Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
B. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.)dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186
C. HAKIKAT FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HUBUNGAN ILMU KALAM, TASAWUF DAN FILSAFAT
Persamaan dan pebedaan
Dari uraian di atas, terdapat titik persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam Filsafat, dan Tasawuf.
Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut Kebenaran (al-haq). Sedangkan perbedaannya terletak pada cara menemukan kebenarannya.
Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud) yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperiment. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi secara radikal, integral, dan universal. Hubungannya; Dilihat dari titik persamaan dan perbedaan antara ilmu kalam, tasawuf dan filsafat, maka penulis dapat merumuskan hubungan dari ketiganya adalah saling menguatkan dan membantu dalam mencari kebenaran yang menjadi tujuan utama ketiganya. Walaupun dengan cara yang berbeda. Yaitu pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan mencari apa yang disebut kebenaran (al-haq).
PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah
sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama
lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan
pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M
di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru
kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu
Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya
terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai
metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok
Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya
berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama
bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan
keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya
ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah
dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan
Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali,
tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang
benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari
pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang
ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil
keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu,
ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300
H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai
pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase
ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah,
ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian
Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam
beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan
dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan
merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau
hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai
menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an
tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah,
hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang
selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung
dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari
itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran akidah muktazilah.
Di
antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk
Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah,
seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau
masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa
Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai
penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki,
wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada
periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat
Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan
ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau
para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif:
menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil:
menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan
makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada
periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah."
Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis
beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya
Asy’ariyah
Pada
masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan
rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah
salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika
menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah
Asy-'ariyah
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang
di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para
petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki
serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga
didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan
mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN
AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai
beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana
yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang
yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.”
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar
yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab
dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai
"As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah"
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di
tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari
syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya
radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli
Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna.
Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah
shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya,
memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan
dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang
dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan
nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu
i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab
Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah
shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun
penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya
firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada
mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para
ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia
melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada
Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah
Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai
laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula
Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara,
mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke
aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan
bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus
Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka,
kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di
hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus
Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah
Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah
yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah,
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap
berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah
yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam
i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang
berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang
perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1.
Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari
pemeluk Islam.
2.
Para Imam Mujtahid
3.
Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4.
Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5.
Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba'
dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti
dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan
Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama)
menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan
lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk
orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang
menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua
perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan
din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang
sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini
sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu
itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri
adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram
adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar)
kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya
di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah
sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga
kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya,
penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan
manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh
serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak
menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun
100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi
pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada
zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq
(813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah
diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak
bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah
Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah
menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan
Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon
pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran
mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan
usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan
nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan
pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal
Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf
"Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus
Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri
memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman
yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan
Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu
berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan
Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan
oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan
Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu
semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah.
Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim.
Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan
Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban
tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir
dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu
berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya.
Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada
yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran
yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus
ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah,
maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang
terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka,
"Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para
shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari
kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus
sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said
dalam majalah Al-Bayan bahwa:
- Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
- Bahwa
penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk
menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang
digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan
istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan
i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan
Muktazilah, di antaranya ialah:
1.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat,
yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada
makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.
Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.
Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena
diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan
oleh
Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep
janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan
makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin
pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan
antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu
keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf
nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk
menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan
atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu
satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan
pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti
ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka
yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah
makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi
ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin
mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut
mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia
kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan
bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak
terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut
Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada
mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin
dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang
mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu
saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan
manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal
Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia
beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti
pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri
manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan
adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H).
Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut
tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah
harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai
wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti
apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1.
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai
wujud di luar zat.
2.
Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3.
Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4.
Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5.
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak
wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang
tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat
Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana
pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama
masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang
berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini
dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada
ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan
filsafat.
KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa
kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata
ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap
sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok
Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi,
nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman
Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang
dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang
dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan
diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah),
atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara
historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah
yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian
hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits
yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan
Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah,
ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang
sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai
sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di
daerahOman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana.
Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu
sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat
sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap
firqah ini.
B. Awal
Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya
awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW.
Ketika
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di
desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada
Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa
orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang
diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul
Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi
Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”.
Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh,
kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan
di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan
menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar
ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah
bersabda:
“Siapakah
yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga
Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.”
(HR. Bukhari Muslim)
Saat
itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan
munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya
orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa
kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa
mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.”
(HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi
semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah
puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama
ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan
keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun
kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya
sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak
melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya
anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka
adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari
riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat
membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar.
Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan
hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri
khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan
orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya
akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun
tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan
para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya
anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh
mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana
yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu
Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka
membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu
dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma
milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya
apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak
akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka
kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat
mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum
muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror,
pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri
berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh
pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan
semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang.
Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan
keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya.
Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka
tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya
anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka.
Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR.
Muslim)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek
yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa
dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Khawarij adalah
anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan
oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran
Khawarij
Seperti
yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen
paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali
ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa
sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang
merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang
saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula
Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum
kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil
dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu
Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan
saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra.
menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah
mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan
Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya,
kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu
Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada
akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai
khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa
genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam
hukum Islam.
Artinya
menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti
proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip
dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa
lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan
sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia
telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar
prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk
bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil
dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian
watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras
memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama
lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya
dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka
cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah,
namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan
pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat
sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip
dasar kelompoknya.
Walaupun
keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti
itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar
bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir
saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan
hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari
kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada
saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar
golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam
Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari
golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi
Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama
khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari
barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka
menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada
QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah
di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut
kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana
disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk
mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga
disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran
sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri
dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal
sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma
illa lillâh”. (Syalabi: 309).
D.
Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti
yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem,
keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib
salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka
memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat.
Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi,
mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan
pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak
hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn
‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam
perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau
musyrik.
Untuk
mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka
menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya
menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka
qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu
al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn
Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri
nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al
Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang
menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki
pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan
analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka
sebelum menjadi Khawarij. Apakakah
istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau
sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan
teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang
benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis
kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang
ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan
dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah
Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman
Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah
menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada
menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’
walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Uraian
yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’
ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat
Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan
di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The
Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary
dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal
Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn
’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum
ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah
lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang
melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl
min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan
lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal
Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia
di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan
pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan
disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah
disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah
‘Utsman.
Sejalan
dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang
tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi
keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis,
suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari
ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh
karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam
pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit,
ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir
penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan
dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum
Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti
tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij
tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn
‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman
(masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya
masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh
para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban,
konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola
oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang
penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka
sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat
besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka,
tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman
menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak
lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam
jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan
di Iraqkekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan,
dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih
besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu
kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka
sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa
mempertimbangkan hak-hak mereka.
Sebagai
manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi
kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah.
Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman
mengakui tindakan kekerasan ini.
E.
Sifat‑sifat Khawarij
1.
Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang
Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul
saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul
sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang
lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan
Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan.
Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah
pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2.
Buruk Sangka
Fenomena
sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah
berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau
tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak
mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan
Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal
itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka
juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi
kepemimpinan yang jelas.
3.
Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini
dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat
sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan
sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam
karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebutquro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan
Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan
sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya,
apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya
ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada
apa-apanya.
4.
Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits
Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi
membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin
Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan
mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar
dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya
fitnah,
“Yang
duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari
yang berjalan….”
Mereka
bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah.
Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh
dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi
lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian
salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan
bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang
dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi
setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja
yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta
maaf dan membayar tebusan.
5.
Sedikit pengalamannya
Hal ini
digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda
yang hanya mempunyai bekal semangat.
6.
Sedikit pemahamannya
Disebutkan
dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada
manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri
tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan
menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7.
Nilai Khawarij
Orang‑orang
Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari
busurnya.”
8.
Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar
bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9.
Kedudukan Khawarij
Kedudukan
mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di
akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10.
Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah
saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
SEJARAH RINGKAS ILMU KALAM
. Sejarah Ringkas इल्मुकलम
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, ilmu ‘aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang jamaknya firaq. Firqah dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah. Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu kalam. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad Saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar disetujui menjadi Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman, dan keempat Ali. Terbunuhnya Usman dan naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menimbulkan masalah. Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu‘awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal dengan perang Siffin. Karena pasukan Mu‘awiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, ‘Amr ibn al‘Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa alAsy‘ari mewakili Ali dan ‘Amr ibn al‘Ash mewakili Mu‘awiyah. Dengan alasan menghormati orang tua, ‘Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian ‘Amr memakzulkan Mu‘awiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, ‘Amr berdiri mengukuhkan Mu‘awiyah menjadi Khalifah. Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan ‘Ali dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Mu‘awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij. Mereka memandang Ali, Mu‘awiyah, Abu Musa, ‘Amr ibn al‘Ash dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Persoalan kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Al-Quran, maka kemudian pelaku dosa besar (murtakib alkabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga aliran. Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji’ah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditangguhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan kafir (almanzilah bain almanzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas |
Subyek: Re: SEJARAH SINGKAT
ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAMTue Dec 16, 2008 3:25 pm
|
|
umat Islam yang kemudian dikenal
dengan golongan Ahlus Sunnah wa alJama‘ah. Al Hasan al Basri (w. 110 H)
Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah. Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta‘alluq (berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud. Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy‘ari, dikenal pula Ahmad at Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy‘ariyah, paham Maturidiyah dan paham Tahawiyah. Pendiri paham Mu‘tazilah adalah Wasil ibn ‘Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan al Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah. Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma‘bad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang pertama berpaham Jabariyah adalah Ja‘d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi‘ah ‘Ali. Syi‘ah ‘Ali juga membentuk aliran yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacammacam pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil. Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya. Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan ‘kekuasaan Allah.’ Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte. Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte ‘Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi‘ah yang berpendapat bahwa wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad Saw. Tentunya paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam. |
No comments:
Post a Comment