naungan Konstitusi Republic Ke-Empat
[5]. Robert Elgie, The French Presidency: Conceptualizing Presidential Power in The Fifth Republic, Public Administration vol. 74, Blackwell Publisher Ltd., Cambrige, USA, 1996, h. 280.
[6].   Opcit, www.wikipedia.org .
[7].  Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press, 1999, h.. 711.
[8].   Pamudji,  Perbandingan Pemerintahan, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 1988, h. 70-71.
[9].  Opcit. www.wikipedia.org dan bandingkan dengan data Pamudji,  Perbandingan Pemerintahan, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 1988, h. 64. yang menyatakan bahwa de Gaulle menang dengan 80% suara.
[10].   Opcit, www.wikipedia.org .
[11].   Opcit, Jimly.
[12].  Bandingkan dengan Opcit, Pamudji h. 72.
[13].  Ibid.
[14]. http://www.undp.org/governance/docs/Parl-Pub-govern.htm, Governing Systems and Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems).
[15]. Opcit, Pamudji, h. 65.
[16]. Eva Liu, System of Government in Some Foreign Countries: France, diakses melalui http://www.legco.gov.hk pada tanggal 15 Desember 2007.
[17]. Setelah amandemen, Presiden menjabat selama 5 tahun.
[19].  I Md. Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahana dalam Demokrasi Modern, Penerbit CV. Abardin, Bandung, 1990, h.51.
[22].  Ibid.
[24].Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, h. 72.
[25].I. Bogdanovskaia, The Legislative Bodies In The Law-Making Process, dapat di searching pada website google.com.
[28]. T.A. Legowo, Paradigma Check and Balances dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif dalam Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, Laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia pada bulan Oktober 2001 oleh International IDEA, h. 91.
[29].  Ibid. bandingkan dengan Opcit. http://www.undp.org
[30]. M.J.C. Vile, Constitutionalism and The Separation of Powers, Claderon Press, Oxford, 1967, h. 261.
[31]. Opcit I. Bogdanovskaia.
[32]. Bandingkan dengan; Joeniarto, Demokrasi dan Sistim Pemerintahan Negara, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1984, h. 84.
[33]Opcit, I Md. Pasek Diantha,…,h.52-53.

No comments:

Post a Comment