Monday, June 6, 2016

qadariyah




MAKALAH

AKIDAH AKHLAK

Tentang

ANALISIS KRITIS
TERHADAP
POKOK-POKOK PEMIKIRAN QADARIYAH

Disusun Oleh

KELOMPOK III













 












ANGGOTA :

Ø     Raihanatun Nisa
Ø     Teni Aristya Pratiwi
Ø     Fauzan Anshari
Ø     M. Daud Pratama

KELAS : XII IPS 1

Guru pembimbing : Gajali Rahman, S.Pd.I



Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Selat Tengah
Kab. Kuala Kapuas
2010/2011







KATA PENGANTAR




Assalamualaikum Wr. Wb.

               Alhamdulillah segala puja dan puji syukur kepada Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Analisis Kritis Terhadap Pokok-Pokok Pemikiran Qadariyah “, sesuai waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam tak lupa pula kami berikan kepada junjungan kita Nabi besar, Muhammad SAW., beserta sahabat, kerabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

                  Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari Bapak Gajali Rahman, S.Pd.I, selaku guru pembimbing mata pelajaran Akidah Akhlak.

                  Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami memohon kritik dan sarannya agar pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.
   Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.








Kuala Kapuas,    Oktober 2010


Penyusun


DAFTAR ISI



SAMPUL MAKALAH  ………………………………………....     i
KATA PENGANTAR   …………………………………………     ii
DAFTAR ISI       ………………………………………………..     iii
BAB I PENDAHULUAN    ………………………………………     1
A.   Latar Belakang   ………………………………………...    1
B.   Rumusan Masalah.  ……………………………………...    1
C.   Tujuan Penulisan    ……………………………………...    
D.  Ruang Lingkup    ……………………………………….
BAB II PEMBAHASAN   …………………………………..
A.          Sekilas Tentang Qadariyah ………………………………..
B.          Doktrin-Doktrin Qadariyah  ……………………………….
C.          Analisis Kritis Terhadap Doktrin-Doktrin Qadariyah  . …………..
1. Pemahaman secara Syar’ie   ...…………………………...       
2. Pemahaman secara Haqiqi    ..……………………………
BAB III  PENUTUP    ...…………………………………………
A.    Kesimpulan   …………………………………………...       
B.     Saran-Saran  ……………………………………………       
DAFTAR PUSTAKA   ………………………………………….     















BAB  I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Perkembangan pemikiran teologi dalam dunia Islam kian hari kian menjamur. Tak pelak kadang hal ini menimbulkan berbagai pertentangan pemahaman antarkelompok,di mana masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan dalil-dali yang begitu meyakinkan, baik yang bersumber dari nash-nash agama (Naqli) maupun dari pemikiran rasional (Aqli), yang semuanya mengklaim bahwa mereka yang paling benar di antara pemahaman kelompok yang lain.
         Perbedaan pemahaman ini sudah terjadi dari sejak masa keemasan islam, terutama pada tahun 70 H, dimana pada waktu itu muncul dua golongan besar yang mempertentangkan tentang takdir dan kekuasaan manusia dalam bertindak. Kedua golongan ini dikenal dengan istilah Qadariyah dan Jabariyah, di mana kedua golongan ini sama-sama mempertahankan pendapatnya masing-masing yang jauh bersimpangan di antara keduanya, bahkan bisa di ibaratkan langit dan bumi.
         Kelompok  Jabariyah mengatakan bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya untuk menentukan nasibnya, semua tergantung pada takdir Tuhan, dan manusia tidak dituntut untuk mempertanggung jawabkannya, sedangkan kelompok Qadariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam penentuan nasib manusia, melainkan tergantung sejauh mana usaha manusia itu untuk menentukan perjalanan hidupnya, tetapi manusia di tuntut untuk mempertanggung jawabkan segala apa yang telah ia perbuat.
         Dalam perjalanan pemikiran Islam sejak zaman munculnya kedua kelompok ini, faham kedua kelompok ini terus diperbincangan dikalangan ulama’ dan para pemikir kontenporer. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kedua faham ini di anggap bertentangan dengan nash-nash syari’at walaupun benar salahnya kedua pemahaman ini masih belum dapat dipastikan, hal ini diakibatkan karena perbedaan interpretasi dari teks-teks agama dan perbedaan teks-teks agama yang dijadikan dasar pijakan berfikir oleh masing-masing kelompok.
         Sehingga penulis merasa tertarik untuk mendalami faham keduanya, namun dalam penulisan makalah ini penulis sengaja hanya memilih salah satunya yaitu aliran Qadariyah. Bagaiman latar belakang kemunculannya, faham-fahamnya dan penulis akan mencoba menganalisis pemikiran aliran ini, apakah faham-faham yang mereka cetuskan itu beriringan dengan nash-nash atau malah sebaliknya? Karena di sadari ataupun tidak aliran Qadariyah sampai saat ini masih meringkuk dalam hati umat Islam yang hanya mengikuti kata akalnya saja, atau malah bersikap apatis terhadap faham-faham seperti ini.
         Berangkat dari hal diatas maka penulis memutuskan mengangkat judul “Analisis Kritis Terhadap Pokok-Pokok Pemikiran Qadariyah”

B. Rumusan Masalah
 
         Dari latar belakang di atas penulis dapat merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam penulisan makalah ini, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan Qadariyah ?
2. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Qadariyah?
3. Seperti apakah faham-faham qadriyah?
4. Dapatkah kita menjadikan faham Qadariyah sebagai pijakan dalam kehidupan beragama?

C. Tujuan Penulisan

         Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis, hal ini menunjukkan bahwa ada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan makalah ini, tujuan-tujuan tersebut adalah :
1. Mengetahui Esensi Qadariyah.
2. Mengetahui latar belakang kemunculan aliran Qadariyah.
3. Mengetahui Faham-Faham Qadariyah.
4. Menganalisis pokok-pokok pemikiran Qadariyah benar atau tidaknya pemahaman seperti ini menurut     nash-nash agama atau malah sebaliknya.
                                           
C.   Ruang Lingkup

Dalam pembuatan makalah ini, lingkup pembahasannya meliputi :
1.      Lingkup pembuatan makalah difokuskan pada aliran Qadariyah.
2.      Lingkup waktu yang diberikan  dalam pembuatan makalah selama 1 minggu.


BAB II
PEMBAHASAN


A .Sekilas Tentang Qadariyah

          Qadariyah secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan,  kekuatan, dan memutuskan. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan istilah free will atau free act (kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat).  Adapun secara terminologi “Qadariya” adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan atau tindakan manusia tidak di intervensi (tanpa peran) oleh
Tuhan. Setiap manusia adalah pencipta bagi perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
 Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
          Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan pada
tahun 70 H/689 M, oleh Ma’bad Al-Jauhani (w. 80 H/699 M) dan Ghailan Ad-Dimasyqy (w. 105 H/722 M). Ma;bad adalah seorang tabi’in generasi kedua yang pernah belajar bersama Wasil bin Atha (Imam kaum Muktazilah) kepada Hasan Al-Basri di Basrah. Adapun Ghailan Al-Damisyqi adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman bin Affan.Ia datang ke Dimsyaq (Damaskus) pada masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik, salah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 105 sampai 125 H. Selain sebagai seorang tokoh Qadariyah, Ghailan juga adalah pemuka golongan Murji’ah dari kelompok Al-Salihiah.
         Menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah sorang tabi’in yang baik tetapi ia kemudian bermain diranah politik dan memihak Abdul Rahman Ibn al-Asy’as Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan dan sistem pemerintahan Bani Umayyah, dan pada saat pertempuran melawan Al-Hajjaj akhirnya Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H.
            Setelah kematian sahabatnya, Ghailan meneruskan misi besarnya dalam menyebarluaskan faham Qadariyah, hal ini kemudian mengundang reaksi keras dari kalangan pemerintah yang dipimpin oleh Umar Bin Abdul Aziz. Setelah, Umar Bin Abdul Aziz meninggal, Ghailan terus menyebarkan ajarannya, hingga akhirnya pemerintah menjatuhkan hukuman mati padanya pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).
            Menurut Rosihon Anwar & Abdul Rozak berdasarkan penemuan dokumen W. Montogomy Watt yang ditulis oleh Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933, faham Qadariyah terdapat pada kitab Risalah yang ditulis oleh Hasan Al-Basri untuk Khalifah Abdul Malik pada tahun 70 M.
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, yang dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama kristen kemudian beragama Islam dan balik lagi ke agama Kristen, yang bernama Susan. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’I, yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah susunan. Namun pandapat ini masih diragukan kebenarannya karena diyakini bahwa pendapat semacam ini hanyalah rekayasa yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan faham yang di bawa oleh kelompok ini.
            Setelah kematian kedua pembesarnya, faham ini kembali berkembang pesat ketika munculnya golongan Mu’tazilah. Hal ini terbukti ketika salah seorang Imam Mu’tazilah, Ibrahim Sayar Al-Nazam (w. 211 H.) menyebarluaskan pemahaman ini dan menuai banyak simpati dari masyarakat.
            Sampai sekarang, faham ini masih ada walau hanya sebatas ungkapan-ungkapan belaka seperti “bagaimanapun juga toh pada akhirnya manusia juga yang dapat menentukan nasibnya” dan lain sebagainya, yang menitikberatkan segalanya pada perbuatan manusia belaka. Hal ini disebabkan karena akal fikiran kebanyakan orang kerap dikuasai penuh oleh akal dan fikirannya. Dan memang semua doktrin-doktrin yang dicetuskan oleh Qadariyah, bertumpu pada rasionalitas pemikiran manusia. Namun, banyak sekali ayat yang mendukung akan rasionalisasi faham ini.

B.Doktrin-Doktrin Qadariyah

            Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga diadikan sebagai salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
            Namun demikian, telah dipaparkan bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan takdir Tuhan, dalam artian bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan ketika mereka lahir ke alam ini. Tuhan tidak ada hubungannya sama sekali dengan manusia sekarang, bahkan Tuhan pun tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia. Ketika manusia mengerjakannya, baru pada saat itu Tuhan mengetahuinya.
            Adapun hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah pahala dan siksa, dimana ketika manusia melakukan perbuatan yang baik maka Tuhan akan memberikannya pahala karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan-Nya pada sesuatu yang baik. Sebaliknya, Tuhan akan menghukum atau memberikan siksaan kepada manusia ketika ia melakukan perbuatan jelek karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan oleh-Nya pada sesuatu yang jelek .
            Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan, yang dikutip oleh Rosihon Anwar & Abdul Rozak tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. An-Nazzam (pemuka Qadariyah) menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan ia berkuasa atas segala perbuatannya. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah.
          Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Sehingga, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan disamakan dengan balasan surga dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat. Itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
            Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak zaman azali. Dalam faham Qadariyah,takdir itu ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.     Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat bebuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram. Akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dimana batas akhir kreativitas manusia ?
            Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Selain itu, faham yang diajukan oleh kelompok ini bukan hanya berdasarkan rasionalitas pemikiran saja akan tetapi ada nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan sebagai penopang akan pendapatnya, diantaranya adalah:
 (الكهف:٢٩)…….... فمن شآء فليؤمن ومن شآء فليكفر
Artinya:
“……… Maka barang siapa yang mau berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarkanlah ia kafir
....“(Al-Kahfi: 29)
         Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan apakah ia mau beriman atau malah sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menentukan arah hidupnya sendiri bukan Tuhan. Dalam Al-Qur’an disebutkan pula :

(الرعد: ۱۱ )…….بقوم حتى يغيروا ما بانفسهم ما  الله لا يغيرإن....

Artinya:
“Sesungguhnya Allah tiada akan merubah keadaan satu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan mereka sendiri………” (Al-Ra’du: 11)
            Ayat ini menurut mereka, bahwa Tuhan tidak kuasa dan bisa merubah nasib manusia kecuali kalau mereka sendiri yang merubahnya. Kekuasaan Tuhan dalam hal ini hilang, karena kekuasaan itu sudah diberikan secara penuh kepada manusia. Ayat lain yang dijadikan sebagai pijakan berfikir mereka adalah :
ومن يعمل سوء ااويظلم نفسه ثم يستغفر الله يجد الله غفورارحيما (110) ومن يكسب اثما فانما يكسبه على نفسه (111)



Artinya:
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia meminta ampun kepada Tuhan, niscaya akan diperolehnya, bahwasanya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang , dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri……… “(An-Nisa’: 110-111)
            Dalam ayat ini, kata mereka, bahwa manusia sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan. Kalau Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya, dan ini mustahil karena sampai kapan pun Tuhan tidak mungkin bersifat aniaya . Perhatikan juga ayat berikut :

(الدهر:۳)…… كفورا اما وأ شاكرا إما  السبيلهديناه إنا

Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya, ada kalanya ia menjadi orang yang bersyukur dan adakalanya ia menjadi orang yang kufur (Ad-Dahr: 3)
            Ayat ini menjelaskan bahwa kafir atau syukur, semuanya manusia yang berbuat.  Tuhan tidak ada sangkut pautnya sedikit pun akan semua itu . Dan ayat terakhir ini pun demikian juga :
اولما اصا بتكم مصيبة قد  اصيتم مثليها قلتم انى هذا  قل هومن عند انفسكم......(ال عمران :3)



Artinya:
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemengan dua kali (pada Perang Badar) lalu kamu berkata: “dari manakah datangnya musibah itu?” katakanlah, “sebabnya adalah dari kamu sendiri”( Ali-Imran: 165)
          Dengan ayat ini mereka berargumen, bahwa kekalahan kaum muslimin pada waktu perang Uhud diakibatkan oleh kelalaian dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw., dimana mereka diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi. Tapi karena tergiur akan harta rampasan perang, mereka meninggalkan tempat mereka, hingga akhirnya pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada waktu itu. Hal ini pun menunjukkan bahwa kesalahan pada waktu itu sepenuhnya berada di tangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan.
          Inti ajaran Qadariyah adalah :
1.      Pelaku dosa besar itu adalah fasik, bukan kafir dan bukan pula mukmin. Mereka akan kekal di neraka.
2.      Allah tidak menciptakan amal perbuatan. Sehingga, manusialah yang bebas menentukan amal perbuatannya. Sebagai balasan amal perbuatannya itu, maka akan diberikan pahala surga dan siksa neraka.
3.      Allah itu Esa dan tidak memiliki sifat.
Akal manusia mampu mengetahui baik dan buruk, meskipun diajarkan oleh agama.
          Demikianlah sekelumit tentang faham yang dicetuskan oleh kelompok Qadariyah,benar atau salahnya Tuhan jualah yang tahu.


C. Analisis Kritis Terhadap Doktrin-Doktrin Qadariyah

          Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, tentang faham-faham yang telah dihasilkan dari proses berfikir golongan ini, rasanya penting apabila menelaah faham tersebut guna memastikan apakah memang betul bahwa aliran ini salah atau malah sebalkinya? Namun uraian di bawah ini tidak bisa dikatakan benar, karena kemampuan orang jelas berbeda.
          Sebelum lebih lanjut membicarakan tentang hal ini, baiknya kita kilas balik terlebih dahulu pada tahun dimana golongan ini muncul. Saat munculnya aliran ini, tak urung menimbulkan tantangan keras dari masyarakat Arab pada waktu itu. Ada beberapa alasan mengapa aliran ini begitu ditentang oleh bangsa Arab pada waktu itu yaitu:
          Pertama, bangsa Arab sebelum masuknya Islam adalah satu bangsa yang hidup sangat sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan, mereka selalu terpaksa mengalah pada ganasnya alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya, yang kemudian faham ini dikenal dengan istilah Fatalisme (kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya). Faham ini terus mereka pertahankan kendati mereka sudah memeluk agama Islam. Sehingga ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
          Kedua, kalangan pemerintah yang notabene penganut faham Jabariyah juga menentang mati-matian akan berkembangnya faham semacam ini. Mereka khawatir hadirnya faham ini akan mengerogoti kekuasaan mereka karena faham ini dianggap sesuai dengan dinamisasi dan daya kritis kebanyakan rakyat, yang pada gilirannya nanti rakyat akan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan mampu menggulingkan kekuasaan mereka.
          Berkaiatan dengan pemahaman Qadariyah tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (Takdir) timbul berbagai macam pertanyaan, seperti: “jika memang manusia yang menciptakan perbuatannya sendiri lalu daya yang ia gunakan itu milik siapa dan siapa yang membuatnya?” Kalau mungkin dijawab bahwa itu juga milik dan diciptakan oleh manusia, maka akan timbul pertanyaan lain, “Apakah manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?”
          Jawaban itu dapat diperoleh ketika seseorang mau berfikir keras tentang sifat kekuasaan dan kehendak Tuhan. Dan bahwa Pencipta alam ini hanya satu, yaitu Tuhan. Jika beranggapan bahwa segala perbuatan manusia diciptakan sendiri, berarti ada ribuan pencipta di permukaan bumi ini, berarti semuanya adalah Tuhan.
Faham ini seakan menunjukkan bahwa Tuhan itu hanyalah Dzat yang mau terima jadinya, tidak menentukan, tidak memeberikan kerangka, atau setidak-setidaknya mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh makhluk ciptaannya. Berarti Tuhan bersifat pasif dan tidak mau tahu akan urusan makhluk-Nya. Jika demikian, untuk apa Dia jadi Tuhan apabila tahunya hanya memberikan siksa dan pahala?
          Ada dua metode untuk memahami pola hubungan kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia  yaitu :

1. Pemahaman secara Syar’ie

        Kekuasaan Tuhan adalah mutlak atas semua yang di alami makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dia berkehendak dan berbuat secara mutlak. Maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada manusia muncul dari kekuatan manusia sendiri, melainkan hanya dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Sehingga, segala pekerjaan manusia tidak diciptakan oleh manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan, sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu manusia memilki andil yang biasa disebut dengan kasab (usaha).
      Sehubungan dengan hal ini, maka keadilan Tuhan adalah apa yang dikehendaki dan diperbuat-Nya. Dia menghukum masuk neraka dan memberi pahala masuk surga bukanlah dari daya upaya manusia, akan tetapi mutlak sesuai dengan yang Ia kehendaki. Akan tetapi tidak mungkin juga Allah dengan sembarangan menyiksa dan memberi pahala kepada makhluknya dengan tanpa alasan, itu namanya Tuhan ngaur, sembrono dan lain sebagainya. Padahal semua itu tidak mungkin dimiliki oleh Tuhan.
      Kenapa Allah dikatakan adil dalam hal ini? Karena semua makhluk yang berpijak di alam semesta-Nya ini adalah milik Tuhan. Jadi apakah dapat disalahkan ketika seseorang menginfakkan harta miliknya sendiri? Tuhan pun demikian, Ia tidak akan dikatakan dzalim dengan apa yang telah di-perbuat untuk makhluk-Nya, karena semuanya adalah milik-Nya. Penjelasan tentang kekuasaan Allah akan segala tindak tanduk manusia di-perkuat dengan satu ayat:

(التكوير:٢٩)ان يشآء الله رب العلمين.  تشآءون الاوما

Artinya:
  “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta  alam.” (Al-Takwir:29)

2.     Pemahaman secara Haqiqi
  
   Tuhan adalah Dzat Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa atas semua ciptaan-Nya, pengatur atas segala apa yang Ia ciptakan. Manusia dan perbuatannya adalah termasuk dari sekian ciptaan-Nya.
      Dalam kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tidak berlaku sedikit-banyak, kecil-besar, baik-buruk, manfaat-bahaya, iman-kufur, bertambah-berkurang, menang-kalah, taat-maksiat, atau ingkar-setia. Maka apa pun yang dikehendaki-Nya semua atas kehendak-Nya, atas kekuasaan mutlak-Nya pasti akan terjadi, dan sebaliknya.
      Berkaitan erat dengan kehendak dan kekuasaan mutlak oleh Allah, maka manusia hanya tercipta atas kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya. Manusia hanya berbuat atas kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya, tidak bisa lebih atau kurang. Perbuatan manusia itu istilahnya مقدوربين قدرين(kemampuan diantara dua kemampuan). Tuhan menciptakan daya atau gerak pada diri manusia untuk melakukan suatu perbuatan hal ini disebut dengan satu kemampuan (قدر) sedangkan kekuasaan yang ada pada diri manusia disebut usaha (كسب) manusia, oleh karena itu perbuatan manusia terwujud atas dua kemampuan, yakni atas daya ciptaan Tuhan dan usaha ciptaan manusia, walaupun sebenarnya usaha (كسب) manusia itu hakikatnya adalah ciptaan Tuhan.
      Sebelum alasan-alasan rasional di atas muncul, Al-Qur’an telah terlebih dulu menentang faham semacam ini, seperti ayat-ayat berikut :
والله خلقكم زما تعملون (الصفت :96)




Artinya:
“Dan Allah yang menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan” (Al-shaffat: 96)
      Secara ekspelisit Al-Qur’an telah memberikan informasi bahwa manusia dan semua yang dikerjakannya diciptakan oleh Allah.
ولا ينفعكم نصحي ان ارد ت ان انصح لكم ان كا ن الله يريد ان يغويكم  هوربكم  واليه ترجعون (هود :اا)






Artinya:
“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Huud: 34)

      Dalam ayat ini dikabarkan dengan jelas bahwa ketika Tuhan menghendaki sesuatu, maka hal itu pasti terjadi. Sekuat apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja tidak akan mampu merubah ketetapan Allah. Orang yang memberi nasehat kepada orang lain agar ia beriman kepada Tuhannya, itu tidak akan berpengaruh pada ketetapan Tuhan bahwa orang itu telah ditentukan untuk menjadi sesat.
مآ ا صا ب من مصيبة فى الارض ولا في انفسكم الا في كتب من قبل ان نبر اها  ان ذالك على الله يسير (الحديد:22)





Artinya:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadiid: 22)
      Dalam ayat ini secara jelas Allah memberikan informasi bahwa, semua yang terjadi pada diri setiap manusia sudah ditentukan sejak zaman azali.
      Dapat disimpulkan bahwa faham yang diusung oleh kelompok Qadariyah ini jelas bertentangan dengan syari’at, walaupun mereka berargumen dengan menggunakan dalil-dalil syari’at pula. Benar atau salahnya hanya Allah yang tahu, namun yang perlu diperhatikan adalah ketika faham ini diyakini dan dilakukan oleh manusia, ada manfaat yang bisa diambil dari itu semua, yaitu: terbukanya pengetahuan-pengetahuan baru karena manusia diberi kebebasan berfikir dan berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Sedangkan ketika faham Jabariyah digunakan, maka tidak adanya semangat untuk lebih maju lagi, karena semua beranggapan, “usaha bagaimanapun toh Tuhan yang menentukan” jadi manusia akan sulit mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka.
      Asumsi penulis mungkin tidak benar ketika pendapat kaum Qadariyah disalahkan sepenuhnya, karena ketika manusia dipasung dari sifat kebebasan berkreasi dan berkarya yang memang sudah menjadi fitrahnya, maka mana mungkin tugas besar yang diamanatkan kepada manusia dapat terlaksana secara sempurna. Intinya, semua yang ada dipermukaan bumi ini memang benar Tuhan yang menciptakan, akan tetapi manusia diberi kebebasan untuk mengelola apa yang telah diberikan kepadanya, agar ia mampu menjalankan tugas mulia dari Penciptanya. Kebebasan itulah yang biasa disebut dengan usaha (kasab).








































BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
 
          Pada tahun 70 hijriyah muncul golongan yang banyak menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan doktrin yang berlaku pada waktu itu. Kelompok ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa segala pekerjaan dan tindak tanduk manusia semuanya bergantung pada takdir. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak tahu menahu tentang apa yang dikerjakan oleh makhluknya, semuanya tergantung pada manusia sendiri.
Qadariyah secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan,  kekuatan, dan memutuskan. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan istilah free will atau free act (kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat).  Adapun secara terminologi “Qadariya” adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan atau tindakan manusia tidak di intervensi (tanpa peran) oleh Tuhan. Setiap manusia adalah pencipta bagi perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
          Faham ini pertama kali disebarluaskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi. Keduanya diyakini mendapatkan faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam bernama Susan, namun pendapat ini oleh sebagian ulama’ ditentang karena dianggap hanya sebuah rekayasa dari orang-orang yang keberatan dengan faham ini.
          Inti ajaran Qadariyah adalah :
1.      Pelaku dosa besar itu adalah fasik, bukan kafir dan bukan pula mukmin. Mereka akan kekal di neraka.
2.      Allah idak menciptakan amal perbuatan. Sehingga, manusialah yang bebas menentukan amal perbuatannya. Sebagai balasan amal perbuatannya itu, maka akan diberikan pahala surga dan siksa neraka.
3.      Allah itu Esa dan tidak memiliki sifat.
Akal manusia mampu mengetahui baik dan buruk, meskipun diajarkan oleh agama.
                      Faham ini jelas sekali mempunyai pijakan berfikir yang jelas, namun tidak sedikit pijakan-pijakan lain yang menentang faham ini. Dengan demikian, faham ini tidak bisa disalahkan dibenarkan. Akan tetapi, sebenarnya faham ini bisa di kolaborasikan dengan pemahaman yang menentang faham ini (Jabariyah) yaitu semuanya memang Tuhan yang menetukan akan tetapi manusia juga memilki andil dalam perbuatannya yaitu usaha.


B. Saran-Saran

1.      Hendaknya dalam menyikapi pemikiran ini kita harus menelaah nash-nash yang berhubungan dengannya agar bisa menentukan langkah yang benar.
2.      Berhati-hatilah dalam menyikapi satu pendapat yang bertolak belakang dengan pemahaman kita, karena tidak mudah menentukan penadapat yang benar dan pendapat yang salah.














DAFTAR PUSTAKA



Abbas, Sirajuddin. 2008. I’tiqad Ahlussunah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru.
Al-Qaththan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari  "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. Jakarta: Litera AntarNusa.
An-Nasyar, Ali Syami. 1997. Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam. Cairo: Dar al-Ma'arif.
Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. Cet ke-2.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pusataka Setia.
Al-Munjid, Luice Ma’luf Al-Yusui’i. 1945. Al-Khatatahulukiyah. Beirut.
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Daudy, Ahmad. 1997. Kuliah Ilmu Kalam. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Tanjung Mas Inti.
Hadariansyah, AB. 2008. Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. Banjarmasin: Antasari Press.
http://ahmad-mubarok.blogspot/ilmu-kalam.html.
http://analisi-pemahaman-qadariyah.html.
http://bab 07-qadariyah >> kuliyah mazhab akidah dunia islam.htm
http://windoms4all.com- Membincangkan Takdir Manusia [1].mht.
Maghfur, Muhammad. 2002. Koreksi Atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah.
Mulyadi dan Toto Edirdarmo. 2008. Akidah Akhlak Kelas XI. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Cet ke-5.
Nata, Abudin. 1998. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ridwan, Muhammad Aswani. 2008. Membela Sunni. Kendal: Pustaka Amanah Grafika.
Risnawati. 2008. Modul Aqidah Akhlak Kelas XI semester 1. Kuala Kapuas.
Syahrastani, Al-Syaikh. Al-‘Allamah, Al-Milal wa An-Niha, Dzar Al-Fikr. Beirut: Vol. I .

No comments:

Post a Comment