Seorang Lelaki & Iblis Yang Menangis
Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan
cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca.
Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang,
lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang
punggungku terdengar begitu nikmat.
Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah
rasanya?
Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam
padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu
beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.
Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama
itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang
terbuka.
Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di
beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin
dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya
membuat posisinya membentuk seperti siluet The Thinker, karya Auguste Rodin.
Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum
Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku. Kuamati
lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung? atau iblis yang sebenarnya?
Hah..! Ia mendesah panjang !
Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan
kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar
tanpa bidikan yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut
di salah satu tanduknya. Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi
mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikitpun.
Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti
bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir
dengan teriakan agak keras,
"Hush.. Pergi Sana !"
Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi berandaku.
Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimanapun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada Tuhan. Pada Allah sang pencipta.
Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimanapun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada Tuhan. Pada Allah sang pencipta.
Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan
pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku.
Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih
menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan
kemarahan sang Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis!
Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir air
mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya.
Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya
kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis - walau tentu
saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak
wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film holywood. Mungkin
agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak,
bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap.
"Pergi.. Jangan ganggu !", kali ini seruanku
lebih perlahan tapi tetap tegas.
Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya
terdengar agak parau dan kasar.
"Mengapa ?", tanyanya, "Kau begitu
takut padaku ?"
Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak
takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut
pada Allah, pada Tuhan yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong
padanya,
"Aku tidak takut sedikitpun pada mu!"
Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek
tua.
"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin
besar dari segala Iblis ?"
"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan
di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah siapa yang aku coba
yakinkan, dirinya atau diriku sendiri.
"Kau tidak berdusta?", tanyanya.
Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa
bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya,
aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke
kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa
dalam kitab suci - kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu. Yang
jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong
dua kali.
Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga
mengangguk kecil tidak termasuk berbohong.
"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya
lagi. "Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau
demikian benci padaku?"
"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala
Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu?
Edan !"
Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak
kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi
bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis
dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku.
"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku
Iblis? Hentikan tangismu ! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"
Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya
menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya.
"Boleh aku minta teh?"
Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang
atau sesosok iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti kataku yakin dalam
hati ia sedang merencanakan sesuatu.
Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya
pada Allah bersikap dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah
satu dosa?
Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini,
mungkin aku bisa bertanya. Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti
polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah
mereka ada, dan aku saja yang tidak mengetahuinya?
Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia,
otomatis malaikat akan hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin
tokoh-tokoh kartun dalam film walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap
dan sosok bertanduk yang saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?
Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok
putih bersayap. Di sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar.
Sekali kusenggol pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek - jangan-jangan
ada malaikat di baliknya.
Tapi tidak ada tanda-tandanya.
Tapi tidak ada tanda-tandanya.
Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja
samping tempat tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku,
lalu kutuang teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.
"Dengan satu syarat," kataku saat
mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya "Habiskan ini, dan tinggalkan
berandaku"
"Baiklah" katanya sambil mengambil cangkir
yang kusodorkan. Sebaliknya ia menyodorkan sendal kamarku.
Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan
cangkir ke bibirnya, lalu menyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan,
dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat
berkurang.
Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu.
Dengan cara minumnya seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru
menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang
lahir dari kata-kata manusia sendiri?
"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan
hatiku yang sedang sedih", katanya sambil memegang cangkir itu dengan
kedua tangannya, seperti mencari kehangatan di sana.
"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis"
sahutku kasar. "Kebaikanku memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan.
Jadi sebaiknya kau tetap tutup mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta
segera berlalu dari sini. Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan
terbuka"
Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku.
"Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?"
"Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?"
"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata
kasar" sahutku.
"Begitukah?" tanyanya hampir pada dirinya
sendiri. "Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?"
Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih
brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang
dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal
ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang
kompeten menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.
Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya
kompetensi untuk mencabut nyawa. Tapi bahkan Tuhanpun sepertinya menggunakan
sistem perwakilan. Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa
manusia, tapi tangan Tuhan sendiri.
Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa
jadi wakil Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup
untuk hilangnya selembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan sosok psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil tuhan dan
membunuhi pelacur.
Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam
benakku. Aku pasti sudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang
pandai. Sangat pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata.
"Tahukah kau mengapa aku sedih ?" tanyanya.
"Kau hendak mencobaiku aku, Iblis?"
sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku
untuk mengikutimu."
"Aku hanya bertanya," sahutnya
"Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan"
"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit
tertawa. "Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang Allah! dan
tidak ada empati untuk mahluk penentang Allah"
Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar
sangat sinis.
"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban
kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan.
Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan
sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada
empati untuk mereka. Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku
kejahatan. Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!"
"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu
adalah korban juga? Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik,
korban masyarakat? Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada
sedikitpun empati untuk mereka?".
Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang
Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan
mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak
sang Iblis. Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia ! Busuk
benar kan?
Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain
atas nama hak asasi manusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi
manusia lain. Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi
mana mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Toh
konsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsep
demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campur aduk
dalam tatanan hidup masyarakat mnodern sekarang ini.
Entah kapan tepatnya, di masa depan sosialisme dan
komunisme mungkin malah akan bersandingan dengan theis, dan bukan dengan
atheis.
Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja ! Yang
bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di
hadapanku ini ! Sang iblis ! Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia
yang jahat. Tapi sang Iblis !
Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang
pemerkosa, bandar narkoba, maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah?
Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya
victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.
Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya
sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai
berkata-kata lagi.
"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar
!" Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah.
"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang
pemberontakanmu menantang Allah. Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi
sifatmu bukan?"
Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.
"Aku hanya menjalankan perintah Allah."
katanya perlahan. "Allah memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk
menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada Allah. Apakah itu berarti
menentang Allah?"
Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya
"Kalau Iblis menentang perintah Allah untuk menguji manusia, apakah ada
Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-Nya? Mengapa
manusia harus membenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing
personal" katanya dengan raut tidak berdosa.
Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi
kata-katanya.
"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa
kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang
diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa
apa-apa atas kekuasaan Allah?"
Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan
pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat
suci untuk menjawab sang Iblis.
Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya
membaca -tanpa memahami huruf-huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa
kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh
saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.
Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis
secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B,
bacalah ayat B. Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada
ulama? Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak
diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada
dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti
sarinya.
Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang
Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan
sang Iblis.
Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan
pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan
Allah? Bagaimana teknis-praktisnya? Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut
nama Allah. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah
melontarkan satu kalimat bentakan,
"Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu
memutarbalikkan fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu."
Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan
keimananku. Cukupkah? Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan.
Perkara apakah itu akan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain
soal. Yang penting harus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau
penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat,
aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.
Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk
menghadapi sang Iblis. Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan
ketidakbenaran bukan? Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki
adalah mempercayai kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan
adalah benar-benar benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang
ambigu. Perkara kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. toh yang kita
lawan adalah sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.
Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru.
Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba-tiba.
"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut
nyawa?"
Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali
menjawabnya, pikirku.
"Kenapa harus membenci? Ia malaikat ! Tentara
Allah ! Makhluk suci yang tidak mau berpaling dari Allah. Tidak
sepertimu!"
"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"
"Ia menjalankan itu atas perintah Allah! Itu
tugasnya, Bodoh !" makianku akhirnya terlontar juga di atas
ketidaksabaranku.
"Bukankah akupun demikian? Aku hanya menjalankan
tugas." sahutnya perlahan.
"Entah apa kepercayaanmu terhadap Allah, tapi
semestinya kau tahu bahwa rencana Allah yang mendudukan manusia-iblis dan
malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita
masing-masing."
Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang,
dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku
--bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis tidak surut, tapi
aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.
Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis.
Bagaimanapun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk
mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih
rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku
tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.
Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi,
apalagi biang segala kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong
kejahatan Al Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan
bertarung secara fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga
menjalankan pertarunganmu.
Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena
hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara
fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor.
Jadi aku berkata perlahan saja.
"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu.
Lalu apa maumu?"
Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya
menggeleng-geleng perlahan.
"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu
saja."
"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu.
Apakah itu cukup bagimu?", sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah
ide muncul dalam benakku.
"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan
terus menggoda manusia, atau kau akan pensiun menjadi Iblis?"
Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk
sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala
khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket
langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini.
Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan
lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk
dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara
yang dinilai kafir.
Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut
Allah yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?"
Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa
manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal
dalam dunia.
"Aku tidak tahu." jawabku "Hati manusia
tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal
manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa
kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?"
"Manusia memang begitu" katanya. Sedikit
tersenyum ia melanjutkan "Kadang Iblis lebih jujur dibandingkan
manusia"
"Hah...!"sergahku pendek
"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya
sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang
Khalik-pun manusia masih bisa berdusta"
"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat
nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang
Khalik" kataku yakin.
"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis
menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi "Tuhan, Allah, tidak
hanya menunggu di perhentian terakhir. Dia menyertai manusia sepanjang
hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?"
Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang
ada saat-saat Allah terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak
ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are
all alone.
"Allah tidak membutuhkan manusia untuk
merasakannya. Ia pasti hadir." Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang
terlontar tiba-tiba dari bibirku. Bagaimanapun, itu jawaban diplomatis yang
bagus bukan?
"Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta
dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan"
"Atas bujukanmu tentu" sahutku pendek.
"Atas perintah Allah pula tentu", sahutnya
tersenyum.
Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main
kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara
menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini.
"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan
kebohongan-kebohongan di berandaku ini. Silahkan kau habiskan tehku, dan
pergilah cepat. Dan satu lagi" kataku dengan nada keras "Jangan
coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot" kataku
mengancam.
Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku
teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone,
"Kata-kata manis dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil,
dibandingkan kata-kata manis."
Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu
gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan
mengambilnya.
"Apakah kau masih membenci aku?"
Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas
untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk
Allah, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai
manusia dan penyembah Allah. It is just business, nothing personal"
Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas.
Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan
cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik
buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.
Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya.
"Waktunya minum obat sir", katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku.
"Waktunya minum obat sir", katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku.
Januari 2005 Sentaby, DBaonk
* * * *
Glossary :
the
thinker = karya terkenal Auguste Rodin yang terinspirasi karya besar Dante :
Divine Comedy. Diletakkan di pintu masuk Museum Decoratie Arts di Paris,
kabarnya menggambarkan sosok Dante sendiri sebagai seorang pemikir.
Sith
= Tokoh antagonis rekaan dalam film George Lucas Star Wars. Tokoh ini pertama
kali muncul dalam episode pertama Star Wars (yang justru diciptakan setelah
trilogi episode IV, V & VI)
just
business - nothing personal = ungkapan dalam bahasa Inggris yang menunjukkan
tidak ada kepentingan pribadi melainkan hanya pekerjaan semata.
enough
= cukup
prozac
= obat yang biasa digunakan untuk penderita schizofrenia (penderita gangguan
jiwa)
Rio Bukan Abi-Ku
“Haloo, selamat malam…”
“Ya, malam. Masak siang sih?”
“Maaf kalau saya mengganggu, bisa bicara dengan Ria?”
“Bisa… Eh, bisa nggak ya? Telepon kok jam setengah
sebelas malam kayak begini, Kalau sudah tidur bagaimana? Apa nggak bisa telepon
lebih sore? Ada
perlu apa sih?”
“Oh, ini Ria. Sory, ‘Ri.. teleponnya agak kresek-kresek
nih. Jadi suaranya nggak begitu jelas.”
“Aaah.. alasan aja. Masak sampai nggak ngenalin
suaranya. Atau sudah kebanyakan kenal cewek ‘kali?”
“Yah.. jangan ngomong begitu dong ‘Ri. Bener nih..
teleponnya kresek-kresek. Sekarang Rio bukan nelepon di wartel yang biasa sih
‘Ri. Ini wartel kecil yang di pinggir jalan deket rumah Rio.
Tahu kan?
Yang ini bukan pake jaringan Telkom, tapi pakai Ratelindo. Jadi suaranya suka
nggak beres. Kalau enggak, masak sih Rio nggak
ngenalin suara pacar sendiri. Kamu kayaknya masih marah ya?”
“Marah? Memang kamu ngapain sampai mesti marah?”
“Yah… yang kemarin itu.. Rio
sekali lagi minta maaf deh ‘Ri..”
“Maaf? Cowok memang gampang minta maaf, ya?”
“Bener ‘Ri.. Rio
nyesel. Rio nggak bermaksud selingkuh kok?
Cuma..”
“Cuma... cuma...! Selingkuh kok cuma…”
“Jangan gitu dong ‘Ri. Dari kemarin kamu nggak mau
denger penjelasan Rio sih.”
“Ya coba jelaskan sekarang dong. Untuk itu ’kan kamu menelepon?”
“Rio nggak bermaksud
jalan sama Natasyha. Eh.. maksudnya nggak bener-bener pengen jalan. Cuma iseng
aja kok. Natasyha pengen lihat–lihat Ekalokasari, katanya belum pernah ke sana”
Tiba-tiba sesosok bayangan terlintas di benakku. Iya
ya, Abi juga sudah janji mau mengajak aku ke Mall baru itu, tapi sampai
sekarang belum sempat juga. Sudah berapa lama ya? Aduh.. kenapa jadi ingat Abi
di saat-saat begini? Hh.. dibandingkan Rio
ini, Abi sih jauh berbeda.
“Ri..? Kok
diam?”
Suara sebuah motor terdengar meraung begitu keras.
Maklumlah, namanya wartel di pinggir jalan raya, pasti suara kendaraan bisa
terdengar jelas. Makanya, memang lebih enak nelepon malam-malam. Lebih sepi,
walau kadang-kadang masih terdengar juga suara motor yang ngebut seperti
barusan.
“Yah.. pokoknya gitu deh ‘Ri. Rio kebetulan ingin
nyari buku. Sebelumnya sudah Rio cari di Gramedia Pajajaran, tapi nggak ada.
Lalu Rio ingin nyari di Gramedia Eklok, jadi Rio pergi bareng Natasyha.”
“Buku? buku apa?”
“Emh.. sebenernya Rio pengen jadi kejutan. Tapi, Ria
keburu marah sih. Rio cari buku itu untuk kamu ‘Ri. Rio tahu kamu pasti suka.
Kamu pengen punya Eragon kan?”
“Hah? Buku baru itu? Yang katanya bakal jadi saingan
Harry Potter? Yang katanya ditulis waktu penulisnya baru berusia lima belas
tahun? Aduhh… pengen banget nih…”
“Nah… gitu dong ‘Ri. Jangan marah terus. Rio seneeeng
banget, kalo denger suara kamu yang manja kayak barusan.”
“Ala.., ngerayu. Paling bisa.”
Tapi tidak tertahan mendengar kata Eragon, bayangan
Abi kembali menyergap. Abi suka banget dengan Lord Of The Ring-nya JJR Tolkien.
Novel ini jadi tambah ngetop sejak difilmkan oleh Hollywood. Tapi Abi sudah
suka jauh sebelum filmnya dibuat. Dia membaca edisi bahasa Inggrisnya, yang
dibelikan seorang pamannya yang berada di Singapura. Kalau aku sendiri sih,
tadinya lebih suka Harry Potter. Tapi sejak berbarengan dengan film-nya, edisi
bahasa Indonesianya LOTR diterbitkan, Abi membelikan khusus untukku. Aku jadi
berkenalan dan jatuh cinta juga dengan kisah petualangan Frodo Baggins dan
kawan-kawannya. Katanya Eragon ini ceritanya mirip-mirip dengan LOTR, Aduh..
kapan sih Abi pulang?
Suara Rio kembali menyadarkanku. Entah sudah ngomong
apa dia tadi. Memikirkan Abi membuatku kehilangan konsentrasi.
“Ri.. jangan marah lagi ya. Pokoknya percaya deh, Rio
nggak akan selingkuh dengan Nathasya. Apalagi Nathasya kan temen baik kamu.
Masak Rio tega sih, menghancurkan persahabatan kamu sama dia?”
“Rio… Rio. Kamu jarang baca koran ya. Nggak pernah
main Internet? Justru lebih banyak perselingkuhan terjadi dengan orang
terdekat. Kalau memang nggak ada apa-apanya sama Nathasya, kenapa baru ngasih
tahu sekarang? Kenapa enggak ngasih tahu waktu kamu pergi? Nggak sempet
nelepon?”
Suara Rio terdengar gugup.
“Eng.. ‘Ri. Rio mohon.. mohooon banget Ria mau
percaya. Abis itu Rio memang nonton sama Nathasya. tapi itu bukan kencan Ri..
bukan apa-apa. Rio nggak ngapa-ngapain kok sama dia. Nggak seperti sama kamu
Ri. Nggak akan Rio mau kissing cewek lain selain kamu.”
Hmm.. Kubilang juga apa. Abi jauh berbeda sama kamu
Rio. Abi tidak pernah berniat menyentuhku sedikitpun. Itu yang membuatku merasa
aman. Hubungan kami masih berjalan sesuai dengan akidah-akidah agama. Yah..
memang kalau untuk aturan yang bilang dilarang bepergian sama cowok yang belum
menjadi muhrimnya berdua-duaan, Aku dan Abi masih melakukan juga. Tapi Abi
sangat ketat menjaga perilakunya. Kalau duduk di angkot-pun, Abi tidak pernah
duduk sejajar denganku. Seperti menjaga agar tidak harus bersentuhan terlalu
banyak, Abi selalu memilih duduk di depanku. Atau seringpula ia menyuruh aku
duduk di bangku depan, di samping supir angkot. Lebih aman katanya.
Ah.. sosok Abi kembali terbayang begitu kuat di
benakku. Abi tampan, dengan jenggotnya yang tidak terlalu lebat, ia tampak
sangat dewasa. Dan itu bukan cuma hiasan. Abi benar-benar cowok yang jarang
ditemukan sekarang ini. Dia sopan, taat beragama. Hubungan kamipun bukan
pacaran dalam arti pacaran seperti banyak remaja lainnya. Abi tidak pernah
mengucapkan kata-kata cinta.. atau semacam itu.
Tapi aku tahu kalau ia menyayangiku. Itu ditunjukkan
lewat perbuatannya. Ia selalu siap membimbing, kalau aku sedang bete. Tapi juga
nggak pernah ngasih nasihat yang muluk-muluk. Kata-katanya selalu terdengar
pas. Abi.. Abi.. kalau kubilang kangen, dia pasti tersenyum. Tapi senyumnya
penuh dengan nada peringatan, yang membuatku sadar kalau belum boleh dan belum
perlu mengatakan hal-hal yang kayak gitu.
“Ria..”
Suara Rio kembali membuatku tersadar. Hihi.. kenapa
ingat Abi terus sih?
“Ria sudah mengerti kan? Nggak marah lagi kan?”
Kalau saja aku bisa mengatakan terus terang pada si Rio
ini.
“Maaf Rio, kamu cuma mengingatkanku pada Abi saja.
Terus terang dari tadi aku jadi tidak menyimak kata-kata kamu.” Padahal aku di
sini ingin mendengarkan setiap kata yang keluar. Ingin mencatat semua kata yang
terucap dalam percakapan ini.
Enaknya cowok macam Rio ini diapakan ya? Dimaafkan?
Banyak banget sekarang cowok-cowok yang gampang selingkuh kanan-kiri. Tapi
cewek juga banyak ya.. hihihi.. Jadi pengen ketawa sendiri. Mungkin ini jaman
emansipasi. Kalau cowok boleh selingkuh, cewek juga boleh dong. Ah, kayaknya
sih yang paling bener.. seperti yang dibilang Abi, “Kalau pertemanan antara
cowok dan cewek seperti ini, harus meningkat menjadi ikatan yang lebih kekal,
biarlah itu terjadi nanti di saat kita sama-sama siap. Siap menanggung beban yang
datang dari diri pasangan yang kita cintai. Karena beban itu sama sekali tidak
mudah seperti kelihatannya. Saat ikatan itu tercipta, pada hakekatnya dua orang
yang terpisah, tetapi telah menjadi satu kesatuan.” Kalau saja Rio berpikiran
seperti Abi.. Hhh.. nggak mungkin selingkuh kan?
Ah.. Abi melulu yang ada di pikiranku. Rio jadi nggak
kedengeran lagi suaranya. Ngomong apa ya dia tadi? Lebih baik memusatkan
perhatian sama omongan Rio. Kalau tidak, percuma saja aku ada di sini. Lebih
baik tidur.
“Ria.. masak kamu nggak percaya sih sama Rio? Terserah
deh Ri.. Rio cuma sayang sama kamu. Nggak sama yang lain. Kamu mesti percaya
‘Ri”
Kenapa? kenapa harus percaya sama kamu Rio? Kenapa
harus percaya dengan cowok yang selingkuh dengan sahabat pacarnya sendiri?
“Ria !”
Suara Rio yang agak keras terdengar lebih jelas.
“Rio nggak selingkuh. Masak jalan-jalan dan nonton aja
kamu anggap selingkuh? Kamu nggak adil dong ‘Ri.”
“Nggak adil? Begitu ya? Adilkah kamu ketika berbuat
begitu Rio? Adilkah kamu terhadap perasaan cewek yang jadi pacarmu? Memang kamu
tahu isi hati cewek, Rio? Nggak! Kenapa? Karena kamu cowok. Dan bukan itu saja,
kamu cowok yang jahat!”
“Ri.. maafkan Rio. Rio minta maaf. Rio janji nggak
akan kejadian seperti itu lagi.”
Aku jadi ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi kutahan.
Nggak lucu juga kalau Rio sampai mendengar suara tawaku. Konsentrasinya bisa
buyar, dan aku kehilangan momen yang penting ini.
Dari balik bayangan kaca, kulihat jam di dinding.
Wah.. tak terasa percakapan ini sudah lebih dari lima belas menit. Berarti
sudah sangat larut malam. Mesti cepet-cepet tidur nih, kalau nggak aku besok
bisa terlambat mengikuti kuliah jam pertama di kampus. Semoga percakapan ini
cepat berakhir. Biar cepet sih, mestinya si Rio ini dimaafkan saja.
“Bener Ri? Bener kamu mau maafin Rio?”
“Hh… kalau sudah dimaafkan, lalu besok begitu lagi ya?”
“Ya enggak dong Ri.. Janji Ri. Itu pertama dan
terakhir Rio nyoba-nyoba jalan sama cewek lain selain kamu. Nggak akan pernah
lagi. Aduh… makasih banyak ya Ri. Rio jadi lega sekarang. Ya udah ya.. ini udah
malam nih. Selamat malam ya sayang, cepet bobo biar besok nggak terlambat ke
sekolah.”
Terdengar bunyi telepon diletakkan.
Lalu diam sebentar, dan samar-samar terdengar suara
tombol telepon dipencet.
“Halooo, Nathasya ada.. ? Eh, say… lama ya nunggu..”
Dasar! Memang cowok brengsek rupanya.
* * *
Aku membereskan kertas-kertas yang kugunakan untuk
mencatat kata-kata Rio dan jawaban-jawabanku tadi, lalu bergegas keluar dari
bilik wartel yang kecil itu. Jadi ingin tahu seperti apa sih tampang cowok Rio
ini? Sambil berjalan ke meja operator wartel, sekilas aku menoleh ke bilik
telepon di samping bilik tempatku tadi.
Rio kelihatan masih menelepon Natasyha dengan asyik.
Telepon di telinganya dijepit dengan bahu, sementara tangannya terlihat
mempermainkan sebuah kunci. Kunci motornya mungkin. Dari balik pintu kaca
wartel ini kelihatan sebuah motor Suzuki dengan gaya dimodifikasi abis,
diparkir agak di samping pintu.
“Sudah selesai ‘Dut? Dapet bahan bagus?” Bobby, penjaga
yang merangkap jadi operator wartel malam itu bertanya sambil masih mengunyah
martabak yang tadi kubawakan untuknya. Bobby satu-satunya penjaga wartel itu
yang mau mentolerir apa yang kulakukan di wartelnya. Karena rumah kami saling
bersebelahan di seberang wartel ini, ia cukup akrab denganku hingga lebih
sering menyapaku dengan panggilan ‘Idut’ dibanding Maulida, namaku yang
sebenarnya.
“Lumayan, Bob.. bisa jadi bahan cerpen bagus nih.
Martabaknya udah abis?”
“Hehehe… tinggal dikit nih. Lagian, ini kan sogokan buat gue..
hehehe..” Ia tertawa lagi, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan lebih
perlahan.
“Lu tuh ya, iseng banget nguping pembicaraan orang
cuma buat nyari bahan cerpen. Yang ini kayaknya pasti jadi cerita pacaran yah?
Kalo udah jadi, kasih liat gue ya..”
Aku mengangguk.
“Ceritanya sih belum tahu Bob, cuma judulnya sih udah
kebayang”
“Apaan?”
Tersenyum kecil, aku menjawab mantap.
“Rio bukan Abi-ku”
Sentaby, DBaonk, Agustus 2004
Aku, Sahabat, dan Penjahat
2 Agustus 2009, Rajian S R, Kelas XII SMAN Plus,
Provinsi Riau
Kevin Danubrata melangkahkan kakinya dengan
tenang memasuki taman kota.
Matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya yang pasti menunjukkan dia sudah
mengenal taman ini dengan baik. Tanpa tergesa-gesa dia menuju salah satu
bangku yang terdapat di bawah pohon. Bangku itu menghadap ke air mancur yang
banyak terdapat di taman itu. Di bangku itu telah duduk seorang wanita. Wanita
itu berkulit putih, berambut hitam panjang, dan cantik.
“Hai, Arya. Sudah nunggu lama?” sapa Kevin tenang.
“Duduklah,” balas si wanita tanpa menatap Kevin sama
sekali. Matanya menatap kosong dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Alis
Kevin naik. Tidak biasanya Arya bersikap seperti ini. Namun dia pun duduk di
bangku itu. Setelah duduk, Kevin tidak berkata apapun. Dia berpikir sejenak.
Setelah makan siang tadi, dia menerima pesan singkat dari Arya yang memintanya
datang ke sini. Maka dia datang tanpa bertanya-tanya.
Kevin merenungkan sikap Arya. Arya adalah sosok yang
terkenal di kampus. Ia dikenal karena pikirannya yang cerdas, wajahnya yang
cantik, dan sikapnya yang ramah. Keramahan yang tenang, tulus, dan alami. Namun
ada kalanya dia bersikap dingin dan kurang bersahabat, seperti sekarang ini.
Sikap yang jarang sekali ditunjukkan Arya.
Beberapa menit berlalu. Arya masih diselimuti
kebungkaman yang aneh. Kevin pun tidak berniat mengusiknya. Dia tahu, Arya akan
bicara pada saatnya. Dia dan Arya sudah lama bersahabat hingga cukup tahu
tabiat masing-masing. Lagi pula Kevin sedang menikmati suasana tempat ini. Taman itu diselimuti cahaya senja yang berpendar, dan
suasananya damai. Kevin selalu menyukai keheningan yang damai. Kala semilir
angin menerpanya, ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu.
Kala itu Kevin sedang berkeliaran di sebuah toko buku
besar di Bandung.
Alasannya adalah untuk mencari sebuah novel terkenal. Novel yang telah terbit
beberapa waktu lalu, dan dengan cepat digemari. Kevin sangat ingin membeli
novel itu. Selain memang hobi membaca, Kevin juga seorang penulis. Sudah sering
cerpennya diterbitkan di majalah-majalah dan koran terkenal. Dan bulan lalu
novel pertamanya terbit. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Maka
sejak itu Kevin makin rajin mengikuti perkembangan dunia tulis-menulis. Karena
kesibukannya, Kevin baru bisa menyempatkan diri membelinya sekarang.
Setelah mencari sebentar, matanya menemukan novel itu. Hanya tersisa satu. Saat
akan mengambil novel itu, tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Kevin
menoleh. Ternyata seorang wanita. Dan cantik pula. Wanita itu diam saja. Namun
dari sikapnya tadi sudah jelas apa yang diinginkannya. Maka dengan sikap
ksatria Kevin mengisyaratkan pada wanita itu untuk memiliki novel itu. Biarlah,
pikirnya. Masih ada tempat lain.
Kala Kevin hendak beranjak, wanita itu menahannya.
Tampaknya dia terkesan dengan sikap Kevin. Wanita itu pun memperkenalkan
dirinya. Namanya Arya, dipanggil Arya. Kevin lalu memperkenalkan dirinya juga.
Dan dilanjutkan dengan obrolan beberapa lama. Ternyata mereka memiliki hobi
yang sama, meminati sastra. Dan juga satu hal lagi, ternyata mereka mahasiswa
dari fakultas dan kampus yang sama.
Setelah pertemuan itu, mereka tetap berhubungan.
Sampai sekarang Kevin masih heran dengan pertemuan itu. Walau berwajah tampan
dan berbakat menulis serta bermusik, Kevin tidak mudah mengawali perkenalan.
Dia suka berteman, tapi dia juga suka ketenangan. Agar mudah dapat inspirasi,
pikirnya. Mungkin ini disebabkan sikap Arya yang ramah dan supel. Kevin
pun tidak keberatan. Baginya Arya adalah sahabat. Selain karena mereka memiliki
hobi yang sama, ini juga disebabkan karena sikap Arya yang ramah itu. Arya juga
cerdas, sehingga dapat memahami cara berpikir Kevin yang menyukai ketenangan.
Maka begitulah mereka adanya. Dua sahabat, tidak kurang, tidak lebih. Mereka
merasa puas dengan sebutan itu, sahabat. Tempat sebagian diri kita tertambat.
Tiba-tiba, sebuah sengatan kecil di lengannya
membuyarkan lamunan Kevin dan menyeretnya kembali ke realita. Ternyata nyamuk.
Sial, gerutu Kevin.
“Kevin,” akhirnya Arya memecah keheningan yang
dibangunnya sendiri.
“Ah…akhirnya. Ada
apa, Arya?” tanya Kevin dengan tenang.
“Kenapa?” Arya bertanya dengan nada yang dingin dan
kosong.
“Maksudnya?” Kevin masih tidak mengerti.
“Kamis malam
seminggu yang lalu, ruang kosong di kampus, pukul 11 malam.” hanya itu balasan
Arya.
Kevin langsung tercekat. Kata-kata Arya bagai petir di
siang bolong. Sesaat ia merasa jantungnya berhenti berdetak dan darah menguap
dari tubuhnya. Jiwanya terguncang. Mati-matian ia mengendalikan tubuhnya yang
gemetar. Jadi, Arya tahu. Setelah susah-payah menenangkan diri, dia meyusun
kata-katanya.
“Bagaimana…kamu bisa tahu?” tanya Kevin.
“Karena saat itu aku ada di sana.” jawab Arya.
Jawaban itu memukul Kevin dengan telak untuk kedua
kalinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Maka dia terdiam. Arya pun
terdiam. Keduanya terdiam. Pikiran Arya pun melayang dituntun kesunyian.
Dibimbing oleh ingatan, ke malam itu. Malam yang tak akan dilupakannya seumur
hidupnya.
Kala itu Arya tinggal agak lama di kampus untuk
mencari materi untuk tugasnya. Setelah selesai, dia pun bermaksud pulang. Saat
sedang menyusuri koridor kampus yang lumayan gelap, dia mendengar suara-suara
dari ruang di tikungan di depannya. Siapa yang bicara di kampus pada jam
selarut ini, pikirnya. Arya lalu memperlambat langkahnya. Dia berhenti di
tikungan sebelum pintu ruangan tempat suara itu berasal. Dia mendengarkan
dengan seksama. Ada dua orang. Suara yang satunya tenang, dan yang lainnya
kasar dan keras.
Arya mengenali salah satu suara itu. Kevin? pikirnya. Dia heran. Namun dia memilih tetap mendengarkan. Dia tercekat mengetahui isi pembicaraan itu. Makin lama pembicaraan makin panas. Suara yang keras itu makin lama makin kasar. Namun tiba-tiba hening beberapa lama, dan disusul bunyi yang keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan seseorang melangkah ke luar ke arah berlawanan, berlalu tanpa menyadari kehadiran Arya. Arya tidak dapat berpikir jernih. Kakinya gemetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, ia melesat meninggalkan tempat itu, masuk ke mobilnya, dan segera pulang.
Arya mengenali salah satu suara itu. Kevin? pikirnya. Dia heran. Namun dia memilih tetap mendengarkan. Dia tercekat mengetahui isi pembicaraan itu. Makin lama pembicaraan makin panas. Suara yang keras itu makin lama makin kasar. Namun tiba-tiba hening beberapa lama, dan disusul bunyi yang keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan seseorang melangkah ke luar ke arah berlawanan, berlalu tanpa menyadari kehadiran Arya. Arya tidak dapat berpikir jernih. Kakinya gemetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, ia melesat meninggalkan tempat itu, masuk ke mobilnya, dan segera pulang.
Esoknya, kampus pun gempar. Di ruang kosong itu
ditemukan mayat Steve, mahasiswa di kampus itu juga. Bersama sepucuk pistol.
Dan yang lebih menghebohkan, di sekitar mayat Steve berserakan berbagai bukti.
Bukti tentang pengedaran narkoba. Ternyata Steve adalah pengedar di lingkungan
kampus. Selain itu terdapat juga daftar nama anggota Steve, jalur
pengedarannya, foto-foto transaksi, dan masih banyak lagi.
Keesokan harinya, berita itu muncul di halaman depan
berbagai surat kabar. Jaringan pengedar di kampus dibekuk. Ternyata jaringan
itu luas dan melibatkan beberapa aparat kepolisian. Itulah sebabnya komplotan
ini bisa melebarkan sayapnya dalam kerahasiaan tanpa tercium sedikitpun. Kecuali
bagi Kevin, pikir Arya.
Selama seminggu, Arya gelisah. Dia menjadi saksi dari
sebuah pembunuhan. Dan pembunuh itu adalah sahabatnya. Namun korban adalah
penjahat. Sampah masyarakat. Terjebak dalam dilema, Arya akhirnya mengambil
tindakan. Dia harus mendapat kebenaran itu dari mulut Kevin sendiri.
“Kevin…ceritakan padaku apa yang terjadi malam itu,
sekali lagi.” perintah Arya.
“Baiklah, Arya…” desah Kevin. “Malam itu aku memanggil
Steve dengan membawa bukti, memaksanya menyerahkan diri ke polisi.”
“Apa kau sudah gila? Kau bisa dibunuhnya.”
“Tidak akan. Aku bilang padanya, jika aku mati,
esoknya salinan bukti-bukti itu akan menghiasi media.”
“Dari mana kau dapatkan bukti-bukti itu?”
“Aku punya naluri yang tajam. Karena curiga pada
Steve, kuselidiki dia berminggu-minggu.”
“Lalu? Apa yang terjadi?”
“Dia mengancamku dengan pistol untuk menyerahkan
bukti. Dia tidak percaya akan ancamanku.”
“Apa? Steve…” Arya tak mampu melanjutkan.
“Aku terdesak. Nyawaku terancam. Sesaat Steve lengah,
dan kuhantamkan pipa besi ke lehernya. Aku hanya bermaksud membuatnya pingsan.
Ternyata dia mati.”
“Jadi…keheningan itu…”
“Saat Steve menodongku dengan pistolnya.”
“Dan suara keras itu…” Arya akhirnya mengerti.
“Kenapa polisi tidak menangkapmu?” Pertanyaan ini
terus menghantui Arya.
Steve menjawab dengan suara bergetar. “Karena aku
berhati-hati. Aku sudah menghapus sidik jariku yang ada di bukti-bukti itu
sebelum bertemu Steve. Dan pertemuan itu rahasia. Ternyata Steve terbunuh. Aku
panik. Sebelum keluar, kuhapus sidik jariku yang ada di pipa besi dan pegangan
pintu.”
“Tanpa menyadari bahwa aku ada di balik tikungan…”
balas Arya. “Jadi itu sebabnya…” dan Kevin pun tertunduk. Arya pun terdiam.
Walau begitu, dia heran dengan tindakan Kevin.
Menyelidiki Steve. Mengancamnya. Mungkin karena dia penulis dan banyak membaca,
pikir Arya. Sampai di sini dia masih mengerti. Namun, menghapus bukti setelah
membunuh. Dia merasa tak lagi mengenal sahabatnya. Dan masih ada satu
pertanyaan, walau dia sudah tahu jawabannya.
“Kenapa kamu tidak meyerahkan diri?”
“Itu kecelakaan. Sepenuhnya pembelaan diri. Dan Steve
sampah masyarakat. Dia pantas mati.”Arya tercekat mendengar kalimat terakhir
itu.
“Itukah jawabanmu?”
“Itulah kebenaran, Arya.”
“Kebenaran? Apa maksudmu?”
“Kebenaran…adalah apa yang ingin didengar oleh masing-masing
orang.” Arya terdiam.
“Lihat faktanya, Arya. Masyarakat tak peduli apakah
pembunuh Steve tertangkap atau tidak. Mereka justru bahagia. Seorang perusak
generasi muda mati, walau ini bukan keinginanku pada awalnya. Kampus kita pun
jadi sedikit lebih baik. Inilah…kenyataannya.”
Jauh di bagian terdalam hati dan logikanya, dia mengakui Kevin benar.
Jauh di bagian terdalam hati dan logikanya, dia mengakui Kevin benar.
“Lalu, bagaimana denganku? Aku mengetahui
kebenarannya.”
Kevin diam saja. Dia dan Arya sudah tahu jawabannya. Kevin tidak akan pernah mengusik Arya. Arya sahabatnya. Dan Arya pun mengerti. Dia tak bisa melaporkan Kevin. Kevin tak berniat membunuh. Dan jaringan pengedar itu sudah terungkap. Melaporkan Kevin hanya akan membahayakan nyawanya. Kevin sahabatnya.
Kevin diam saja. Dia dan Arya sudah tahu jawabannya. Kevin tidak akan pernah mengusik Arya. Arya sahabatnya. Dan Arya pun mengerti. Dia tak bisa melaporkan Kevin. Kevin tak berniat membunuh. Dan jaringan pengedar itu sudah terungkap. Melaporkan Kevin hanya akan membahayakan nyawanya. Kevin sahabatnya.
Mereka sudah lama bersahabat. Saat itu mereka bisa
mengetahui pikiran masing-masing tanpa bicara. Keheningan yang menggantung
telah menjawab segalanya. Dan mereka pun tahu, karena kejadian ini,
persahabatan mereka akan berubah. Entah berakhir atau berlanjut, yang pasti tak
akan pernah sama lagi.
Malam mulai menyelimuti mereka. Dengan tenang, Arya
berdiri dan beranjak, meninggalkan Kevin di sana. Di bangku itu. Bernaungkan
malam berteman sunyi sepi dingin tak terperi. Pada malam itu bintang, pohon,
air mancur, bangku, dan semua yang ada di taman itu menjadi saksi. Saksi akan
kesunyian. Kesunyian yang menyesakkan seorang Kevin Danubrata.
Angin Mengabarkan
Malam
itu Lila gelisah tak menentu. Matanya sulit terpejam,sesaat ia terbangun dari
tempat tidurnya dan duduk di dekat jendela kamarnya. Angin malam yang begitu
menusuk tidak di hiraukan oleh Lila. Matanya terus memandangi pemandangan malam
yang nan jauh d puncak-puncak gunung. Cianjur memang memberi ketenangan pada
Lila untuk melupakan semua yang terjadi saat dia di Jakarta. Namun entah
mengapa bayangan itu mengusik lagi. Padahal ia telah membuangnya jauh-jauh, bayangan
tentang Hendro yang telah menyakiti hatinya. Segurat sesal telah menoreh
hatinya. Harusnya Lila tidak usah mengenal dan tahu siapa POLISI yang
berpangkat BRIPDA NRP 87090209 Sat. SAMAPTA itu. Namun nasi sudah menjadi
bubur, semua tidak bisa di ulang lagi. Dan malam itu Lila benar-benar merindukan
Hendro. Merindukan tawanya, suaranya, juga wajahnya yang telah menyakitinya. Benarkah
demikian? Dan sebuah suara membuyarkan lamunan Lila yang tengah duduk menghadap
utara. Dimana terdapat di sana terdapat puncak-puncak gunung yang hijau.
"Belum
tidur, kak?" Suara Alfa langsung menyeruak telinga Lila dan merambatkannya
ke mulut untuk segera menjawab. "Belum,Fa.Kamu sendiri kenapa belum
tidur?" "Aku nggak sabar pingin cepat balik ke Jakarta.Di sini
dingin.Kak Lila betah ya,di sini?" Lila hanya menyungging
senyum.Tidak tahu mau menjawab apa.Yang jelas,Jakarta telah membuatnya trauma
dengan kejadian itu. Vony kekasih Hendro yang baru di kenalnya itu
membuatnya malas untuk kembali ke Jakarta.Sekian lama Lila pacaran dengan
Hendro,ia tidak pernah tahu kalau Hendro telah di jodohkan oleh kedua orang
tuanya dengan Vony.Guru di salah satu SMA di Jakarta.Yang menyakitkan,Hendro
pura-pura tidak mengenal Lila saat ia bertemu dengannya.Saat itu Vony beraa di
dekatnya.Merangkul tangannya dan berlaku manja.Baru pada esok harinya,saat Lila
berangkat menuju ke kampus,Hendro mencoba mengatakan yang sebenarnya
terjadi.Bahwa Hendro tidak mencintai gadis yang bernama Vony.Namun Lila
menganggap itu hanya sebuah pembelaan dari Hendro."Kamu harus percaya aku
,La...."Kata Hendro mencoba menahan langkah Lila.Namun Lila tetap acuh tak
acuh. "Udahlah Hen,nggak ada yang salah.Aku tahu kamu cuma main-main
sama aku.Karena aku anak kuliahan.Sedangkan Vony,dia sudah mapan,sudah punya
pekerjaan,cantik pula.Pilihn orng tua kamu.Jadi untuk apa kamu masih
memperulikan aku?Bukannya kemarin kamu nggak kenal sama aku?Lupakan
aku,Hen.Ingat dengan gelar POLISI yang kamu sandang." "Aku
nggak suka kamu ngomongin gelar dan kedudukan ,La.Sekarang ini aku mau jelasin
tentang perasaanku pada Vony." "Udahlah,Hen.Apa lagi yang kamu
permasalahkan?Orang tua kamu setuju dengan keadaan kamu sekarang.No
problemkan?" "Itu nggak sertih yang kamu lihat,La."
"Tolong jangan halangi jalanku,Hen.Aku sedang buru-buru."
Dengan perasaan tak menetu,Hendro melepaskan tangan Lila dan membiarkannya
berlalu dari hadapannya.Hendro memang mencintai Vony,namun tak seindah dia
mencintai
Llila.
****** Lila membantu Alfa mengemasi barang-barang yang akan di bawanya ke
Jakarta.Keputusan Alfa memang sudah bulat,besok ia akan meninggalkan kakaknya
sendirian di Cianjur.Bukan karna Alfa tidak sayang,tapi kakaknya butuh
ketenangan untuk sendiri.Sampai kapa?Alfa sendiri tidak tahu. "Kakak
yakin nggak pa-pa di sini sendirian?"Tanya Alfa menyakinkan.
"Nggak pa-pa,kok.lagian apa yang kamu khawatirkan?Bukannya udah biasa kakak sendiri?"
"Kak.......Bukannya mau membuka luka kakak,ya.....tapi...mau sampai kapan kakak di sini?Hendro bukan org yang harus di hindari,kak.Kakak nggak seharusnya sembunyi sepertih ini."
"Ada saatnya kakak kembali ke Jakarta ,Fa.kamu istirahat ya...
Malam setelah keberangkatan Alfa ke Jakarta,Lila kembali tidak tenang.Kabut yang turun menambah temperatur suhu di tempat itu semakin dingin.Lila membuka kotak jam tangan pemberian Hendro dulu.Barang-barang itu belum sempat di kembalikan,termasuk kaca mata minus yang sekarang di musiumkan bersama jam tangan itu.Dan kini jam tangan itu telah di ganti dengan jam tangan pemberian Doni.Anak Fakultas Hukum.Dan entah mengapa malam ini,Lila merindukan kembali sosok itu.lila merasa seolah-olah Hendro akan datng kembali untuknya.
Lila melangkahkan kakinya menuju balkon.ia berdiri menantang dingin malam.Dan angin berhembus begitu lembut membelai.Selembut belaian tangan Hendro yang kerap kali bertemu selalu membelai kepala dan wajahnya.Dan malam ini Lila ingin smuanya terulang kembali."Hhhhhhhhh!!!"Lila membuang nafas.Seolah-olah ingin membuang sesuatu yang mengganjal di hatinya.
********
Siang itu Lila gelisah tak menentu.setelah kejadian malam itu ia merasa di hantui kehadiran Hendro.Dan siang ini Lila sepertih ada yang menggerakkan untuk berbenah-benah rumah.Untuk apa?Lila sendiri tidak tahu.
Mulai dari kamr atas,sampai ruang tamu di bersihkan semua.Dan di kerjakan oleh Lila seorang diri.Setelah selesai berbena,Lila mandi.agar debu-debu yang berasal dari lantai dan hiasan rumah yang menempel tidak melekat lagi di tubuhnya.
Selesai mandi Lila duduk smabil membaca tabloid.Tv sengaja di nyalakan agar ruangan tidak sepi.
"Tingtong........"
Suara bel rumah mengejutkannya.kepalanya di dongakkan sambil berfikir,"siapa yang datang?nggak mungkin Alfa kembali lagi."Gumamnya dalam hati.Dengan langkah enggan ia melangkahkan kakinya menuju pintu.Dan saat pintu dibuka,Lila terkejut melihat siapa yang datang."Hendro...."Desahnya pelan.Matanya terus memandangi wajah yang tadi malam di rindukannya.Dan entah mengapa kebencian itu muncul lagi.Padahal dari tadi malam ia sangat merindukannya.
"Ternyata benar kamu di si ,La."Suara Hendro masih sepertih dulu.Lembut,berwibawa.Dan saat Hendro berujar,kebencian itu lenyap seketika.Ingin rasanya Lila lebih dulu memeluk Hendro yang ada di hadapannya.
"Kamu baik-baik aja,kan?"Henro meraih Lila ke dalam pelukkannya.Di sandarkannya kepala Lila ke dadanya yang bidang.Dulu Hendro sering memperlakukan Lila sepertih itu,sebelum Vony merusaknya.
"Kamu jahat,Hen.kenapa kamu ninggalin aku?"Protesnya dalam pelukkan Hendro.
"Maafin aku,La.Tapi harusnya dulu kamu percaya sama aku,kalau aku nggak mencintai Vony.aku hanya sayang sama kamu.Aku hanya pura-pura La,aku nggak bisa jadi nak durhaka,La."
"Lalu bagai mana dengan Vony?Apa dia tahu kamu ke sini?"Lila melepaskan pelukkan Hendro.
"Orang tua Vony nggak setuju saat aku cerita aku terpaksa mencintai Vony karna orang tuaku.Dan ayah pun akhirnya menyuruhku untuk menyusul kamu ,La."
Lila kembali memeluk Hendro.Ia tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kembali cinta Hendro.
"Lalu dari mana kamu tau aku di sini?"
"Alfa yang memberi tahuku.Dan sopirmu yang mengantarkan ku kemari.Aku sayang kamu,La...."
Hendro mengecup dahi Lila dengan penuh kerinduan.
"Hen........"Lila berujar dalam pelukan Hendro."Aku prnah mimpi kalau kamu menikah dengan Vony.Dan kalian meminta aku untuk memberi ucapan selamat untuk kalian.....Aku cemburu,Hen....."
Hendro tersenyum,"Aku hanya akan menikah dengan kamu,La.Karna aku sudah berjanji pada almarhum nenekku,kalau aku hanya akan menikah dengan orang yang wajahnya mirip dengannya."
"Jadi aku mirip nenekmu?"
"Hehehehehehe.....dikit kok....."
"UHg....."Lila mencubit pinggang Hendro."Jahat!!!"
"Aku serius,La.....Aku sayang sama kamu."
Siang itu.......Lila merasakan hembusan angin yang lembut.Seolah-olah mengabarkan kebahagian tentang Lila ke seluruh penjuru dunia.Hendro datang dalam waktu yang ia inginkan.Dan ia datang bukan kembali membuka lukanya,tapi menjemputnya sebagai permaisuri hatinya.
Wahai angin terimakasih,kau berikan aku kabar baik hari ini.Terimakasih Tuhan,Kau kembalikan dia padaku lagi.......
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
"Nggak pa-pa,kok.lagian apa yang kamu khawatirkan?Bukannya udah biasa kakak sendiri?"
"Kak.......Bukannya mau membuka luka kakak,ya.....tapi...mau sampai kapan kakak di sini?Hendro bukan org yang harus di hindari,kak.Kakak nggak seharusnya sembunyi sepertih ini."
"Ada saatnya kakak kembali ke Jakarta ,Fa.kamu istirahat ya...
Malam setelah keberangkatan Alfa ke Jakarta,Lila kembali tidak tenang.Kabut yang turun menambah temperatur suhu di tempat itu semakin dingin.Lila membuka kotak jam tangan pemberian Hendro dulu.Barang-barang itu belum sempat di kembalikan,termasuk kaca mata minus yang sekarang di musiumkan bersama jam tangan itu.Dan kini jam tangan itu telah di ganti dengan jam tangan pemberian Doni.Anak Fakultas Hukum.Dan entah mengapa malam ini,Lila merindukan kembali sosok itu.lila merasa seolah-olah Hendro akan datng kembali untuknya.
Lila melangkahkan kakinya menuju balkon.ia berdiri menantang dingin malam.Dan angin berhembus begitu lembut membelai.Selembut belaian tangan Hendro yang kerap kali bertemu selalu membelai kepala dan wajahnya.Dan malam ini Lila ingin smuanya terulang kembali."Hhhhhhhhh!!!"Lila membuang nafas.Seolah-olah ingin membuang sesuatu yang mengganjal di hatinya.
********
Siang itu Lila gelisah tak menentu.setelah kejadian malam itu ia merasa di hantui kehadiran Hendro.Dan siang ini Lila sepertih ada yang menggerakkan untuk berbenah-benah rumah.Untuk apa?Lila sendiri tidak tahu.
Mulai dari kamr atas,sampai ruang tamu di bersihkan semua.Dan di kerjakan oleh Lila seorang diri.Setelah selesai berbena,Lila mandi.agar debu-debu yang berasal dari lantai dan hiasan rumah yang menempel tidak melekat lagi di tubuhnya.
Selesai mandi Lila duduk smabil membaca tabloid.Tv sengaja di nyalakan agar ruangan tidak sepi.
"Tingtong........"
Suara bel rumah mengejutkannya.kepalanya di dongakkan sambil berfikir,"siapa yang datang?nggak mungkin Alfa kembali lagi."Gumamnya dalam hati.Dengan langkah enggan ia melangkahkan kakinya menuju pintu.Dan saat pintu dibuka,Lila terkejut melihat siapa yang datang."Hendro...."Desahnya pelan.Matanya terus memandangi wajah yang tadi malam di rindukannya.Dan entah mengapa kebencian itu muncul lagi.Padahal dari tadi malam ia sangat merindukannya.
"Ternyata benar kamu di si ,La."Suara Hendro masih sepertih dulu.Lembut,berwibawa.Dan saat Hendro berujar,kebencian itu lenyap seketika.Ingin rasanya Lila lebih dulu memeluk Hendro yang ada di hadapannya.
"Kamu baik-baik aja,kan?"Henro meraih Lila ke dalam pelukkannya.Di sandarkannya kepala Lila ke dadanya yang bidang.Dulu Hendro sering memperlakukan Lila sepertih itu,sebelum Vony merusaknya.
"Kamu jahat,Hen.kenapa kamu ninggalin aku?"Protesnya dalam pelukkan Hendro.
"Maafin aku,La.Tapi harusnya dulu kamu percaya sama aku,kalau aku nggak mencintai Vony.aku hanya sayang sama kamu.Aku hanya pura-pura La,aku nggak bisa jadi nak durhaka,La."
"Lalu bagai mana dengan Vony?Apa dia tahu kamu ke sini?"Lila melepaskan pelukkan Hendro.
"Orang tua Vony nggak setuju saat aku cerita aku terpaksa mencintai Vony karna orang tuaku.Dan ayah pun akhirnya menyuruhku untuk menyusul kamu ,La."
Lila kembali memeluk Hendro.Ia tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kembali cinta Hendro.
"Lalu dari mana kamu tau aku di sini?"
"Alfa yang memberi tahuku.Dan sopirmu yang mengantarkan ku kemari.Aku sayang kamu,La...."
Hendro mengecup dahi Lila dengan penuh kerinduan.
"Hen........"Lila berujar dalam pelukan Hendro."Aku prnah mimpi kalau kamu menikah dengan Vony.Dan kalian meminta aku untuk memberi ucapan selamat untuk kalian.....Aku cemburu,Hen....."
Hendro tersenyum,"Aku hanya akan menikah dengan kamu,La.Karna aku sudah berjanji pada almarhum nenekku,kalau aku hanya akan menikah dengan orang yang wajahnya mirip dengannya."
"Jadi aku mirip nenekmu?"
"Hehehehehehe.....dikit kok....."
"UHg....."Lila mencubit pinggang Hendro."Jahat!!!"
"Aku serius,La.....Aku sayang sama kamu."
Siang itu.......Lila merasakan hembusan angin yang lembut.Seolah-olah mengabarkan kebahagian tentang Lila ke seluruh penjuru dunia.Hendro datang dalam waktu yang ia inginkan.Dan ia datang bukan kembali membuka lukanya,tapi menjemputnya sebagai permaisuri hatinya.
Wahai angin terimakasih,kau berikan aku kabar baik hari ini.Terimakasih Tuhan,Kau kembalikan dia padaku lagi.......
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
Buang Rahim
10
Mei 2009 2.078 views 2 Comments
Kamu tahu gak siapa aku? Entahlah, aku juga tidak tahu siapa diriku.
Aku heran kenapa aku masih bisa berjalan di muka bumi yang penuh cinta ini,
binatang saja seperti kucing, anjing, beruang bahkan singa sekalipun sayang
pada anaknya, tapi kenapa aku tiada merasakan itu, ke manakah rasa cinta yang
ada dalam hatiku. Ahhh…… cinta sepertinya tidak mau singgah kepadaku, tak ada
kudapati rasa cinta di dalam ruang sempit itu.
Entahlah sepertinya cinta melarikan diri dariku, malah
sekarang aku hanyut dalam kekosongan, cinta membenciku, menaruh dendam padaku,
cinta tak dapat kuraih lagi, cinta telah melupakanku, memasukkanku ke ruang
hampa tanpa cahaya, entahlah apakah aku membutuhkan cinta esok hari setelah
beberapa lama cinta mengabaikanku.
Aku berselimutkan darah hingga ke pinggang. Pekikku
tak tertahankan melihat bagian dalam tubuhku terburai hingga memutuskan tali
ketakutan yang selama ini kusimpan. Kenapa aku tak merasakan kebahagiaan
seperti ibu-ibu lain? Rasa kepedihan yang telah mereka lalui terhapus dengan
wajah mungil yang sedang berselimut dalam selembar kain panjang di samping
mereka. Kenapa aku tak merasakan itu, malah rasa benci bersemayam dalam hatiku?
Aku benci dengan tagisan bayi, apalagi bayi yang tidak kuharapkan.
Aku masih merasakan perih dalam kelumpuhan, perih yang
sangat mendalam. Aku masih terpikir apakah aku layak mendapatkan penderitaan
ini. Pantaskah aku berkorban sebesar ini hanya demi seorang lelaki yang tak
patut dikenang. Perih masih menusuk-nusuk perutku, dokter dan perawat
berdatangan, mereka hanya sibuk memberiku obat namun tak menghentikan
sakitku.
Aku ingin secepatnya keluar dari penderitaan ini.
Berlari, belanja ke mall, ke salon, naik mobil, dan memanjakan tubuh dalam
kelembutan spa. Bukannya takdir seperti ini, menjadi seseorang Ibu yang tak
berarti. Ini semua gara-gara Toni lelaki sialan yang telah membawaku ke jurang
kehancuran. Karena rayuannya aku terjerumus ke lembah nista, aku terusir dari
keluarga yang selama ini memanjakanku, memberikan semua apa yang kumau. Namun
kini aku berkubang dalam kemelaratan. Toni meninggalkanku setelah semuanya
terjadi. Aku mengandung, namun Toni tidak mau bertanggung jawab.
“Maaf dinda, aku harus pergi, orang tuaku ingin aku
melanjutkan kuliahku ke Jerman. Mungkin setelah itu kita akan bersama.”
“Tapi…Ton, kandunganku?”
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana lagi, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan kuliahku. Tunggulah hanya beberapa tahun.”
“Tapi…Ton, kandunganku?”
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana lagi, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan kuliahku. Tunggulah hanya beberapa tahun.”
“Aku tak mungkin menunggumu selama itu, bayi ini akan
lahir secepatnya. Bagaimana aku menjelaskan hal ini kepada keluargaku?”
“Itu hanya soal waktu, lama kelamaan mereka juga akan mengerti.”
“Dasar kau, lelaki tak bertanggung jawab!”
“Eh….!! Aku bukan tidak bertanggung jawab. Aku sayang kamu dan juga anak kita. Tapi aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.”
“Itu sama saja dengan kau lari dari tanggung jawab!”
“Sudahlah, jika kau mau menungguku, tunggulah. Namun, aku berharap jangan kau ganggu aku, aku ingin fokus pada pendidikanku. Aku harap jangan menghubungiku. Aku ingin hidup tenang.”
“Itu hanya soal waktu, lama kelamaan mereka juga akan mengerti.”
“Dasar kau, lelaki tak bertanggung jawab!”
“Eh….!! Aku bukan tidak bertanggung jawab. Aku sayang kamu dan juga anak kita. Tapi aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.”
“Itu sama saja dengan kau lari dari tanggung jawab!”
“Sudahlah, jika kau mau menungguku, tunggulah. Namun, aku berharap jangan kau ganggu aku, aku ingin fokus pada pendidikanku. Aku harap jangan menghubungiku. Aku ingin hidup tenang.”
Kini aku harus menanggung nasib malang ini sendirian,
Toni seenaknya di luar negeri sedang aku menjalani hidup penuh penderitaan.
Jika mengingat Toni, kebencian semakin dalam tumbuh di hatiku, kebencian pada
Toni dan juga anaknya. Aku tak mau menyayanginya, apalagi memberinya nama.
***
Sore ini aku akan mengantarkan bayiku ke panti asuhan,
meninggalkannya di depan pintu, seperti yang sering kulihat di televisi. Hanya
ini cara yang ampuh untuk melupakan Toni. Aku tidak akan merasakan sesal
sedikitpun, sebab aku memang menginginkan bayi ini hilang dari kehidupanku.
Rencanaku berjalan dengan lancar, sore itu aku sudah berada di depan panti namun orang-orang masih ramai, aku menunggu hingga larut. Kutinggalkan bayiku dalam balutan kain panjang yang sudah seminggu tidak kucuci.
Rencanaku berjalan dengan lancar, sore itu aku sudah berada di depan panti namun orang-orang masih ramai, aku menunggu hingga larut. Kutinggalkan bayiku dalam balutan kain panjang yang sudah seminggu tidak kucuci.
***
Sebulan sudah berlalu, entah kenapa ada rasa rindu
yang mendalam terpendam dalam hatiku. Tiap malam, bayangan anakku selalu datang
menghantuiku.
“Engkau bukan manusia wahai, Ibu! Sebaiknya kau buang
saja rahimmu, biar tidak ada lagi bayi yang menderita seperti diriku ini.”
Suara itu terngiang-ngiang menghantui hari-hariku. Ada
perasaan bersalah, kenapa aku sekejam itu kepada anakku. Kenapa aku tega,
padahal dia tidak bersalah. Dia hanya korban dari buah cinta kami yang sesat.
Mengapa aku berbuat seperti itu, bayi mungil yang tidak berdosa, bayi suciku.
Hari itu, aku tak tahu, dorongan apa yang telah mengantarkanku ke depan pintu panti. Aku memberanikan diri menemui kepala panti dan menanyakan kabar anakku. Namun, Ibu itu tidak bisa melacak keberadaan anak yang ditinggalkan tanpa mengetahui ciri-cirinya sedikit pun.
Hari itu, aku tak tahu, dorongan apa yang telah mengantarkanku ke depan pintu panti. Aku memberanikan diri menemui kepala panti dan menanyakan kabar anakku. Namun, Ibu itu tidak bisa melacak keberadaan anak yang ditinggalkan tanpa mengetahui ciri-cirinya sedikit pun.
“Dia itu anakku, Bu! Tolonglah aku! Aku yang
meninggalkannya sebulan yang lalu di depan panti ini….”
“Kami tidak percaya dengan apa yang kau katakan.”
“Benar Bu, akulah ibu bayi itu, aku ingin menyayanginya lagi.”
“Kami tidak bisa memberikan bayi sembarangan kepada orang yang mengaku sebagai Ibunya. Mana ada Ibu yang membuang anaknya di dunia ini, kecuali Ibu gila!”
“Benar, Bu, anak itu anakku!”
“Benar Bu, akulah ibu bayi itu, aku ingin menyayanginya lagi.”
“Kami tidak bisa memberikan bayi sembarangan kepada orang yang mengaku sebagai Ibunya. Mana ada Ibu yang membuang anaknya di dunia ini, kecuali Ibu gila!”
“Benar, Bu, anak itu anakku!”
“Maaf ya, Bu, kami tidak bisa melayani ibu. Sebaiknya
ibu pergi dari tempat ini. Sudah banyak ibu-ibu muda melakukan hal yang sama
seperti yang ibu lakukan sekarang. Belakangan, kami sudah tahu kalau itu hanya
sebagai alasan, karena kami tahu modus mereka, yaitu sindikat perdagangan
anak!”.
“Aku tidak seperti itu, Bu….”
“Pergilah, sebelum kami panggil polisi!”
Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini kepada mereka, bahwa memang akulah Ibu yang telah tega membuang anak kandungnya sendiri. Tapi mereka tidak percaya….
“Pergilah, sebelum kami panggil polisi!”
Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini kepada mereka, bahwa memang akulah Ibu yang telah tega membuang anak kandungnya sendiri. Tapi mereka tidak percaya….
***
Aku merasa cinta tak akan datang lagi padaku, walaupun
aku ingin cinta itu bersemi di dalam hatiku. Cinta terlanjur membenciku.
Membenciku untuk selamanya.
Mereka tertawa ke arahku. Aku tak tahu kenapa. Padahal
perkataanku benar, bahwa akulah Ibu yang pernah membuang anaknya. Aku masih
menunggu sampai ada orang yang percaya padaku, kalau aku ini pernah menjadi
seorang Ibu. Namun mereka menjawab dengan lemparan batu ke arahku.
“Awas wanita gila!”
“Awas wanita gila!”
***
Cahaya Buah Hati
anggota Sekolah Menulis “Paragraf” dan FLP cabang Pekanbaru.
anggota Sekolah Menulis “Paragraf” dan FLP cabang Pekanbaru.
Bukan Pilihan
18
April 2010 17.861 views 15 Comments
“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku.
Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.
Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan.
Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan
kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu
melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling
dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.
Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy
kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu
aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose
bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar.
Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk
kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus
dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku
bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku,
bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata
Silvy tiga belas.
“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.
Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya,
semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak
pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar,
ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.
“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau
tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu
pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan
setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia
tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua
kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh romantis-romantisan, tanganku
menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali.
“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku
tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku.
Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari
umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di
pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi
aku…ah…aku…kupijat keningku.
***
Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku
sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu
memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi,
nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan
menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap.
Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam,
dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya,
kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah
yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin
banyak doa yang berkelebat di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.
“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”
“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak
kecil bermain sepeda dari lubang jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.
“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke
kamar ayah sebelum ibu berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.
“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.
Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul
ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”
Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.
***
Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan,
langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang
aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang
kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.
“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi
tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.
Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung
perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”
Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya.
Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***
Aidillah Suja,
Anggota Komunitas Alinea-1
FLP Pekanbaru
Anggota Komunitas Alinea-1
FLP Pekanbaru
Cowok ”Aquarium”
14
Juni 2009 5.040 views 3 Comments
RANI
sudah dua bulan ini rajin banget pergi ke perpustakaan umum di kotaku. Sekitar
jam delapan pagi, di hari minggu, pasti dia sudah bersiap sedia pergi ke sana. Aku sendiri tak
tahu mengapa. Rani hanya bilang, dia sedang mengamati seseorang yang di
sebutnya cowok “aquarium.” Awalnya sih Rani penasaran dengan bangunan gedung
perpustakaan yang megah itu. Waktu itu aku juga diajak sama Rani untuk
menghilangkan penasarannya. Tapi Rani jadi ketagihan. Aku sesekali juga mau
datang. Tidak saban minggu kayak Rani. Aku lebih senang menyendiri di kamar
untuk nyelesain cerpen atau artikel yang kadang kukirim ke sebuah media. Yah,
meski belum tenar seantero nusantara tapi cerpenku kadang muncul di media lokal
di kotaku. Honornya cukuplah untuk menambah koleksi bukuku.
Hingga kemudian mulailah ia bercerita setiap pulang
dari perpustakaan tentang seorang cowok yang dilihatnya di sebuah ruangan yang
berbentuk mirip aquarium, karena dinding-dindingnya terbuat dari kaca berbentuk
lingkaran.
“Fat, aku tadi tanpa sengaja ngeliatin cowok yang cool banget deh…”, cerita Rani pada suatu siang menjelang sore, tanpa mempedulikanku yang masih belum bangun dari tidur siangku, kecapekan habis menyetrika.
“Fat, aku tadi tanpa sengaja ngeliatin cowok yang cool banget deh…”, cerita Rani pada suatu siang menjelang sore, tanpa mempedulikanku yang masih belum bangun dari tidur siangku, kecapekan habis menyetrika.
“Apa, Ran? Es cool?” tanyaku sambil membuka mataku.
“Aduh, Fat…Fat. Makanya, bangun dong! Aku mau cerita nih”, katanya sambil menarik tanganku untuk duduk.
“Ada apa sih, Ran?”
“Fat, tadi aku ngelihat cowok yang, aduh…cool banget di perpustakaan.”
“Cool….cool gimana sih?”
“Gini, Fat. Mata dan wajahnya itu lho teduh banget. Belum pernah aku ketemu cowok yang seperti itu.”
“Teduh gimana sih, Ran. Kayak pohon beringin saja, bikin teduh?!”
“Yah, pokoknya kalau kamu bertemu mata sama dia, pasti nggak ku-ku deh… Dia sih sebenarnya nggak cakep-cakep amat, tapi kayaknya pesonanya bisa membuat hati cewek-cewek membeku deh…”
“Ah, kamu Ran. Sok puitis banget. Kayak sudah kenal aja. Memangnya gimana kamu ketemu cowok itu?”
“Aku sih belum bertemu langsung dengannya. Cowok itu duduk di aquarium perpustakaan. Aku yang duduk menghadap aquarium tanpa sengaja melihat dia. Eh, dianya juga pas ngelihat aku. Tapi cuma sebentar, dia langsung menundukkan wajahnya lagi baca buku.”
“Aduh, Fat…Fat. Makanya, bangun dong! Aku mau cerita nih”, katanya sambil menarik tanganku untuk duduk.
“Ada apa sih, Ran?”
“Fat, tadi aku ngelihat cowok yang, aduh…cool banget di perpustakaan.”
“Cool….cool gimana sih?”
“Gini, Fat. Mata dan wajahnya itu lho teduh banget. Belum pernah aku ketemu cowok yang seperti itu.”
“Teduh gimana sih, Ran. Kayak pohon beringin saja, bikin teduh?!”
“Yah, pokoknya kalau kamu bertemu mata sama dia, pasti nggak ku-ku deh… Dia sih sebenarnya nggak cakep-cakep amat, tapi kayaknya pesonanya bisa membuat hati cewek-cewek membeku deh…”
“Ah, kamu Ran. Sok puitis banget. Kayak sudah kenal aja. Memangnya gimana kamu ketemu cowok itu?”
“Aku sih belum bertemu langsung dengannya. Cowok itu duduk di aquarium perpustakaan. Aku yang duduk menghadap aquarium tanpa sengaja melihat dia. Eh, dianya juga pas ngelihat aku. Tapi cuma sebentar, dia langsung menundukkan wajahnya lagi baca buku.”
Aku masih terdiam menatap Rani yang bercerita dengan
penuh semangat.
“Tapi tak lama datang dua cewek, terus deh mereka ngobrol. Kayaknya lagi diskusi. Yah, aku sih masih curi-curi pandang sama dia. Engggg…tapi sebentar…..”, kata Rani sambil memegangi perutnya dan berlari keluar kamar.
Aku sih masih bisa dihitung datang ke perpustakaan itu. Aku kadang sibuk dengan tugas kuliah atau kadang ada acara di organisasi kepenulisan yang kuikuti sejak dua tahun lalu.
“Tapi, Fat, aku bertekad suatu hari nanti aku harus berkenalan dengannya”, suara Rani yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar.
“Tapi tak lama datang dua cewek, terus deh mereka ngobrol. Kayaknya lagi diskusi. Yah, aku sih masih curi-curi pandang sama dia. Engggg…tapi sebentar…..”, kata Rani sambil memegangi perutnya dan berlari keluar kamar.
Aku sih masih bisa dihitung datang ke perpustakaan itu. Aku kadang sibuk dengan tugas kuliah atau kadang ada acara di organisasi kepenulisan yang kuikuti sejak dua tahun lalu.
“Tapi, Fat, aku bertekad suatu hari nanti aku harus berkenalan dengannya”, suara Rani yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar.
“Tapi udahlah ceritanya ya, aku capek, mau istirahat
sebentar,” kata Rani sambil berbaring di kasurnya. Dipasangnya headphone
ipod-nya, dan tertidur pulas. Kebiasaan Rani yang sering kuprotes, tidur sambil
dengerin ipod. Rani cuma menjawab, ”Habis tak bisa tidur, Fat, kalau tak
dengerin lagu. Tapi sekalian minta tolong deh matikan ipodku kalau aku
ketiduran ya..”
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar jawabannya.
Kutengok jam weker di atas meja belajarku. Jam 3 sore. Sambil menunggu azan Ashar, kuhidupkan komputerku. Ada dua buah puisi yang siap kukirim ke redaksi salah satu koran di kotaku. Minggu kemarin cerpenku juga dimuat di sana. Komputerku ini kubeli juga karena aku juara 2 lomba menulis cerpen tingkat propinsi di kotaku, yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setahun yang lalu. Lama-lama asyik juga menulis, bisa menghasilkan uang.
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar jawabannya.
Kutengok jam weker di atas meja belajarku. Jam 3 sore. Sambil menunggu azan Ashar, kuhidupkan komputerku. Ada dua buah puisi yang siap kukirim ke redaksi salah satu koran di kotaku. Minggu kemarin cerpenku juga dimuat di sana. Komputerku ini kubeli juga karena aku juara 2 lomba menulis cerpen tingkat propinsi di kotaku, yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setahun yang lalu. Lama-lama asyik juga menulis, bisa menghasilkan uang.
***
Tiga bulan berlalu Rani masih menjalankan aktivitas mingguannya, yaitu mengunjungi perpustakaan. Ceritanya masih sama tentang cowok itu dan Rani belum juga bisa berkenalan dengannya. Rani…Rani…, semoga engkau jatuh cinta sama buku-buku yang ada di perpustakaan itu, bukan pada cowok yang ada di “aquarium” itu.
Tiga bulan berlalu Rani masih menjalankan aktivitas mingguannya, yaitu mengunjungi perpustakaan. Ceritanya masih sama tentang cowok itu dan Rani belum juga bisa berkenalan dengannya. Rani…Rani…, semoga engkau jatuh cinta sama buku-buku yang ada di perpustakaan itu, bukan pada cowok yang ada di “aquarium” itu.
***
Namun sudah hampir dua minggu ini Rani tak pernah pergi lagi ke perpustakaan. Ketika kutanyakan sebabnya, Rani menjawab, “Males, Fat, cowok itu sudah hampir sebulan nih tak ada lagi di “aquarium” itu.”
“Habisnya kamu niatnya ke perpustakaan cuma mau melototin cowok itu, jadinya cowok itu merasa risih dan males juga ke perpustakaan. Atau malah ganti tempat, nggak di “aquarium” itu lagi.”
“Eh, siapa bilang cuma melototin cowok itu. Aku pinjem buku juga kok di sana. Tapi boleh kan sambil menyelam minum air gitu…”
“Ya udah, paling-paling kembung perutnya karena kebanyakan minum,” jawabku nggak nyambung.
“Terus gimana, Fat, padahal aku sudah merasa berdesir hatiku sebelum sampai di “aquarium” tempat cowok itu. Kasih ide deh, Fat…”
“Kamu tuh Ran, belum kenal aja sudah jatuh cinta. Tapi begini saja, kamu kelilingi aja perpustakaan itu dari lantai dasar sampai lantai paling atas, siapa tahu ketemu.”
“Ide yang cukup gila, bisa besarlah betisku yang udah nggak ramping ni, Fat!”
“Ya, gimana lagi. Atau untuk mengisi hari minggumu biar lebih bermanfaat, ikut privat menulis saja di organisasiku. Nanti aku bilangin sama yang biasa ngisi privat. Cowok lho, Ran…ganteng lagi.”
”Tapi berapa biayanya? mahal nggak, Fat? Siapa tahu sambil menyelam minum air juga.. hi…hi…hi… ”
“Kamu ini niatnya! Nanti kembung lho!”
“Iya deh, Fat, bercanda. Aku mau kok jadi penulis kayak kamu. Cuma rasanya aku nggak berbakat.”
“Alah, tenang, nggak perlu bakat kok. Yang penting minatnya. Masalah biaya nanti kalau cerpen kamu sudah dimuat di media, barulah dibayar.”
“Wah, sama aja ngutang, Fat. Tapi kalau nggak dimuat-muat berarti nggak bayar dong?”..
“Eit, tunggu dulu…Pak Guru privatnya garansi sampai bisa dimuat kok…”
“Ok deh kalau gitu, aku mau. Pesenin ya, Fat, kalau aku mau privat nulis.”
“Ok, besok aku ada pertemuan. Nanti kutanyakan bagaimana, di mana dan kapannya. Tunggu aja besok.”
Namun sudah hampir dua minggu ini Rani tak pernah pergi lagi ke perpustakaan. Ketika kutanyakan sebabnya, Rani menjawab, “Males, Fat, cowok itu sudah hampir sebulan nih tak ada lagi di “aquarium” itu.”
“Habisnya kamu niatnya ke perpustakaan cuma mau melototin cowok itu, jadinya cowok itu merasa risih dan males juga ke perpustakaan. Atau malah ganti tempat, nggak di “aquarium” itu lagi.”
“Eh, siapa bilang cuma melototin cowok itu. Aku pinjem buku juga kok di sana. Tapi boleh kan sambil menyelam minum air gitu…”
“Ya udah, paling-paling kembung perutnya karena kebanyakan minum,” jawabku nggak nyambung.
“Terus gimana, Fat, padahal aku sudah merasa berdesir hatiku sebelum sampai di “aquarium” tempat cowok itu. Kasih ide deh, Fat…”
“Kamu tuh Ran, belum kenal aja sudah jatuh cinta. Tapi begini saja, kamu kelilingi aja perpustakaan itu dari lantai dasar sampai lantai paling atas, siapa tahu ketemu.”
“Ide yang cukup gila, bisa besarlah betisku yang udah nggak ramping ni, Fat!”
“Ya, gimana lagi. Atau untuk mengisi hari minggumu biar lebih bermanfaat, ikut privat menulis saja di organisasiku. Nanti aku bilangin sama yang biasa ngisi privat. Cowok lho, Ran…ganteng lagi.”
”Tapi berapa biayanya? mahal nggak, Fat? Siapa tahu sambil menyelam minum air juga.. hi…hi…hi… ”
“Kamu ini niatnya! Nanti kembung lho!”
“Iya deh, Fat, bercanda. Aku mau kok jadi penulis kayak kamu. Cuma rasanya aku nggak berbakat.”
“Alah, tenang, nggak perlu bakat kok. Yang penting minatnya. Masalah biaya nanti kalau cerpen kamu sudah dimuat di media, barulah dibayar.”
“Wah, sama aja ngutang, Fat. Tapi kalau nggak dimuat-muat berarti nggak bayar dong?”..
“Eit, tunggu dulu…Pak Guru privatnya garansi sampai bisa dimuat kok…”
“Ok deh kalau gitu, aku mau. Pesenin ya, Fat, kalau aku mau privat nulis.”
“Ok, besok aku ada pertemuan. Nanti kutanyakan bagaimana, di mana dan kapannya. Tunggu aja besok.”
***
Akhirnya privat menulis itu sepakat pertemuannya
dilaksanakan di perpustakaan kota setiap hari minggu. Di “aquarium” di lantai
satu jam setengah sembilan pagi. Ketika kusampaikan hal itu pada Rani, Rani
terkejut.
“Kok di “aquarium” perpustakaan?”.
“Memangnya kenapa, Ran? ‘Kan enak di ruang diskusi tak mengganggu orang lain.”
“Enggak apa-apa sih, cuma di “aquarium” lantai satu itu mengingatkanku pada cowok cool itu. Di sanalah dia sering berdiskusi”.
“Kok di “aquarium” perpustakaan?”.
“Memangnya kenapa, Ran? ‘Kan enak di ruang diskusi tak mengganggu orang lain.”
“Enggak apa-apa sih, cuma di “aquarium” lantai satu itu mengingatkanku pada cowok cool itu. Di sanalah dia sering berdiskusi”.
“Alah, Ran, kamu selalu teringat sama cowok “aquarium”
itu. Memangnya yang pakai “aquarium” hanya cowok itu apa? Lagian Bang Dani yang
nanti ngajar privat kamu bilang kalau nanti ruang diskusi lantai satu terisi,
ya pindah ke tempat lain, begitu pesannya.”
“Ya, udah deh…Tapi jadi ngingetin aku sama cowok itu, Fat…”
“Udahlah, Ran, nanti untuk pertemuan pertamanya aku temenin deh…”
“Ya, udah deh…Tapi jadi ngingetin aku sama cowok itu, Fat…”
“Udahlah, Ran, nanti untuk pertemuan pertamanya aku temenin deh…”
***
Akhirnya waktu yang telah disepakati tiba. Aku dan Rani berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kami sudah duduk manis menunggu di “aquarium” sambil membaca koran yang bisa dipinjam gratis di sana. Tak lama Bang Dani pun datang. Aku berbisik pada Rani yang sedang asyik membaca sambil menunjuk seseorang yang berjalan menuju “aquarium” ini. Segera Rani menoleh menuju orang yang kusebut. Namun sesaat Rani bengong dan wajahnya merah padam bak kepiting rebus. Segera dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil berkata, ”Fat, itu cowok cool yang sering kuceritakan itu…”
Akhirnya waktu yang telah disepakati tiba. Aku dan Rani berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kami sudah duduk manis menunggu di “aquarium” sambil membaca koran yang bisa dipinjam gratis di sana. Tak lama Bang Dani pun datang. Aku berbisik pada Rani yang sedang asyik membaca sambil menunjuk seseorang yang berjalan menuju “aquarium” ini. Segera Rani menoleh menuju orang yang kusebut. Namun sesaat Rani bengong dan wajahnya merah padam bak kepiting rebus. Segera dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil berkata, ”Fat, itu cowok cool yang sering kuceritakan itu…”
“Jadi cowok itu Bang Dani, Ran…?”
Rani hanya menganggukkan kepalanya sambil ditelungkupkan wajahnya ke meja. Sesaat aku pun hanya bisa terdiam tak tahu harus berbuat apa, hingga salam Bang Dani menyapa kami. ***
Rani hanya menganggukkan kepalanya sambil ditelungkupkan wajahnya ke meja. Sesaat aku pun hanya bisa terdiam tak tahu harus berbuat apa, hingga salam Bang Dani menyapa kami. ***
Sri Nurwidayati,
Jalan Jati Gg Jati 2 No 10, Pekanbaru
Jalan Jati Gg Jati 2 No 10, Pekanbaru
Ghost OF Love - Sebuah Cerpen
29
Maret 2009 18.511 views 61 Comments
“Vin,
besok jangan lupa bawa catatan kimia, fisika, matematika, and biologi ya,’’
kata Adit.
‘’Iya deh,,iya..,’ ‘ sambungku.
‘’Eits,,wait !oh ya,catatan jepang juga ya..,’’ kata Adit lagi.
‘’Iya…,’’ jawabku singkat.
‘’Jangan lupa lho…,’’ katanya lagi.
‘’Iya Dit….iya…,’’ jawabku singkat lalu kututup HP-ku. Habisnya,temanku yang satu ini paling recok deh. Kalau bicara sama dia,aku bisa gondokan nih…tapi,dia itu teman aku yang paling baik lho. Ada satu lagi temanku yang namanya Rian, hubungan kami bertiga sangat akrab.
‘’Iya deh,,iya..,’ ‘ sambungku.
‘’Eits,,wait !oh ya,catatan jepang juga ya..,’’ kata Adit lagi.
‘’Iya…,’’ jawabku singkat.
‘’Jangan lupa lho…,’’ katanya lagi.
‘’Iya Dit….iya…,’’ jawabku singkat lalu kututup HP-ku. Habisnya,temanku yang satu ini paling recok deh. Kalau bicara sama dia,aku bisa gondokan nih…tapi,dia itu teman aku yang paling baik lho. Ada satu lagi temanku yang namanya Rian, hubungan kami bertiga sangat akrab.
Esoknya, saat istirahat,aku dan Rian pergi ke kantin
untuk makan. Beberapa saat kemudian Adit tidak muncul juga. Kami berdua
keheranan, padahal biasanya kami bertiga makan sama-sama. Sampai waktu
istirahat berlalu, Adit tidak muncul juga. Jadi aku dan Rian memutuskan
untuk beranjak masuk kelas. Saat pulang sekolah pun kami tidak melihat Adit.
‘’Mana sih ni anak??’’ gerutu Rian, kami berdua makin heran,dan Rian mengusulkan
untuk pergi ke rumah Adit.
Kami sampai di rumah Adit, pengurus rumahnya
yang membukakan pintu untuk kami.Mak Tita menyuruh kami langsung naik ke kamar
Adit saja.
‘’Dit..napa lu?,’’ sapaku saat melihat Adit terbaring. ‘’Lagi sakit nih…,’’ jawabnya lemas. ‘’Tumben..Lu bisa sakit juga ya…,’’ ejek Rian.
Kami bertiga pun tertawa secara serentak. Habisnya Adit tuh yang biasanya overacting paling semangat dan paling recok. Aku dan Rian tak menyangka kalau rupanya Adit bisa jatuh sakit juga.
‘’Sakit apaan sih lu?,’’ tanyaku.
‘’Mau tau aja Lo…,’’ jawabnya sombong.
‘’Dasar lu! lagi sakit pun sombongnya minta ampyuun, ntar gak bisa sembuh lho…,’’kata Rian membelaku.
‘’Ada aja…,’’ kata Adit.
‘’Dasar lu…,’’ kata Rian sembari menggelinya.
‘’Eh guys, Gue punya pertanyaan nih..’’ kata Adit.
‘’Iya, apaan?,’’ tanyaku. ‘’Kalo Lo hidupnya tinggal sehari, apa yang mau Lu lakuin?’’ tanyanya.
‘’Kalo gue, mau pergi ke tempat favorit gue and ngehabisin hari gue di sana,’’ jawabku singkat.
‘’Kalo gue, mau tidur aja deh jadi gue gak bakalan menderita waktu gue lagi sekarat,’’ kata Rian.
‘’Oh,,.iya donk,,habisnya hobi lo kan molor aja…,’’ ejekku.
‘’Nah,gimana kalo lo Dit?,’’ tanyaku padanya. ‘’Kalo gue… gue pingin ngehabisin waktu yang ada bersama cewek yang gue suka,’’ jawabnya dengan muka yang sedih.
‘’Dit..napa lu?,’’ sapaku saat melihat Adit terbaring. ‘’Lagi sakit nih…,’’ jawabnya lemas. ‘’Tumben..Lu bisa sakit juga ya…,’’ ejek Rian.
Kami bertiga pun tertawa secara serentak. Habisnya Adit tuh yang biasanya overacting paling semangat dan paling recok. Aku dan Rian tak menyangka kalau rupanya Adit bisa jatuh sakit juga.
‘’Sakit apaan sih lu?,’’ tanyaku.
‘’Mau tau aja Lo…,’’ jawabnya sombong.
‘’Dasar lu! lagi sakit pun sombongnya minta ampyuun, ntar gak bisa sembuh lho…,’’kata Rian membelaku.
‘’Ada aja…,’’ kata Adit.
‘’Dasar lu…,’’ kata Rian sembari menggelinya.
‘’Eh guys, Gue punya pertanyaan nih..’’ kata Adit.
‘’Iya, apaan?,’’ tanyaku. ‘’Kalo Lo hidupnya tinggal sehari, apa yang mau Lu lakuin?’’ tanyanya.
‘’Kalo gue, mau pergi ke tempat favorit gue and ngehabisin hari gue di sana,’’ jawabku singkat.
‘’Kalo gue, mau tidur aja deh jadi gue gak bakalan menderita waktu gue lagi sekarat,’’ kata Rian.
‘’Oh,,.iya donk,,habisnya hobi lo kan molor aja…,’’ ejekku.
‘’Nah,gimana kalo lo Dit?,’’ tanyaku padanya. ‘’Kalo gue… gue pingin ngehabisin waktu yang ada bersama cewek yang gue suka,’’ jawabnya dengan muka yang sedih.
Dan ia menatapku. aku merasakan kalau tatapan itu ada
maksudnya. Habisnya tatapan itu aneh. Sedangkan Rian terus merecokinya dengan
cewek yang ia sukai itu, aku sih tidak begitu peduli, habisnya aku sudah tau
kalau Adit suka sama seorang cewek. Namun aku penasaran juga, jadi aku juga
ikut-ikutan Rian merecokinya. Tapi Adit tak pernah mau mengatakanya,
Kami berdua menghabiskan sore itu di rumah Adit dan berbincang-bincang dengannya. Saat hari sudah mulai gelap aku dan Rian pun berpamitan.
Kami berdua menghabiskan sore itu di rumah Adit dan berbincang-bincang dengannya. Saat hari sudah mulai gelap aku dan Rian pun berpamitan.
***
Liburan kali ini Rian pergi ke luar kota bersama
keluarganya. Jadi tinggal aku dan Adit yang tak punya rencana kemana-mana.
Akhirnya Adit mengajakku untuk pergi ke kampung halamannya. Dan aku setuju
saja, di sana banyak padang rumput yang hijau yang penuh bunga. Aku sangat
menyukai tempat itu. Kami berdua bermain di sana setiap hari dan kurasakan
kalau aku mulai menyukai Adit. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaan Adit
terhadapku. Jadi kupendam saja perasaanku ini.
Lagipula aku sudah berjanji akan berpacaran dengan
Rian setelah ia kembali dari liburannya. Jadi hubunganku dengan Adit adalah
tidak mungkin. Tak mungkin aku mengingkari janji ku dengan Rian dan mengatakan
pada Rian kalau aku menyukai Adit. ‘’Tidak mungkin,’’ pikriku.
Dan aku tetap melewati hari-hariku bersama Adit dan berharap bahwa hari-hari ini tidak akan pernah berakhir. Namun waktu tetap berjalan dan waktu liburan tinggal satu hari lagi.
Dan aku tetap melewati hari-hariku bersama Adit dan berharap bahwa hari-hari ini tidak akan pernah berakhir. Namun waktu tetap berjalan dan waktu liburan tinggal satu hari lagi.
Esoknya, Adit mengajakku ke padang rumput dan kami
menghabiskan waktu bersama di sana. Kami berbincang-bincang dan tiba-tiba Adit
memelukku dari belakang dan kudiami saja. Ia memelukku erat-erat tanpa berkata
apa-apa. Sesaat kemudian aku memanggilnya dan ia tak menjawab. Jadi kupanggil
lagi ia tetap tidak menjawab. Aku pun menjadi heran.
Tiba-tiba Adit jatuh dan tak sadarkan diri. Aku
menjadi takut dan kubawa ia ke rumah sakit terdekat.Dokter mengatakan
kalau ia kena serangan jantung. Dari dulu ia punya penyakit jantung bawaan dan
penyakitnya bisa kambuh kapan saja. Aku masih tak percaya atas penjelasan
dokter dan aku berusaha masuk ke kamarnyadan memanggilnya.Namun ia tak
menjawabku, air mataku menetes tanpa kusadari.
‘’Apakah ini saat-saat yang tidak ingin aku
alami ini harus terjadi sekarang?,’’ tangisku dalam hati. Hatiku menjerit
ketika aku kehilanagan orang yang kusuka. Aku bukan saja kehilangan
tubuhnya,namun juga jiwanya. Aku berpikir bahwa aku masih bisa melihatnya,
menyentuhnya dan akrab dengannya meskipun hanya sebagai teman.
Namun sekarang aku tidak memilikinya lagi, baik
sebagai teman ataupun pacar aku merasa sangat terpukul. Namun aku masih
mempunyai satu hal yang tak bisa direbut siapapun dan apapun yaitu kenangan
bersamanya, selamanya aku akan mengingat hari-hari dimana aku bersama Adit.
Saat Rian pulang dari luar kota ia juga merasa sedih akan kepergian Adit. Namun,itu semua berlalu dengan cepat. Aku dan Rian saling melengkapi dan memahami. Aku sudah tak begitu sedih lagi akan kepergian Adit karena ada Rian yang senantiasa di sampingku dan menghiburku. Ia mengisi hari-hariku dan sekarang aku sudah bisa menerima kehilangan Adit dan keberadaan Rian.
Saat Rian pulang dari luar kota ia juga merasa sedih akan kepergian Adit. Namun,itu semua berlalu dengan cepat. Aku dan Rian saling melengkapi dan memahami. Aku sudah tak begitu sedih lagi akan kepergian Adit karena ada Rian yang senantiasa di sampingku dan menghiburku. Ia mengisi hari-hariku dan sekarang aku sudah bisa menerima kehilangan Adit dan keberadaan Rian.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa sifat Rian
mulai berubah. Aku bisa melihat sifat Rian menjadi sama seperti sifat Adit.
Mungkin Rian berusaha meniru gaya Adit,pikirku pada awalnya. Tapi lama kelamaan
hal itu semakin mejadi-jadi. Aku tak mungkin salah membedakan yg mana Adit dan
Rian. Akhir-akhir ini aku merasakan keberadaan Adit pada diri Rian atau itu
hanya perasaanku saja?.
Tapi tak mungkin sikap Rian dan Adit sangat berbeda, meskipun
kalau Rian meniru gaya Adit, kadang-kadang pasti ada juga kesalahan sikap Rian
menjadi perhatian tapi tak selembut Adit. Rian biasanya bisa mengubah suasana
menjadi seru dengan pamer-pameran, Namun Adit bisa mengubah suasana menjadi
romantis dan akhir-akhir ini Rian menjadi lembut dan hangat, aku bisa
merasakannya. Ini bukan sikap Rian yang biasanya sikap ini sama seperti sikap
Adit.
Setahun setelah kematian Adit, aku dan Rian pergi ke
padang rumput yang berbunga di desa Adit, aku teringat setahun yang lalu ketika
aku dan Adit bermain di sini di padang rumput ini. Ia memetikkan aku setangkai
bunga lili yang putih bersih. Sekarang datang kemari bersama Rian,
anehnya kali ini Rian yang memetikkan bunga untukku dan bunga itu sama dengan
yang Adit berikan padaku setahun lalu.
Rian juga melakukan hal sama seperti Adit
setahun lalu. Ia memelukku, Aku tak tahu siapa yang memelukku Rian ataukah
Adit. Wajah yang kulihat adalah Rian, tubuh yang memelukku adalah Rian tapi
mengapa kurasakan kehadiran Adit? yang kurasakan adalah kehangatan Adit. Aku
heran aku berpikir ini adalah Adit, pasti Adit, Aku yakin.
‘’Dit, apakah ini lo?,’’ tanya ku pada Rian. Aku
menatapnya lekat-lekat dan ia tersenyum padaku. ‘’Iya Vin. Ini gue Adit,’’
jawabnya. Aku tak bisa lagi menahan air mata ku. Aku tak pernah tahu bagai mana
Adit bisa ada di tubuh Rian, tapi yang pasti kulakukan adalah memeluknya
erat-erat. Kalau bisa aku tak mau melepasnya sudah lama aku kehilangan dia.
‘’Vinada yang mau gue katakan sama lo, gue dari dulu
suka sama lo. Maaf ya kalo gue baru bilang sekarang. Mungkin udah telat tapi
Vin gue datang untuk mengatakannya.Gue mau lo tahu kalo gue suka sama lo Vin,”
terangnya sambil diakhiri dengan jeritan sembari memelukku erat-erat.
‘’Iya Dit,gue udah tau kok. Gue juga suka ma lo’’
ujarku sambil menatap matanya. Dulu gue suka sama lo Dit. Sampai sekarang
juga.gue gak terima kenapa lo ninggalin gue tanpa berkata apa-apa.Dan kenapa lo
sakit lo gak mau kasih tau gue? kenapa Dit?,’’ tanyaku sambil menangis
‘’Maaf Vin, gue gak mau lo sedih,’’ ujarnya dengan rasa bersalah. ‘’Tapi sekarang gue juga merasa sedih kan Dit?,’’ desakku.
‘’Maaf Vin, gue gak mau lo sedih,’’ ujarnya dengan rasa bersalah. ‘’Tapi sekarang gue juga merasa sedih kan Dit?,’’ desakku.
‘’Maaf Vin, tapi kalao lo mau,gue bisa tinggal di
sini,di tubuh Rian dan kita bisa hidup bersama.’’ terang Adit..’’ Tapi
bagaimana dengan Rian?,’’ tanyaku. ‘’Rian…Rian mesti mengorbankan dirinya demi
kita Vin. Dia pasti mau Vin. Dia pasti mau ngelihat lo bahagia,’’ balas Adit.
ia mengatakan seolah-olah Rian menyetujuinya, sejenak aku berfikir bahwa Adit
hanya mau menang sendiri.
‘’Enggak Dit. Ini tubuh Rian. Ini milik Rian. Gue gak mau Rian mengorbankan dirinya demi kita. gue gak mau Dit,’’ tolak ku. ‘’Jadi lu memilih berpisah Vin?,’’ tanya Adit. ‘’Maaf Dit, ini tubuh Rian, jangan egois Dit, hubungan kita sudah terlambat. Gak mungkin bisa kembali lagi,’’ ujarku dengan tegar menahan air mataku.
‘’Enggak Dit. Ini tubuh Rian. Ini milik Rian. Gue gak mau Rian mengorbankan dirinya demi kita. gue gak mau Dit,’’ tolak ku. ‘’Jadi lu memilih berpisah Vin?,’’ tanya Adit. ‘’Maaf Dit, ini tubuh Rian, jangan egois Dit, hubungan kita sudah terlambat. Gak mungkin bisa kembali lagi,’’ ujarku dengan tegar menahan air mataku.
‘’Gue ngerti Vin, tapi maaf udah bikin lo sedih. Tapi
gue yakin bisa menghibur lo. Rian bisa menggantikan posisi gue, gue suka lo
Vin. gue akan tetap suka lo selamanya.gue janji..,’’ ungkapnya. ‘’Gue juga suka
sama lo Dit…,’’ balasku.
Kemudian ia menciumku dan esoknya aku terbangun di kamar dengan Rian yang sudah menungguku dengan wajah cemas. ‘’Vin, lo kok tiba-tiba pingsan sih?,’’ tanya Rian cemas. Aku hanya tersenyum mendengar perkatannya. Kusadari, ini baru benar-benar sikap Rian, aku masih membayangkan apa yang terjadi itu benar- benar atau hanya mimpi? tapi aku tahu ini adalah nyata, karena aku mengenal tatapan yang mampu menembus hatiku sama seperti Adit lakukan dulu padaku.
Kemudian ia menciumku dan esoknya aku terbangun di kamar dengan Rian yang sudah menungguku dengan wajah cemas. ‘’Vin, lo kok tiba-tiba pingsan sih?,’’ tanya Rian cemas. Aku hanya tersenyum mendengar perkatannya. Kusadari, ini baru benar-benar sikap Rian, aku masih membayangkan apa yang terjadi itu benar- benar atau hanya mimpi? tapi aku tahu ini adalah nyata, karena aku mengenal tatapan yang mampu menembus hatiku sama seperti Adit lakukan dulu padaku.
‘’Udah Vin… jangan dipikirin. ntar gue jealous lho…,’’
kata Rian. ‘’Sekarang lo mesti kosentrasi buat suka sama gue dan thanks ya udah
milih gue jadi pendamping lo…’’ terang Rian sambil tersenyum.
‘’Udah kalau gitu, sekarang lo istirahat ya…,’’ kata Rian. Aku tak tahu kalau Rian mengetahui semua kejadian saat aku bersana Adit. Saat ini aku merasa lebih bahagia, aku bersyukur masih ada seseorang yang bisa menyukaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hati.***
‘’Udah kalau gitu, sekarang lo istirahat ya…,’’ kata Rian. Aku tak tahu kalau Rian mengetahui semua kejadian saat aku bersana Adit. Saat ini aku merasa lebih bahagia, aku bersyukur masih ada seseorang yang bisa menyukaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hati.***
M.Rizky Daelamy.L
Siswa SMAN 6 Pekanbaru
Siswa SMAN 6 Pekanbaru
Kisah Kecewa Mesin Ketik Tua
15
Nopember 2009 6.040 views 10 Comments
Kenalkan
aku adalah mesin ketik. Suatu alat yang digunakan untuk mengetik. Di tubuhku
banyak terdapat komponen-komponen yang sangat penting, di antaranya pita
karbon, tuts dan banyak lagi onderdil lain yang namanya tidak kukenali.
Apabila salah satu tuts ditekan maka aku akan memukul
kertas yang telah dilapisi pita karbon dan tercetaklah angka, huruf atau simbol
yang diinginkan.
Aku pertama kali dipresentasikan oleh Cristopher
Sholes, lelaki jenius berkebangsaan Amerika. Aku sendiri tidak mengetahui
bagaimana Sholes menemukan aku. Apakah benar-benar dia yang menciptakan aku,
atau dia menemukan hasil ciptaan orang lain yang tercecer di jalanan? Atau dia
menemukan aku di gudang penyimpanan barang rongsokan milik orang tuanya, atau
dia bekerja sama dengan orang lain menciptakan aku dari barang-barang bekas,
atau… pokoknya aku tak tau dan tak penting untuk tahu! Titik.
Aku bernama Kofa, ini kuketahui dari merk yang
tercantum di tubuhku. Aku juga tak mengetahui generasi ke berapakah aku? Aku
dibeli oleh majikanku di pasar jongkok dengan status barang second alias barang
bekas atau apalah gitu, yang merupakan fasilitas kantor yang telah expired bin
tidak layak pakai bagi orang luar negeri sono…
Agar kalian bisa sedikit mengenalku. Majikanku adalah orang penting di negeri ini, seorang pejabat negara yang selalu dikejar-kejar paparazzi bila berada di depan umum atau saat jalan-jalan bersama keluarga, baik di dalam atau di luar negeri.
Agar kalian bisa sedikit mengenalku. Majikanku adalah orang penting di negeri ini, seorang pejabat negara yang selalu dikejar-kejar paparazzi bila berada di depan umum atau saat jalan-jalan bersama keluarga, baik di dalam atau di luar negeri.
Aku jadi ingat kejadian pagi Idul Fitri tahun lalu.
Gema takbir kumandang dari setiap rongga mulut manusia yang meyakini kebenaran
Islam. Pagi menjelang salat Ied, puluhan anak kecil dan lansia alias manusia
lanjut usia telah menunggu majikanku sejak ba’da Subuh (salat Subuh). Mereka
datang ke rumah majikanku untuk meminta belas kasihan majikanku.
Saat majikanku melangkahkan kaki keluar dari rumah,
senyum penuh kemenangan tampak jelas dari wajah polos yang penuh keluguan dan
wajah-wajah keriput yang termakan usia tak henti-hentinya berkomat-kamit
mengucap syukur ke hadirat Allah SWT atas nikmat yang akan diberikannya.
Aku turut bahagia melihat mereka bahagia di hari yang
penuh kemenangan setelah sebulan penuh menahan diri dari hawa nafsu. Namun,
Tuhan tidak menginginkan hambanya untuk ikut menikmati harta yang didapat
secara tidak halal itu. Majikanku memanggil satpam yang hidupnya terbelenggu
seperti seokor anjing untuk mengusir fakir miskin itu dari rumahnya.
Sepertinya kita sudah jauh menyimpang, lebih baik kita
kembali ke topik semula. Majikanku membeliku untuk membantunya mengerjakan
tugas-tugas penting sebagai pejabat negara. Tapi seringkali aku digunakan untuk
mengetik surat-surat berlabel dinas yang gunakan untuk memberikan izin proyek
pembesaran perut yang menipu rakyat dan merugikan negara. Pernah juga aku
digunakan anak sang majikan mengetik surat cinta untuk pacarnya.
Dua bulan lalu aku pensiun. Jabatanku digantikan oleh satu ekor komputer Pentium 4, di dalam tubuhnya telah mengalir sel-sel hardware dan software dengan hak cipta dan paten menjadi akta kelahirannya setelah ditelorkan oleh Bill Gates. Aku tidak sirik padanya, sangat kusadari kekuranganku dibandingkan dengan komputer. Dengan hardware dan software-nya dia mampu bekerja lebih efektif dan efisien. Tulisan yang dihasilkan pun lebih indah dan bervariasi. Selain itu bukan hanya bisa digunakan untuk mengetik tapi juga bisa digunakan untuk mengolah foto, untuk melengkapi data agar lebih akurat. Dengan program winamp dia bisa menghibur sang operator dengan lagu-lagu yang diinginkan, selain itu dia juga menyediakan menu game-game menarik untuk sedikit rileks di sela-sela mengerjakan tugas, dan banyak lagi program-program lain yang yang tidak kukenali nama dan fungsinya.
Dua bulan lalu aku pensiun. Jabatanku digantikan oleh satu ekor komputer Pentium 4, di dalam tubuhnya telah mengalir sel-sel hardware dan software dengan hak cipta dan paten menjadi akta kelahirannya setelah ditelorkan oleh Bill Gates. Aku tidak sirik padanya, sangat kusadari kekuranganku dibandingkan dengan komputer. Dengan hardware dan software-nya dia mampu bekerja lebih efektif dan efisien. Tulisan yang dihasilkan pun lebih indah dan bervariasi. Selain itu bukan hanya bisa digunakan untuk mengetik tapi juga bisa digunakan untuk mengolah foto, untuk melengkapi data agar lebih akurat. Dengan program winamp dia bisa menghibur sang operator dengan lagu-lagu yang diinginkan, selain itu dia juga menyediakan menu game-game menarik untuk sedikit rileks di sela-sela mengerjakan tugas, dan banyak lagi program-program lain yang yang tidak kukenali nama dan fungsinya.
Aku senang karena pengganti posisiku sebagai alat
ketik adalah komputer yang lebih pintar dari aku. Tapi satu hal yang membuat
aku kecewa. Aku kecewa dengan sikap sang majikan terhadapku, saat aku pensiun
sang majikan melemparkan aku ke sudut gudang yang gelap, penuh debu dan
barang-barang bekas yang berserakan yang menjadi rumah bagi para tikus, kecoa
dan binatang-binatang kecil lainnya. Mereka tertawa menyeringai penuh
kebiadaban. Tentu kamu setuju, majikankulah yang pantas berteman dengan
tikus-tikus ini, bukan aku. Karena sifat dan kelakuannya tak jauh beda dengan
tikus bahkan lebih parah dari raja tikus paling jahat sekalipun.
Seiring waktu, debu-debu mulai membelai kulitku yang
tak lagi halus dan karat-karat mulai menggerogoti tubuhku. Aku tak lagi
dihiraukan, tak lagi dipedulikan dan tak lagi disapa seperti dulu. Padahal,
waktu aku masih bekerja ribuan, jutaan bahkan miliaran kata berhasil aku
ketik dengan baik tanpa meminta gaji, upah atau pesangon saat aku pensiun.
Begitulah baiknya aku si mesin ketik tua.
“…benar sungguh bagai dikata, habis manis sepah
dibuang…,” lirik lagu band anak muda asal negeri jiran mengungkapkan perasaan
hatiku. Yah, begitulah manusia banyak tak punya pera-saan, tak bisa menghargai
orang lain, egois, tak tau terima kasih.
Aku akan lebih senang jika aku dilemparkan ke tong
sampah di pinggir jalan. Dalam waktu singkat tangan-tangan kekar para petugas
Dinas Kebersihan yang berseragam kuning-kuning akan memasukkan aku ke dalam
truk dan membawaku tempat penampungan akhir. Di sana aku akan bertemu
rekan-rekan senasib, seperti sepatu pejuang yang tidak terawat lagi setelah
ditinggal mati tuannya yang semestinya dia menjadi penghuni museum agar bisa
dikenali oleh generasi bangsa. Tapi, salah seorang pegawai Dinas Pariwisata
merasa tidak akan dapat keuntungan dari sepatu kulit buaya yang telah butut
itu. Sehingga dia memutuskan untuk membuang sepatu yang telah turut andil
melindungi kaki tuannya dalam berjuang merebut kemerdekaan negeri ini.
Tapi hingga sekarang aku masih tersekap di dalam
gudang yang redup dengan tubuh yang semakin tua dan reot tanpa ada yang peduli.
Karena aku hanya mesin ketik tua yang tak punya jiwa, namun aku punya perasaan.
Aku kece-wa…***
—————————————
Nasruddin Asn,
Jalan Gerilya, Parit 03,
Tembilahan Hulu
Indragiri Hilir, Riau
—————————————
Nasruddin Asn,
Jalan Gerilya, Parit 03,
Tembilahan Hulu
Indragiri Hilir, Riau
Lelaki dan Rindu - Sebuah Cerpen
19
April 2009 12.921 views 20 Comments
Tempat
ini kian gelap. Apakah sudah malam? Ah, tidak. Hari belum malam. Tapi, mengapa
hitam demikian padu di depan mataku? Aku terus berjalan. Berlari. Anehnya aku
masih merasa tetap di tempat.
“Doni, lupakanlah aku.” Tiba-tiba suara itu terdengar.
Sayup, pelan sekali. Namun kupastikan aku bisa menerka siapa pemilik suara merdu
itu.
Ela, kau Ela kan? Wahai kekasihku, di mana dirimu? Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat kukirim karena kau hilang begitu saja. Ela, kembalilah. Aku begitu ingin mendekapmu.”
Ela, kau Ela kan? Wahai kekasihku, di mana dirimu? Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat kukirim karena kau hilang begitu saja. Ela, kembalilah. Aku begitu ingin mendekapmu.”
“Sadarlah, Don. itu tak akan mungkin terjadi. Kita tak
mungkin bisa bersama lagi.”
“Tapi mengapa, Ela? Mengapa? Apakah kau tak ingin kita
kembali seperti dulu? Masih ingatkah, ketika matahari hampir terbenam, kita duduk
di atas bebatuan. Menunggu kiriman gelombang dari laut, lalu kita membalasnya
dengan sajak-sajak cinta. Menulisnya dengan kasih, dengan sayang. Tapi mengapa?
Mengapa sekarang kau pergi? Kau pergi tanpa sepengetahuanku, Ela. Kau
tinggalkan aku sendirian di sini. “
“Don, sudahlah. Jangan kau ungkit masa lalu.
Lupakan saja. “
“Apa? Lupakan? Setelah hidup seluruhnya kuabadikan untuk menjagamu, nafasku hembuskan untuk tetap bisa menyebut namamu, pun kisah-kisah hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Ela, aku tak bisa.”
“Apa? Lupakan? Setelah hidup seluruhnya kuabadikan untuk menjagamu, nafasku hembuskan untuk tetap bisa menyebut namamu, pun kisah-kisah hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Ela, aku tak bisa.”
“Don, apa kau tidak tahu, aku tak akan bisa lagi di
sampingmu, menyambung kembali benang kenangan kita, menyulamnya jadi harapan,
jadi impian yang kau katakan. Tidak, itu tak mungkin. “
“Ela, lama sudah kita tak bersua. Namun rasa rindu
masih saja bergelora. Dan seperti dulu, masih seperti dulu, aku menulis
penantian dalam kekecewaan yang telah jadi kanvas, tempatku menulis gundah,
melukis resah, tempat mendiskusikan segala keluh-kesah, memperdebatkan tentang
sebuah pertanyaan, mengapa kita berpisah?”
“Don, cukup! Jangan kau lanjutkan.”
“Ela, di mana kau? Tunjukkanlah wujudmu agar aku bisa melihatnya. Aku begitu ingin mendekapmu, Ela. Aku begitu merinduimu. Kembalilah, Ela, kembalilah!”
“Ela, di mana kau? Tunjukkanlah wujudmu agar aku bisa melihatnya. Aku begitu ingin mendekapmu, Ela. Aku begitu merinduimu. Kembalilah, Ela, kembalilah!”
Aku terbangun. Rupanya hanya mimpi. Bajuku basah
karena keringat. Mengapa Ela tiba-tiba hadir di mimpiku? Ah, malam ini terasa
begitu panjang.
Aku keluar dari kamar. Mencari whisky. Perlahan tapi
pasti, kureguk minuman haram jadah itu. Aku menikmatinya. Senikmat seorang
lelaki yang sedang bersenggama, melepaskan nafsu, mengadu birahi dalam
dinginnya malam bersama seorang perempuan yang amat dikasihi atau seorang
perempuan simpanan kalau tak ingin katakan pelacur.
Sudah dua botol whisky kuhabiskan. Dalam keadaan
setengah mabuk, aku berjalan tanpa tujuan. Badanku terhuyung-huyung. Aku
tersungkur. Jatuh. Terlentang di atas lantai. Aku ingin bangun. Tapi tak bisa.
Mataku berkunang-kunang. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Ia
berpakaian warna putih. Wajahnya cantik, memiliki sepasang sayap yang indah.
Bak bidadari, senyumannya sangat menawan. Kugosok-gosokkan mataku, “Ela?”
“Ya, Don. Aku Ela.”
“Ela, benarkah kau itu?” Ela, mendekatlah, Aku ingin memegang wajahmu.”
Ku coba berdiri. Tak bisa. Kepalaku terasa berat. Aku terus menggapai-gapai selendang putih yang dikenakan Ela di lehernya, pun tak bisa. “Sudahlah, Don. Saatnya kau menyadari bahwa aku sudah pergi.”
“Tidak, Ela. Aku mohon. Apakah tak ada lagi cinta untukku? “
“Don, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih mencintaimu. Tapi itu tak bisa aku jadikan alasan untuk bisa kembali padamu.”
“Ela, benarkah kau itu?” Ela, mendekatlah, Aku ingin memegang wajahmu.”
Ku coba berdiri. Tak bisa. Kepalaku terasa berat. Aku terus menggapai-gapai selendang putih yang dikenakan Ela di lehernya, pun tak bisa. “Sudahlah, Don. Saatnya kau menyadari bahwa aku sudah pergi.”
“Tidak, Ela. Aku mohon. Apakah tak ada lagi cinta untukku? “
“Don, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih mencintaimu. Tapi itu tak bisa aku jadikan alasan untuk bisa kembali padamu.”
“Ela, aku rindu. Sentuhan sajakmu yang selalu membelai
mimpi malamku. Senandung lagumu yang membuat sunyi cemburu pada penantian di
hari-hariku, juga suaramu yang telah mengisi imaji hingga kehampaan tak pernah
bisa bertandang di benakku. Tapi, Ela, setelah kepergianmu, dan pencarianku pun
tak berujung pertemuan, penantian tak menampakkan harapan, membuatku kehilangan
Ela. Aku kehilangan. Di laut kenangan kita, aku mati. Terkubur dalam
cerita-cerita yang berujung pada perpisahan. Pahamilah Ela, aku pun semakin
rapuh bersama rumah rindu yang terus dihujani air mata.”
“Don, simpanlah semua cerita kita. Jadikan ia
larik-larik puisi dan janganlah kau mati di dalamnya. Tetaplah jiwamu bergelora
segelora puisi yang kau tulis tentang kita. Juga di laut, tempat kita berkirim
doa dan harap pada Tuhan. Jangan kau lupakan itu. Tuhan telah memberikan kita
kata, kata itu yang telah melahirkan huruf-huruf cinta, di dalamnya telah
berhikayat perjalanan kembara kita yang berhasil merangkum rintang, luka,
kecewa, air mata dan sengsara jadi kehidupan, jadi sejarah, jadi kita.”
“Tapi Ela, aku ingin menjalaninya bersamamu.” Suaraku
makin sayu. Mungkin akibat minuman alkohol tadi. Lalu antara sadar dan tidak,
kulihat Ela mendekat. Ingin kugapai, tak sampai. Aku kewalahan.
“Don, percayalah. Aku selalu di sampingmu. Aku tak
akan menikam kepiluan, keperihan, juga menusuk jantungmu dengan kelu hingga
biru. Aku tak mau kegetiran menyuling cinta kita jadi riwayat kesedihan diceruk
impianmu yang berdarah. “
Dengan lamat-lamat, suara Ela menjauh. Semakin hilang.
Meninggalkanku dalam sunyi. Sendiri.**
Susi
Siswa kelas XII IPA I SMAN 3 Bengkalis.
Siswa kelas XII IPA I SMAN 3 Bengkalis.
Novel : 4 Hati 2 Jiwa 1
19 July 2010
Kategori: Novel
Kategori: Novel
573 bacaan Jom
bagi ulasan
Oleh : Xiao Dalila
‘Huarghhhh….ngantuknye…ada kain tebal…mesti anis nak
gosok baju ni…’ kenit berjalan dengan gaya perlahan. Gaya macam nak curi ikan
atas dapur aja. Dengan selamba dia pun buat kuak lentang atas kain tu.
“Kenittt…!” bergegar rumah teres dua tingkat ni dengan
jeritan Anis.
“Aku dah lambat ni kau lagi nak melambatkan kerja aku.
Dah tak ada tempat lain ke kau nak landing? Bangun lah. Tepi. Tepi.” Anis
mengangkat si kenit dan dialihkan ketepi kain penggosok. Kenit yang baru sahaja
melelapkan mata bangun dan memandang anis dengan matanya yang bulat.
“Apa pandang-pandang? Kau ni asal boleh je. Pantang
nampak kain ke kertas ke tudung aku pon jadi kau buat alas tidur ye?” Anis
membebel-bebel tak berhenti-henti. Tapi tangan anis masih laju menggosok baju
sekolahnya. Setelah semuanya siap dia bergegas bersiap dan menuju ke pintu.
“Ayya cepat ! kau lambat aku tinggal.” enjin kancil
dipanaskan. Kasut sekolah disarung. Beg dan botol air dicampak sahaja ke tempat
duduk belakang. Pagar dibuka.
“Sabarlah. kau ni kelam kelibut lah.”
“Banyak kau punya sabar. kalau kancil ni ada siren
macam kereta polis ke ambulan ke tak pe jugak. dah cepat. jangan lupa kunci
pagar.” kancil diundurkan. Lima minit kemudian keretanya dipecut menuju ke
sekolah adiknya.
—————————————–
“Mak salam. Orang pergi dulu tau.” Tangan Pn. Hamidah diciumnya. Beralih pula pada pipi emaknya itu.
“Mak salam. Orang pergi dulu tau.” Tangan Pn. Hamidah diciumnya. Beralih pula pada pipi emaknya itu.
“Kau balik pukul berapa nanti?”
“Pukul 3. Ada kelas. Nanti apa-apa orang message.
Orang bawak phone.” Usai mengikat tali kasut, dia bergegas menutup pagar lalu
masuk ke dalam kereta yang sejak tadi menunggu di luar rumah.
“Baik-baik melintas.” Terdengar laungan emaknya dari
dalam. Dalila melambai tangan kearah emaknya.
“Turun kat hospital ke kat Saleng?” En. said bertanya.
“Hospital je. Traffic light tu dah betul. Ada orang
dah buat report kot.” Ketiadaan jambatan menyebabkan pejalan kaki yang nak
menyeberang ke hospital perlu menggunakan lampu isyarat pejalan kaki. Tapi bila
lampu tu rosak mau dalam setengah jam baru dapat melintas. Lagi la waktu orang
pergi kerja pagi-pagi macam ni.
15 minit kemudian Dalila dah tercatuk di bahu jalan,
menunggu lampu isyarat bertukar merah. ‘lama betul. hidup ke tak lampu ni?’
Ditekan lagi butang di tiang lampu isyarat tersebut. ‘ha ! merah pon.’ Dengan
slow motion dia pun berjalan melintasi laluan zebra itu. Tiba di tengah jalan
tiba-tiba hon panjang berbunyi menyebabkan dia terkejut lalu terjatuh di tengah
jalan itu juga. “Allahhuakbar !”
Hanya seinci yang memisahkan dirinya dengan mini
cooper yang berwarna pink itu. Sempat lagi tu meng’usha’ kereta tu. Kereta
idaman kalbu tu. Dalila masih lagi tak bergerak dari kedudukannya tadi walaupun
dalam hati tah ape je yang dibebelkan. Orang ramai sudah mula mengelilinginya
yang masih kaku dikedudukannya. Pemandu mini cooper tadi sudah keluar dari
keretanya dan mengahampiri gadis kecil yang terduduk di tengah jalan itu.
—————————————–
Daniel membuka pintu keretanya dan bergegas keluar
dari mini coopernya. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya sudah menggigil
kesejukan. Sejuk aircond juga sejuk kerana cemas. ‘Apa aku dah buat ni.’
“Adik..adik tak apa-apa ke?” dia melambai-lambai
tangan di hadapan mata Dalila. Melihat tiada respon dari gadis itu dia menampar
perlahan bahu gadis tersebut.
“Oh mak kau. Astaghfirullah hal azim…..” dia mengucap
panjang. Bagai tersedar dari mimpi yang panjang. Nafasnya tercungap-cungap.
“Dia terperanjat lagi tu. Elok kamu bawak dia ke
hospital.” Seorang pak cik menasihati si pemandu mini cooper tersebut. Daniel
bergegas memapah gadis itu masuk ke dalam keretanya. Lalu lintas yang tadi
sesak sudah beransur pulih. ‘Nasib baik hospital kat sebelah aja.’ Daniel
memandu dengan perasaan yang masih lagi berbaur cemas. ‘Kalau dia nak report
polis macam mana ni? Habis lah aku.’
Tiba di wad kecemasan gadis itu dibawa masuk ke bilik kecemasan. Dia hanya menunggu di tempat menunggu yang disediakan pihak hospital. Telefon bimbitnya dikeluarkan dari bekas yang diselitkan di tali pinggang. Punat-punat telefonnya ditekan laju.
Tiba di wad kecemasan gadis itu dibawa masuk ke bilik kecemasan. Dia hanya menunggu di tempat menunggu yang disediakan pihak hospital. Telefon bimbitnya dikeluarkan dari bekas yang diselitkan di tali pinggang. Punat-punat telefonnya ditekan laju.
“Assalamualaikum papa.”
“Waalaikummussalam adik. Kenapa pagi-pagi dah call
ni?”
“Papa tadi….adik langgar budak sekolah pa. Kat traffic
light susur keluar Bandar Putra. ”
“Astaghfirullah hal azim. Macam mana adik bawa kereta
ni? Adik mengantuk ke?”
“Adik tak tau pa. adik tak perasan tengah merah. Pa
boleh tolong adik tak? Adik kat wad kecemasan hospital Kulai ni.”
“Okey adik tunggu kejap. 15 minit lagi papa sampai.”
Panggil Aku “Miss Late”
12
Juli 2009 7.625 views 11 Comments
Kakiku menyusuri trotoar jalan yang sempit. Pagi itu semua aktivitas
dimulai, di pagi Senin yang melelahkan. Hari di mana aku harus mengumpulkan
tugas kimia dan fisika, yang di dalamnya terdapat banyak rumus yang tak
kumengerti. Serta tak luput hafalan Bahasa Prancis, yang jelas tujuan pembelajarannya
(mungkin berguna bagi mereka yang bisa ke Prancis dan bertemu Zinedine Zidane).
Tapi pelajaran itu sungguh sangat membosankan bagi orang sepertiku. Karena
untuk bermimpi pergi ke negara se-Asia saja aku tak sanggup, apalagi sampai ke
benua Eropa yang di dalamnya terdapat banyak ilmuwan terkenal itu.
Berbeda sekali dengan Stela yang sudah berkeliling
dunia (ceritanya pada saat pelajaran bahasa Indonesia). Aku benci mendengarnya.
Oh Tuhan, rasanya aku ingin kembali ke rumah dan bilang kepada ibu bahwa
kepalaku sakit sekali memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Tapi aku harus
optimis, walaupun aku sudah tahu nanti sesampainya di sekolah, aku akan belajar
di luar hingga pelajaran pertama usai. Karena belum bisa mengumpulkan tugas
kimia tepat waktu. Sungguh, hari-hariku tak lepas dari penderitaan.
Dugaanku benar, Ibu Zenith tak sedikitpun kasihan padaku, yang tiap harinya menderita karena PR yang menumpuk di rumah. Dia memarahiku habis-habisan dan membuang 15 menit waktu mengajarnya hanya untuk menceramahiku tentang kebiasaan jelekku. “Kamu ini, kapan sih mau berubah! Nggak pernah rapi, sering terlambat ke sekolah. Bahkan kebiasaan terlambat kamu itu juga menular dalam mengantar tugas. Mau jadi apa kamu, Joan?” ceramahnya padaku.
“Tapi hari ini saya nggak terlambat kok, Bu…” belaku.
Dugaanku benar, Ibu Zenith tak sedikitpun kasihan padaku, yang tiap harinya menderita karena PR yang menumpuk di rumah. Dia memarahiku habis-habisan dan membuang 15 menit waktu mengajarnya hanya untuk menceramahiku tentang kebiasaan jelekku. “Kamu ini, kapan sih mau berubah! Nggak pernah rapi, sering terlambat ke sekolah. Bahkan kebiasaan terlambat kamu itu juga menular dalam mengantar tugas. Mau jadi apa kamu, Joan?” ceramahnya padaku.
“Tapi hari ini saya nggak terlambat kok, Bu…” belaku.
Ibu Zenith semakin berapi-api mendengar pembelaanku,
hingga akhirnya aku pun kalah di meja hijau. Dan kartu merah yang dilayangkan
wasit Zenith membuatku terpaksa keluar dari lapangan dan meninggalkan kompetisi
ini. Sungguh melelahkan menunggu di luar hingga pelajaran pertama usai.
Pagi ini, kimia sudah membuatku apes. Belum lagi menjadi pusat perhatian anak-anak di kelas sebelah. Ya Tuhan, apakah hamba-Mu yang manis ini pantas diperlakukan seperti ini hanya karena belum menyelesaikan tugas ibu guru yang sering menatapku seperti sedang melihat kutu di rambut gondrong Pak Tedye? Benar-benar tidak adil.
Pagi ini, kimia sudah membuatku apes. Belum lagi menjadi pusat perhatian anak-anak di kelas sebelah. Ya Tuhan, apakah hamba-Mu yang manis ini pantas diperlakukan seperti ini hanya karena belum menyelesaikan tugas ibu guru yang sering menatapku seperti sedang melihat kutu di rambut gondrong Pak Tedye? Benar-benar tidak adil.
Akhirnya hukumanku pun berakhir. Aku masuk ke kelas
dengan rasa bangga seolah baru saja pulang dari perang dan membawa kemenangan,
layaknya Sarwo Edhi Wibowo yang menjadi pemimpin dan berhasil menguasai
pemberontakan di Jakarta dalam penumpasan G-30-S. “Hari yang melelahkan,”
ucapku sambil meletakkan tas di atas meja. Stela tertawa kecil, menatapku dari
ujung kaki hinggga ujung rambut dan mulai berbisik. Aduh, apalagi yang
dibicarakan nenek sihir itu.
Pelajaran kedua dimulai. Pak Dede masuk dengan membawa tumpukan kertas. Hatiku mulai gelisah, takut, dan… “Hari ini kita ulangan”
Pelajaran kedua dimulai. Pak Dede masuk dengan membawa tumpukan kertas. Hatiku mulai gelisah, takut, dan… “Hari ini kita ulangan”
Deeeer…kalimat itu akhirnya keluar juga dari mulut
ahli fisika di sekolahku yang terkenal sering membuat kejutan untuk muridnya
itu, termasuk yang satu ini. “Ulangan dadakan.” Kalimat yang tadinya membuat
hatiku gelisah dan takut itu kini berubah menjadi malapetaka. Yah, musibah
kedua di hari Senin. Anak-anak di kelas komplain, protes, de el el. Termasuk
yang benar-benar diragukan kemampuannya dalam hal berhitung dan menghafal
rumus. “Tidak ada yang bicara, hanya ada kertas selembar dan pena!” ucapnya
sambil menghitung lembaran kertas ulangan yang akan dibagikan.
Tidak ada yang kami lakukan selain menerima takdir. Sungguh menyedihkan. Kertas ulangan mulai dibagikan dan kini giliran untukku.
Tidak ada yang kami lakukan selain menerima takdir. Sungguh menyedihkan. Kertas ulangan mulai dibagikan dan kini giliran untukku.
“Apa kamu sudah siap untuk ulangan, miss late?” Tanya
Pak Dede sambil tersenyum sinis. Kumisnya yang bergaya ala Adolf Hitler tak
lagi tampak lucu seperti hari-hari biasanya. Aku hanya terdiam dan sedikit
tersenyum gelisah. Aku yakin dia sudah bisa membaca jawaban di jidatku yang
sudah tertulis rapi “Saya Belum Siap.” Hari ini ku mohon ada mukjizat dan
Joseph Black, John Dalton serta Prescott Joule berada di sampigku saat ulangan
nanti.
Perangpun berakhir. Adolf Hitler sudah keluar lima
menit yang lalu. Stela terlihat gelisah. Aku tahu kemampuannya dalam hal ini
tak berbeda jauh denganku. Kegelisahanku berakhir. Dan masih ada waktu seminggu
untuk merefleksikan telingaku, sebelum minggu depan diceramahi habis-habisan
oleh ibu. Karena aku yakin nilai ulanganku kali ini pasti di bawah limapuluh.
Sebab orang-orang pilihanku tadi tak menghampiriku dan memberikan jawaban. Siapa
lagi kalau bukan Dalton, Joule, dan si Black. Kita lihat saja nanti.
“Kayaknya hari ini miss late nyantai-nyantai aja nih
ulangannya…,” ucap Stela.
“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, pembual!” balasku sinis
“Kenapa? Nggak suka yah? Miss late..,” tambahnya lagi.
Kali ini sebutan itu terdengar lebih kuat. Hari ini aku terlalu lelah untuk meladeni nenek yang satu ini. Dan aku pilih cara yang satu ini.
“Eh, pembual….lo nggak nyadar yah?” balasku jengkel.
”Apa?” tanya Stela penasaran
“Ada deh. Tapi gue saranin jangan keluar kelas deh, ntar lo bisa malu seumur hidup,” jawabku sambil tertawa, keluar kelas.
“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, pembual!” balasku sinis
“Kenapa? Nggak suka yah? Miss late..,” tambahnya lagi.
Kali ini sebutan itu terdengar lebih kuat. Hari ini aku terlalu lelah untuk meladeni nenek yang satu ini. Dan aku pilih cara yang satu ini.
“Eh, pembual….lo nggak nyadar yah?” balasku jengkel.
”Apa?” tanya Stela penasaran
“Ada deh. Tapi gue saranin jangan keluar kelas deh, ntar lo bisa malu seumur hidup,” jawabku sambil tertawa, keluar kelas.
Wajahnya pucat pasi. Darahnya menggebu-gebu, penasaran
dan sibuk memperhatikan penampilannya. Dan aku pastikan dia bertanya pada
teman-teman. “Ada yang salah dengan penampilanku hari ini? Make-up ku? Bajuku?
Aksesorisku? Rambut baruku? Atau apa…?” Hahaha, aku suka itu.
***
Pulang sekolah, masih melewati jalan yang sama. Trotoar. Banyak kaki lima.Orangmondar mandir. Uhh… benar-benar sibuk. Kakiku melangkah pasti menuju jalan pulang, perempatan jalan terdekat menuju rumah. Dan di sinilah kutemukan sisi positif dari miss late yang benar-benar sudah membuatku terkenal. Huhh..tak kusangka.
***
Pulang sekolah, masih melewati jalan yang sama. Trotoar. Banyak kaki lima.Orangmondar mandir. Uhh… benar-benar sibuk. Kakiku melangkah pasti menuju jalan pulang, perempatan jalan terdekat menuju rumah. Dan di sinilah kutemukan sisi positif dari miss late yang benar-benar sudah membuatku terkenal. Huhh..tak kusangka.
“Terima kasih atas bantuannya kemaren,” ucap seorang
pria berpostur tinggi tegap dengan rambut bergaya ala Lee Mong Long dalam
serial drama Korea Sassy Girl kesukaanku. Mimpi apa aku semalam, cowok berparas
manis ini tiba-tiba memotong jalanku.
“Untuk apa? Kita pernah kenal ya?” Tiba-tiba aku
menyesal melontarkan kalimat itu. Bukan. Seharusnya aku bilang, “ya
sama-sama…itu belum seberapa.” Tapi tidak mungkin, aku tidak mengenalnya. Dan
kebaikan apa yang sudah aku lakukan untuknya, otakku berusaha membuka memori
lama, tapi sosoknya benar-benar tak ada di sana.
“Kita memang nggak pernah kenal. Aku Satya,” balasnya
sambil mengulurkan tangan.
“Lantas….” “Kamu miss late ‘kan?” Sialan. Harusnya dia bilang, “Kamu Joana anak kelas X.C yang manis itu ‘kan..” Mengapa nama itu yang mengawali pertemuanku dengan pangeran ini… huhhh “Yah… begitulah. Ada apa yah…,” balasku yang mulai gusar.
“Lantas….” “Kamu miss late ‘kan?” Sialan. Harusnya dia bilang, “Kamu Joana anak kelas X.C yang manis itu ‘kan..” Mengapa nama itu yang mengawali pertemuanku dengan pangeran ini… huhhh “Yah… begitulah. Ada apa yah…,” balasku yang mulai gusar.
“Pak De-ku meminta aku mengucapkan rasa terima
kasihnya ke kamu. Soalnya kemaren kamu sudah bantuin dia…” ucapnya. Waduh, aku
benar-beanr ditipu oleh wajah manisnya yang kukira benar-benar Lee Mong Long.
Ternyata logat Jawa itu keluar juga.
“Pak De kamu? Perasaan saya, saya enggak pernah bantuin Pak De kamu deh…salah orang kale…,” jawabku.
“Ndak. Aku ndak mungkin salah. Dia sendiri yang nunjukin orangnya ke aku. Dan orang itu kamu,” tambahnya lagi. Huhh, lama-lama aku dibuat kesal olehnya. “Ok. Langsung aja. Nama Pak De-mu?” tanyaku tanpa basa basi lebih jauh.
“Pak De Suryo. Satpam SMA mu…,” jawabnya.
Ya, Tuhan. Pak Suryo yang sering bukain pintu kalau aku terlambat itu ternyata punya keponakan semanis ini? Ke mana aja gue? Sial..tapi…
“Bantuan apa ya?” tanyaku lagi.
“Minjemin dia uang. Ingatkan?”
Aku mengangguk. Dia menatapku polos dan…
“Namanya bagus ya mbak…,” tambahnya.
Deeeer…nama kutukan itu? Baru kali ini mendapat pujian, dari orang semanis dia. Ya tuhan, aku benar-benar terharu. Hikz..hikz…
“Pak De kamu? Perasaan saya, saya enggak pernah bantuin Pak De kamu deh…salah orang kale…,” jawabku.
“Ndak. Aku ndak mungkin salah. Dia sendiri yang nunjukin orangnya ke aku. Dan orang itu kamu,” tambahnya lagi. Huhh, lama-lama aku dibuat kesal olehnya. “Ok. Langsung aja. Nama Pak De-mu?” tanyaku tanpa basa basi lebih jauh.
“Pak De Suryo. Satpam SMA mu…,” jawabnya.
Ya, Tuhan. Pak Suryo yang sering bukain pintu kalau aku terlambat itu ternyata punya keponakan semanis ini? Ke mana aja gue? Sial..tapi…
“Bantuan apa ya?” tanyaku lagi.
“Minjemin dia uang. Ingatkan?”
Aku mengangguk. Dia menatapku polos dan…
“Namanya bagus ya mbak…,” tambahnya.
Deeeer…nama kutukan itu? Baru kali ini mendapat pujian, dari orang semanis dia. Ya tuhan, aku benar-benar terharu. Hikz..hikz…
Huuuhhhh…pertemuan singkat ini benar-benar membuatku
bahagia. Satyo dengan logat Jawa yang menipuku dengan tampang Lee Mong Long ini
benar-benar membuatku gelisah siang dan malam. Jangan-jangan aku terkena
penyakit berbahaya, Yah…apa lagi kalau bukan jatuh cinta. Bukankah penyakit itu
berbahaya untuk anak seusia aku? Dan kumohon jangan pernah berhenti panggil aku
miss late…”***
Sebait Puisi Kala Desember
21
Desember 2009 6.571 views 7 Comments
Pagi ini tak seperti pagi-pagi kemarin. Matahari sudah tak enggan lagi
bersinar dengan kecerahan yang sempurna. Sudah tak ada lagi awan hitam yang
menyembunyikannya. Yang ada justru awan-awan putih seperti kapas yang bergerak
lamban ditiup angin sepoi. Dengan background langit biru.
Burung-burung pun seolah ikut berperan. Suara-suara
cicit yang terdengar bukannya membuat berisik melainkan seperti melodi yang
akan menjadi pembuka kisah hari ini. Ia terbang kesana-kemari, bertengger dari
satu pohon besar ke pohon besar lainnya. Saling menyenandungkan lagu yang hanya
mereka yang mengerti artinya. Merekalah satu-satunya yang membuat tempat
ini tak benar-benar sepi.
Semangatku pun lahir dengan hadirnya pagi yang penuh
warna ini. Setelah kemarin aku merasa sendiri, kesepian. Gara-gara hujan
tak berhenti turun selama satu minggu, tak ada satu orang pun yang datang
ke tempatku. Aku memang sudah hampir satu bulan tinggal di sini. Jadi setiap
hari aku selalu berharap ada orang yang mau datang ke rumah baruku, tak diajak
mengobrol pun tak apa, mereka sudah datang melihatku saja aku sudah senang.
Awalnya aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di
sebuah rumah kos bersama beberapa teman yang kuliah di universitas yang sama
denganku. Kami semuanya berjumlah dua puluh orang. Bayangkan betapa ributnya
rumah yang ditinggali dua puluh wanita yang dikenal sebagai makhluk yang
rumit. Setiap hari setiap orang membawa masalah yang berbeda-beda. Mulai dari
soal cinta, tumpukan tugas-tugas dari kampus, sampai masalah kewanitaan. Tak
ada lagi yang dirahasiakan.
Aku rindu dengan semua itu. Saling berbagi dan
kadang-kadang saling marah seperti anak kecil berkelahi. Apalagi aku dikenal
sebagai orang yang tak bisa diam, hiperaktif, kata mereka.
Maka ketika harus berpisah dari mereka dan tinggal
sendiri, tanpa siapa-siapa, membuat aku menangis setiap malam. Semoga saja tak
ada yang mendengar suara tangisanku. Sebenarnya aku juga tak mau hidup seperti
ini, sebatang kara seperti tak punya siapa-siapa. Tapi apa mau dikata, jalan
hidup masing-masing orang sudah ada yang mengatur. Aku tak bisa apa-apa.
Ah, kenapa aku seperti menyalahkan takdir. Seharusnya
aku yakin bahwa Tuhan memiliki maksud di setiap rencana-NYA. Dia juga pastilah
memiliki suatu rencana dengan menempatkan aku di sini. Dia jauh lebih tahu apa
yang terbaik buatku melebihi diriku sendiri.
Seperti pagi ini, aku yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau tidak mengapa dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.
Seperti pagi ini, aku yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau tidak mengapa dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.
Sebuah mobil berhenti di depan. Aku berusaha
menajamkan penglihatanku demi apa yang sekarang aku saksikan. Dua sosok,
seorang pria dan seorangnya lagi wanita, turun dari kendaraan yang baru saja
membawa mereka ke sini. Aku biarkan mereka berjalan mendekatiku.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.
Dan laki-laki yang bersamanya adalah Kokoh. Tapi dia
tak seperti namanya, tak sekuat namanya. Apalagi setelah berpisah denganku.
Tepatnya aku yang meminta kami untuk berpisah. Ia tak bisa menerimanya dan
meminta alasan mengapa aku lakukan itu. Aku bilang tak tahu, ia tak percaya.
Padahal aku memang benar-benar tak tahu. Aku sendiri tak bisa mengenali
perasaan apa waktu itu yang membuat aku yakin untuk memutuskan hubungan kami.
Hubungan yang bahkan sudah hampir menuju ke arah pernikahan.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.
Aku yakin, pasti Mela yang membawanya ke sini. Pasti
Kokoh yang memaksa sahabatku itu untuk menunjukkan tempat baruku. Aku sengaja
meminta Mela untuk jangan menginformasikan apapun perihal hidupku kepada Kokoh.
Biarlah cerita perpisahan kami menjadi akhir atas segalanya. Jangan ada lagi
lanjutannya, Kokoh sudah cukup tersakiti. Aku tak mau menambah sakitnya jika ia
tahu yang sebenarnya. Tapi sahabatku itu tak akan sanggup membiarkan seorang
pria menangis di hadapannya. Kokoh, bahkan aku lebih kuat darinya.
Dan drama pagi ini benar-benar dimulainya dengan
isakan dengan kepala yang tertunduk dalam. Mela ikut me-nangis. Aku memohon
supaya mereka jangan menangis. Sia-sia, tak ada seorangpun yang bisa mendengar
suaraku. Aku pun ikut menangis. Aku juga terluka dengan perpisahan ini. Bahkan
lebih terluka dari luka yang mereka punya.
Aku tidak saja harus berpisah dengannya dan
teman-teman yang lain, tapi juga orang tuaku. Parahnya aku juga harus berpisah
dengan dunia-tempat di mana selama ini aku ada.
Isakan itu mulai berhenti namun tak menghentikan
isakanku kare-na kalimat yang diucapkannya membuat aku ingin hidup
kembali. Mustahil akan terjadi.
“Aku masih mencintaimu, Bidadariku. Bagaimana
denganmu?” Dadaku bertambah sesak, seharusnya dia tak menanyakan itu. Dia
pasti tahu jawabanku sekarang. Aku masih sangat mencintainya.
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”
Seolah-olah tak menghiraukan apa yang dikatakan Mela,
Kokoh melanjutkan kalimatnya, “Maaf, Bidadariku, aku membiarkanmu menanggung
rasa sakit sendirian. Aku telah menyalahkanmu padahal aku tak tahu apa-apa
tentangmu.”
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.
Lama-kelamaan penyakit itu seperti mengambil semua
ketahanan tubuhku. Aku jadi ikut membenarkan diagnosa para dokter bahwa
aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sangat sedih tapi aku tak
mau membuat orang lain menjadi sedih dengan keadaanku. Pikiran itu yang membuat
aku memutuskan untuk merahasiakannya sendirian.
Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Kokoh secara
sepihak. Sekarang aku baru tahu mengapa aku melakukannya. Aku ingin membuat
Kokoh siap atas kepergianku nanti. Membiarkan ia manjalani hari-harinya tanpa
aku lagi. Biar jika ketiadaanku yang sebenarnya datang, dia sudah terbiasa.
Firasatku akan datangnya kematian memang sangat kuat saat itu.
Dan itu sama sekali tak salah. Satu bulan setelah kami
berpisah aku dijemput malaikat bersayap dari langit. Kokoh sama sekali tak tahu
berita kematianku. Ia sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan proyek
kantornya. Tak ada satu pun yang memberita-hunya karena orang-orang menganggap
apa yang terjadi padaku sudah tak penting lagi untuk diketahui oleh Kokoh.
Kematianku begitu mudah, begitu indah. Mungkin karena
aku telah bersiap-siap akan itu.
Tengah hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009
Tengah hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009
Secarik kertas bertuliskan puisi diletakkannya di atas
gundukan tanah-rumah baruku- dengan serakan bunga-bunga yang baru mereka
taburkan. Kokoh tahu aku sangat menyukai puisi.
Kemudian mereka berbalik meninggalkan pemakaman ini.
Aku memandangi keduanya, maafkan aku meninggalkan kalian lebih dulu, bisik
hatiku.
Setelah benar-benar hilang dari pandanganku, barulah
aku membaca puisinya.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.
——————————————————
Erma, mahasiswi
FKIP Bahasa Inggris-UIR
FKIP Bahasa Inggris-UIR
Senja Digayut Sakit - Sebuah Cerpen
16
Agustus 2009 3.864 views No Comment
Tatapku tergantung di awang, menerobos ke sela-sela angan yang
panjang. Bayangan mimpi sebuah masa depan. Masa depan yang tak pernah
dimengerti oleh siapapun. Sebab terlalu abstrak. Sampai aku membangun sebuah
tirani kokoh dalam hidupku. Mengharamkan siapa saja masuk menjelajahinya,
bahkan sebuah kata membosankan “menikah” sekalipun. Sampai taman hidupku
menjadi dunia indah, seperti yang kuidam-idamkan sejak awal aku menggeluti
dunia pujangga. Aku tak peduli dunia menatapku bingung. Bahkan tak jarang
menuding aku sok hebat, mengejar karir berlebihan. Menunda-nunda menyempurnakan
agama.
Aku tak ingin frustasi pada waktu. Kupikir waktu sudah
cukup tepat mengantarkan aku ke sini, belajar pada setiap suasana, perasaan dan
logika, lalu menyatukannya dalam untaian goresan penuh estetika. Bukan juga
popularitas yang membuat aku seperti dibius menelurkan syair-syair hidup. Sebab
jika hanya bersandar pada popularitas, usianya paling sebatas
keberuntungan. Ya… keberuntungan. Seperti awal dulu aku mulai tergoda
menulis, juga faktor keberuntungan. Keberuntungan yang telah didahului dengan
kerja keras dan perjuangan mengumpulkan kata demi kata saban harinya.
Sampai-sampai aku harus rela bergaul dengan si Mona, yang begitu kental logat
melayunya, hanya untuk belajar kata-kata kampung yang sering dia ucapkan.
“Nduk…”
“Nduk…”
Suara wanita di depanku memaksaku mengangkat wajah,
dialah satu-satunya gantungan hidupku sekarang. Wajahnya telah cukup menua,
masa paruh bayanya ia habiskan untuk mengurusi aku, Venti dan Mbak Win.
Semenjak ayah meninggal lima tahun lepas, Ibu praktis mengambil alih semua
peran ayah. Bahkan sampai menjenguk kebun sawit setiap pekannya. Hari-harinya
ia habiskan menunggui rumah warisan peninggalan ayah. Jangan sampai dijual Na!
begitu selalu pesannya padaku.
“Ya, Bu” kusahut lirih suara ibu.
“Berapa usiamu sekarang, Nduk?”
“Berapa usiamu sekarang, Nduk?”
Mulutku hanya bungkam. Bukan berniat tak menjawab,
tapi kupikir ibu juga lebih tau jawabannya. Tepat sebulan lalu ia menghadiahi
aku satu stel baju tidur, katanya sebagai kado ulang tahunku yang ke dua puluh
empat. Aku tak mengerti kenapa ibu masih begitu sempat memperhatikan hari
lahirku. Bahkan aku saja hampir tak peduli, kalau tidak calling Erin yang
memberi ucapan, aku pasti pura-pura lupa dengan hari jadiku.
“Rumah ini sudah cukup lama sepi, Nduk”
“Rumah ini sudah cukup lama sepi, Nduk”
Aku masih terdiam, kemana arah pembicaraan sudah dapat
kutebak. Ibu pasti ingin aku segera menikah. Ya… menikah, satu hal yang sama
sekali belum terlintas dibenakku.
“Ibu sering-sering aja ikut Na ke kota, biar nggak
sepi sendirian di sini, Bu”
Sedikit kubelokkan alur pembicaraan, sebab aku tak tega kalau jawabanku nanti menyakiti hati dan harapannya.
“Bukan itu maksud Ibu, Win juga seperti kamu, kalau Ibu bilang begini selalu jawabannya begitu”
Aku menarik nafas dalam, kulirik wajahnya sedikit, takut kalau ekspresinya berubah. Duh…apa yang salah dengan keluarga ini, Rabb? Hati kami begitu terkunci untuk melakukan hal yang bagi ibu sangat membuatnya bahagia.
“Ibu ingin Na segera menikah?” Tanpa ragu lagi kulontarkan pertanyaan itu. Aku ingin melihat sedikit sinar kembali di wajahnya. Hanya itu. Duh…ya Rabb, ampuni hamba. Dan benar saja, wajah itu kembali bercahaya. Seperti ada harapan baru yang terselip disenyum tuanya.
Sedikit kubelokkan alur pembicaraan, sebab aku tak tega kalau jawabanku nanti menyakiti hati dan harapannya.
“Bukan itu maksud Ibu, Win juga seperti kamu, kalau Ibu bilang begini selalu jawabannya begitu”
Aku menarik nafas dalam, kulirik wajahnya sedikit, takut kalau ekspresinya berubah. Duh…apa yang salah dengan keluarga ini, Rabb? Hati kami begitu terkunci untuk melakukan hal yang bagi ibu sangat membuatnya bahagia.
“Ibu ingin Na segera menikah?” Tanpa ragu lagi kulontarkan pertanyaan itu. Aku ingin melihat sedikit sinar kembali di wajahnya. Hanya itu. Duh…ya Rabb, ampuni hamba. Dan benar saja, wajah itu kembali bercahaya. Seperti ada harapan baru yang terselip disenyum tuanya.
“Tapi Mbak Win belum menikah, Bu. Mana mungkin Na
mendahului. Bukannya ibu dari dulu yang bilang begitu” Kalimat telak, ibu tak
menyahut lagi mendengar ucapanku. Aku tau apa yang ia pikirkan. Mungkin ia
sedih.
Kami anak-anaknya tak bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Bahkan Mbak Win yang usianya terpaut empat tahun denganku masih terus-terusan melajang tanpa penjelasan yang dapat dimengerti ibu. Dan aku? Aku tau ibu juga tak tega pada Mbak Win kalau aku menikah dulu. Ibu cukup ketat dengan aturan keluarga. Meski Mbak Win sudah membuka izin lebar-lebar, menyuruh aku menikah lebih dulu. Tapi mungkin di luar dugaan ibu, hati dan pikiranku tak pernah tertarik untuk membicarakan sebuah pernikahan.
Kami anak-anaknya tak bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Bahkan Mbak Win yang usianya terpaut empat tahun denganku masih terus-terusan melajang tanpa penjelasan yang dapat dimengerti ibu. Dan aku? Aku tau ibu juga tak tega pada Mbak Win kalau aku menikah dulu. Ibu cukup ketat dengan aturan keluarga. Meski Mbak Win sudah membuka izin lebar-lebar, menyuruh aku menikah lebih dulu. Tapi mungkin di luar dugaan ibu, hati dan pikiranku tak pernah tertarik untuk membicarakan sebuah pernikahan.
Setamat kuliah, aku mengazamkan diriku untuk serius
menulis dan berkarya. Seperti pesan ayah dulu, “Na…suatu hari nanti kamu harus
jadi orang besar.” Untuk lanjut S2, tentu saja aku tak tega membebani ibu lagi
untuk membiayainya. Maka kuputuskan untuk menjadi besar dan kaya dengan caraku.
Cara yang dianggap orang lain mustahil dan aneh.
“Kau mau cepat kaya dan terkenal, Na? mimpi kalau
hanya memilih profesi sebagai penulis, lebih baik kau cari suami anggota dewan,
supaya cepat kaya”. Itu pernyataan Bang Wan beberapa waktu lalu padaku.
Bang Wan juga penulis, mungkin dia merasakan sulitnya mengisi periuk nasi hanya dengan profesi menulis. Tapi aku tak mau bercermin hanya dari kalimat Bang Wan. Kupikir orientasi menulis yang kubangun tak hanya berpijak pada materialisme semata, meskipun terkadang sedikit banyak hal itu tak bisa dihindari. Tapi hakikat utamanya tentu bukan itu. Ya, seperti keyakinan yang cukup mengakar di kepalaku. Kebaikan tak hanya dapat ditularkan dari lisan ke lisan, tapi tulisan juga tak kalah hebatnya mampu merubah pola pikir seseorang.
Bang Wan juga penulis, mungkin dia merasakan sulitnya mengisi periuk nasi hanya dengan profesi menulis. Tapi aku tak mau bercermin hanya dari kalimat Bang Wan. Kupikir orientasi menulis yang kubangun tak hanya berpijak pada materialisme semata, meskipun terkadang sedikit banyak hal itu tak bisa dihindari. Tapi hakikat utamanya tentu bukan itu. Ya, seperti keyakinan yang cukup mengakar di kepalaku. Kebaikan tak hanya dapat ditularkan dari lisan ke lisan, tapi tulisan juga tak kalah hebatnya mampu merubah pola pikir seseorang.
***
“Aduh si Eneng, tulisannya dimuat lagi atuh, Neng”
“Puisi Na, Kang?”
“Ada esai juga mah, nih…” Kang Dadang menyodoriku harian pagi yang sedang dibacanya. Pria penjual lontong di sebelah kostku ini memang paling rajin baca koran. Kupikir di kota ini jarang-jarang ada pedagang kecil yang seperti ini, tak seperti di Jogja kota pelajar, supir bus pun memanfaatkan lampu merah untuk membaca koran.
“Oh, ya. Makasih atuh, Kang”
“Aduh si Eneng, tulisannya dimuat lagi atuh, Neng”
“Puisi Na, Kang?”
“Ada esai juga mah, nih…” Kang Dadang menyodoriku harian pagi yang sedang dibacanya. Pria penjual lontong di sebelah kostku ini memang paling rajin baca koran. Kupikir di kota ini jarang-jarang ada pedagang kecil yang seperti ini, tak seperti di Jogja kota pelajar, supir bus pun memanfaatkan lampu merah untuk membaca koran.
“Oh, ya. Makasih atuh, Kang”
Lelaki itu tersenyum sambil mengambilkan lontong
pesananku. Lontong yang kurasa terenak di sekitar tempat tinggalku. Bukan saja
rasanya yang sedap, tapi aura wajah si penjual juga selalu bersahabat dan
nyambung diajak bicara.
“Kang Dadang kepingin atuh ngirim-ngirim tulisan
begituan. ‘Kan lumayan atuh Neng ada honornya.” Kang Dadang kembali nyeletuk.
“Ya udah, Kang Dadang tinggal buat aja.” sahutku.
Lelaki itu hanya senyum-senyum. Dia seperti agak malu. Kupikir kenapa harus malu. Kalau kita punya bakat menulis kenapa harus selalu tidak percaya diri dengan tulisan kita. Toh, kita belum tau bagaimana apresiasi orang. Kalau tidak pernah mau mencoba, kapan bisanya.
Lelaki itu hanya senyum-senyum. Dia seperti agak malu. Kupikir kenapa harus malu. Kalau kita punya bakat menulis kenapa harus selalu tidak percaya diri dengan tulisan kita. Toh, kita belum tau bagaimana apresiasi orang. Kalau tidak pernah mau mencoba, kapan bisanya.
“Lima ribu ya, Kang” kusodorkan selembar uang lima
ribuan, itu sisa uang honor puisiku minggu lepas.
Ah, beginilah hari-hariku, hanya mengharapkan honor menulis tiap minggunya. Pantas jika ibu merisaukan keadaanku. Tapi aneh, kenapa aku sendiri tak risau. Aku begitu yakin bahwa alur hidupku akan mengalir begitu indah. Meski orang lain menganggapku pengangguran terselubung segala. Tapi toh aku tidak pernah merasa kekurangan, kalaupun kekurangan beberapa hari biasanya akan segera terdengar kabar baik, “tulisan Anda kami muat Mbak, silahkan kirim nomor rekening.” Kalimat itu yang kerap kunanti-nanti.
Ah, beginilah hari-hariku, hanya mengharapkan honor menulis tiap minggunya. Pantas jika ibu merisaukan keadaanku. Tapi aneh, kenapa aku sendiri tak risau. Aku begitu yakin bahwa alur hidupku akan mengalir begitu indah. Meski orang lain menganggapku pengangguran terselubung segala. Tapi toh aku tidak pernah merasa kekurangan, kalaupun kekurangan beberapa hari biasanya akan segera terdengar kabar baik, “tulisan Anda kami muat Mbak, silahkan kirim nomor rekening.” Kalimat itu yang kerap kunanti-nanti.
***
Siang tadi Mas Aries dari majalah Girlie Zone menelponku, katanya puisiku dimuat lagi. Aku tersenyum bahagia. Tapi aneh, kebahagiaan itu cuma sesaat. Perasaanku tiba-tiba saja hambar. Malam ini aku sama sekali tak tertarik dengan tumpukan puisi-puisiku. Kubiarkan kata-kataku tergantung di tiap baitnya. Puluhan antologi puisi berserakan di lantai. Aku tiba-tiba saja merasa muak dengan untaian-untaian kalimatku. Kepalaku mendadak sakit, pandanganku berkunang-kunang. Kutarik bantal coklat dari tempat tidurku. Kurebahkan kepalaku. Tapi tetap saja rasa sakit menggerayangi pikiranku.
Siang tadi Mas Aries dari majalah Girlie Zone menelponku, katanya puisiku dimuat lagi. Aku tersenyum bahagia. Tapi aneh, kebahagiaan itu cuma sesaat. Perasaanku tiba-tiba saja hambar. Malam ini aku sama sekali tak tertarik dengan tumpukan puisi-puisiku. Kubiarkan kata-kataku tergantung di tiap baitnya. Puluhan antologi puisi berserakan di lantai. Aku tiba-tiba saja merasa muak dengan untaian-untaian kalimatku. Kepalaku mendadak sakit, pandanganku berkunang-kunang. Kutarik bantal coklat dari tempat tidurku. Kurebahkan kepalaku. Tapi tetap saja rasa sakit menggerayangi pikiranku.
“Ah, tidaaak!” Aku berteriak kecil. Perutku ikut mual.
Kupaksakan tubuhku bangkit berdiri menuju kamar mandi. Tapi percuma, tubuhku
kembali ambruk ke lantai. Badanku sama sekali tak berdaya. Kaki-kakiku
pun mulai terasa pegal-pegal. “Ya Allah…” aku mengerang-ngerang kecil. Aku
akhirnya pasrah, tanganku dengan lemah meraih selimut biru yang yang terbentang
di tempat tidurku. Mataku kupaksa terpejam dengan sejuta rasa sakit yang
menjalar ke sekujur tubuhku.
****
Hidupmu seperti lilin
Lantak ditelan nyala
Tapi cahayanya menyinar terang
Untuk nafas-nafas di sekelilingmu
Hidupmu seperti lilin
Lantak ditelan nyala
Tapi cahayanya menyinar terang
Untuk nafas-nafas di sekelilingmu
Lantunan itu begitu sayu, tapi cukup menghujam sudut
mataku yang memerah. Inilah aku yang terus berkelana dengan hujung mata pena.
Seperti tak pernah lelah diombang-ambing tajamnya waktu. Aku masih bisa tersenyum
untuk orang lain, untuk mereka yang bisa bangkit menatap hidup lewat
syair-syairku. Usia bukan tabir penghalang untuk aku menjenguk Tuhan. Seperti
janjiku pada ayah dulu, menjadi besar dengan mengabdi kepada Tuhan, meski hanya
sebait goresan penghambaan.
Senja mengalun begitu syahdu, menemaniku di
pembaringan tua peninggalan ayah. Kekecewaan ibu telah terbayar dengan gurau
canda putri pertama Mbak Win, dan aku tak pernah letih menjanjikan kebahagiaan
lain pada ibu. Kebahagiaan yang kutawar pada siapa saja lewat mata pena
pencerahan, meski usiaku semakin senja digayut sakit. ****
Sugiarti, mahasiswi jurusan kimia FMIPA
Universitas Riau
Universitas Riau
Senyuman di Senja Terakhir
3
Mei 2009 5.350 views 11 Comments
Senja itu indah. Kalimat itulah yang terus terpatri dalam benakku. Aku
sangat menyukai senja. Karena senja itu indah…
Di sinilah aku sekarang. Menatap dalam diam ke arah
jendela yang seolah dihiasi oleh pemandangan senja. Tak mengerti apakah harus
senang atau sedih menatap senja. Senang karena aku masih bisa melihat senja,
yang berarti Tuhan masih mengizinkan aku untuk bernafas. Sedih bila akhirnya
ini adalah senja terakhir yang harus kupandangi.
Aku terus berharap masih ada senja-senja yang terus
menantiku di hari esok. Rutinitas inilah yang kerap kulakukan bila senja datang
menggantikan sore. Ada rasa tak sabar saat aku menunggu saat datangnya senja.
Tak sabar untuk segera bercerita.
Menceritakan semua yang ingin kuceritakan. Bukan
berarti aku tak memiliki siapa-siapa. Aku masih mempunyai orang tua yang sangat
menyayangiku, meski rasa sayang mereka tertutupi oleh kesibukan mereka
masing-masing. Aku tahu pekerjaan yang mereka lakoni merupakan salah satu
pelarian dari kesedihan yang mereka rasakan selama ini.
Aku bisa merasakan aura duka itu. Mereka hanya
menggunakan kesibukan mereka sebagai topeng, sebagai tempat bersembunyi dari
semua yang harus mereka jalani. Padahal di balik semua itu hati mereka sangat
rapuh. Bagaimana tidak rapuh bila suatu saat nanti mareka harus siap menerima
kehilangan seorang anak. Dan statusku sebagai anak tunggal seolah ikut
menggenapkan duka mereka. Karena apabila ‘saat itu’ telah datang, tak ada lagi
yang menggantikanku sebagai anak mereka.
Aku masih termangu dalam diam. Ingatanku seolah
menjemput memori masa laluku, saat di mana aku menganggap bahwa senja adalah
hal biasa. Hanya sebuah fenomena alam. Saat di mana aku menghabiskan hariku
bersama ayah dan bunda. Saat di mana senyuman dan tawa bukan sesuatu yang
langka di antara kami. Saat di mana aku bisa melakukan semuanya sendiri. Ya, sendiri.
Sampai ‘hari itu’ datang seolah meminta untuk kulalui..
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.
Mendung di senja itu sudah menjelma menjadi hujan yang
membasahi jalan yang kulalui bersama teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku
baru saja menghadiri reunian. Rasa rindu tak bisa terbendung saat bertemu teman
lama. Tapi peristiwa naas itu seolah menjadi bagian dari kisah bahagiaku.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.
Tentu saja dengan badan yang hampir remuk. Kepalaku
tak sedikit mengeluarkan darah, yang mengalir bersama tetesan air hujan. Hanya
itu yang kuingat. Yang kutahu semenjak saat itu, hidupku berubah. Kepala sering
terasa pusing. Hidungku selalu mengeluarkan darah secara tiba-tiba. Dan aku
semakin sering pingsan. Aku tak tau penyakit apa yang telah menyerangku.Yang
jelas penyakit ini perlahan menghilangkan fungsi dari masing-masing organ
tubuhku.
Matahari sudah benar-banar tenggelam di ufuk barat,
menandakan senja sudah berakhir. Lamunanku terhenti saat mendengar suara bunda
di balik pintu kamarku. Tanpa sadar tanganku menyapu pipiku yang basah.
Ternyata aku menangis. Aku memang tak pernah kuasa membendung air mataku bila mengingat
peristiwa itu.
“Masuk, Bun…” ucapku lirih. Suaraku bergetar.
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”
Aku hanya mengangguk. Bunda berjalan menujuku.
Kemudian ia mulai mendorong kursi rodaku. Ya, inilah aku, Syafa Syaqila. Dengan
usia 16 tahun 3 bulan lalu kakiku mendadak lumpuh. Aku mengira ini bagian dari
penyakit aneh yang menyerangku. Beginilah aku sekarang. Hidupku bertumpu pada
kursi roda yang sekarang kutumpangi. Aku takut penyakit ini terus
menggerogotiku. Hingga akhirnya merenggut nyawaku.
Ternyata ayah memang sudah menungguku di meja makan.
Lengkap dengan makan malam yang sudah terhidang di atasnya. Ayah menyambutku
dengan senyuman yang sama lembutnya dengan bunda.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.
Ayah hanya tersenyum getir mendengar jawabanku.
Selanjutnya kami makan malam ditemani diam. Sampai akhirnya Ayah membuka topik
pembicaraan yang mengingatkan aku bahwa lusa adalah hari ulang tahunku. Ayah
berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-17 tersebut.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untukmenunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untukmenunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.
Tapi dengan lirih aku tetap berkata, “Bunda? Syafa
pasti sembuh kan, Bunda?”
Bunda yang mendengarkannya hanya mengangguk. Tapi
anggukan menyiratkan ketidakpastian dengan apa yang ia rasakan. “Iya, saying.
Kamu pasti sembuh kok. Makanya kamu harus kuat ya…” Ayah angkat bicara.
Ada kelegaan yang luar biasa yang kurasakan, yang bisa dapat mengurangi rasa
sakit di dadaku ini. Walau hanya sedikit.
“Ayah, nanti kalau Syafa udah sembuh, Syafa mau lihat
senja ya, Yah?” Kini giliran ayah yang hanya bisa mengangguk mendengar
pertanyaanku. “Ayah., Bunda, Syafa mau tidur dulu ya, Syafa ngantuk..” kataku
dengan nada yang kubuat seceria mungkin. Bunda segera menyelimutiku dan mencium
keningku.
Rasa sakit di dadaku memaksaku untuk bangun dari
tidurku. Keringat dingin mulai mengalir dari seluruh tubuhku. Ya Tuhan, apa
lagi yang kurasakan ini? Kenapa dadaku terasa begitu sakit? Apa kau akan
membunuhku dengan menghentikan detak jantungku? Ayah dan bunda yang melihatku
terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal, mendekati tempat tidurku, “kamu
kenapa sayang?” tanya ayah khawatir.
Bunda mengusap-ngusap kepalaku, sambil menenangkanku
bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya menggeleng. Badanku yang lemas
menjadikan suaraku menjadi sangat pelan. “Peluk Syafa, Bunda! Syafa
kedinginan.” Bunda segera memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan adanya rasa
takut kehilangan di sana. “Bunda, Syafa boleh minta sesuatu, Bunda?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”
Aku mengangguk. Bunda mengalihkan pandangannya ke
ayah. Ayah menatap jam di pergelangan tangannya, kemudian mengangguk. Lima
belas menit kemudian aku sudah berada di pantai dekat rumah sakit. Aku
tersenyum saat sampai di sana..
Senja yang begitu indah. Rasanya sudah lama sekali aku
tak melihat senja. Ayah menurukanku dari gendongannya, ke kursi roda yang bunda
dorong. Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berkata,
“Ayah…bunda…maafin Syafa ya. Karena selama ini Syafa
ga’ bisa jadi anak yang ayah dan bunda banggain. Cuma bisa nyusahin kalian..
Tapi karena itu juga Syafa harus bilang makasih. Karena kalian udah jadi orang
tua yang nggak tergantikan. Bunda yang nggak pernah ngeluh ngerawat Syafa.
Ayah yang selalu bisa buat Syafa tersenyum. Syafa senang waktu dengar kalian
mau ngerayain ulang tahun Syafa. Seharusnya hari ini kita ada di rumah nyanyiin
lagu ulang tahun buat Syafa. Tapi Syafa nggak bisa buat apa-apa kalau semuanya
jadi kayak gini. Maafin Syafa..”
Bunda memelukku seperti di rumah sakit. Ayah yang
sekarang ikut memelukku berkata, ”Nggak sayang…kamu nggak ngerepotin kok. Kamu
udah buat kami bangga dengan jadi anak kami.”
“Makasih, Yah..” Andai saja tanganku ini bisa
kugerakkan, pasti aku akan memeluk mereka lebih erat lagi. Tapi sayang, rasa
sakit di dadaku tak juga berkurang, namun aku tak ingin menangis. Tak ingin
membuat mereka menangis. “Bunda jangan nangis…”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”
Aku ikut tersenyum, “Bunda….Ayah…Syafa capek. Syafa
tidur dulu ya…”
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja….”***
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja….”***
Khirzun Nufus,
kelas X SMAN 8 Pekanbaru
kelas X SMAN 8 Pekanbaru
Senyuman Terindah dan Terakhir
6
Desember 2009 25.739 views 43 Comments
Syla
amila, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat
mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan
yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku
sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang
yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan
sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun
menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma
obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak
seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah
lama berpulang ke rahmatullah.
Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses
pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya
sendiri menyusuri jalanan sepi.
Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju
ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara
menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi,
berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga mau ke rumah
sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.
Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju
ke sebuah toko bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om
Anton memilih serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang
dipilih, kami langsung menuju ke rumah sakit.
“Syla…” kataku sembari mendekapnya penuh kerinduan.
Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai ulanganku yang di
bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“Syl… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat
bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan selama ini,
Syl…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan,
Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu menyiksanya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan Syla seakan tak dapat
diselamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin
banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut
kehilangan gadis kecilnya yang akan genap berusia empat belas tahun.
***
Seperti biasanya, hari ini pun aku akan pergi ke rumah
sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan sesukanya, sepertinya ia
tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syla seperti
makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang
tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang
mengalir. Hatiku getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om
Anton yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Syla sepertinya
ingin mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya
menangis yang dapat Syla lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari
bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak
jantung Syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om
Anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan
kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Sabtu, empat belas Februari. Aku pergi ke toko bunga
hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk
berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam
Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang
berada berada di makam Syla. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia
berdiri dan beranjak dari makam Syla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla.
Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum,
lalu ia bilang padaku bahwa Syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton
hanya bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi
di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih
sayang pada Syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau
lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku.
Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu,
seketika ia menghilang.
Mungkinkah itu Syla….?***
Mungkinkah itu Syla….?***
—————————————
Cerpen Kenangan oleh:
Amalia Juwendah
Kelas 7-C SMP Cendana Duri
Amalia Juwendah
Kelas 7-C SMP Cendana Duri
Tanpa Kata - Sebuah Cerpen
28
Juni 2009 4.810 views No Comment
Sketsa
rembulan di angkasa raya menampakkan senyum bulanannya kembali. Aku, Gio,
kembali memainkan ujung bolpoin untuk menenangkan jiwaku yang baru saja di
hantam gelombang terbesar yang pernah ada. Sudut mataku mengatakan pada dunia
bahwa aku perlu untuk menata hati yang pernah kacau tak karuan. Namun, akal
sehatku menentang itu.
Kini aku tengah duduk sendiri di dalam kesepian
menunggu putusan antara perdebatan hati dan pikiran. Mungkin untuk kali ini aku
harus mengikuti pikiranku yang memang sedang kacau. Menurutku, buat apa kita
terus-terusan menata hati kalau nyatanya akan kacau kembali seperti sediakala.
Biarkan saja semua berjalan apa adanya. Toh, tak ada yang tahu siapa aku dan
mengapa aku ada disini.
Itulah pikiran yang sempat ada di benakku selama tiga
tahun ini. Tanpa adanya satu titik terang, aku menganggap bahwa semua yang ada
dalam hidup ini hanyalah takdir. Semuanya harus dijalani tanpa adanya sedikit
perubahan dari skenario yang dibuat Tuhan. Ada kalanya aku merasa terasing
dengan diriku. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa begini. Aku sama
sekali tak memperhatikan segala yang ada di sekitarku. Aku hanya mengambil
teori diam adalah emas. Seringkali aku tak ambil pusing dengan apa yang
dikerjakan oleh orang lain. Aku santai dengan hidupku. Namun aku hening saat
rasa takut mencekamku.
Lalu, apa yang dapat dilakukan teman-temanku? Mereka
menganggap aku seperti biasanya. Dan kini itu yang terjadi padaku. Saat aku
sempat kehilangan semangat hidup, mereka hanya bisa tertawa dengan lelucon
konyol yang mereka buat beberapa waktu yang lalu. Aku tak habis pikir, mengapa
hanya dengan satu lelucon mereka dapat tertawa selama kurang lebih 30 menit
ini. Aku sendiri merasa heran. Namun setiap kali aku ingin menanyakan itu,
lagi-lagi rasa itu kembali muncul. Aku merasa acuh tak acuh dengan semuanya.
Masa bodoh dengan tawa. Kalau nyatanya hatiku kembali kacau seperti sediakala.
Kutatap langit malam ini. Tak ada bintang yang
bersinar. Hanya ada senyuman dari dewi malam. Aku beranjak pergi meninggalkan
kamar kost. Menapaki jalanan di sepanjang kota metropolitan ini. Di kiri kanan
jalan terdapat banyak lampu yang berjejeran. Layaknya pengganti bintang-bintang
di malam ini. Dan juga terdapat berbagai macam manusia di sini. Mereka keluar
untuk mencari kesenangan dan menghilangkan rasa bosan yang menggelayuti
jiwanya.
Begitu pun dengan aku. Berjuang di kota kecil ini
untuk menamatkan studi untuk menyenangkan hati untuk sesaat. Aku ingin semuanya
mengalir bagaikan air. Tanpa dihalang-halangi oleh batu-batu di tengah sungai.
Tapi, itu tak mungkin. Ada seseorang yang pernah mengatakan padaku bahwa,
“Hidup tak akan terasa berkesan apabila seperti jalan tol”. Aku mengerti maksud
dari perkataannya, walaupun sedikit samar. Karena aku hanya mengambil
kesimpulan dari satu pandangan.
Ya. Pandangan diriku sendiri. Tak lama lagi ujian pra
semester akan dimulai. Aku merasa bosan dengan semua rutinitasku di tempat ini.
Belajar, tidur, dan makan. Menurutku hanya itu-itu saja. Pikiran aneh mulai
berkelebat di otakku. Aku harus mencari suasana baru untuk menanggapi hidup
ini. Aku ingin mencari batu hambatan itu.
Ya. Aku benar. Hidupku akan terasa lebih berarti jika aku menemui hambatan. Tak seperti ini, baik-baik saja dengan segala kemungkinannya. Atau, apakah aku terlalu cuek untuk semua masalah yang menimpaku? Ah, lagi-lagi pikiran masa bodohku mulai berkembang.
Ya. Aku benar. Hidupku akan terasa lebih berarti jika aku menemui hambatan. Tak seperti ini, baik-baik saja dengan segala kemungkinannya. Atau, apakah aku terlalu cuek untuk semua masalah yang menimpaku? Ah, lagi-lagi pikiran masa bodohku mulai berkembang.
Teman-temanku sepertinya telah mengetahui bahwa aku
adalah tipe orang yang cuek dengan keadaan sekitar. Namun, aku sendiri tak
mengetahui mengapa aku bisa demikian. Mungkin karena aku tak sempat memikirkan
hal-hal seperti itu. Selama ini, yang ada di dalam pikiranku hanyalah sebuah
langkah untuk menggapai cita-citaku. Dan, sepatutnya aku bersyukur karena semua
yang aku inginkan terjadi.
Malah kini aku merasa bosan dengan hidupku sendiri.
Aku ingin mencari suasana baru di kota baru. Dan aku memutuskan untuk pergi ke
salah satu pelosok dunia yang kurang terjamah daerahnya. Dan aku akan menetap
di sana. Sendiri. Aku akan mencoba untuk memulai sosialisasiku yang kurang
sempurna dengan alam. Aku akan berusaha memahami alam ciptaan Tuhan ini.
Dan tempat itu adalah kota terpencil di tepi pulau
yang aku diami ini. Aku akan mencoba untuk menjadi rakyat biasa yang tak begitu
memperdulikan style. Aku mencoba untuk tergantung pada alam hingga akhirnya aku
akan menemukan kebahagiaan di tempatku yang baru. Lagi-lagi pikiran aneh
menggelayut di dalam benakku. Pergi? Hmm…mungkin ini bukan yang terbaik untukku
saat ini. Namun, apa salahnya aku mencoba.
Sesaat kuhirup Dji Sam Soe yang tengah menyala.
Kulangkahkan kaki menuju bis yang tak jauh dari pandangan mataku. Aku haru
menjemput tas cangklongku jika aku tetap mau pergi dari kota ini. Di dalam bis,
telah banyak kerumunan orang yang sedang menanti keberangkatan bis ini. Aku
memilih untuk duduk di jok paling belakang, bersebelahan dengan seorang pemuda
sebayaku yang sepertinya penampilannya tak terawat sama sekali. Baju kaos yang
kumal membaluti tubuhnya, dan sepertinya ia sangat kelelahan. Aku mencoba
menilik gayanya dalam keremangan bis kota ini.
Tak lama, supir mulai masuk dan menjalankan kendaraan
ini. Aku terlelap sesaat di dalam bis ini hingga cahaya yang begitu terang
meresap ke dalam pelupuk mataku. Kubuka mata dan, di hadapanku telah ada tiga
orang lelaki yang bertubuh kekar dengan tampang yang bengis. Dan, salah satu
dari mereka adalah pemuda yang duduk di sebelahku tadi. Ketika itu jua, aku
merasa tali tambang mengikat tangan dan kakiku. Hh…
Seketika aku merasa takut dengan suasana seperti ini.
Tak seperti biasanya, aku begitu ketakutan saat ketiga orang ini mengulitiku
dengan pandangannya. Nyaliku seketika menciut dan akhirnya aku mendengar salah
satu dari mereka mengatakan,
“Kamu Gio Siregar?” Sesaat aku hanya diam, dan kembali
ia menanyakan hal itu kepadaku seraya menyodorkan pisau belatinya yang saat itu
berkilat terkena cahaya neon dalam ruangan tanpa jendela ini.
“Hh…i…iya…Apa salahku?”
“Hh…i…iya…Apa salahku?”
“Kamu anak Pak Irawan?” Tanya satu dari mereka yang
tampangnya paling bengis kepadaku. Aku hanya diam. Tak ingin kembali mengorek
luka lamaku dan mengakui lelaki bejat yang telah menyakiti ibu adalah ayahku
untuk saat ini. Mungkin saja dia yang telah membuat aku ditahan oleh
orang-orang ini, pikirku.
“Jawab!” bentak salah satu di antara mereka kepadaku.
Seketika aku mencoba untuk berontak. Namun, apalah dayaku dengan tangan dan
kaki yang terikat seperti ini. Hingga mereka naik pitam dan menghajarku
habis-habisan.
Sebenarnya mereka sangat tidak adil jika mengadili aku dengan cara seperti ini. Dan setelah mereka puas memukuliku, mereka pergi ke salah satu ruang yang bersebelahan dengan tempatku. Di dalam sana entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan aku, di sini diam tanpa kata sembari menekuri lantai semen sambil menahan rasa sakit yang hampir menggerogoti sebagian besar wajahku.
Sebenarnya mereka sangat tidak adil jika mengadili aku dengan cara seperti ini. Dan setelah mereka puas memukuliku, mereka pergi ke salah satu ruang yang bersebelahan dengan tempatku. Di dalam sana entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan aku, di sini diam tanpa kata sembari menekuri lantai semen sambil menahan rasa sakit yang hampir menggerogoti sebagian besar wajahku.
Di sinilah aku merasa sangat kecewa dengan hidup.
Ingin rasanya aku mengulang kejadian yang lalu. Ada baiknya aku mengindahkan
saran Tito yang melarangku untuk pergi ke luar malam ini. Apa salahnya aku
menyelesaikan makalah yang akan membawa kesuksesan kepadaku di hari nanti.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Apa gunanya aku
menyesali segala hidupku yang urak-urakan seperti saat ini? Toh, dari dulu aku
tak pernah menghargai hidup ini. Aku tak pernah perduli dengan apa yang
terjadi. Namun, saat ini aku benar-benar menyesal. Bagaimana caranya aku keluar
dari masalah ini? Dan kembali hidup normal dengan teman-temanku. Dan, pastinya
dengan menyelesaikan semua tugas yang telah dosen-dosen berikan kepadaku.
Sesaat kemudian, pintu tua yang tepat berada di hadapanku didobrak oleh sekelompok orang. Setelah aku amati betul dengan mata yang nanar, sepertinya keberuntungan ada di pihakku saat ini. Sekumpulan polisi bersenjatakan lengkap berdiri dan mengarahkan pistolnya ke segala arah. Mewaspadai ada ancaman dari berbagai pihak. Dan, salah satu dari polisi itu berjalan ke arahku dan melepaskan tali tambang itu dari tangan dan kakiku.
Sesaat kemudian, pintu tua yang tepat berada di hadapanku didobrak oleh sekelompok orang. Setelah aku amati betul dengan mata yang nanar, sepertinya keberuntungan ada di pihakku saat ini. Sekumpulan polisi bersenjatakan lengkap berdiri dan mengarahkan pistolnya ke segala arah. Mewaspadai ada ancaman dari berbagai pihak. Dan, salah satu dari polisi itu berjalan ke arahku dan melepaskan tali tambang itu dari tangan dan kakiku.
Aku sedikit lega saat mereka berpencar ke segala arah
dan akhirnya ketiga orang yang menyiksaku tadi ditangkap oleh polisi ini. Kami
berempat dibawa ke kantor polisi untuk diusut perkaranya. Di tengah perjalanan
aku mulai membuka pembicaraan kepada salah seorang anggota polisi itu. Dan,
setelah berbincang agak lama, kami sampai kepada topik tentang pembunuhan yang
telah dilakukan komplotan orang tersebut.
“Dia telah membunuh Insinyur Irawan dua minggu lalu.”
Tutur polisi muda itu. Seketika langit serasa akan runtuh di atas ubun-ubunku.
Mataku yang nanar karena dipukul oleh mereka serasa bertambah sakit. Batinku
menjerit…“Apa? Irawan?”
Aku terdiam sesaat dan tak terasa butiran bening
mengalir jua di pipiku. Orang yang telah lama aku benci, ternyata sudah tak ada
lagi di dunia yang fana ini. Menyesal rasanya aku membenci ayahku sendiri.
Bagaimanapun IRAWAN ayahku. Di dalam darahku ada nafasnya. Orang yang pernah
menemaniku bermain mobil-mobilan ketika aku masih kanak-kanak. Orang yang
mengajariku bagaimana menjadi seorang anak lelaki yang tangguh. Dan masih
banyak yang ia ajarkan kepadaku.
Tapi sekarang, ia pergi setelah meninggalkan luka yang
mendalam kepada ibu dan aku, anaknya. Ia pergi dan tak akan kembali. Hingga aku
dan ibu harus menjalani hari-hari seperti biasa, tanpa ayah. Semenjak kejadian
itu, barulah aku menyadari arti pentingnya memaknai hidup dan
memperjuangkannya. Aku tak mau sekali lagi jatuh di jurang yang sama. Menyesal.
Apalagi kalau bukan menyesali perbuatan. Karena, manusia yang paling beruntung
adalah manusia yang menjalani hidupnya dengan usaha yang maksimal, sehingga tak
ada penyesalan di akhir waktunya.***
Cerpen Tanpa Kata Oleh:
Cerpen Tanpa Kata Oleh:
YelnaYuristiary,
Kelas: XI.IA.3SMAN PLUS Provinsi Riau
Kelas: XI.IA.3SMAN PLUS Provinsi Riau
CERPEN : what the heck do you care about? "End"
| Print
Cerpen
Posting cerpen by: Kartika Cute
Total cerpen di baca: 5
Total kata dlm cerpen: 1132
Tanggal cerpen diinput: 21 Dec 2010 Jam cerpen diinput: 9:48 AM
1 Komentar cerpen
Posting cerpen by: Kartika Cute
Total cerpen di baca: 5
Total kata dlm cerpen: 1132
Tanggal cerpen diinput: 21 Dec 2010 Jam cerpen diinput: 9:48 AM
1 Komentar cerpen
“Jenifer?” Yefta memeluk ku erat. “kamu tau nggak, aku KUANGEN buanget sama
kamu.” Ujarnya lebay.
“nggak segitunya kali!” Bima muncul dari dalam mobil.
“heh Jen, bagus ya... meninggalkan kami begitu aja!” Gracia menjitak kepala ku.
“aduh! Sakit!” ucap ku sambil memegangi kepala ku yang sakit.
Aku baru saja pulang dari Inggris. Sudah satu taun aku nggak merasakan jitakan
Gracia ini.
Yogya! I’m BACK! Batin ku.
Bima membawakan koper ku ke mobil nya, dan kami segera berangkat menuju ke
rumah ku.
“gimana disana?” Yefta tampak tak sabar mendengar cerita ku tentang indahnya
Inggris.
“luar biasa! Kau tau disana …” aku menjelaskan banyak hal tentang Inggris.
Sekolah di Inggris adalah impian ku sejak kecil. Dan sekarang sekalipun hanya
satu tahun, aku sudah cukup senang!
“Jen, kau tau… Keni banyak perubahan semenjak kamu nggak ada disini.” Ucap
Yefta begitu aku selesai bercerita. Aku melihat tatapan tajam Gracia dan Bima
mengarah padanya.
“udah, jangan melihat Yefta seperti itu! Kalian ini kayak singa yang mau nerkam
mangsa aja!” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku dan Keni sudah tidak
pernah berhubungan semenjak dia sibuk dengan kegiatan OSIS nya. Entah bagaimana
nasib nya, aku pun sudah tidak peduli.
“Kak
Jenifer!” Melinda berlari dan memeluk ku.
“Hei Mel!”
aku memeluk nya erat.
Melinda adalah kembaran ku. Kami kembar identik, nyaris nggak bisa di bedakan.
Satu hal yang membedakan kami adalah: aku lahir sedetik lebih awal… he he he.
“oh.. jadi
init oh yang namanya Melinda?” Gracia menjabat tangan Melinda, diikuti Bima dan
Yefta.
“makasih ya
kalian mau menjemput ku…”
“sip! Kita
kan sahabat.” Bima membawa koper ku masuk.
“papa sama
mama mana?” Tanya ku mendapati tidak ada satupun dari mereka yang menyambut ku.
“di dalem
nyiapin makanan. Papa lagi di kamar, masih tidur!” Melinda menggandeng ku
masuk.
BRUK…
Aku menabrak tubuh Bima yang bisa dibilang atletik banget. Sampai sampai
kepalaku terasa berdenyut denyut. “Jangan berhenti di tengah jalan napa Bim?”
omel ku.
“Melinda?”
sebuah suara yang ku kenal memenuhi ruangan. Sekilas aku melihat wajah Bima
yang penuh emosi.
Aku berharap
tak pernah melihatnya lagi. Aku buru-buru menutup mata ku.
“Mel… m…
Jenifer?” suara itu makin jelas mendekat. Aku semakin ketakutan.
Aku bisa merasakan tangan Bima memeluk ku. “Jenifer, kamu pasti lelah.” Bima
menarik tangan ku yang masih bergetar karena ketakutan.
BRAK…
Suara pintu yang dibanting membuat ku terlonjak kaget. Perlahan mata ku
terbuka, dan airmata ku tak terbendung.
Bima memeluk ku erat.
“HUA…” aku menangis kencang. Ini pertama kalinya aku menangis keras di hadapan
orang lain. Biasanya aku menangis sendirian di kamar, di toilet, atau kadang di
dalam almari.
“Dia JAHAT… aku benci dia!” aku masih sibuk mengomel panjang lebar sambil
menangis di pelukan Bima.
Bima sangat baik pada ku. Bagi ku dia udah lebih dari seorang sahabat. Dia
selalu menemani ku disaat duka dan selalu ada untuk melindungi ku.
Seandainya aja Keni bisa sebaik bima… aku pasti nggak akan meninggalkannya dan
nggak akan ketakutan saat melihat nya.
* * *
“Jen,
harusnya kamu nggak boleh kayak gitu di depan Keni.” Yefta mulai membahas lagi
masalah yang ingin ku kibur dalam-dalam.
“Yef!
Berheti ngebicarain masalah itu!” Gracia terlihat emosi.
“nggak,
nggak papa kok.” Aku bersuaha tersenyum. “yef, aku.. nggak mau ngebahas masalah
itu. Bisa kamu berhenti?” aku berdiri dan berjalan menjauh dari Yefta.
“Jenifer.”
Keni muncul tepat di depan ku. Aku berbalik hendak pergi, tapi dia memeluk ku
dari belakang membuat beberapa murid yang lewat memperhatikan kami. “aku mau
minta maaf karena..”
“Ken… kalau
mau mesra-mesraan jangan disini, malu kan diliatin?” ucap ku sok ganjen demi
melepaskan pelukan nya. Aku buru-buru kabur menjauh dari keramaian.
“Jen, please
dengerin aku dulu.”
Aku
menghantikan langkah ku. Aku berbalik dan menatap matanya dalam-dalam.
“apa yang harus aku denger dari kamu?” aku berusaha menahan semua airmata yang
sebentar lagi nggak bisa terbendung.
“aku mau
minta maaf karena aku nggak nepatin janji, aku minta maaf karena aku udah
nyia-nyiain kamu, aku minta maaf karena…” Aku memeluk Keni erat.
“aku orang
yang konsisten dengan apa yang ku katakan. Aku memaafkan mu sejak awal. Tapi
saat aku menulisan kata ‘Farewell’ dalam surat ku, itu berarti akhir dari
hubungan kita dan aku nggak mau lagi melihat wajah mu. Kamu nggak tau seberapa
lama aku menunggu mu. Kamu nggak tau seberapa banyak aku menangis setiap kali
aku menunggu mu datang. KAMU NGGAK TAU APA-APA!” aku mendorongnya dan segera
pergi untuk menutupi satu persatu airmata ku yang keluar.
Yang kuminta
darimu hanya satu hari, tapi sedetik pun tak pernah kau beri!
Aku berlari kearah Bima. “Jenifer?” aku memeluk Bima erat.
“bisa aku minta satu permintaan?”
“apa?”
“bisa, kamu buat aku melupakannya?”
Bima melepaskan pelukannya dan mengecup dahi ku. “dengan senang hati.”
Sajak Bisu untuk Cinta - Sebuah Cerpen
21
Februari 2009 11.055 views 12 Comments
Aku menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga
mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Kudengar hingga kunanti kereta
senja yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku
berada di sini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang-ruang dimensi atau
wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu
Adam diciptakan.
Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu,
lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornamen melirih
kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu.
Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard.
Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard.
Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta di
balik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam hati
bunga Edelwiss, lalu kulukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sajak
pelangi. Tepercik kata-kata mimpi, bersungging senyum dewi-dewi cinta.
‘’Akankah kau pergi tinggalkan diriku sendiri sehingga kau nanti kembali dalam
ruang dan dimensi yang lain?’’ tanyaku.
‘’Mungkin biarkan cinta bersemi dalam keabadian
seiring ilusi waktu,’’ sahut Rose seraya menatap pilu. Sontak aku terpana dan
bergemuruh dalam ingar-bingar cintamu.
‘’Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalam ilusi waktu,’’ pintaku. ‘’Mengapa?’’ sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.
‘’Karena waktu kian sirna terempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,’’ ujarku.
‘’Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,’’ pinta Rose penuh kebimbangan.
‘’Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalam ilusi waktu,’’ pintaku. ‘’Mengapa?’’ sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.
‘’Karena waktu kian sirna terempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,’’ ujarku.
‘’Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,’’ pinta Rose penuh kebimbangan.
‘’Biarlah cinta turun bagai setetes embun dari beribu
pelangi yang hiasi kehidupan cinta,’’ ujarku singkat.
Kuempaskan kata bertakhta retorika itu dalam ruangan
dimensi lain hingga waktu kian sirna dan musnah tersungkur luka. Tercabik
prahara dusta, lalu tercekam badai durjana yang tak kunjung reda. Angin-angin
sunyi mendendangkan ornamen cinta buatku nian pilu.
“Apa kau tahu, mengapa ombak datang menggema mengikis
jiwa-jiwa yang hampa dan badai menyeruak luluh lantak, lalu memorak-porandakan
raga-raga tak berdosa dalam siluet senjamu,” ungkapku masih bimbanng.
Kupilin waktu tuk beranjak diam dalam heningnya malam
dan galaunya hati, mengapa Tuhan kini tak kunjung bantu diriku.
Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Kuhapus cinta setahap demi setahap, namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tersingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun, kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.
Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Kuhapus cinta setahap demi setahap, namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tersingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun, kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, bergulir
seiring terempasnya pujaan ke dalam retorika ilusi fatamorgana yang kini hanya
tinggal kenangan. Sebuah cinta, hanya sebuah nama di hati.. Bulan pelita gundah
gelisah di jiwa sehingga kutermanyun mimpi-mimpi dalam ingar-bingar ilusi.
Kisah cintaku penuh penantian kata, dalam sorot sinarnya mulai sayup terangi
bekunya hati ini. Pesonanya pahit tuk diterjang seakan tercabik sebilah parang
yang tajam dan kejam.
‘’Mungkinkah sedihku kian meratapi dan menggaru biru
kelabu?” ungkapku dalam ringkihan kebisuan.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, kumeratap malu lalu embuskan ayatýÿ-ayat cinta dalam napas terakhirku. Biarlah cinta sejati bersemi di hati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, kumeratap malu lalu embuskan ayatýÿ-ayat cinta dalam napas terakhirku. Biarlah cinta sejati bersemi di hati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.
“Kuhapus air mata dalam duka, Kupejamkan mata dalam
duka, Kuempaskan raga dalam elegi cintamu, dan Kurentangkan jiwa dalam sukma
keabadian.. “
Harusnya kutahu, cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta menari-nari berdendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang, cinta tak mengenal perjanjian.
Kuharap kedamaian yang terpancar dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dengan kebisuan. Beribu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu…(*)
Harusnya kutahu, cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta menari-nari berdendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang, cinta tak mengenal perjanjian.
Kuharap kedamaian yang terpancar dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dengan kebisuan. Beribu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu…(*)
*Penulis adalah mahasiswa Politeknik Negeri Malang
———————————–
Para sobat-sobat X-presi, terutama yang suka nulis cerpen remaja dan puisi, kirimkan cerpen dan puisimu ke redaksi Harian Redaksi Riau Pos di Jalan Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru. (Atau lebih baik dikirim ke email. Yahoo@perawang123. Khusus Cerpen panjangnya maksimal 4 halaman polio diketik spasi rangkap. Cerpen dan puisi yang dimuat, Xpresi akan memberikan imbalan. (red)
———————————–
Para sobat-sobat X-presi, terutama yang suka nulis cerpen remaja dan puisi, kirimkan cerpen dan puisimu ke redaksi Harian Redaksi Riau Pos di Jalan Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru. (Atau lebih baik dikirim ke email. Yahoo@perawang123. Khusus Cerpen panjangnya maksimal 4 halaman polio diketik spasi rangkap. Cerpen dan puisi yang dimuat, Xpresi akan memberikan imbalan. (red)
CERPEN : ngapain kamu muncul lagi...???????
| Print
Cerpen
Posting cerpen by: adea
Total cerpen di baca: 1
Total kata dlm cerpen: 670
Tanggal cerpen diinput: 24 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 5:06 PM
2 Komentar cerpen
Posting cerpen by: adea
Total cerpen di baca: 1
Total kata dlm cerpen: 670
Tanggal cerpen diinput: 24 Oct 2010 Jam cerpen diinput: 5:06 PM
2 Komentar cerpen
Lama sudah kulewati hariku sendiri tanpa seorang pangeran yang
menjelma sebagai pahlawan dihidupku,hari-hariku selalu indah dan ringan ketika
aku terlepas dari monster yang aku anggap saat itu pangeran dalam hidupku...
ya,meski wajahnya pas-pas'an gak ganteng-ganteng amat kaya pangeran dari negri dongeng.tapi aneh gitu aku bisa suka sama orang itu... OH...NO...itu pengalaman yang menyebalkan yang tak ingin aku ingat.pengalaman yang aneh yang....paling aneh dalam hidupku,huah.....aku males mengingatnya.!!namun ini patut dan harus ku ceritakan karena kemunculannya kembali membuatku risih...
hmmmmpt...
kring...kring alrm ku berbunyi tepat pada jam.04.30 aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan bergegas kekamar mandi untuk mengambil wudhu!!yua,sebagai seorang muslim yang taat aku harus menjalani shalat subuh walau terkadang aku lalai dari kewajibanku itu. hehe... ma'lum anak muda banyak godaannya...
huah...percuma bangun jam setengah lima juga tetep aja telat hemmmm...memang aku punya masalah sama waktu aku yang ngaret gak bisa berubah jadi seorang yang gesit!!lah...karena terburu-buru aku gak sempet makan,aku berlari-lari mengejar waktu menuju sekolah kulihat pintu gerbang sekolahku makin tertutup...tertutup...tinggal sedikit lagi...ayolah...jangan dulu ditutup princes saja belum lewat...!! aku berlari sekencang mungkin dan pada langkah terakhir aku berhasil mendobrak gerbang dan memaksa masuk dan akhirnya aku diizinkan masuk,heh...uuntung saja.. napasku masih tersedak-sedak hingga kumenjatuhkan diri kelantai didepan kelasku.sungguh...hari yang menegangkan....
Setelah ku mulai tenang aku masuk dan memulai belajar 10jam,ya kurang lebih 10jam aku berada disekolah hari-hariku sekarang lebih habis disekolah.ketat memang tapi ya,sudahlah aku sudah terbiasa sekarang walau aga sedikit tertekan sich...tapi ikhlas2.. hehe...
mungkin untuk disekolah tak ada yang menarik karena sebagian besar penghuni kelasku itu 80% laki-laki.huah...berisik banget kalau udah muncul ketidak warasan mreka.hehe... terkadang aku sumpek dan selalu tak konsen dalam belajar tapi kalo gak gitu kelas aku gak rame... hikhik...
tibalah...saat istirahat...OH...NO aku bertemu monster itu aku mulai merubah keadaan dengan muka suram dan jutek kupasang ketika dia perlahan melewatiku aku selalu menundukkan kepalaku huah...dasar monster udah muka pas2n tapi aneh kenapa dulu aku ama dia yah ih...dasar penyebar virus cinta yang aneh.pacarnya juga yang sekarang nempel bangat ma dia iyuh capcus dah aku liatnya..
Eh...pas dia lewat dret...dret..hp aku bunyi dah aja ku buka eh...sialan simonster sms "Ea.." maksudnya dia manggil namaku mungkin yuah...akh dasar pecundang kelas kakap beraninya sms doang... eits...aku berpikir???????????? dia dapet no aku darimana yah perasaan aku gak nyebar no aku ama monster itu deh.. udah gitu aku bales aja sms dia aku pura-pura gak tau aja "y,ini sapa yah??" terus dia bales lagi "masa gak tau,??yang tadi lewat tuh??" aku bales lagi "oh..yang tadi lewat..??kalo gak salah yang tadi lewat itu siomen kucing garong yang bulunya itu??kamu omen yah??omen..ih kamu hebat bisa sms aku,,??hehe.. candaku yang sengaja memancing emosinya.. "ah..kamu ea tega banget ama aku??" "hah...tega??aku kan baik hati dan tidak sombong gak tegaan lagi aku kan cuma membanggakan kamu suatu keajaiban dunia kucing bisa ngsms..???haha.. aku tak henti-hentinya tertawa sungguh puas hati ini melihatnya marah ya walaupun gak secara langsung juga.eh..dia bales lagi dia nanya gini katanya "ea,kok kalo ketemu aku jutek ama sih sekali2 senyum napa ea ama aku??Ok.." idih masih ganjen juga nih orang gak nyadar apa orang dia udah punya cewe juga.yaudah aku bercandain aja dia "hmmmft...ea mau senyum kalo ea seneng kalo gak seneng buat apa seneng Gak Penting Banget deh.udah tuh urusin tuh cewe kamu bikin orang gak enak aja kalo berantem pasti aku kebawa2 kapan sih kamu itu rela gitu ngelepasin aku??aku itu udah ilpeel banget ama kamu!!hahaha... ngapain sih kamu muncul lagi,Munculnya kamu membuat hidup aku itu berbelit2.maaf aja kata mutiara Cinta Pertama itu gak berpegang sama kamu lagi karena aku sadar telah diperdaya oleh kamu.dasar monster penebar virus aku benci kamu selamanya...
ya,meski wajahnya pas-pas'an gak ganteng-ganteng amat kaya pangeran dari negri dongeng.tapi aneh gitu aku bisa suka sama orang itu... OH...NO...itu pengalaman yang menyebalkan yang tak ingin aku ingat.pengalaman yang aneh yang....paling aneh dalam hidupku,huah.....aku males mengingatnya.!!namun ini patut dan harus ku ceritakan karena kemunculannya kembali membuatku risih...
hmmmmpt...
kring...kring alrm ku berbunyi tepat pada jam.04.30 aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan bergegas kekamar mandi untuk mengambil wudhu!!yua,sebagai seorang muslim yang taat aku harus menjalani shalat subuh walau terkadang aku lalai dari kewajibanku itu. hehe... ma'lum anak muda banyak godaannya...
huah...percuma bangun jam setengah lima juga tetep aja telat hemmmm...memang aku punya masalah sama waktu aku yang ngaret gak bisa berubah jadi seorang yang gesit!!lah...karena terburu-buru aku gak sempet makan,aku berlari-lari mengejar waktu menuju sekolah kulihat pintu gerbang sekolahku makin tertutup...tertutup...tinggal sedikit lagi...ayolah...jangan dulu ditutup princes saja belum lewat...!! aku berlari sekencang mungkin dan pada langkah terakhir aku berhasil mendobrak gerbang dan memaksa masuk dan akhirnya aku diizinkan masuk,heh...uuntung saja.. napasku masih tersedak-sedak hingga kumenjatuhkan diri kelantai didepan kelasku.sungguh...hari yang menegangkan....
Setelah ku mulai tenang aku masuk dan memulai belajar 10jam,ya kurang lebih 10jam aku berada disekolah hari-hariku sekarang lebih habis disekolah.ketat memang tapi ya,sudahlah aku sudah terbiasa sekarang walau aga sedikit tertekan sich...tapi ikhlas2.. hehe...
mungkin untuk disekolah tak ada yang menarik karena sebagian besar penghuni kelasku itu 80% laki-laki.huah...berisik banget kalau udah muncul ketidak warasan mreka.hehe... terkadang aku sumpek dan selalu tak konsen dalam belajar tapi kalo gak gitu kelas aku gak rame... hikhik...
tibalah...saat istirahat...OH...NO aku bertemu monster itu aku mulai merubah keadaan dengan muka suram dan jutek kupasang ketika dia perlahan melewatiku aku selalu menundukkan kepalaku huah...dasar monster udah muka pas2n tapi aneh kenapa dulu aku ama dia yah ih...dasar penyebar virus cinta yang aneh.pacarnya juga yang sekarang nempel bangat ma dia iyuh capcus dah aku liatnya..
Eh...pas dia lewat dret...dret..hp aku bunyi dah aja ku buka eh...sialan simonster sms "Ea.." maksudnya dia manggil namaku mungkin yuah...akh dasar pecundang kelas kakap beraninya sms doang... eits...aku berpikir???????????? dia dapet no aku darimana yah perasaan aku gak nyebar no aku ama monster itu deh.. udah gitu aku bales aja sms dia aku pura-pura gak tau aja "y,ini sapa yah??" terus dia bales lagi "masa gak tau,??yang tadi lewat tuh??" aku bales lagi "oh..yang tadi lewat..??kalo gak salah yang tadi lewat itu siomen kucing garong yang bulunya itu??kamu omen yah??omen..ih kamu hebat bisa sms aku,,??hehe.. candaku yang sengaja memancing emosinya.. "ah..kamu ea tega banget ama aku??" "hah...tega??aku kan baik hati dan tidak sombong gak tegaan lagi aku kan cuma membanggakan kamu suatu keajaiban dunia kucing bisa ngsms..???haha.. aku tak henti-hentinya tertawa sungguh puas hati ini melihatnya marah ya walaupun gak secara langsung juga.eh..dia bales lagi dia nanya gini katanya "ea,kok kalo ketemu aku jutek ama sih sekali2 senyum napa ea ama aku??Ok.." idih masih ganjen juga nih orang gak nyadar apa orang dia udah punya cewe juga.yaudah aku bercandain aja dia "hmmmft...ea mau senyum kalo ea seneng kalo gak seneng buat apa seneng Gak Penting Banget deh.udah tuh urusin tuh cewe kamu bikin orang gak enak aja kalo berantem pasti aku kebawa2 kapan sih kamu itu rela gitu ngelepasin aku??aku itu udah ilpeel banget ama kamu!!hahaha... ngapain sih kamu muncul lagi,Munculnya kamu membuat hidup aku itu berbelit2.maaf aja kata mutiara Cinta Pertama itu gak berpegang sama kamu lagi karena aku sadar telah diperdaya oleh kamu.dasar monster penebar virus aku benci kamu selamanya...
Mungkinkah Ini Saat Terakhir? - Cerpen Cinta
6
Maret 2009 18.822 views 37 Comments
Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan
malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak
di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
“Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah
memencet salah satu tombol handphone.
“Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.
“Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan
cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena
merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan
tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius Ra?” tanya Rona karena masih ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Rona terlihat gelisah. Pikirannya
bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati
Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan sang pacar Dude, tapi ia
juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Dude tak masuk sekolah.
Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona mendatangi rumah Dude,
pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah ditanyai Rona, tapi
tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau
memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya.
Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan Dude yang
tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di
depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona bergegas keluar dari
mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi
dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Rona
nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa bahwa Dude yang
bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan
tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi
dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona memutuskan tidak ikut
Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang kembali menemuinya. Namun
untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara yang sudah kambali
dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,” menggelengkan kepala dengan wajah
kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude sudah berada
tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku, bibirnya terasa
beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu
Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada Rona mengalahkan
ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia
tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan
pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu Na, karena selama ini
aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku
udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi menyembunyikan
perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar
kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat bingung dengan
perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat ragu untuk
mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir Na,” jelas
Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama
membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku
sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?”
keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin
aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu Na.” Dude
menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Rona hancur. Rona
meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama kamu, dan aku
cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Rona sambil
menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na, aku nggak tahu
kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga
tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.
Dude terharu dengan perkataan Rona. Ia merasa semangat
hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan erat. Sudah lama
pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu.
Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Rona
tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan
semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude ke Singapura
mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin memberikan
kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang
lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua
benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap
ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka
menghadapi masa tua bersama.
Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru
Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru
Pelamin
Anganku Telah Musnah
|
Ditulis oleh Wak
|
Rabu,
15 September 2010 06:37
|
Hujan turun
dengan lebatnya justeru itu juga menandakan berakhirnya pesta
majlis perkawinan antara Alia dan Jefry. Kebanyakkan tetamu semuanya
sudah pulang.
Ramai saudara mara Jefry yang menyertai langkah mereka kekamar pengantin pada malam itu, sambil tersenyum dan berbisik sesama sendiri seolah olah mengusik kedua pengantin baru tersebut. Tetapi tidak demikian dengan expresi wajah Alia. Alia nampak tegang, gugup bahkan kelihatan sedikit ketakutan berbanding dengan Jefry yang kelihatan tenang sahaja.
Perkahwinan
ini bukanlah kehendak hati Alia dan Jefry. Bahkan sebelum ini
sebenarnya mereka tidak pernah bersua muka apalagi berkenalan antara satu
sama lain. Ia adalah keinginan kedua orang tua mereka masing
masing. Bagi mereka berdua, sebagai anak kepada seorang ahli
korporat yang terkenal dikalangan masyarakat Singapura seperti
keluarga mereka itu, mereka berdua tidak mampu menolak keinginan
kedua orang tua masing masing demi maruah keluarga.
Tetapi
bukan sebab perkahwinan itu sebenarnya yang menggelisahkan hati
Alia, bukan juga karena keperibadian Jefry, yang dilihatnya sangat
kacak, tenang, ramah, lembut, bahkan teramat lembut, tetapi
sebaliknya Alia amat takut dan bimbang dengan keadaan dirinya sendiri.
Ada rahsia yang tersembunyi disebalik raut wajahnya yang ayu itu.
" Maklumlah, baru pertama kali..." Ibu Alia berusaha
menenangkannya sepanjang siang tadi, namun tidak berhasil, Alia
tetap juga berwajah sugul.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Suasana diluar yang tadinya kedengaran begitu riuh rendah sekali dengan suara saudara mara Jefry, tiba tiba bertukar menjadi senyap dan sunyi. Barangkali mereka semua sudah tidur, fikir Jefry. Di kamar, pengantin nampaknya kekok, kaku dan begitu sepi sekali. Tiada komunikasi antara keduanya. Jefry kelihatan sangat tenang sekali, tetapi sebaliknya Alia terus menerus kelihatan gelisah, masih terbayang lagi dibenak fikirannya akan pengalaman buruknya yang telah merenggut kegadisannya! hal itulah yg terus membelenggu fikirannya, dia tidak berkesempatan menceritakan hal yang sebenarnya kepada Jefry, lagi pun Alia merasa takut. Memang tragedi itu bukan kehendaknya, dia menghadiri satu pesta ulangtahun kawan baiknya, Sally. Kamal, kawan sekerjanya, lelaki yang di anggapnya paling baik ternyata adalah lelaki yang paling buas. Kamal telah memberinya ubat tidur ketika dia mengadu sakit kepala hingga secara tidak sedar Alia telah menyerahkan kegadisannya kepada lelaki keparat itu yang sehingga kini hilang entah kemana. Sejak peristiwa itu Alia jadi takut, bingung, sedih dan macam macam lagi perasaan yang menghantui dirinya. Tiba tiba lamunan Alia terhenti. "Abang lihat sejak dari tadi Lia termenung, kelihatan gelisah saja. Macam ada sesuatu yang Lia fikirkan dan sembunyikan dari Abang," tenang Jefry bertanya memulakan bicara pada malam yang indah itu. Apa... Lia tak suka Abang?" soal Jefry lagi. "Bukan, bukan itu, sama sekali bukan." Alia masih cuba menyembunyikan lagi perasaannya. "Cuma Lia belum biasa dengan Abang," balas Alia lagi. Mereka memang belum pernah kenal antara satu sama lain, kerana sudah bertahun tahun lamanya Jefry menetap di Amerika. Cerita tentang Jefry hanya sedikit sahaja yang Alia tahu, itu pun Ibunya yang memberitahunya. Kata Ibu Alia, Jefry baik orangnya, kaya raya dan berpangkat. Hal itulah yang membuat Alia bertambah takut, was was dan cemas sekali. "Alia! Lia tahu tak yang abang sudah biasa hidup di negeri yg sangat bebas pergaulannya antara lelaki dan perempuan, bersikap terbuka, tak perlulah Lia malu malu lagi dengan Abang. Abang tahu pernikahan kita ini adalah pilihan orang tua kita, itu sudah pasti, tapi budaya kita, menghendaki Abang untuk menghormatinya dan sanggup mengambil risiko dari sebarang keputusan yang Abang buat" Jelas Jefry dengan panjang lebar. "Lia tahu, tapi tidak mudah bagi Lia untuk memahami Abang dalam waktu yang sesingkat ini. Bagilah Lia sedikit masa lagi" jawab Alia dengan lembut. "Apakah Abang kurang menarik untukmu?" "Bukan itu masalahnya, Lia sudahpun menerima Abang, sejak kita diijabkabul siang tadi, cuma...." "Cuma apa? masalah kegadisan?" Tersentak Alia mendengar pertanyaan yang terpacul keluar dari mulut suaminya itu. Ini membuatnya bertambah tambah gelisah, malu, takut dan macam macam lagi perasaan yang datang ketika itu. Dadanya juga semakin berdebar. "Jangan bimbang, Abang sudah biasa hidup di Amerika, hal itu bukanlah menjadi hal utama dan terpenting bagi seoarng gadis.." Nyaris saja Alia tersedak karena terkejut mendengar kata kata Jefry itu. Bagaimana Jefry boleh meneka dengan cepat dan tepat sekali. Hairan Alia memikirkannya. Alia terdiam seketika. Jefry meneruskan kata katanya, "Tentu Lia terperanjat bukan! macamana Abang boleh tahu tentang kejadian itu. Kamal, lelaki yang telah memperkosamu itu adalah kawan baik Abang semasa kami sama sama belajar di Amerika dulu." secara tidak sengaja Jefry menceritakan tentang perkara itu, tetapi tiba tiba dia menyesal sekali. "Ah....... kenapa begitu lancang sekali mulut aku pada malam bersejarah ini." Jefry berkata dalam hati. Hancur hati Alia disaat itu, rahsia yang bertahun tahun disembunyikannya telah terbongkar oleh suaminya sendiri. Alangkah sedihnya Alia. Tiba tiba air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang gebu itu. "Lia, setiap orang mempunyai rahsia masing masing, setiap orang ingin dipandang suci, bersih, baik tapi itu semua tidak mungkin dapat mengubah kenyataan hidupnya, demikian juga dengan Abang..." terputus disitu sahaja cerita Jefry. Dengan penuh keraguan Alia menatap wajah Jefry. "Kenapa dengan Abang? sudah ada isteri? sudah ada anak? atau..... ada gadis lain yang Abang cintai?" tanya Alia bersungguh sungguh. Jefry menghela nafas panjang, " Lebih parah dari itu..., Abang sama saja seperti Alia, badan dan tubuh Abang saja nampak lelaki, tapi sebenarnya jiwa Abang, jiwa Abang ....." "Kenapa dengan jiwa Abang, kenapa bang, kenapa...? soal Alia lagi bertalu talu. "Abang "GAY", Abang "GAY" Alia." Masyallah! tiba tiba sahaja dunia terasa gelap. Badan Alia bertukar menjadi begitu lesu sekali, Betulkah apa yang aku dengar ini, bisik Alia sendirian. Betul ke apa yang dikatakan oleh suamiku itu? Alia tergamam.... Jefry yang tampan itu seorang Gay? Gay!Gay!.... berulangkali Alia menyebut kata-kata itu. Suasana hening seketika, masing masing berbicara dengan fikiran masing masing. Alia merasa amat kecewa sekali, lelaki yang diharapkan dapat membahagiakannya rupa rupanya seorang Gay. Malam pertama yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin yang 'normal' ternyata hanya bertukar menjadi kepedihan, kesedihan, kepiluan bagi Alia, bukan sahaja suaminya tahu tentang rahsianya, tapi lebih buruk lagi, dia menikahi seorang Gay?! Patutlah Jefry nampak tenang sahaja, sejak siang tadi tanpa sebarang reaksi, tidak resah juga tidak bahagia, rupa rupanya ternyata dia seorang Gay. Alia menyalahkan dirinya sendiri, itulah, bila niat untuk berkahwin tidak berasal dari hati nurani sendiri, calon suami atau isteri belum kita ketahui betul betul, hal hal buruk seperti ini memang mudah terjadi. Yang tinggal adalah satu penyesalan dan tangisan yang tiada hentinya. "Abang, kalau Abang sudah tahu yang Abang ini seorang Gay, kenapa Abang bersedia untuk mengahwini Lia?" dalam tangisan Alia bertanya. Kenapa Abang tergamak melakukan ini semua. Kenapa???" tangisan Alia semakin kuat. Dengan rasa bersalah Jefry menjawab,"Abang hanya menurut kehendak mak ayah Abang! Abang sangat sayang pada keduanya...." "Sekarang bagaimana? tak kan kita hendak terus hidup berpura pura begini semata mata hendak menjaga hati orang tua kita?" "Entahlah, Abang pun tak tahu. Tapi Abang rasa elok kalau Lia ikut Abang balik ke Amerika, disana kita boleh fikirkan tentang masalah kita ini, lagipun bukankah menurut hukum islam, Lia sudah sah menjadi isteri Abang? Mungkin kita tidak menikah secara fizik, secara badani atau pun emosi, tapi ada hukum yang telah mengikat kita berdua. Abang tidak ingin melihat kedua dua orang tua kita kecewa disebabkan keputusan yang kita ambil... Kita harus bijak Lia." Keadaan kembali sunyi. Kamar pengantin yang dihiasi indah sudah tidak bermakna lagi buat Alia. Alia sudah kecewa dan dia tidak pasti lagi apakah esok masih ada!!! Pelamin anganku telah musnah sama sekali........ |
Cerpen Cinta Remaja: “Teduh” yang Telah Pergi
9
Februari 2009 39.180 views 75 Comments
“Pagi hari, di kediaman keluarga darmawan…..
“Ya….. masa Dinda ke skul harus naik angkot sich, Bun?”
”Hari ini Pak Kosim nggak bisa ngantar. Karena anak nya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik angkot, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!!!”
”Ya udah dech….Dinda pergi dulu ya, Bun!”
“Ya….. masa Dinda ke skul harus naik angkot sich, Bun?”
”Hari ini Pak Kosim nggak bisa ngantar. Karena anak nya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik angkot, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!!!”
”Ya udah dech….Dinda pergi dulu ya, Bun!”
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda.
Karena supirnya harus nemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia harus
berangkat ke skul naik angkot.
”Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sich buat
nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot. Mana panas lagi.”
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebelah Dinda. Dan jantung Dinda hampir aja copot saat tu cowok senyum dengannya.
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebelah Dinda. Dan jantung Dinda hampir aja copot saat tu cowok senyum dengannya.
Dinda ngerasaain perasaan yang lega dan semua
kekesalannya hilang seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi
ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit
yang udah lama tertahankan olehnya.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
”Duh….tu cowok manis banget ya…… saat gue liat
mukanya, gue ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu
cowok? Rasanya gue pengen banget kenalan ama tu cowok. Py gue malu. Hm…. gue
kasih nama “Teduh” aja dech… Coz matanya tu teduh banget. And mulai besok
gue bakalan naik bus dech… coz gue pengen ngeliat muka tu cowo lagi” pikir
Dinda yang masih nggak berhenti memikirkan cowok tadi, dan akhirnya dia tidur
sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.
Paginya….
“Bun, Dinda pergi skul dulu ya…!!!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho Din, kamu nggak nunggu Pak Kosim dulu?”
”Nggaklah Bun, hari ini Dinda pengen naik bus aja….da Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..
”Duh si teduh mana ya? Kok belom datang sich?” batin Dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Bun, Dinda pergi skul dulu ya…!!!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho Din, kamu nggak nunggu Pak Kosim dulu?”
”Nggaklah Bun, hari ini Dinda pengen naik bus aja….da Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..
”Duh si teduh mana ya? Kok belom datang sich?” batin Dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang
ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu
tersenyum dan menyapa Dinda.
”Hei….. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
”Lho koq diam?”
”Eh….sorry…. tadi kamu bicara apa?”
”Aku tanya, kamu baru naik bus ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu semalam”.
”Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bus yang menuju ke sekolah Dinda datang.
”Eh… tu bus kamu udah datang”.
”Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
”Hei….. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
”Lho koq diam?”
”Eh….sorry…. tadi kamu bicara apa?”
”Aku tanya, kamu baru naik bus ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu semalam”.
”Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bus yang menuju ke sekolah Dinda datang.
”Eh… tu bus kamu udah datang”.
”Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***
Sudah sebulan Dinda bertemu dengan cowok pujaan
hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”.
Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari
Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang
ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Dan Dinda nggak sadar kalo itu adalah
pertemuan terakhir dengan ”teduh” nya itu.
***
Seminggu sudah Dinda menanti sang pujaan hati, tapi
”teduh” tak kunjung datang. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan
tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan ”teduh”.
Suatu pagi, saat ia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa di duduki ”teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat dirindukan Dinda. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali kalo beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah:
Suatu pagi, saat ia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa di duduki ”teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat dirindukan Dinda. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali kalo beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah:
” Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah
”Iya Bu….”
”Kalo anak saya masih hidup, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bus juga kayak kamu!”
”Lho….memangnya anak ibu kemana?”
”Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
”Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
”Oh…maaf ya Bu….”
”Nggak apa-apa koq dek….. dia tu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”
”Sayang ya Bu, sayang saya tak bisa melihat mukanya. Tapi dari cerita ibu, saya ngerasa dia mirip banget ama seseorang.”
”Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya.” jawab ibu itu sambil menyerahkan foto anaknya.
”Oh ya…. sebelumnya ibu ingin minta tolong sama kamu, bisa nggak kamu membantu ibu?”
”Apa yang bisa saya bantu Bu?”
”Iya Bu….”
”Kalo anak saya masih hidup, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bus juga kayak kamu!”
”Lho….memangnya anak ibu kemana?”
”Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
”Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
”Oh…maaf ya Bu….”
”Nggak apa-apa koq dek….. dia tu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”
”Sayang ya Bu, sayang saya tak bisa melihat mukanya. Tapi dari cerita ibu, saya ngerasa dia mirip banget ama seseorang.”
”Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya.” jawab ibu itu sambil menyerahkan foto anaknya.
”Oh ya…. sebelumnya ibu ingin minta tolong sama kamu, bisa nggak kamu membantu ibu?”
”Apa yang bisa saya bantu Bu?”
”Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat
terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek
yang bernama Dinda. Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adik bisa
menyampaikannya kepada Dinda.” pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan
Dinda dengan perasaan binggung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu
ternyata……….
”Halo Dinda….mungkin kamu bertanya-tanya mengapa aku
tahu namamu…. itu karena aku sengaja melihat namamu….. Andai saja aku
masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih
dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini. Sekarang
aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah
jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku ngggak punya
keberanian buat ngungkapinnya.
Karena kita belum saling kenal, tapi sekarang aku
lega, karena sebelum aku meninggal, aku bisa mengungkapkan perasaan ku ini,
walaupun hanya lewat sepucuk surat. Dan sekarang aku bisa meninggalkan dunia
ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa
mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambahkan semangatku untuk
hidup lebih lama.
Dariku Reza”.
Dariku Reza”.
Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata
Dinda tak dapat di tahan lagi. Ia merasa lemas saat melihat sosok pria yang
memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan.
Membuatnya rela panas-panasan menunggu angkot, dan membuatnya selalu
bersemangat melewati hari. Lalu dinda membaca surat terakhir dari teduh
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
Tiara Adinda
SMA Negri 1 Pekanbaru
SMA Negri 1 Pekanbaru
No comments:
Post a Comment